ABDUL HAMID MUDJIB HAMID BERSHOLAWAT

Minggu, 15 Juli 2018

Raden Abdul Djabbar (Bhuju' Napo) Napo Laok, Omben, Sampang Madura Bin Sayyid Raden Zainal Abidin / Pangeran Muhammad Khotib Mantoh Polagan Madegan Sampang Madura..Al-Fatihah...


*Raden Abdul Djabbar (Bhuju' Napo) Napo Laok, Omben, Sampang Madura Bin Sayyid Raden Zainal Abidin / Pangeran Muhammad Khotib Mantoh Polagan Madegan Sampang Madura..Al-Fatihah...
*Raden Abdul Djabbar (Bhuju' Napo) Napo Laok, Omben, Sampang Madura Bin Sayyid Raden Zainal Abidin / Pangeran Muhammad Khotib Mantoh Polagan Madegan Sampang Madura*:
===========
Dikisahkan bahwa Ayahanda Bhuju' Nepa / Syeikh Yusuf Abdulloh Munif/ Abdulloh Nepa adalah Bhuju' Napo yang bernama: Raden Abdul Djabbar yang menjadi salah satu murid Bhuju' Aji Gunung yang berilmu tinggi dan termasuk Wali Besar Alloh Yang Maha Besar.

Bhuju' Napo dikisahkan juga perbah mengambil Al-Qur'an si Jimat yang ada di Mekkah Al-Mukarromah, disamping itu ada kisah lain, bahwa Bhujuk Napo mengambil Al-Qur'an si Jimat itu ke Kabupaten Bangkalan, hal mana waktu itu  Bhuju' Aji Gunung Sampang hendak melaksanakan sholat maghrib berjama'ah bersama santrinya, yang berjumlah 40 santri.

Lalu Buju' Aji Gunung memerintahkan kepada santrinya, siapakah diantara santrinya yang bisa mengambil Al-Qur'an si jimat ke Bangkalan, tapi dengan syarat bahwa Al-Qur'an tersebut harus dipasrahkan atau diberikan kepada Bhuju' Aji Gunung setelah sholat maghrib.

Akan tetapi ke-40 santrinya tersebut tidak ada yang sanggup untuk mengabulkan permintaan Sang Guru tersebut, sehingga pada akhirnya Bhuju' Aji Gunung berinisiatif dengan mengambil keputusan dengan cara memerintahkan untuk memanggil Salah satu muridnya yaitu : Raden Abdul Djabbar (Buju' Napo) yang pada waktu itu berada di belakang pondok pesantrennya sedang menggembala kambing gurunya yaitu: Bhuju' Aji Gunung.

Singkat kisah bahwa ketika Bhuju' Napo diperintahkan gurunya untuk mengambil Al-Qur'an si Jimat itu yang ada di Bangkalan, maka Bhuju' Napo mengajukan permintaan kepada Sang Guru, supaya membakar pohon kettan hitam ( romanah etem : bahasa maduranya).

Maka permintaan Bhuju' Napo tersebut dikabulkan Sang Guru sesuai permintaan Bhuju' Napo. Lalu dibakarlah pohon kettan hitam tersebut oleh Sang Guru.

Nah, pada saat pohon kettan hitam itu dibakar, seketika itu pula Bhuju' Napo menghilang berbarengan dengan mengikuti asap pembakaran pohon kettan hitam tersebut.

Kemudian pada proses selanjutnya ketika Sang Guru telah selesai menunaikan sholat maghrib, maka Bhuju' Napo memberikan dan menserah-terimakan Al-Qur'an si Jimat tersebut kepada Sang Guru sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Sang Guru Bhuju' Aji Gunung. Wallohu A'lam.

Ada kisah lain, bahwa ketika Bhuju' Napo akan berangkat melaksanakan ibadah haji,  Bhuju' Napo menanam biji mangga terlebih dahulu sebelum beliau berangkat ibadah haji.

Kemudian singkat kisahnya bahwa setelah beliau pulang dari mekkah dalam rangka melaksanakan ibadah haji tersebut, Bhuju' Napo sudah bisa memetik, memanen dan mengambil buah mangga yang pernah ditanamnya pada saat sebelum berangkat haji itu. Subhanalloh....!!!

Adapun biji mangga tersebut hingga saat ini masih ada dan diabadikan sebagai salah satu bukti sejarah dan manaqib beliau.

Dikisahkan pula dalam kisah lain bahwa ketika Bhuju' Napo mengambil Al-Qur'an si Jimat itu, bahwa mengambilnya bukan ke Bangkalan, tapi ke Mekkah Al-Mukarromah. Kisahnya bahwa bagi Bhuju' Napo perjalanan beliau ke Mekkah sungguh sangat menyenanfkan dan mengasikkan. Bagaimana tidak, dimana dikisahkan bahwa perjalanan beliau ke Mekkah tersebut dengan menaiki raja ikan yaitu ikan paus.

Menurut cerita tutur, bahwa ikan paus itu bernama Raja Menah. Lanjut cerita bahwa dengan idzin dan kuasa Alloh SWT, si raja ikan itu menghampiri Bhuju' Napo yang pada saat itu beliau berada di tepi pantai, sehingga dengan adanya si raja ikan yang menghampirinya itu, maka beliau menaiki raja ikan tersebut hingga sampailah beliau di tepi pantai di kawasan Arab, hingga pada akhirnya bisa sampai di Mekkah Al-Mukarromah.

Lanjut cerita, bahwa Al-Qur'ab Si Jimat itu dieroleh di Mekkah Al-Mukarromah tersebut. Kemudian setelah Al-Qur'an si Jimat tersebut telah diperolehnya, lalu Bhuju' Napo pergi ke Jabal Nur untuk mengambil sebuah batu yang akan digunakan sebagai kendaraan pulang lagi ke Madura.

Ceritanya bahwa Batu yang dibuat kendaraan beliau itu pada awal mulanya berwarna Hitam, tapi karena seiribg zaman demi zaman, masa ke masa serta sering terkena sinar matahari, maka pada akhirnya batu itu sekarang berubah menjadi warna putih dan bentuknya bundar dengan garis tengah: -+ 0,5 m dengan tebalnya: -+ 15 cm.

Diceritakan bahwa batu itu dinaiki beliau, lalu bisa terbang dengan tanpa diketahui oleh siapapun dan dalam waktu yang sangat singkat saja, lalu beliau sudah bisa sampai di Sampang Madura.

Maka setibanya beliau kembali sampai di Sampang, lalu Al-Qur'an si Jimat itu, langsung diserahkan dan diberikan kepada Sang Guru Tercinta : Bhuju' Aji Gunung sampang Madura, dan Sang Guru Tercintanya-pun menerimanya dengan penuh senang senang hati, lalu batu yang dikendarainya itu dilemparkan oleh Sang Guru ke arah timur daya, dimana dikisahkan bahwa secara kebetulan batu itu jatuh di suatu kampung dan terkena pada sebatang pohon besar. Lalu pohon besar itu patah berkeping-keping, kemudian pada akhirnya menjadi kering dan lapuk/ lapok, dimana masyarakat sekitar itu biasa menyebutnya dengan "TANAPO" (bahasa : madura).

Dicerikan lagi bahwa bermula dan berasal dari sebab kejadian diatas itulah, maka kampung tersebut dinamakan : *TANAPO*, yang  diperpendek menjadi *"NAPO".*

Perlu diketahui bahwa Desa Napo itu dahulu kala adalah menjadi Desa Mardikan, yaitu desa yang bebas bayar pajak pada zaman Cakraningrat II, raja bagian barat Madura.

Adapun kisah dibebaskannya bayar pajak tersebut disebabkan karena Bhuju' Napo pernah berjasa besar terhadap Pangeran Cakraningrat II pada waktu disekap dan ditahan di Hutan Ludoyo Kediri oleh Pangeran Trunojoyo, akibat tipu daya dan tipu muslihat Raja Mataram pada waktu itu.

Kemudian setelah Pangeran Cakraningrat II kembali ke Madura setelah kondisi aman terkendali, maka Pangeran Cakraningrat II tersebut membalas budi dengan memberikan hadiah Desa Mardikan terhadap Kiai Napo (Bhuju' Napo) yang betbama: Raden Abdul Djabbar (Bhuju' Napo) yang masih Dzurriyyah keturunan pancer laki : Raden Muhammad Ainul Yaqin Kanjeng Sunan Giri dari jalur putranya Kanjeng Sunan Giri yang bernama: Raden Muhammad Ali / Panembahan Kulon/ Sunan Kulon Ratu Ing Mataram/ Raden Prabu/ Raden Prabu Tangkisari, yang berputra Sayyid Raden Zaibal Abidin/ Pangeran Khotib Mantoh, yang berputra: Raden Abdul Djabbar (Bhuju' Napo) Napo Laok, Omben Sampang Madura.

Perlu dimaklumi bahwa Hingga saat ini, batu yang pernah dikendarai oleh Bhuju' Napo tersebut, hingga sekarang masih ada dan disimpan di Musholla (samping Masjid Napo) dan beberapa pusaka peninggalan lainnya milik Bhuju' Napo masih lengkap dan terawat, dimana diceritakan juga bahwa sebagian peninggalannya itu pernah digunakan untuk jihad fi sabilillah/ berjuang melawan penjajah Belanda. Wallohu A'lam. Semoga kita semua memperoleh barokahnya Bhuju' Napo, Aaamiiin.

Al-Fatihah...






















Tidak ada komentar:

Posting Komentar