Ka’bah Dan Amaliqah & Jurhum
Sepeninggal Nabi Ibrahim dan Ismail as, Ka’bah diteruskan oleh suku Amaliqah dari Yaman. Dikisahkan pada zaman Amaliqah, Ka’bah hampir tidak ada perombakan pada bangunannya tapi hanya ada perbaikan dari bangunannya yang runtuh dan rusak saja. Karena tidak banyak rujukan yang menguatkan peristiwa ini maka tidak ada yang bisa menerangkan secara rinci hal ihwal bangunan Ka’bah pada masa ini.
Imam Mawardi menerangkan setelah dibangun oleh bangsa Amaliqah, Ka’bah terkena banjir besar dari dataran tinggi Mekah yang mengakibatkan rusaknya dinding Ka’bah meskipun tidak roboh. Suku Jurhum-lah yang kemudian membangunnya kembali seperti sediakala dengan menambah bangunan di luar Ka’bah untuk penahan luapan air bila terjadi banjir kembali
Ka’bah Dan quraisy

Setelah Bangsa Jurhum berlalu, Ka’bah kemudian sampai ke tangan Qushay bin Kilab. Ia adalah seorang pemuka dari suku bangsa Quraisy. Qushay-lah yang pertama kali membangun atap Ka’bah. Ia membuatnya dari kayu dan pelepah kurma. Sepeninggal Qushay, bangsa Quraisy mulai mengurusi Ka’bah. Bangsa Quraisy adalah suku bangsa dan keluarga Nabi saw.
Beberapa tahun sebelum Rasulallah saw diutus menjadi rasul, batu batu dinding Ka’bah bagian atas sudah mulai pecah dan berantakan, lagi pula tingginya tidak terlalu jauh dari ukuran orang berdiri, sehingga mudah bagi orang untuk memanjat lalu mencuri barang barang berharga yang terdapat didalamnya. Bangsa Quraisy berkeinginan untuk meninggikan dinding Ka’bah dan memberikan atap, tapi mereka merasa takut kualat untuk menghacurkanya, hingga Al-Walid bin Al-Mughirah memberanikan diri untuk menghancurkanya. Ketika orang orang melihat ia tidak mengalami apa apa, bangsa Quraisy lainya baru mulai berani menghancurkanya.
Sebelum Rasulallah saw diutus menjadi rasul yang pada saat itu beliau sudah menginjak dewasa, kurang lebih usia beliau pada saat itu 35 tahun, ada seorang wanita membuat percikan api yang mengakibatkan kelambu Ka’bah terbakar dan kemudian api merambat ke seluruh bangunan Ka’bah. Bangsa Quraisy merobohkannya kemudian membangunnya kembali. Di saat akan memasang kembali Hajar Aswad, suku-suku dari bangsa Quraisy terlibat persengketaan, karena mereka pada merasa paling berhak untuk mengambil tugas memasang kembali Hajar Aswad pada posisinya semula. Karena perselisihan tidak bisa diredakan, mereka bermusyawarah di Darun Nadwah membuat qur’ah atau sebuah sayembara siapa yang pertama kali masuk Baitullah dari pintu Bani Syaiba, dialah yang paling berhak untuk meletakkan Hajar Aswad di bangunan Ka’bah.
Subhanallah, dari kuasa Allah yang memenangi sayembara itu ternyata Muhammad putera Abdullah putera Abdul Muthalib (Rasulullah saw). Akan tetapi apa yang dilakukan Rasulallah saw? Apakah beliau sendiri yang memindahkan hajar aswad ke tempatnya? Tidak. Meskipun beliau yang berhak untuk meletakkannya, tapi beliau memutuskan untuk mengerjakan bersama-sama agar masing-masing suku Quraisy tetap merasa dihargai dan memiliki kewenangan yang sama. Dari sinilah Rasulallah saw dikenal sebagai pribadi yang bijaksana dan bisa dipercaya. Beliau segera membentangkan kain yang semua ujungnya dipegang oleh para pimpinan suku Quraisy. Hajar Aswad diletakkan di tengah-tengah kain dan dibawa bersama-sama. Kemudian beliau menempelkan Hajar Aswad tersebut ke tempatnya semula. Pembangunan Ka’bah lalu diteruskan.
Saat itu, Bangsa Quraisy membangun enam tiang di dalam Ka’bah dengan posisi dua jajar. Atas usulan seorang tokoh, Hudzaifah bin Mughirah, Ka’bah ditinggikan pada bagian pintunya. Mughirah ingin agar bangunan Ka’bah dilengkapi dengan tangga dan hanya dimasuki oleh orang-orang yang disukai. Bila ada orang yang tidak disukai ingin masuk ke Ka’bah, masyarakat bisa menolaknya dan berarti Ka’bah akan aman dari orang-orang yang tidak disukai oleh Bangsa Quraisy. Dari usul ini, kemudian ketinggian Ka’bah berubah dari 9 hasta menjadi 18 hasta.
Sejak masa pembangunan oleh Suku Quraisy, bangunan asli Ka’bah yang dibangun oleh Nabi Ibrahim mengalami penyempitan dan bentuknya seperti yang kita lihat sekarang. Penyempitan itu terjadi di daerah Rukun Syami, sehingga membuat Hijir Ismail tidak lagi masuk dalam lingkaran Ka’bah. Hijir Ismail seolah-olah berada di luar bangunan Ka’bah. Hal ini dikuatkan melalui Hadits Rasulallah saw yang diriwatkan oleh an-Nasa’i, Barangsiapa yang ingin melaksanakan shalat di dalam Ka’bah meskipun pintunya ditutup rapat, ia bisa melaksanakannya di dalam Hijir Ismail. Seperti yang diperintahkan Rasulullah saw kepada Siti Aisyah ra (Menyusul kisah Hijir Ismail).