ABDUL HAMID MUDJIB HAMID BERSHOLAWAT

Selasa, 02 Agustus 2011

Kiai Hamid Bukan "Wali Tiban" (Resensi Buku Percik-Percik Keteladanan Kiai Hamid)

Kiai Hamid Bukan "Wali Tiban"
Resensi
=================================
ImageNama Buku : Percik-Percik Keteladanan Kiai Hamid
Penyusun : Hamid Ahmad
Cetakan : 2007
Penerbit : eL-ISLAM Ma’had Salafiyah Pasuruan

Mungkin banyak orang tidak tahu bahwa sahabat Umar Ibnu Khotthob (40 SH - 23 H) itu faqih Mujtahid dan fatwa-fatwanya dibukukan orang dan dikenal sebagai fiqih Umar. Mungkin, juga tak banyak yang tahu bahwa kholifah kedua ini muhtaz (gampangnya wali besar menurut istilah di kita sekarang).



Beliau pernah mengomando pasukan muslimin yang berada di luar negeri cukup dari mimbar di masjid Madinah. Pernah menyurati dan mengancam sungai Nil di Mesir yang banyak tingkah, hingga nurut memberi manfaat manusia tanpa minta imbalan kurban seperti semula sampai sekarang ini.

Sering dengan firasatnya, sahabat Umar menyelamatkan orang. Bahkan kholifah yang pertam-tama dijuluki amirul mukminin ini, pendapatnya sering selaras dengan wahyu yang kemudian turun kepada Rosul SAW. (misalnya pendapat beliau tentang tawanan Badar, tentang pelarangan Khomr, tentang adzan, dan sebagainya). Namun manaqibannya jarang atau mungkin malah tidak pernah dibaca orang.

Umumnya orang hanya mengenal beliau sebagai pemimpin yang al Qowiyul Amin, yang kuat dan amanah. Pemimpin kelas dunia (bahkan Michail Hart memasukkan beliau dalam 100 tokoh paling berpengaruh di dunia) yang sering dielu-elukan sebagai bapak demokrasi yang penuh toleransi.

Boleh jadi juga banyak yang tidak tahu bahwa sahabat Abu Bakar Shiddiq (51 SH - 13 H) adalah waliyulloh paling besar sepanjang zaman. Kebesarannya tampak sekali saat Rosul SAW wafat. Ketika semua orang, bahkan sahabat Umar yang perkasa, terpukul dan panik penuh ketidakpercayaan, sahabat Abu Bakar yang pasti paling sedih dan paling merasa kehilangan dengan wafatnya kekasih agung itu, sedikitpun tidak kelihatan goncang, apalagi kehilanga keseimbangan.

Sahabat nomor wahid itu bahkan masih sempat maengingatkan sahabat Umar dan yang lain tentang firman Allah, Wama Muhammadun Illa Rosul, qod kholat min qoblihir rosul, yaitu bahwa betapun besarnya nabi Muhammad saw dia tetap manusia yang bisa mati. Hanya Allah yang hidup dan tak mati. Man kana ya’budu Muhammadan, Fainna Muhammadan qod maata. Waman ya’budulloha Fainnallah Hayyun la Yamut. kata beliau saat menyadarkan sahabat Umar dan yang lain. Wali mana yang lebih besar sari orang yang telah disebut Rosul SAW sebagai kekasihnya, Abu Bakar Shiddiq ini?

Sebagaimana sahabat Umar, juga jarang yang mengingat bahwa sahabat Abu Bakar juga mujtahid dalam arti yang sesunggguhnya. Umumnya orang hanya mengenal sahabat Abu Bakar sebagai sahabat yang mulya budi bahasanya, negarawan dan kholifah pertama khulafaur rosyidin.

Demikian pula sahabat-sahabat besar yang lain seperti Sayidina Utsman ibnu Affan (47 SH - 35 H) dan Sayidina Ali bin Abi Tholib (W. 40 H), kebanyakan orang hanya mengenal sebagian dari sosok mereka yang paling menonjol; sehingga sisi-sisi kelebihan yang lain bahkan sering terlupakan. Dalam kitabnya Thabaqat al Fuqaha’, Imam Abu Ishaq Asy-Syairazi menempatkan Khulafaur Rasyidin secara berurutan di deretan pertama tokoh-tokoh faqih dunia. Tapi siapakah yang tersadar bahwa tokoh-tokoh khulafa’ itu ahli fiqh juga?

Hal yang sama, dengan pencintraan yang bebeda-beda, terjadi pada tokoh-tokoh berikutnya. Imam Syafi’i (150 -204 H.). misalnya, karena sudah terlanjur beken di bidang fiqh, apalagi menciptakan kaidah fiqh yang sangat jenius dan spektakuler, banyak orang yang lupa bahwa beliau sebenarnya juga menguasai ilmu hadits dan sastrawan yang handal; beliau mempunyai antologi puisi yang kemudian dikenal dengan Diewan Asy Syafi’i. Lebih sedikit lagi yang tahu bahwa Muhammad Ibnu Idris ini juga mengerti tentang musik. Setiap orang berbicara tentang Imam Syafi’i boleh dikata hanya sebagai sosok faqih mujtahid belaka.

Lebih malang lagi adalah Ibnu Taimiyah yang hanya gara-gara kemenonjolannya dalam hal mementang tawwassul, oleh sebagian banyak orang, khususnya pengagum Imam Ghozali ditolak seluruh pemikirannya dan tidak dianggap sebagai Imam yang alim dan mumpuni.

Syeikh Abd. Qodir al Jailani (atau Jieli atau kailani, 470 – 561 H) yang dijuluki Shulthonul Auliyah’, raja para awali, barang kali tak banyak yang mengetahui bahwa beliau sebenarnya menguasai tidak kurang dari 12 ilmu. Beliau mengajar ilmu-ilmu qiraah, Tafsur, hadits, perbandingan madzhab, ushuluddin, uhul fiqh, nahwu, dan lain sebagainya. Beliau berfatwa menurut madzhab Syafi’i dan Hambali. Namun karena orang melihat sosok akhlaqnya yang sangat menonjol, maka orang pun hanya melihatnya sebagai sufi atau wali besar.

Demikianlah umumnya tokoh besar, sering “divonis” harus menjadi “hanya sebagai” atau “dikurangi” kebesarannya oleh citra kebesarannya yang menonjol. Masyarakat tentu sulit diharapkan akan dapat melihat kebesaran seorang tokoh secara utuh, paripurna; karena masyarakatlah yang pertama-tama terperangkap dalam sisi kebesaran yang menonjol dari sang tokoh dan kemudian tidak bisa melepaskan diri. Karena bagi mereka cukuplah apa yang mereka ketahui dari sang tokoh itu sebagai keutuhan kebesarannya itu. Barangkali di sinilah pentingnya buku beografi yang seperti yang sekarang ada di tangan anda. Biografi al-marhum al-maghfurlah KH. Abd. Hamid yang dikenal dengan kiai Hamid Pasuruan ini.

Saya mengenal secara pribadi sosok kiai Hamid, ketika saya masih tergolong remaja, sekitar tahun 60-an. Ketika itu saya dibawa ayah saya, KH. Bisri Musthofa, ke suatu acara di Lasem. Memang sudah menjadi kebiasaan ayah, bila bertemu atau akan bertemu kia-kiai, sedapat mungkin mengajak anak-anaknya untuk diperkenalkan dan dimintai doa restu. Saya kira ini memang merupakan kebiasaan setiap kiai tempo dulu. Waktu itu di samping kiai Hamid, ada Mbah Baidlawi, Mbah Maksum, dan kiai-kiai sepuh lain. Dengan Mbah Baidlawi dan Mbah Maksum, saya sudah sering ketemu, ketika beliau-beliau tindak ke Rembang, atau saya dibawa ayah sowan ke Lasem. Dengan kiai Hamid baru ketika itulah saya melihatnya. Wajahnya sangat rupawan. Seperti banyak kiai, ada rona ke-arab-an dalam wajah rupawan itu. Matanya yang teduh bagai telaga dan mulutnya seperti senantiasa tersenyum, menebarkan pengaruh kedamaian kepada siapapun yang memandangnya.

Ayah saya berkata kepada kiai Hamid, “ini anak saya, Musthofa, sampaean suwuk!” dan tanpa terduga-duga, tiba-tiba, kiai kharismatik itu mencengkram dada saya sambil mengulang-ngulang sura lembut : “Waladush-sholih, sholih! “Waladush-sholih, sholih!”. Telinga saya menangkap ucapan itu bukan sebagai suwuk, tapi cambuk yang selalu terngiang; persis seperti tulisan ayah saya sendiri di notes saya; “Liyakun waladul asasi syiblan la hirratan.” (“Anak sing seharusnya singa, bukan kucing!”). apalagi dalam beberapa kali selanjutnya cengkraman pada dada dan ucapan lembut itu selalu beliau ulang-ulang. Tapi dlam hati, diam-diam saya berharam cambuk itu benar-benar mengandung suwuk, doa restu.

Kemudian ketika saya sering berjumpa dalam berbagai kesempatan, apalagi setelah saya mulai mengenal putra-putra beliau –Gus Nukman. Gus Nashih, Gus Idris-, kiai Hamid pun menjadi salah satu tokoh idola saya yang istimewa. Pengertian idola ini boleh jadi tidak sama persisi dengan apa yang dipahami oleh kebanyakan orang yang mengidolakan beliau. Biasanya orang hanya membicarakan dana mengagumi karomah beliau lalu dari sana, mereka mengharap berkah. Seolah-olah kehadiarana kiai Hamid – Allahu yunawwir dloriihah- hanyalah sebagai ‘pemberi berkah’ kepada mereka yang menghajatkan berkah. Lalu beliau pun dijadikan inspirasi banya santri muda yang melihat dan mendengar karomah beliau ingin menjadi wali dengan jalan pintas. Padahal berkah beliau, paling tidak menurut saya -dengan alasan-alasan yang saya kemukakan melalui kisah-kisah di belakang -lebih dari itu.

Pernah suatu hari saya sowan ke kediaman beliau di Pasuruan. Berkat ‘kolusi’ dengan Gus Nukman, saya bisa mengahadap langsung empat mata di bagian dalam ndalem. Saya melihat manusia yang sangat manusia yang menghargai manusia sebagai manusia. Bayangkan saja; waktu itu ibarat beliau punjernya tanah jawa, dan beliau mentsyjie’ saya agar tidak sungkan duduk sebangku dengan beliau. Ketawadluan, keramahan, dan kebapakan beliau, membuat kesungkanan saya sedikit demi sedikit mencair. Beliau bertanya tentang Rembang dan kabar kabar-kabar orang Rembang yang beliau kenal. Tak ada fatwa-fatwa atau nasehat secara langsung, tapi saya mendapatkan banyak fatwa dan nasehat dalam pertemuan hampir satu jam itu, melalui sikap dan cerita-cerita beliau. Misalnya, beliau menghajar nafsu tamak saya dengan terus-menerus merogoh saku-saku beliau dan mengeluarkan uang seolah-olah siap memberikannya kepada saya (sudah menjadi pengetahuan umum bahwa salah satu ‘hobi’ kiai Hamid adalah membagi-bagikan uang). Atau ketika beliau bercerita tentag kawan Rembangnya yang dapat saya tangkap intinya; setiap manusia mempunyai kelebihan di samping kekurangannya.

Ketika krisis melanda NU di tahun 80-an saya nderekke para rais NU wilayah Jawa Tengah, almarhum Kiai Ahmad Abdul Hamid Kendal, Almarhum Kiai A. Malik Demak, dan Kiai Sahal Mahfudz Kajen, sowan ke kediaman kiai saya. Kiai Ali Ma’sum Krapyak Jogja-Allah yarhamuh- yang waktu itiu Rais ‘Am. kebetulan pada waktu itu Kiai Hamid sudah ada di sana. Seperti biasa seperti nada berkelar, pak Ali-demikian santri-santri Kiai Ali selalu memanggil beliau-berkata kepada Kiai Hamid:” Iki lho Musthofa kandani, seneni!” (“Ini lho Musthofa dinasehati, marahi!”). Memang ketika itu saya sedang ada ‘polemik’ dengan kiai saya yang ‘liberal’ itu. Sekali lagi saya saksikan Kiai Hamid dalam memenuhi permintaan sahabat-karibnya itu dengan kelembutannya yang khas, hanya bercerita. “Saya tidak bisa bernasihat; mau menasihati apa? Tapi saya ingat dulu syaikhuna...” demikian beliau memulai. Dan, masya Allah, dari cerita beliau, semua yang hadir merasa mendapat petuah yang sangat berharga; khususnya bagi kehidupan berorganisasi dan bermasyarakat. Prinsip-prinsip penting organisasi, beliau sampaikan-dengan metode cerita-sama sekali tanpa nada indoktrinasi atau briefing; apalagi menggurui, luar biasa!

Sengaja saya ceritakan beberapa beberapa pengalaman pertemuan saya dengan Kiai Hamid di atas, selain sebagai tahaddus bin- ni’mah, saya ingin menunjukkan bahwa beliau memiliki ‘karomah’ yang lain, yang lain dari pada yang dipahami banyak orang. Sebenarnya buku yang ada di tangan anda, sudah cukup memberikan gambaran agak utuh tentang sosok beliau; khususnya yang berkaitan dengan sifat-sifat keteladanan beliau. Tentang penguasaan ilmu, akhlak, dan perhatian beliau terhadap umat. Pendek kata tentang hal-hal yang di masa kini sudah terbilang langka.

Yang kiranya masih perlu dibeber lebih luas adalah proses yang berlangsung, yang membentuk seorang santri Abdul Mu’thi menjadi Kiai Abdul Hamid. Tentang ketekunan beliau mengasah pikir dengan menimba ilmu; tentang perjuangan beliau mencemerlangkan batin dengan penerapan ilmu dalam amal dan mujahadah; dan kesabaran beliau dalam mencapai kearifan dengan terus belajar dari pergaulan yang luas dan pengalaman yang terhayati. Sehingga menjadi kiai yang mutabahhir, yang karenanya penuh kearifan, pengertian, dan tidak kagetan. Kiai Hamid bukanlah ‘Wali Tiban’, kalau memang ada, tentu berpotensi kontroversial dalam masyarakat. Kiai Hamid tidak demikian. Beliau dianggap wali secara ‘muttafaq ‘alaih’. bahkan ayah saya, kiai Bisri Musthofa dan guru saya Kiai Ali Ma’sum keduanya adalah kawan-karib Kiai Hamid yang paling sulit mempercayai adanya wali di zaman ini, harus mengakui, meskipun sebelumnya sering meledek kewalian kawan-karib mereka ini.

Banyak orang alim yang tidak mengajarkan secara tekun ilmunya dan tidak sedikit yang bahkan tidak mengamalkan ilmunya.lebih banyak lagi orang yang secara tidak maksimal mengajarkan dan atau mengamalkan ilmunya. Sebagai contoh, banyak kiai yang menguasai ilmu bahasa dan sastra (nahwu, sharaf, balaghah, ‘arudh, dsb), namun jarang diantara mereka yang mengamalkannya bagi memproduksi karya sastra. Kebanyakan mereka yang memiliki ilmu bahasa dan sastra itu menggunakannya ‘hanya’ untuk membaca kitab dan mengapresiasi, menghayati keindahan, kitab suci al-Qur’an. Tentu tak banyak yang mengetahui bahwa salah satu peninggalan Kiai Hamid ramimahullah adalah naskah lengkap berupa antologi puisi.

Banyak Kiai yang karena keamanahannya mendidik santri, sering melupakan anak-anak mereka sendiri. Kiai Hamid, seperti bisa dibaca di buku biografi ini, bukan hanya mendidik santri dan masyarakat, tapi juga sekaligus keluarganya sendiri.

Dari sosok yang sudah jadi Kiai Hamid, kita bisa menduga bahwa penghayatan dan pengamalan ilmu itu sudah beliau latih sejak masih nyantri. Demikian pula pergaulan luas yang membangun pribadi beliau, sudak beliau jalani sejak muda, sehingga beliau menjadi manusia utuh yang menghargai manusia sebagai manusia; bukan karena atribut tempelannya. Dan kesemuanya itu melahirkan kearifan yang dewasa ini sangat sulit dijumpai dikalangan tokoh-tokoh yang alim.

Wa ba’du; sebelum saya menulis pengantar ini saya sudah shalat sunnah dua rakaat; namun saya masih merasa tidak sopan dan tidak sepantasnya berbicara tentang Kiai Hamid seperti ini dan hawatir kalau kalau beliau sendiri tidak berkenan. Kelembutan dan kearifan beliau seperti yang saya kenallah yang membuat saya berani menuruti permintaan Gus Idris dan pihak yayasan Ma’had As-Salafiyah Pasuruan untuk menulis. Semoga tulisan saya ini termasuk menuturkan kemulyaan orang salih yang dapat menurunkan rahmat Allah idz bidzikrihim tatanazalur rahmaat. Dan mudah-mudahan masyarakat tidak hanya dapat berkah dari manakib meliau ini, tapi lebih jauh dapat menyerap suri tauladan mulia dari sierah dan perilaku beliau. Allahumma ‘nfa’na bi’uluumihil qayyimah wa akhlaqiihil kariemah. Amin.

sumber:http://salafiyah.org/beranda/41-resensi/256-kiai-hamid-bukan-qwali-tibanq.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar