ABDUL HAMID MUDJIB HAMID BERSHOLAWAT

Jumat, 27 Oktober 2017

Manaqib Al-Imam Isa Ar-Rumi bin Muhammad Annqib bin Ali al-Uraidhi bin Imam Ja’far al-Shaddiq:


Manaqib Al-Imam Isa Ar-Rumi bin Muhammad Annqib bin Ali al-Uraidhi bin Imam Ja’far al-Shaddiq:

 
===========================

Abu Muhammad Isa ArRumi bin Muhammad Annqib bin Ali al-Uraidhi bin Imam Ja’far al-Shaddiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib.[1] Beliau seorang imam besar ilmu agama, dibesarkan dan dididik ilmu hadits, ilmu fiqih dan ilmu agama lain oleh ayahnya Imam Muhammad bin Ali al-Uraidhi.
Imam Isa bin Muhammad mempunyai kulit berwarna putih kemerah-merahan yang merupakan sebaik-baiknya warna, sebagaimana perkataan Imam Ali bahwa warna kulit Rasulullah adalah putih kemerah-merahan.[2]
Beliau juga dinamakan al-Rumi dan al-Naqib[3], karena beliau mempunyai rupa putih kemerah-merahan seperti pria yang berasal dari negeri Rum, sedangkan sebutan al-Naqib disebabkan kedudukannya sebagai pemimpin para kaum syarif yang selalu menjaga dan menjamin keamanan kaumnya, nama beliau juga merupakan nama salah satu nabi yaitu nabi Isa alaihi salam. Adapun gelar yang lain yaitu al-Azraq, karena beliau mempunyai mata yang berwarna biru. Imam Isa bin Muhammad wafat sekitar tahun 270 hijriyah di Basrah, Iraq.[4]Imam al-Rumi dikaruniai tiga puluh orang anak laki-laki dan lima orang anak perempuan, diantaranya adalah Imam Ahmad al-Muhajir yang merupakan nenek moyang kaum Alawiyin di Hadramaut. Adapun anak laki-laki Imam Isa al-Rummi adalah :[5]
a. Abdullah, Abdurahman, Abdullah al-Akbar, Abdullah al-Ahwal, Abdullah al-Asghor, Daud, Yahya, Ali, Abbas, Yusuf, Hamzah, Sulaiman. Mereka tidak mempunyai keturunan.
b. Ismail, Zaid, Qasim, Hamzah, Harun, Yahya, Ali, Musa, Ibrahim, Ja’far, Ali al- Asghor, Ishaq, Husin, Abdullah, Muhammad, Isa,Ahmad al-Muhajir.
Pemberontakan Zinji.
Pemberontakan Zinj dimulai tahun 255 hijriyah pada masa khalifah Abbasiyah al-Muhtadi, yang dilakukan oleh orang-orang Zinj[6], yaitu sekelompok budak asal Afrika, yang menimbulkan rasa takut dan ancaman terhadap pemerintahan Abbasiyah selama lebih dari empat belas tahun. Mereka dipimpin oleh seorang lelaki asal Persia bernama Ali bin Muhammad, seorang yang berasal dari keluarga Thalifan. Dia mengaku bahwa dirinya adalah keturunan Ali Zainal Abidin bin Husein. Di samping itu, dia juga mengaku mengetahui yang ghaib dan mendapat karunia kenabian serta secara terang-terangan mengaku beraqidah sebagaimana aqidah orang-orang Khawarij.
Strategi yang diambil Ali bin Muhammad adalah menyerukan pembebasan budak. Maka, banyaklah orang yang bergabung dengannya sehingga pengaruhnya semakin besar. Dia datang ke Iraq dan Bahrain kemudian menuju Baghdad pada tahun 254 hijriyah. Dia membangun sebuah kota untuknya yang dinamakan al-Mukhtarah (Selatan Baghdad). Pasukannya menyebar di Iraq, Khazastan, dan Bahrain. Mereka menguasai kapal-kapal jamaah haji.
Setiap memasuki sebuah kota, mereka akan menghancurkan kota itu dan membunuh semua penduduknya. Dalam beberapa kali peperangan mereka berhasil menang terhadap pasukan Abbasiyah. Bahkan, mereka mampu menguasai Ablah sebuah kota di Persia, demikian pula dengan Ahwaz, Abadan, Basrah pada tahun 257 hijriyah dan Wasith pada tahun 267 hijriyah.
Maka khalifah Bani Abbasiyah al-Mu’tamid keluar dan langsung memimpin pasukannya. Dia berhasil mengusir mereka dari Ahwaz. Kemudian al-Mu’tamid mengepung al-Mukhtarah dan berhasil membunuh pemimpinnya yang keji. Sementara itu, orang-orang yang selama ini bersamanya meninggalkannya. Pemberontakan ini berakhir pada tahun 270 hijriyah. Menurut riwayat Ibnu Thabathaba al-Fajri, peperangan ini menelan korban sebanyak dua juta lima ratus orang. Sedangkan menurut Imam al-Suyuthi dalam Tarikh al-Khulafa halaman 224, korban yang jatuh adalah satu setengah juta.[7]
Gerakan Qaramithah.
Qaramithah berawal dari nama Hamdan Qarmath yang menjadi pendiri golongan ini. Tujuannya dalam bidang kemasyarakatan ialah untuk membangun satu masyarakat yang mengarah kepada kebersamaan dan keadilan yang didasarkan pada persamaan. Sedang tujuannya dalam gerakan politik ialah mendukung dinasti Fathimiyah.[8]
Gerakan Qaramithah lahir diawali oleh pemberontakan yang dilakukan Hamdan Qarmath di luar kota Wasith setelah berakhirnya pemberontakan Zanj. Dia memimpin gerakan ini di Kufah pada tahun 277 hijriyah. Gerakan mereka meluas hingga ke Syam, Iraq, Yaman dan Hijaz. Pada tahun 283 hijriyah gerombolan ini bergerak menuju Basrah di pimpin oleh Abu Said al-Janabi. Tapi gubernurnya, Ahmad al-Watsiqi, sudah membentengi kota itu dengan tembok yang kuat. Ia mengirim pasukan yang kuat untuk menghadapi pasukan Abu Said di luar kota. Pasukan Abu Said berhasil dihancurkan, dan Abu said mati terbunuh dalam pertempuran itu. Setelah Abu Said al-Janabi tewas, ia diganti oleh puteranya Sulaiman yang terkenal dengan Abu Thahir. Di bawah pimpinannya, gerakan Qaramithah menjadi lebih kuat, banyak qabilah Arab masuk di dalam barisannya. Pada tahun 307 hijriyah pasukan Sulaiman menyerang dan menduduki Basrah, gerakan ini melakukan pembantaian besar-besaran. Di kota inilah pasukannya melakukan segala tindakan kejahatan, membunuh, merampas harta benda dan memperkosa.[9] Di Bahrain, ia membangun kota Ahsa, untuk dijadikan ibukota pemerintahannya.
Tahun 317 hijriyah, Abu Thahir menyerang kota Mekkah, membunuh jamaah haji secara kejam dan merampas harta benda mereka. Ia menyerbu Ka’bah dan menanggalkan kiswah (kain penutup)nya. Ia perintahkan supaya kiswah itu dibagikan kepada sahabatnya. Abu Thahir juga memindahkan Hajar al-Aswad ke Ahsa, dan dikembalikan ke Mekkah setelah dua puluh tahun berada di Ahsa, atas perintah dinasti Fathimiyah.
Pada tahun 462 hijriyah Abdullah Uyuni berhasil menang atas pasukan Qaramithah berkat bantuan pemerintahan Bani Abbasiyah dan orang-orang Saljuk. Maka, diusirlah mereka dari Bahrain. Akhirnya, terjadilah perang parit di Ahsa dan mereka dapat dikalahkan oleh al-Uyuni. Selanjutnya pemerintahan digantikan oleh Bani Uyuniyah.
BasrahKhasanah al-Arab.
Kota Basrah dibangun pada tahun 16 hijriyah pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Khattab, setelah wilayah Iraq dikuasai oleh tentara Islam di bawah pimpinan Sa’ad bin Abi Waqqas tahun 15 hijriyah. Lokasi pembangunan kota Basrah ditetapkan sendiri oleh khalifah Umar di daerah Kharibah yang berdekatan dengan kota pelabuhan Ubullah di teluk Persia. Arsitekturnya dipercayakan kepada Utbah bin Gazwan yang memperkerjakan delapan ratus pekerja. Utbah menamakan kota yang dibangunnya itu menurut nama bahan yang digunakan untuk membangun kota itu, yaitu al-Basrah, sejenis kain putih.
Selama pemerintahan khalifah Umar, Basrah menjadi markas tentara Islam. Umat Islam kota Basra dan kota Kufah berjasa menaklukkan daerah-daerah Persia, Khurasan dan Samarkand pada masa Umar dan sesudahnya. Dalam perkembangannya, setelah banyak didatangi para pedagang, Basrah menjadi pusat perdagangan, baik pada masakhulafa’ al-Rasyidin berikutnya, maupun pada masa dinasti Umayah dan Abbasiyah.
Untuk mengajarkan Islam kepada penduduk Basrah, khalifah Umar mengirimkan ulama-ulama dari Madinah ke kota itu, antara lain Abu Musa al-Asy’ari. Sejak itu sampai di masa pemerintahan Umayah dan Abbasiyah, Basrah menjadi salah satu pusat pendidikan di dunia Islam. Para siswa berdatangan ke kota itu untuk mempelajari berbagai cabang ilmu pengetahuan. Kota itu menjadi tempat bertemunya kebudayaan Persia dan Arab. Ketika ilmu pengetahuan dan peradaban Islam mencapai puncak kemajuan dengan berpusat di Baghdad, Basrah menjadi pusat kajian bahasa Arab, sastra dan sains yang penting, serta menjadi tempat berkumpulnya para pujangga Arab, sehingga kota itu disebut khasanah al-Arab.
Sebagai kota ilmu pengetahuan, bahasa dan sastra, kota Basrah telah melahirkan sejumlah ulama, tokoh pemikir dan penyair. Ulama yang terkenal antara lain Amr bin al-Ula, Yunus bin Habib, Isa bin Amr, al-Khalil bin Ahmad bin Amr, dan al-Asmai serta Sibawaihi. Tokoh pemikirnya antara lain Hasan al-Basri dan Wasil bin Atha’. Adapun penyairnya antara lain Farazdaq, Bisyar bin Bard, Muslim bin Wahid dan Abu Nawas.[10]

[1] Muhammad bin Ali al-Khirrid, Op Cit, hal. 334. Dalam kitabSyarh al-Ainiyah halaman 128 diberi gelar Abu al-Husein.
[2]Muhammad bin Abubakar al-Syilli. Op Cit, hal. 78.
[3] Salah satu nama Nabi saw adalah al-Naqib. Hal itu dikarenakan, ketika pemimpin Bani Najjar, Abu Umamah As’ad bin Zararah meninggal dunia, mereka meminta Rasulullah saw sebagai pengganti dan tidak mau menerima orang lain. Nabi saw berkata, ‘Saya adalah pemimpin kamu‘. (Muhammad bin Abubakar al-Syilli,al-Masyra’ al-Rawi, hal 78)
[4] Muhammad bin Ali al-Khirrid, Op Cit, hal. 335.
[5]ِl-Masyhur, Op Cit, hal. 49.
[6] Muhammad Dhiya’ Syahab & Abdullah Bin Nuh. Al-Imam Muhajir, hal. 21.
[7] Ahmad al-Usairy.Sejarah Islam, hal. 250.
[8] Nourouzzaman Shiddiqi. Syi’ah Dan Khawarij, hal. 21.
[9] Abdullah Annan. Gerakan-gerakan Yang Menguncang Islam, hal. 111.
[10] Ensiklopedi Islam, hal 244.
Al-Fatihah...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar