*BIOGRAFI BUNGA RAMPAI KISAH LELUHUR MBAH THOYYIB – SYARIFAH*
*MANYARAN – BANYAKAN*
===============
Senyampang masih diingat oleh penulis tentang penggalan-penggalan kisah leluhur dimasa lalu seperti dituturkan oleh putra putrinya dan juga pihak lain kepada penulis disaat mereka masih hidup. Kisah itu disampaikan berulangkali dari narasumber yang berbeda dan saling melengkapi diantara mereka tentang leluhurnya. Bahkan kisah diantara mereka sendiri yang menurut penulis layak dipercaya/dijamin kebenarannya. Penuturannya tidak sistematis dan tidak dalam suasana khusus, berupa penggalan dan tidak menyeluruh/lengkap, sehingga tidak terdapat muatan kepentingan/tendensius.
Penulis memang banyak memiliki kesempatan bersama mereka sebagai sumber berita/cerita atau paling tidak ketika diajak menyertainya dalam suatu acara atau bepergian. Dimintanya untuk mendampingi mereka karena memang penulis ada kedekatan secara batiniyah (Jawa: digemateni/disayang). Suatu hal yang wajar, karena posisi penulis adalah cucu laki-laki tertua usianya di lingkungan keluarga/domisili di Manyaran, dan juga putra dari adik terkecil (ragil) sedangkan suaminya adalah teman akrab ketika dipondok Klumpit Nganjuk. Kesempatan bersama para narasumber tersebut karena sedari kecil hingga dewasa tinggal dirumah atau banyak dilingkungan domisili leluhur (Manyaran): mengaji, sekolah, juga madrasah malam, dan terkadang diajak menghadiri undangan tetangga.
Perlu diketahui bahwa kisah ini jauh dari lengkap/seutuhnya tentang biografi leluhur, dan berharap kelengkapannya barangkali bisa diperoleh dari penuturan narasumber yang lain yang berkompeten dan memadai/kredibel.
Inilah penuturan kisah leluhur KH Toyib – Syarifah:
I). Mbah Toyib kecil, bernama Djoremi atau Khoiron (diucapkan mbah Qodir: Kaeran) Beliau disebut juga oleh Mbah Wakid (Manyaran Kulon) bernama Badjuri, begitulah yang diingat oleh penulis. Tetapi Nama yang lebih dikenal adalah H. Toyib. Beliau putra dari ayah (Mbah Suryan) yang berdomisili di Desa Mrican (lokasinya sebelah Barat Pasar Mrican), yang didesanya diberi kepercayaan sebagai modin oleh masyarakat, suatu posisi yang mengindikasikan sebagai ahli di bidang agama (Kyai ndeso) Istri beliau berasal dari Desa Gayam Kec Mojoroto, (tdk diketahui namanya), sedang ayah Mbah Suryan bernama Mbah Kasan Tuwo, sang perintis/cikal bakalnya Dinasti Manyaran. (Wafat dan dikuburkan di belakang masjid). Kedatangan Mbah Toyib di Desa Manyaran (menetap), lantaran diambil anak angkat (dipupu) oleh kakak perempuan/mbakyu ayahnya sendiri, yang dikenali dengan sebutan Mbah Menggik, yang saat itu masih belum juga dikaruniai anak / momongan dalam pernikahannya (suaminya bernama Mbah Kasan Anom), padahal perkawinannya sudah cukup lama (mandul). Mbah Toyib dibawa ke Manyaran semenjak kecil / balita, dan amat disayang oleh suaminya, diajari mengaji, kemudian di pondokkan juga/pergi mengaji kepondok Kyai Jawahir di Desa Suruh Ngronggot.
Mbah Qodir melanjutkan kisahnya, seperti juga dituturkan mbah Yasin, bahwa mbah Kasan Anomlah yang merintis pengajian/pengajaran agama di Manyaran, yang kemudian mendirikan pondok sebagai tempat penginapan santri. Karena itulah Djoremi kelak diharapkan bisa mengaji dan membantu mengajar, kemudian melanjutkannya setelah beliau wafat nanti. Ketika berada dipondok ada peristiwa penting, bahwa suatu hari Djoremi bersama dengan teman-temannya bersantai sesudah sholat Jum’at sambil menikmati mengisap rokok buatan sendiri (ting we=nglinting dewe), tiba-tiba datang di tengah mereka gadis kecil putri kyainya, merengek memaksa untuk dibuatkan rokok seperti yang dihisap para santri tersebut, maka demi menyayangi putri kyainya itu, akhirnya dibuatkan juga oleh Djoremi (terpaksa), dinyalakan, diisapnya entah berapa kali menirukan gayanya santri, sesudah itu lalu pulang kerumah. Tidak disangkanya setelah beberapa lamanya terjadi kegemparan dirumah kyainya itu, karena gadis kecil tersebut jatuh sakit pusing kepalanya (jawa: mendem), lalu beramai-ramai diupayakan penyembuhannya. Peristiwa tragis tersebut membuat para santri ketakutan terutama Djoremi sang pembuat rokok tingwe tersebut.
Setelah melewati masa yang cukup lama/bertahun tahun dipondok tersebut, maka ibunya angkat (mbah Menggik) meminta agar Djoremi pulang/ boyong, untuk hidup bersama dirumah saja, sembari membantu mengurus pekerjaan dan mengajar ngaji. Tetapi Djoremi belum ingin pulang/boyong meninggalkan pondoknya. Dari sebab itulah maka mbah Menggik menyatakan kepada Djoremi bahwa seluruh harta kekayaannya diserahkan kepadanya dan dibuat segel/resmi diberikan (hibah), dengan syarat mau pulang dan mengajar ngaji/meneruskan pondok rintisan suaminya tersebut. Karena sampai akhir hayat suaminya tak juga dikaruniai putra seorangpun. (Tidak diceritakan meninggalnya mbah Kasan Anom). Selanjutnya setelah sekian lama dirumah, mbah Menggik menyuruhnya pergi haji dan sepulangnya berganti Nama Haji Toyib (Nama Mekkah) atau H Bajuri (Nama Madinah). Kemudian beliau juga mengurus pertanian dan lembu peliharaannya, bahkan memiliki cikar/pedati untuk digunakan mengangkut hasil panen. Diceritakan mbah Yasin bahwa mbah Menggik itu wanita yang murah hati dan janda kaya waktu itu, terbukti memiliki saw ah dan lahan pertanian, kebun yang luas sekali sebagaimana yang berada disekeliling rumah dengan tanaman beraneka ragam. Selanjutnya mbah Toyib berumah tangga dengan wanita bernama Syarifah, tidak lain adalah putri kyainya, yang waktu kecilnya pernah dibuatkan rokok tingwe dan mabuk / mendem (jawa). Istrinya dibawa/ikut dan tinggal di Manyaran. Masih penuturan mbah Qodir, bahwa waktu pergi menikah itu, beliau pergi sendirian tanpa pengiring/rombongan dan naik kereta api, turun distasiun Minggiran lalu menyeberang naik perahu gethek/nambang dan sampailah di desa Suruh tempat mertuanya, yang juga tempatnya mondok/nyantri dahulu.
Menurut penuturan mbah Wakid (Manyaran kulon) bahwa postur mbah Toyib itu agak pendek dan gempal, sedang istrinya tinggi, besar dan cantik. Mbah Bin menuturkan bahwa kecantikan mbah Syarifah itu didengar masyarakat desa Manyaran, sehingga banyak orang ingin menyaksikannya, termasuk mbok Sariyem (ibunya mbok Tukinah/pembantunya). Diceritakan bahwa ketika dia ingin menyaksikan kecantikannya itu, dia mengendap-endap bertandang disekitar rumah beliau, barangkali mbah Syarifah itu keluar rumah dan bisa melihatnya. Begitu cerita mbok Tukinah kepada mbah Bin dan diceritakan pula kepada penulis. Selain itu masyarakat Manyaran umumnya sangat menghormati kepada keluarga mbah Toyib, selain sebagai kyai, juga karena memang dari dulunya/leluhurnya juga kyai (mbah Kasan tuwo dan mbah Kasan Anom). Beliau juga dipandang sebagai orang sesepuh dan juga kaya yang pada umumnya disegani, apalagi dari kepribadiannya dipandang sebagai panutan. Dari pernikahan mbah Toyib dengan mbah Syarifah tersebut dikaruniai 7 orang anak (4 laki dan 3 perempuan) namun yang sulung meninggal muda/belum berumah tangga. Mbah Toyib pun meninggal dalam usianya relatif muda, sehingga anaknya masih kecil-kecil, bahkan anak bungsunya (Mbah Bin) masih didalam kandungan ibunya, dalam usia 3 bulan.
Menurut penuturan mbah Yasin, sewaktu jenazah mbah Toyib akan diberangkatkan kekuburan, mbah Syarifah tampil tegar ditengah para pelayat dan menyatakan bahwa dirinya sedang hamil/agar tidak menimbulkan prasangka buruk pihak lain sesudahnya. Dan setelah menjadi janda muda, kakak kandungnya (mbah kyai Ibrohim) sering mengunjungi, bahkan saking gematinya dengan adiknya itu, kalau sedang bermalam di Manyaran, apabila tidur malam bersama adiknya dan dikeloni (jawa), bahkan pernah disarankan supaya kembali pulang saja kerumah orang tua di Suruh, karena disini sepi/hanya ada satu rumah saja ditengah perkebunan nan luas, dinaungi pepohonan nan rimbun (dikatakan layaknya seperti sudhung/rumahnya babi hutan), akan tetapi mbah Syarifah dengan santun menolaknya, beliau katakan: bagaimanapun berada dirumah suaminya sendiri, dan siap untuk membesarkan anak-anaknya disini. Pernah terjadi suatu malam rumahnya didatangi maling/pencuri dengan cara melubangi tembok, tetapi sampai pagi -subuh- baru berlobang sebesar cawan (jawa: lepek) dan tidak bisa memasuki rumah. Dituturkan mbah Bin juga oleh mbah Yasin, bahwa setiap malam mbah Syarifah selalu terjaga semalaman sambil membaca doa-doa, wiridan, setelah solat malam sehingga selalu saja terdengar suara orang di dalam rumahnya (jawa: gremeng) dan penjahatpun tak berani melancarkan aksinya. Pernah juga tutur mbah Yasin, pencuri masuk dapur dan mengambil yang ditemukan, berupa nasi dan dimakan sekalian disitu. Masa demikian cukup lama sampai kemudian anak-anaknya tumbuh remaja, bersekolah/pergi mondok, dewasa, dan berumah tangga. Demikianlah riyadloh beliau semenjak ditinggal wafat su aminya dengan beban 6 orang anak masih keci- kecil.
II) Mbah Syarifah, adalah putra mbah kyai Jawahir bin Yusuf, yang tinggal di dsn. Suruh Desa Tanjungkalang Ngronggot. Nasab dari bapaknya bersambung dengan Keluarga besar Banjarmlati Kota Kediri. Saudaranya 6 orang, termasuk 2 orang yang berbeda ibu. Dalam kisahnya mbah Syarifah masa kecil memiliki watak pemberani, tidak ada rasa takut menghadapi apa dan siapa saja dan pandai berbicara/vocal . Rupanya ayahnya memahami watak putrinya tersebut dan membiarkan tumbuh dengan pembawaannya itu, dan tidak dikekang dengan ketat layaknya wanita. Mbah Bin dan yang lain bercerita sama, akan kepribadian mbah Syarifah, dimasa kecil hingga memasuki remaja bahkan ayahnya juga tidak terlalu menuntut soal mengaji, kecuali sholat. Dimasa kecil memiliki teman bermain yaitu saudaranya sendiri bernama mbah Abbas dan mbah Mahfudz (panggil Pul) dan kesukaannya bermain, pergi kemana-mana, nonton wayang, nonton keramaian, dan pernah bepergian ke kota dengan jalan kaki bertiga dari rumahnya di Suruh (jaraknya lebih 15 km), padahal masih terbilang anak-anak. Mbah Abbas (Mojoroto) dan mbah Pul (Manukan) masa kecilnya ikut tinggal dirumah mbah Jawahir karena mengungsi dan ditampung di Suruh bersama keluarganya. Dipilihnya Suruh, karena mbah Jawahir termasuk orang tua sabar, mampu menampung saudara yang kesusahan/ kesulitan kehidupan, dan seorang kyai juga.
Mbah Yasin juga berkisah bahwa mbah Syarifah itu tidak takut dengan sapi yang dibilang sapi galak, sehingga pernah ketika masih kecil mendekati sapi akan memegang kepalanya,tiba-tiba sapinya bereaksi memutar kepalanya (nggobik) dan tanduknya mengenai dahi mbah Syarifah sehingga luka dan bekasnya masih tampak sewaktu beliau tua. Belaiu tergolong wanita tomboy (agak nekat/nakal) atau tidak begitu peduli apa kata orang atas apa yang dilakukan prilakunya (menyimpang kebiasaan tatanan hidup umunya wanita). Suatu hari tutur mbah Bin, ketika mbah Syarifah sudah remaja putri, ada saudaranya (wanita sudah setengah tua) yang biasa bekerja dan membantu dirumah ayahnya, menasehati: Katanya, “nduk kowe bocah ayu, nek lungo-lungo wae, piye engko nek di pek bojo londo, digowo nyang negarane kono, mbok ora seneng lungo-lungo/dolan”. Rupanya nasehat itu masuk dihatinya, dan akibatnya merasa ketakutan bepergian, dan mulailah banyak dirumah lalu mulailah mau mengaji, sampai kemudian tiba waktunya untuk dinikahkan oleh orang tuanya. Maka kemudian ikut suami dan tinggallah di Manyaran bersama dengan mertuanya (mbah Menggik), dan memulai babak baru menjalani kehidupan berkeluarga hinga akhir hayatnya.
Sesudah sepuh mbah Syarifah mempunyai kebiasaan suka bersilaturrohim kepada sanak/saudara keluarga/dan juga kyai, karena para kyai di Kediri umunya masih punya hubungan kekerabatan dan merekapun mengetahui benar tentang mbah Syarifah. Beliau juga suka menjamu tamu/memberi makan, dan membantu kepada saudara yang mengalami kesulitan hidup (murah hati), beliau senantiasa berpesan agar menjaga harga diri termasuk tidak boleh toma’ (kalau bepergian makan dahulu agar tidak mengharap pemberian orang, tidak rakus, sekalipun diundang ketempat orang punya hajat.
Demikianlah yang bisa disajikan oleh penulis, tentang mbah Toyib dan mbah Syarifah, leluhur dari dinasti Manyaran, yang kini mengadakan halal bihalal/reuni dzurriyah Bani Toyib-Syarifah
Menyusul kisah para putra putrinya insyaAlloh, yang akan disusun dan sedang dihimpun oleh penulis, semoga terlaksana pada masa yang akan dating dalam momentum yang lainnya. Amin. Al-Fatihah...
Sumber:http://banitoyyibmanyaran.blogspot.co.id/2011/08/cerita-cinta-dari-manyaran-sejarah.html?m=1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar