ABDUL HAMID MUDJIB HAMID BERSHOLAWAT

Rabu, 14 November 2012

"Polemik" Pancasila "vs" Negara Islam "vs" Piagam Madinah(Mitsaqul-Madinah)

 -------------------------------------------------------------------
"Polemik" Pancasila | Negara Islam | Piagam Madinah
======================================

Adakah negara Islam? Secara formal ada. Arab Saudi Arab, Pakistan, dan Iran telah mendeklarasikan diri sebagai negara Islam. Tapi jika pertanyaannya difokuskan: adakah perintah membentuk negara Islam dalam kitab suci Alquran, jawabannya: tidak ada. Lalu, apakah Nabi Muhammad pernah memerintahkan umatnya untuk mendirikan negara Islam? Ini pun jawabannya tidak. Tak ada satu pun nash Alquran maupun hadits yang menyuruh umat untuk mendirikan negara Islam.
Jika realitasnya memang ada negara Islam (formal), tapi secara wahyu tidak ada perintah mendirikan negara Islam, maka pembentukan negara Islam hukumnya mubah. Umat Islam boleh membentuk negara Islam, tapi juga boleh tidak membentuk negara Islam. Mana bentuk negara yang baik, tergantung kondisi masyarakatnya.


Negara Islam
Ada dua konsep pemikiran tentang negara Islam. Pertama, konsep pemikiran klasik dan kedua pemikiran kontemporer. Tiap pemikiran tersebut dipengaruhi kondisi sosial politik dan budaya yang ada saat itu. Yang pertama diwakili oleh pemikir Ibnu Abi Rabi’ dan Al- Mawardi dan kedua Rasyid Ridha dan Jamaludin al- Afghani.
Abi Rabi’ dan Al-Mawardi yang hidup pada zaman kekhalifahan/ kesultanan, mengembangkan konsep kenegaraan Islam dalam bentuk khilafah/kesultanan. Asal usul bentuk kenegaraan ini dapat ditelusuri pada masa awal kehadiran Islam di Semenanjung Arabia ketika para sahabat Nabi memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin setelah Muhammad SAW wafat.
Sementara Rasyid Ridha dan Al-Afghani mengembangkan konsep kenegaraan Islam modern dalam bentuk nasionalisme. Ini terjadi karena pada masanya, kekhalifahan dan kesultanan Islam berguguran karena dikalahkan Barat. Granada sebagai dinasti muslim terakhir di Spanyol jatuh ke tangan Kerajaan Kristen pada 1492. Setelah itu, bangsa Eropa meluaskan pengaruhnya pada wilayah-wilayah yang dihuni kaum muslimin. Kondisi sosial politik seperti itulah yang membuat kedua pemikir memperkenalkan konsep kenegaraan berbasis nasionalisme.
Tidak mudah mengadopsi nasionalisme (nation state) ke dalam konsep kenegaraan Islam yang telah berabad-abad dipengaruhi sistem khilafah/ kesultanan. Konsep negara bangsa dan khilafah berbeda jauh. Negara bangsa bersifat lintas agama dalam pengaturan kekuasaan dan bersifat lokal dalam kewilayahan (terbatas pada wilayah hunian suatu komunitas yang bersifat homogen ras dan kebudayaannya atau yang merasa jadi bagian dari komunitas itu).
Ini berbeda secara diametral dengan konsep khilafah yang pengaturan kekuasaannya bersifat tertutup dan kewilayahannya bersifat lintas lokalitas (mencakup wilayah amat luas dengan penghuninya yang multiras dan budaya). Untuk mencari solusi benturan antara sistem khilafah dan nation state, Al-Afghani menggagas pembentukan Pan Islamisme.
Konsep Pan Islamisme ini melingkupi seluruh umat Islam di dunia berdasarkan persamaan dan solidaritas akidah dalam rangka membangun persatuan Islam. Gerakan ini mensyaratkan asosiasi politik yang menghimpun seluruh pemimpin negara Islam dengan kedudukan sederajat. Untuk itu, Al-Afghani menyerukan perlawanan bukan hanya terhadap penjajah Barat, tapi juga terhadap sistem pemerintahan despotik di negara-negara Islam sendiri.
Gagasan Al-Afghani tersebut, walaupun indah, tidak laku dijual dan tidak disukai bangsa Arab yang kental dengan sukuisme (ashabiyah) dan nomaden (sulit dipersatukan). Sama halnya dengan gagasan Pan Arabisme yang dikumandangkan Gamal Abdel Naser dan Baathisme Saddam Husen, keduanya tidak disukai bangsa Arab.

Di Asia dan Afrika, muncul gerakan-gerakan politik Islam yang berlandaskan nasionalisme sebagai manifestasi perlawanan terhadap kolonialisme Barat dan menjadikannya sebagai sumber gagasan pembentukan negara (nasional) Islam. Penerimaan nasionalisme tersebut tidak sekadar wacana, tapi juga diadopsi sebagai ideologi politik lokal yang akhirnya berdampak pada perebutan kekuasaan.
Di Mesir, misalnya, muncul Ikhwanul Muslimin, di Pakistan Jamaat al-Islami, dan di Indonesia Darul Islam (DI). Ketiga gerakan tersebut cenderung memandang nasionalisme tidak dalam pengertian negara bangsa (nonagamais) seperti diperkenalkan Barat, tapi dalam pengertian agamais (eksklusif Islam).
Gagasan nasionalisme eksklusif yang menuju pembentukan negara Islam ini biasanya merujuk pada pemikiran bahwa Islam merupakan landasan pembentukan negara Madinah pada masa kepemimpinan Nabi Muhammad dan keempat khalifah (Al-Khulafa al-Rasyidin).
Dalam merumuskan peran sentral Islam tersebut, para tokoh gerakan maupun sarjana muslim (seperti Sayid Qutb dari Mesir maupun Abu Ala al-Maududi dari Pakistan) cenderung berpijak pada asumsi-asumsi normatif yang mereduksi realitas sosio-historis turunnya Alquran. Akibatnya, konsep Maududi dan Qutb dianggap tidak relevan, bahkan oleh mayoritas negara dan umat Islam sendiri.

Piagam Madinah
Kelompok yang pro-negara Islam biasanya menganggap Zaman Madinah di masa kepemimpinan Rasul Muhammad sebagai bentuk ideal negara Islam. Landasannya adalah Piagam Madinah (Mitsaqul Madinah) itu sendiri. Piagam Madinah memang istimewa karena Rasulullah sendiri yang mendiktekan kalimat-kalimatnya.
Karena itu, sebagian ulama menyatakan Piagam Madinah adalah hidayah (Hasyim Muzadi, 2011)–bukan ijtihad. Tapi, yang menarik, dalam Piagam Madinah tak disebutkan sedikit pun keharusan mendirikan negara Islam (daulah Islamiyah). Sebaliknya, sebagian maklumat Piagam Madinah adalah kewajiban orang beriman melawan orang yang melakukan kejahatan, aniaya, permusuhan, dan perusakan.
Kaum muslimin harus melawannya meski yang melakukan kejahatan itu adalah anak sendiri. Dalam Piagam Madinah juga dijelaskan bahwa Allah melindungi yang lemah di antara mereka. Semua kelompoknon- Islam–Yahudi,Kristen, Majusi, dan penganut agama lokal–yang sepakat dan setia kepada Piagam Madinah harus dilindungi dan mendapatkan hak yang sama dengan kaum muslimin (Abdul Aziz,2011).
Dari gambaran tersebut, jelas sekali bahwa Islam lebih mementingkan substansi ketimbang simbolisasi. Piagam Madinah yang diakui Bellah jauh melampaui zamannya tak menyebutkan secara spesifik bahwa umat Islam harus mendirikan daulah Islamiyah. Sebaliknya, Piagam Madinah justru mengadopsi semua nilai kebenaran dan kebaikan universal untuk menciptakan negara yang damai, ramah,dan rahmah.
Dari perspektif inilah para ulama founding fathers negara Indonesia seperti KH Hasyim Asy’ari, Ki Bagus Hadikusumo, dan KH Agus Salim meletakkan Pancasila dalam kerangka pembentukan Negara Kesatuan RepublikIndonesia( NKRI).Pancasila seperti halnya Piagam Madinah berfungsi mengayomi seluruh lapisan masyarakat Indonesia yang plural (bhinneka) dengan payung nilai-nilai Islam yang universal.
Karena itu, untuk mencegah rongrongan ekstremisme, terorisme, dan kecurigaan antaragama dan etnik, bangsa Indonesia perlu merevitalisasi kembali nilai-nilai Pancasila yang adiluhung tersebut.

[ oleh  M BAMBANG PRANOWO Guru Besar UIN, Jakarta/Direktur Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar