-------------------------------------------------------------------
"Polemik" Pancasila | Negara Islam | Piagam Madinah
======================================
Adakah negara Islam? Secara formal ada. Arab Saudi Arab, Pakistan, dan
Iran telah mendeklarasikan diri sebagai negara Islam. Tapi jika
pertanyaannya difokuskan: adakah perintah membentuk negara Islam dalam
kitab suci Alquran, jawabannya: tidak ada. Lalu, apakah Nabi Muhammad
pernah memerintahkan umatnya untuk mendirikan negara Islam? Ini pun
jawabannya tidak. Tak ada satu pun nash Alquran maupun hadits yang menyuruh umat untuk mendirikan negara Islam.
Jika realitasnya memang ada negara Islam (formal), tapi secara wahyu
tidak ada perintah mendirikan negara Islam, maka pembentukan negara Islam hukumnya mubah.
Umat Islam boleh membentuk negara Islam, tapi juga boleh tidak
membentuk negara Islam. Mana bentuk negara yang baik, tergantung
kondisi masyarakatnya.
Negara Islam
Ada dua konsep pemikiran tentang negara Islam. Pertama, konsep pemikiran klasik dan kedua pemikiran kontemporer.
Tiap pemikiran tersebut dipengaruhi kondisi sosial politik dan budaya
yang ada saat itu. Yang pertama diwakili oleh pemikir Ibnu Abi Rabi’
dan Al- Mawardi dan kedua Rasyid Ridha dan Jamaludin al- Afghani.
Abi Rabi’ dan Al-Mawardi yang hidup pada zaman kekhalifahan/
kesultanan, mengembangkan konsep kenegaraan Islam dalam bentuk
khilafah/kesultanan. Asal usul bentuk kenegaraan ini dapat ditelusuri
pada masa awal kehadiran Islam di Semenanjung Arabia ketika para sahabat
Nabi memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin setelah Muhammad SAW
wafat.
Sementara
Rasyid Ridha dan Al-Afghani mengembangkan konsep kenegaraan Islam
modern dalam bentuk nasionalisme. Ini terjadi karena pada masanya,
kekhalifahan dan kesultanan Islam berguguran karena dikalahkan Barat.
Granada sebagai dinasti muslim terakhir di Spanyol jatuh ke tangan
Kerajaan Kristen pada 1492. Setelah itu, bangsa Eropa meluaskan
pengaruhnya pada wilayah-wilayah yang dihuni kaum muslimin. Kondisi
sosial politik seperti itulah yang membuat kedua pemikir memperkenalkan
konsep kenegaraan berbasis nasionalisme.
Tidak mudah mengadopsi nasionalisme (nation state) ke dalam konsep kenegaraan Islam yang telah berabad-abad dipengaruhi sistem khilafah/ kesultanan. Konsep negara bangsa dan khilafah berbeda jauh.
Negara bangsa bersifat lintas agama dalam pengaturan kekuasaan dan
bersifat lokal dalam kewilayahan (terbatas pada wilayah hunian suatu
komunitas yang bersifat homogen ras dan kebudayaannya atau yang merasa
jadi bagian dari komunitas itu).
Ini berbeda secara diametral dengan konsep khilafah yang
pengaturan kekuasaannya bersifat tertutup dan kewilayahannya bersifat
lintas lokalitas (mencakup wilayah amat luas dengan penghuninya yang
multiras dan budaya). Untuk mencari solusi benturan antara sistem
khilafah dan nation state, Al-Afghani menggagas pembentukan Pan Islamisme.
Konsep Pan Islamisme ini melingkupi seluruh umat Islam di dunia
berdasarkan persamaan dan solidaritas akidah dalam rangka membangun
persatuan Islam. Gerakan ini mensyaratkan asosiasi politik yang
menghimpun seluruh pemimpin negara Islam dengan kedudukan sederajat.
Untuk itu, Al-Afghani menyerukan perlawanan bukan hanya terhadap
penjajah Barat, tapi juga terhadap sistem pemerintahan despotik di negara-negara Islam sendiri.
Gagasan Al-Afghani tersebut, walaupun indah, tidak laku dijual dan tidak disukai bangsa Arab yang kental dengan sukuisme (ashabiyah) dan nomaden
(sulit dipersatukan). Sama halnya dengan gagasan Pan Arabisme yang
dikumandangkan Gamal Abdel Naser dan Baathisme Saddam Husen, keduanya
tidak disukai bangsa Arab.
Di Asia dan Afrika, muncul gerakan-gerakan politik Islam yang
berlandaskan nasionalisme sebagai manifestasi perlawanan terhadap
kolonialisme Barat dan menjadikannya sebagai sumber gagasan pembentukan
negara (nasional) Islam. Penerimaan nasionalisme tersebut tidak sekadar
wacana, tapi juga diadopsi sebagai ideologi politik lokal yang
akhirnya berdampak pada perebutan kekuasaan.
Di Mesir, misalnya, muncul Ikhwanul Muslimin, di Pakistan Jamaat
al-Islami, dan di Indonesia Darul Islam (DI). Ketiga gerakan tersebut
cenderung memandang nasionalisme tidak dalam pengertian negara bangsa
(nonagamais) seperti diperkenalkan Barat, tapi dalam pengertian agamais
(eksklusif Islam).
Gagasan nasionalisme eksklusif yang menuju pembentukan negara Islam ini
biasanya merujuk pada pemikiran bahwa Islam merupakan landasan
pembentukan negara Madinah pada masa kepemimpinan Nabi Muhammad dan
keempat khalifah (Al-Khulafa al-Rasyidin).
Dalam merumuskan peran sentral Islam tersebut, para tokoh gerakan
maupun sarjana muslim (seperti Sayid Qutb dari Mesir maupun Abu Ala
al-Maududi dari Pakistan) cenderung berpijak pada asumsi-asumsi normatif
yang mereduksi realitas sosio-historis turunnya Alquran. Akibatnya,
konsep Maududi dan Qutb dianggap tidak relevan, bahkan oleh mayoritas
negara dan umat Islam sendiri.
Piagam Madinah
Kelompok
yang pro-negara Islam biasanya menganggap Zaman Madinah di masa
kepemimpinan Rasul Muhammad sebagai bentuk ideal negara Islam.
Landasannya adalah Piagam Madinah (Mitsaqul Madinah) itu sendiri. Piagam Madinah memang istimewa karena Rasulullah sendiri yang mendiktekan kalimat-kalimatnya.
Karena itu, sebagian ulama menyatakan Piagam Madinah adalah hidayah (Hasyim Muzadi, 2011)–bukan ijtihad. Tapi, yang menarik, dalam Piagam Madinah tak disebutkan sedikit pun keharusan mendirikan negara Islam (daulah Islamiyah).
Sebaliknya, sebagian maklumat Piagam Madinah adalah kewajiban orang
beriman melawan orang yang melakukan kejahatan, aniaya, permusuhan, dan
perusakan.
Kaum muslimin harus melawannya meski yang melakukan kejahatan itu
adalah anak sendiri. Dalam Piagam Madinah juga dijelaskan bahwa Allah
melindungi yang lemah di antara mereka. Semua kelompoknon-
Islam–Yahudi,Kristen, Majusi, dan penganut agama lokal–yang sepakat dan
setia kepada Piagam Madinah harus dilindungi dan mendapatkan hak yang
sama dengan kaum muslimin (Abdul Aziz,2011).
Dari gambaran tersebut, jelas sekali bahwa Islam lebih mementingkan substansi ketimbang simbolisasi. Piagam Madinah yang diakui Bellah
jauh melampaui zamannya tak menyebutkan secara spesifik bahwa umat
Islam harus mendirikan daulah Islamiyah. Sebaliknya, Piagam Madinah
justru mengadopsi semua nilai kebenaran dan kebaikan universal untuk
menciptakan negara yang damai, ramah,dan rahmah.
Dari perspektif inilah para ulama founding fathers negara Indonesia
seperti KH Hasyim Asy’ari, Ki Bagus Hadikusumo, dan KH Agus Salim
meletakkan Pancasila dalam kerangka pembentukan Negara Kesatuan
RepublikIndonesia( NKRI).Pancasila seperti halnya Piagam Madinah
berfungsi mengayomi seluruh lapisan masyarakat Indonesia yang plural
(bhinneka) dengan payung nilai-nilai Islam yang universal.
Karena itu, untuk mencegah rongrongan ekstremisme, terorisme, dan
kecurigaan antaragama dan etnik, bangsa Indonesia perlu merevitalisasi
kembali nilai-nilai Pancasila yang adiluhung tersebut.
[ oleh M BAMBANG PRANOWO Guru Besar UIN, Jakarta/Direktur Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP)
Nabi SAW:مَنْ صَلَّى عَلَيَّ فِي كِتَابٍ لَمْ تَزَلِ الْمَلَائِكَةُ تَسْنَغْفِرُ لَهُ مَا دَامَ اسْمِي فِي ذَلِكَ الْكِتَابِ (Barang siapa menulis sholawat kpdku dlm sebtah buku, maka para malaikat selalu memohonkan ampun kpd Alloh pd org itu selama namaku masih tertulis dlm buku itu). اَلتَّحِيَّاتُ الْمُبَارَكَاتُ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ لِلّٰهِ اَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ اَلسَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar