ABDUL HAMID MUDJIB HAMID BERSHOLAWAT

Rabu, 25 Oktober 2017

Kisah Musa bin Ja‘far bin Muhammad bin ‘Ali bin al-Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib ’KRW

*Sufi Di Atasnya Sufi, Siapakah Dia?*

Kawan terharu dan saya merinding saat membaca sebuah kisah, kesaksian dari lisan guru sufi asal Khurasan, Syaqiq bin Ibrahim al-Balkhi. Kisahnya tercatat dalam kitab Shifat al-Shafwah karya Ibnu al-Jauzi (w. 579 H) ulama Sunni bermazhab Hanbali, jilid 1, halaman 125-126.

Syaqiq bin Ibrahim al-Balkhi mengisahkan:

Saya pergi melaksanakan haji pada tahun 249 H. Dalam perjalanan, saya singgah di kota Qadisiyyah bersama rombongan lain. Saya melihat orang-orang ramai dengan perhiasan mereka. Seketika pandanganku tertumpu kepada seorang pemuda yang berwajah tampan. Tubuhnya memakai pakaian yang berkain kasar dan kakinya memakai sendal kayu. Pemuda itu duduk sendirian (tersisih dari keramaian).

Saya berkata dalam diriku bahwa si pemuda berpura-pura hendak menjadi seorang sufi. Ia nanti akan menjadi beban terhadap orang lain. Saya akan mendapatinya, mengujinya, dan mencela atas kepura-puraannya.

Ketika saya mendekatinya, ia berkata, “Wahai Syaqiq”, lalu membaca ayat:

اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ

“Jauhilah kebanyakan prasangka karena sungguh sebagian prasangka merupakan dosa”. (QS. Al-Hujurat, ayat 12)

Lalu ia beranjak meninggalkanku. Saya berkata dalam diriku sungguh kejadian tadi merupakan sebuah perkara besar, luar biasa. Bagaimana mungkin ia berbicara atas apa yang terbetik dalam hatiku? Ia juga menyebut namaku padahal saya tidak pernah bertemu dengannya. Pasti ia di antara hamba yang shalih.

Saya kemudian segera mengejarnya dari belakang, tetapi ia telah hilang dari penglihatanku. Ketika kami singgah di Waqishah, saya bertemu lagi dengan pemuda itu. Ia sedang melaksanakan shalat dalam keadaan anggota badan bergetar dan air matanya mengalir.

Saya lalu duduk di dekatnya, menunggu ia selesai shalat dan dalam hatiku mengatakan bahwa mesti meminta maaf atas kesalahanku (karena mungkin telah membuatnya tersinggung). Setelah shalat, ia menoleh kepadaku sambil berkata, “Wahai Syaqiq”, lalu membaca ayat:

وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِّمَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَى

“Dan sungguh Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, dan beramal shalih, kemudian tetap dijalan yang benar”. (QS. Thaha, ayat 82)

Lalu ia beranjak meninggalkanku lagi. Saya merenung bahwa pemuda itu termasuk dari wali ‘abdal karena ia telah berbicara atas apa yang kusembunyikan dalam hatiku sebanyak dua kali.

Ketika kami berada di Rammala, saya melihatnya lagi. Kali ini ia menuju ke sebuah sumur. Di tangannya ada sebuah teko untuk mengambil air. Karena air dalam sumur agak jauh untuk dijamah, tak disangka teko itu terlepas dari tangannya dan jatuh ke dalam sumur. Lalu saya melihatnya menengadah ke arah langit seraya berkata:

أنت ربي إذا ظمئت من الماء
وقوتي  إذا أردت الطعاما

“Engkau Tuhanku yang kuberharap bila kehausan. Engkau Kekuatan kuberharap bila kelaparan”

Setelah ia berdoa, demi Allah, saya melihat air sumur itu berangsur naik. Pemuda itu lalu mengambil teko yang tadi terlepas dari tangannya. Lalu berwudhu dan melaksanakan shalat empat rakaat. Setelah shalat, ia mengambil segenggam pasir dan dibubuhnya ke dalam teko itu serta diaduk dengan air, kemudian ia meminumnya.

Saya menghampirinya dan mengucapkan salam. Ia pun menjawab salamku. Lalu aku berkata kepadanya, “Berikanlah kepadaku sebagian dari nikmat Allah yang diberikan kepadamu.”

Pemuda itu menjawab,

يا شقيق تزل نعمة الله علينا ظاهرة وباطنة فأحسن ظنك برك

“Wahai Syaqiq, tidak terhitung nikmat Allah yang diberikan-Nya kepada kita, ada nikmat zhahir dan juga nikmat batin. Oleh karenanya, berprasangka baiklah kepada Tuhanmu.”

Pemuda itu memberikanku tekonya dan saya pun meminumnya. Rasanya seperti bubur yang manis. Demi Allah, belum pernah aku merasakan yang lebih lezat dan lebih harum daripada itu. Saya mencicipinya hingga kenyang. Bahkan setelah mencicipi itu, saya merasa tidak ingin makan dan minum hingga beberapa hari.

Kemudian saya tidak melihatnya lagi hingga kami berada di Makkah. Pada suatu malam di Makkah, saya melihatnya di dekat kubah air. Ia sedang melaksanakan shalat saat pertengahan malam dengan khusyuk seraya menangis. Ia tidak beranjak hingga malam berlalu.

Ketika fajar terlihat, ia pun duduk dalam mushalla dan bertasbih kepada Allah. Kemudian setelah melaksanakan shalat Subuh, ia bertawaf mengelilingi Ka‘bah tujuh kali. Setelah itu ia pergi, lalu saya mengikutinya. Di tengah jalan, saya melihat orang-orang mengelilingi pemuda itu dan menyampaikan salam kepadanya.

Saya pun bertanya kepada sebagian orang yang kulihat berada di dekatnya, “Siapakah pemuda itu?” Mereka menjawab, “Ia adalah Musa bin Ja‘far bin Muhammad bin ‘Ali bin al-Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib ’KRW”. Saya berkata, “Saya dibuat terheran, keajaiban itu hanya untuk yang serupa Sayyid ini.”
______________

Referensi:

📕Al-Imam al-‘Alim Jamal al-Din Abi al-Faraj Ibnu al-Jauzi, Shifat al-Shafwah, jilid 1, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1409 H/1989 M), tarjamah no. 191, hal. 125-126.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar