Boleh pamer asal jangan riya'
===============================
Imam Hasan pernah dawuh “Banyak sekali orang muslim yang telah memahami bahwa melakukan ritual agama (ibadah) dengan sembunyi-sembunyi itu lebih dapat menjaga diri dari ancaman unjuk gigi (riya’)”. Namun yang perlu juga diperhatikan adalah melakukan ibadah dengan terang-terangan dan dilihat oleh orang lain itu juga memiliki banyak faidah. Bahkan Allah sendiri di dalam Al Qur’an dalam surat Al Baqoroh ayat ke-21 sangat memuji amal ibadah seorang hamba tanpa memandang apakah itu dilakukan dengan sembunyi-sembunyi atau terang-terangan. “Jika kamu menampakkan sedekah (mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu.”
Memang, melakukan ibadah dengan sembunyi-sembunyi itu bisa lebih menjamin menjadikan seseorang ikhlas. Akan tetapi memperlihatkan ibadah dengan terang-terangan itu juga sangat dianjurkan. Dengan catatan hendaknya semua itu dilakukan dengan tujuan supaya ditiru oleh orang lain dan dapat memotivasi mereka untuk melakukannya serta selalu menghindari bahaya riya’ yang selalu mengancam. Ada dua bentuk amal ibadah yang dilakukan dengan terang-terangan, yaitu dalam hal esensi ibadahnya dan akherat serta dengan cara menceritakan apa yang telah dilakukan.
Bagian pertama, menampakkan esensi amal ibadah seperti bershodaqoh di hadapan orang banyak dengan tujuan untuk mempengaruhi orang lain supaya ikutan senang melakukannya. Pernah suatu ketika pada masanya Rosulullah, datanglah seorang Al Anshari dengan membawa sekarung makanan sehingga orang lain yang melihatnya ikut juga melakukan shodaqah. Melihat kejadian itu lantas Rosulullah bersabda yang artinya, “Barangsiapa (berinisiatif) melakukan ibadah kemudian ada orang lain yang menirunya, maka baginya pahala yang dilakukannya serta pahala orang lain yang menirunya”. Dan demikian pula semua bentuk amal ibadah seperti sholat, puasa, haji, perang (jihad), dan lain sebagainya.
Bahkan untuk ibadah yang mau tidak mau harus dilakukan dengan terang-terangan seperti haji, jihad, dan sholat Jum’at, maka hal yang lebih dianjurkan (afdlol) di samping harus ditampakkan adalah melakukannya dengan penuh semangat (trengginas) dan cepat-cepat. Bahkan seorang yang melakukan sholat tahajjud terkadang juga diperbolehkan membaca bacaan dengan keras dengan tujuan agar tetangganya terbangun lantas ikutan melakukan sholat. Namun sekali lagi semua itu harus steril dari riya’. Dan tidak membuat tetangganya tersinggung atau terganggu.
Sedangkan untuk amal ibadah yang masih dimungkinkan untuk dilakukan dengan rahasia seperti shodaqoh, sholat, maka jika melakukan ibadah tersebut dengan terang-terangan itu bisa mengganggu orang lain, seperti menyinggung perasaan yang dishodaqohi, mengganggu ketenangan dan tidur mereka, maka melakukan hal tersebut hukumnya haram. Namun kalau itu tidak sampai menyakiti orang lain, maka dalam hal ini kalangan ulama’ mengalami perbedaan pendapat.
Sebagian ulama’ bilang bahwa bagaimanapun juga melakukan amal ibadah dengan rahasia itu lebih utama dari pada dilakukan dengan terang-terangan. Dan sebagian yang lain ada yang bilang bahwa melakukan ibadah dengan terang-terangan itu lebih baik dengan catatan adanya jaminan diikuti oleh orang lain.
Pada prinsipnya apa yang diperdebatkan kalangan ulama’ dalam konteks permasalahan ini mengarah pada satu hal. Yakni tidak ada perbedaan yang mencolok antara melakukan ibadah dengan rahasia atau terang-terangan. Asalkan kesemuanya dilakukan dengan ikhlas dan tidak tercampuri riya’. Di dalam Al Qur’an sendiri Allah secara langsung memerintahkan para nabi-Nya untuk melakukan ibadah dengan terang-terangan agar ditiru oleh kaumnya. Namun kalau sampai terjangkiti riya’ maka ulama’ semua sudah sepakat bahwa beramal dengan rahasia itu akan lebih baik.
Untuk itu ada dua hal penting yang harus dilakukan oleh seseorang yang ingin melakukan amal dengan terang-terangan. Yang pertama, harus memiliki keyakinan atau asumsi yang kuat kalau perbuatan tersebut akan diikuti orang lain. Karena tidak jarang orang yang beribadah kemudian diikuti oleh keluarganya namun tidak oleh tetangganya. Banyak juga yang diikuti tetangganya namun tidak tiru oleh rekan kerjanya. Atau juga terkadang relasinnya ikut melakukan ibadahnya akan tetapi masyarakat umum masih enggan mengikuti
Seorang yang benar-benar mengerti dan ‘alim bukanlah orang seperti itu. Akan tetapi merekalah orang-orang yang amal ibadahnya ditiru oleh kalangan masyarakat luas. Dan orang yang tidak memiliki karakter yang demikian maka akan rentan sekali dia melakukan riya’ dan kemunafikan ibadah. Dan sebaliknya dia akan menjadi bahan cacian orang lain serta akan dikucilkan dari lingkungannya. Sah sah saja orang yang ingin menampakkan amal ibadahnya dengan niatan ingin ditiru orang lain. Namun semua itu harus dengan ketentuan bahwa dirinya memang memiliki pengaruh dan menjadi figur masyarakat yang layak diikuti. Di samping itu masyarakat tempat tinggalnya adalah orang-orang yang mudah untuk mengikuti atasannya.
Yang kedua, dirinya harus selalu mengkoreksi dan mengawasi hatinya jangan sampai terbawa arus riya’. Karena bisa jadi semula dia melakukan hal tersebut dengan tujuan supaya ditiru orang lain namun pada akhirnya dia bisa dipengaruhi riya’ yang selalu menggodanya. Dan hanya orang-orang yang memiliki kekuatan ikhlas-lah yang sanggup mengawal hatinya. Dan orang yang demikian ini sangatlah jarang sekali.
Sehingga jangan sekali-kali orang yang tidak memiliki keikhlasan yang kuat mencoba melakukan hal ini. Karena itu tidak ubahnya seperti orang yang sedang tenggelam ditengah lautan bersama-sama dengan orang baik. Sebenarnya kemampuan renangnya sangat payah. Namun dia sok jago ingin menyelamatkan orang lain. Maka jangankan bisa menyelamatkan mereka. Untuk menepikan dirinya sendiri ke darat dia tidak akan bisa melakukannya. Dan akibatnya mereka akan mati bersama-sama.
Lebih mendingan kalau semua itu hanyalah kecelakaan akibat tenggelam di tengah lautan yang rasa sakitnya akan hilang dalam hitungan jam. Lantas bagaimana jika kecekakaan itu karena riya’? Sulit dibayangkan sampai kapan siksa yang akan mendera mereka. Bahkan seorang ulama’ dan ahli ibadah pun terkadang masih terjebak dalam masalah ini. Mereka berlagak seperti orang yang kuat. Sehingga dia selalu unjuk gigi atas amal ibadahnya. Namun sayang hati mereka masih belum kuat menjaga keikhlasan. Sehingga amal ibadahnya akan mudah hangus terbakar api riya’.
Bagian kedua, yaitu dengan cara menceritakan amal ibadah yang telah dilakukan. Hal ini juga pada dasarnya sama dengan melakukan ibadah itu dengan terang-terangan. Bahkan dengan cara ini resiko terjangkiti riya’ lebih besar dari bagian yang pertama. Karena secara materi dan fisik cara seperti ini lebih murah dan tanpa mengeluarkan keringat sama sekali. Lagi pula kalau bercerita akan lebih mudah untuk menamba-nambah perbuatan yang tidak dikerjakan.
Baiknya, ketika ceritanya tersebut dicampuri perasaan riya’ itu sama sekali tidak akan mempengaruhi pahala ibadah yang telah dilakukan. Bahkan terkadang cara demikian ini sangat disunatkan bagi orang yang kuat hatinya, sempurna keikhlasannya, tidak memperdulikan pujian dan cacian orang lain, dan masyarakat bisa diharapkan untuk bisa mengikutinya.
Jangan Menceritakan Dosamu
Inti dari ikhlas adalah tidak membedakan antara keadaan ramai dan sepi, tidak pandang bulu dengan makhluk lain yang ada di sekelilingnya. Untuk urusan ibadah memang terkadang manusia boleh memamerkannya kepada orang lain asal sesuai dengan ketentuan-ketentuan. Akan tetapi untuk masalah dosa sebaliknya. Artinya seorang pelaku dosa itu dianjurkan untuk menyimpan dosanya sendiri dan tidak mencerikan kepada yang lain. Apalagi untuk ukuran dosa yang malah akan menjadikan hawa nafsunya bergejolak dan berandai-andai.
Mengaku atau pun tidak, manusia pasti memiliki dosa akibat kejahatan yang dilakukan hati atau pun anggota tubuhnya. Memang terkadang seseorang itu merasa khawatir bahwa kalau dia menyimpan dosanya akan dianggap sebagai periya’. Sebenarnya tidak demikian. Yang tidak boleh adalah apabila dia menutupi dosanya agar dianggap sebagai orang suci, wira’i, atau dekat dengan Allah. Padahal dirinya berlumuran banyak dosa.
Seorang shodiq (memiliki kejujuran hati) yang aman dari riya’ diperbolehkan melakukan hal ini dalam delapan keadaan:
1. Merasa senang karena Allah merahasiakan perbuatan dosanya. Dan akan merasa susah jika dosanya tersebut diperlihatkan Allah kepada orang lain. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa “Barangsiapa yang di dunia dosanya ditutupi oleh Alloh maka kelak di akherat Allah juga akan menutupi dosanya”. Maka jangan sampai bercerita perbuatan dosa yang dilakukan kepada orang lain.
2. Meyakini bahwa Allah sangat membenci dosa yang diperlihatkan dan lebih suka kalau dirahasiakan. Sebagaimana dalam sabda nabi yang artinya, “Barangsiapa yang berbuat dosa maka hendaknya dia membuat tutup dengan tutupnya Allah”. Karena dengan demikian meskipun dia melakukan kejahatan akan tetapi di dalam hatinya masih menyisakan rasa kecintaan akan apa yang dicintai oleh Allah.
3. Membenci cacian orang lain kepadanya yang bisa menyibukkan dan menyusahkan hati dan pikirannya sehingga dia lupa beribadah kepada Allah. Karena harus diakui bahwa karakter manusia memang sangat tidak menyukai hinaan orang lain. Dan
karena faktor ini pula seseorang harus membenci pujian orang lain karena juga bisa menyibukkan diri dan hatinya dari penghambaan kepada Allah.
4. Menutupi kesalahan karena tidak suka hinaan orang lain yang bisa menyakitkan hati. Sebagaimana pukulan yang juga bisa menyakiti badan. Takut sakit hati karena cercaan orang lain memang bukan hal yang dosa dan pelakunya bukan pelanggar aturan agama. Akan tetapi perasaan ngersulo dan sambat-sambat akibat sakit hati dan memaksa dia melakukan hal-hal yang melanggar norma-norma agama akibat rasa sakit dari cacian orang lain tersebut inilah yang sangat dilarang oleh agama.
Memang.. Kesempurnaan sebuah kesungguhan hati terhadap Allah (as-shidqu) adalah ketika seseorang itu tidak membedakan antara pujian dan cacian orang lain. Karena dirinya sangat menyadari bahwa yang bisa memberi kemanfaatan dan kemudlorotan hanyalah Allah saja. Manusia adalah makhluq lemah yang tidak bisa memberikan apa-apa.
Sejujurnya ini bukanlah hal yang mudah dilakukan. Sangat jarang sekali orang yang mampu menanggungnya. Karena pada realitasnya mayoritas watak dan karakter manusia itu sangat benci cacian dan suka pujian. Ketika seseorang dicaci, dia akan merasa punya kekurangan, dan ketika dia puji maka dia akan merasa punya banyak kelebihan. Padahal tidak jarang pula cacian yang pada hakekatnya adalah merupakan pujian. Yaitu ketika itu dilakukan oleh seorang yang waskitho kepada Allah. Karena mereka adalah saksi-saksi Allah. Cacian mereka berarti pula cacian Allah swt. dari kekurangannya dalam masalah agama. Kesusahan yang dibenci agama adalah bila itu timbul akibat dirinya tidak mendapatkan pujian dari orang lain.
sumber:http://langitan.net/?p=7
Nabi SAW:مَنْ صَلَّى عَلَيَّ فِي كِتَابٍ لَمْ تَزَلِ الْمَلَائِكَةُ تَسْنَغْفِرُ لَهُ مَا دَامَ اسْمِي فِي ذَلِكَ الْكِتَابِ (Barang siapa menulis sholawat kpdku dlm sebtah buku, maka para malaikat selalu memohonkan ampun kpd Alloh pd org itu selama namaku masih tertulis dlm buku itu). اَلتَّحِيَّاتُ الْمُبَارَكَاتُ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ لِلّٰهِ اَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ اَلسَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar