Meluruskan sejarah Basyaiban
=============================
Beberapa tahun belakangan media cetak kita diramaikan oleh salah satu majalah yang bernuansa Islam. Majalah itu adalah Al-Kisah. Untuk menginformasikan sosok keturunan Rasul, majalah tersebut kemungkinan hanya satu-satunya di Indonesia. Banyak keturunan Rasul yang sudah diangkatcetak dari mulai ulama terdahulu hingga saat ini. Salah satu yang ditulis dalam majalah itu adalah kisah Sayyid Sulaiman bin Abdurrahman Basyaiban.
Ketika membaca kisah sayyid Sulaiman bin Abdurrahman Basyaiban, tepatnya pada Al-Kisah no. 12/4 tanggal 17 Juni 2007, mata saya tertuju pada rangkaian kata yang menuliskan : “Sayid Abdurrahman memilih tempat tinggal di Cirebon, Jawa Barat. Beberapa waktu kemudian ia mempersunting putrid Maulana Sultan Hasanuddin. Putri bangsawan itu juga masih keturunan Rasulullah. Ia bernama syarifah Khadijah dan masih cucu Raden Syarif Hidayatullah, Sunan Gunung Jati .[1]
Dari kalimat tersebut timbul keraguan akan kebenaran tulisan itu. Selanjutnya saya mencoba mencari sumber-sumber yang berkaitan dengan hal tersebut, baik berupa buku, manuskrip, catatan silsilah, dan lainnya, tetapi apa yang saya dapatkan belum membantu menjawab keraguan hati saya, saya tetap penasaran. Hingga akhirnya saya memutuskan untuk menerima ajakan guru saya untuk meninjau beberapa tempat yang ada kaitannya dengan sayid Sulaiman bin Abdurrahman Basyaiban.
Perjalanan berawal dari Jakarta ke Magelang, Mojoagung, Bangil, Pasuruan dan Surabaya. Di Magelang saya bertemu dengan keluarga Basyaiban di Tuguran. Di Mojoagung menyempatkan berziarah ke makam sayid Sulaiman. Di Bangil, kami mengunjungi makam yang berada di belakang rumah makan Arab, yang konon katanya makam itu adalah makam syarifah Khadijah. Di Pasuruan, kami ke desa Segoro Puro dan berziarah ke makam yang bertuliskan sayid Arif. Di Surabaya, kami bertemu dengan keluarga Basyaiban Dresmo.
Setelah sampai di Jakarta, saya mulai memverifikasi data yang diperoleh. Dari data yang ada, menurut saya terdapat beberapa ketidaktepatan sejarah tentang sayid Basyaiban ini, di antaranya adalah perkawinan antara sayid Abdurrahman bin Umar bin Abdullah bin Abdurrahman bin Umar bin Muhammad bin Ahmad bin Abubakar Basyaiban dengan putri Maulana Hasanuddin. Bagi saya ada jarak waktu yang sangat lama antara keduanya.
Berdasarkan ahli sejarah sayid Muhammad Dhiya Syahab, sayid Abdurrahman bin Umar ini datang dari Hadramaut ke Cirebon pada abad ke 18 Masehi.[2] Dan selanjutnya beliau menikah dengan Khadijah putri Maulana Hasanuddin. Akan tetapi bila kita melihat ke sejarah berkuasanya sultan-sultan Banten, maka dapat kita temui bahwa Sultan Maulana Hasanuddin berkuasa di Banten pada pertengahan abad 16, tepatnya tahun 1552 – 1570 M.[3] Dari hal tersebut kita temui ada jarak kurang lebih 1 sampai 1,5 abad. Berdasarkan hal ini, bagaimana kita dapat mengatakan bahwa sayid Abdurrahman menikah dengan putri sultan Maulana Hasanuddin atau putri Sunan Gunung Jati ?
Bila dilihat dari sisi sejarah sultan-sultan Banten yang berkuasa, maka waktu berkuasanya Maulana Hasanuddin seharusnya se-zaman dengan sayid Umar bin Muhammad bin Ahmad bin Abubakar Basyaiban yang wafat tahun 944 H di Tarim. Kalau kita ingin berpedoman pada kedatangan sayid Abdurrahman bin Umar Basyaiban pada abad 18 M, maka saat itu yang berkuasa yaitu sultan Mahasin Zainal Abidin (1690) sampai Sultan Abu Nashr Muhammad Muhyidin (1801). Di antara kedua sultan itu terdapat 5 orang sultan yang bergantian sebagai penguasa Banten[4]. Ada kemungkinan sayid Abdurrahman Basyaiban menikah dengan Ratu Satijah anak dari sultan Mahasin Zainal Abidin yang berkuasa antara tahun 1690-1733 M, se- zaman dengan sayid Abdurrahman Basyaiban.
Ternyata sejarah menuliskan bahwa yang menikah dengan putri Sunan Gunung Jati adalah Abdurrahman yang dikenal dengan Pangeran Panjunan. Beliau berasal dari kerajaan Baghdad, ayahnya bernama Sulaiman. Dalam sejarah Sumedang dikatakan bahwa Pangeran Panjunan mempunyai dua istri, yaitu Ratu Petak dari Panjunan dan putrid Sunan Gunung Jati bernama Ratu Martasari. Lalu apakah sejarah ini membuktikan juga kalau Abdurrahman Basyaiban tidak pernah ke Indonesia dan beliau hanya sampai di India dan wafat di sana ???
Begitu pula dengan hal-hal lain yang membuat keraguan, di antaranya tentang sayid Sulaiman yang menikahi anak putri Mbah Soleh Semedi. Kalau benar Mbah Soleh ini murid Sunan Ampel maka terdapat kesenjangan generasi yang sangat jauh antara putri Mbah Soleh Semedi yang hidup di pertengahan abad 15 M dengan sayid Sulaiman yang hidup pada abad 18 Masehi.
Juga keraguan saya tentang kembalinya sayid Sulaiman dari Pasuruan ke Cirebon. Menurut tulisan tersebut ketika sayid Sulaiman kembali ke Cirebon sedang terjadi kericuhan besar antara sultan Ageng Tirtayasa dengan putranya sendiri, sultan haji (1681-1683). Semakin nyata ketidaktepatan sejarah perjalanan keluarga Basyaiban ini, bayangkan saja sayid Sulaiman yang hidup pada pertengahan abad 18 masehi hidup se-zaman dengan sultan Ageng Tirtayasa yang berkuasa di pada pertengahan abad 17 Masehi.
Wallahu a’alam bi shawwab.
[1] Al-Kisah no. 12/4 tanggal 17 Juni 2007 halaman 148.
[2] Syamsu al-Dzahirah, Jilid II halaman 447.
[3] http://www.scribd.com/doc/7984221/Silsilah-Kesultanan-Banten.
[4] http://www.scribd.com/doc/7984221/Silsilah-Kesultanan-Banten.
===========================
sumber:http://benmashoor.wordpress.com/2010/09/08/meluruskan-sejarah-basyaiban/
NB: Fakta peninggalan Sang Sayyid dan cerita masyhur di Para Tokoh Masyarakat Pasuruan, diantaranya sbb:
(Foto Makam Sayid Sulaiman bin Abdurrahman Basyaiban)
==========================================
Sayid Sulaiman bin Abdurrahman Basyaiban
Sang Pembabat Kawasan Timur Pulau Jawa
==========================================
Perjuangan Sayid Sulaiman bin Abdurrahman Basyaiban dalam membabat kawasan timur pulau Jawa menjadi daerah yang sarat dengan nilai-nilai religius sudah tidak disangsikan lagi. Hasil jerih payahnya masih dapat kita saksikan sampai sekarang
Sekitar pertengahan abad ke-16 M tersebutlah seorang pemuda gagah berdarab Arab di pinggir laut Jawa, Cirebon. Selama beberapa bulan, ia berlayar dari kampung halamannya di negara Yaman. Saat itu memang sedang gencar-gencarnya orang-orang Arab berimigrasi ke Tanah Jawa. Dan salah satu dari mereka adalah Abdurrahman Ba Syaiban.
Ba Syaiban adalah gelar warga habib keturunan Sayid Abu Bakar Syaiban, seorang ulama terkemuka di Tarim, Hadhramaut yang terkenal alim dan sakti. Sayid Abu Bakar mendapat julukan Syaiban (yang beruban) karena ada kisah unik dibalik julukan itu. Suatu ketika, Sayid Abu Bakar yang saat itu masih tergolong muda menghilang. Sejak itu ia tidak muncul-muncul. Konon, ia uzlah untuk mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa. Baru, setelah tiga puluh tahun, Sayid Abu Bakar muncul di Tarim. Anehnya, ia tetap muda. Tapi yang lebih aneh lagi, rambutnya telah berubah putih keperakan, tak sehelai rambutnya yang berwarna hitam. Kepalanya seperti berambut salju. Sejak ituah orang-orang menjulukinya Syaiban (yang beruban).
Abdurrahman masih tergolong cicit dari Sayid Abu Bakar Ba Syaiban. Ia putra sulung Sayid Umar bin Muhammad bin Abu Bakar Ba Syaiban. Lahir pada abad ke-16 M di Tarim, Yaman bagian selatan sebuah perkampungan sejuk di Hadhramaut yang masyhur sebagai gudang para wali dan auliya’ Allah.
Ketika dewasa ia merantau ke Nusantara, tepatnya di Pulau Jawa. Sayid Abdurrahman memilih tempat tinggal di Cirebon, Jawa Barat. Beberapa waktu kemudian ia mempersunting putri Maulana Sultan Hasanuddin, Demak. Putri bangsawan itu juga masih keturunan Rasulullah. Ia bernama Syarifah Khadijah dan masih cucu Raden Syarif Hidayatullah, Sunan Gunung Jati.
Dari pasangan ini lahir tiga putra, yakni Sayid Sulaiman, Sayid Abdurrahim dan Sayid Abdul Karim. Mewarisi keturunan leluhurnya dalam berdakwah, keluarga ini berjuang keras menyebarkan Islam di Jawa, tak jauh dengan apa yang telah dilakukan oleh Syarif Hidayatullah, Sunan Gunung Jati di Cirebon.
Pengaruh dan ketekunan mereka dalam berdakwah membuat penjajah Belanda khawatir. Maka ketika menginjak dewasa Sayid Sulaiman dibuang oleh mereka. Ia kemudian tinggal di Krapyak, Pekalongan Jawa Tengah. Di Pekalongan, ia menikah dan mempunyai beberapa orang putra. Empat diantaranya laki-laki yakni Hasan, Abdul Wahhab, Muhammad Baqir dan Ali Akbar.
Dari Pekalongan, Sayid Sulaiman berkelana lagi. Kali ini, ia menuju Solo sebagai tempat tujuan berdakwah. Selama di Solo, ia terkenal sakti mandraguna. Kesaktiannya yang sudah masyhur itu mengundang rasa iri seorang ratu dari Mataram. Sang ratu ingin membuktikan kesaktian Sayid Sulaiman. Maka diundanglah ke keraton Mataram yang saat itu sedang berlangsung pernikahan putrid bungsu sang Ratu. Untuk memeriahkan pesta pernikahan putri bungsunya itu, Ratu meminta Sayid memperagakan pertunjukan yang tak pernah diperagakan oleh siapa pun.
Mendengar permintaan sang Ratu, sayid meminta pada Ratu untuk meletakkan bamboo di atas meja, sembari berpesan untuk ditunggu, Sayid Sulaiman lalu pergi kea rah timur. Masyarakat sekitar kraton menunggu kedatangan Sayid sedemikian lama, namun Sayid belum juga dating. Ratu Mataram hilang kesabaran. Ia marah, lalu membanting bambu di atas meja hingga hancur berkeping-keping. Ajaib, kepingan bamboo-bambu itu menjelma menjadi hewan bermacam-macam. Ratu Mataram tersentak kaget melihat keajaiban ini, barulah ia mengakui kesaktian Sayid Sulaiman.
Ratu Mataram kemudian menitahkan beberapa prajuritnya untuk mencari Sayid Sulaiman. Sedang hewan-hewan jelmaan bamboo itu terus dipelihara. Hewan-hewan itu ditampung dalam sebuah kebun binatang yang kemudian diberi nama Sriwedari. Artinya, Sri adalah tempat, sedangkan Wedari adalah wedar sabdane Sayid Sulaiman. Kebun binatang itu tetap terpelihara.Tak lama berselang, Sriwedari menjadi sebuah taman dan objek wisata terkenal peninggalan Mataram.
Setelah meninggalkan Solo, Sayid Sulaiman menuju ke timur tepatnya, Ampel Surabaya. Ia kemudian berguru kepada santri-santri Raden Rahmat, Sunan Ampel. Kabar keberadaan Sayid Sulaiman akhirnya sampai ke telinga Ratu Mataram. Ia mengirim utusan ke Surabaya untuk memanggilnya. Diantara utusan itu ternyata ada Sayid Abdurrahim, adik kandungnya sendiri. Sesampainya di Ampel, ia sangat terharu bertemu kembali dengan kakaknya tercinta. Dan akhirnya ia memutuskan untuk tidak kembali ke Mataram. Ia juga ingin belajar kepada santri-santri Sunan Ampel bersama Sayid Sulaiman.
Setelah nyantri di Ampel, kakak beradik ini pergi ke Pasuruan untuk nyantri kepada Mbah Sholeh Semendi di Segoropuro. Lepas dari itu mereka mondok di Mbah Soleh, Sayid Sulaiman tinggal di Kanigoro, Pasuruan. Sehingga ia mendapat julukan Pangeran Kanigoro dan sempat pula menjadi penasehat Untung Surapati. Untung Surapati adalah tokoh terkemuka Pasuruan dan tercatat sebagai pahlawan yang berjasa mengusir penjajah Belanda dari Nusantara.
Berita kesaktian Sayid Sulaiman juga terdengar oleh Ratu Keraton Pasuruan. Ratu Pasuruan tidak percaya tentang kesaktiannya. Ia seringkali melecehkan kesaktian Mbah Sayid. Sampai suatu ketika Putri Keraton yang sedang berjalan-jalan keliling kota hilang. Sang ratu menjadi bersedih bermuram durja.
Lalu diadakanlah sayembara; Bagi yang menemukan sang putri, akan mendapat hadiah yang sangat besar. Tapi malang, sampai berhari-hari diadakan sayembara itu, tak satupun dari peserta yang berhasil menemukan sang putri. Akhirnya, sang Ratu meminta bantuan Sayid Sulaiman, dan dengan mudah ia menemukan sang putri keraton. Begitu sampai di hadapan Sang Ratu, Sayid Sulaiman memasukan tangannya ke dalam saku. Tak berapa lama kemudian ia melemparkannya ke halaman. Luar biasa! Dengan ijin Allah, sang putri muncul dengan kereta dan kusirnya di halaman Keraton. Konon, ia dibawa lari oleh jin ke alam gaib.
Melihat putrinya kembali, ia menjadi gembira, dan meminta Sayid Sulaiman menikahi putrinya sebagai ucapan terima kasih atas jasanya itu. Namun, Sayid Sulaiman menolaknya, ia lebih memilih tinggal di Kanigoro dan tak berapa lama kemudian ia diambil menantu oleh Mbah Soleh Semendi. Sayid Sulaiman juga mempunyai istri dari Malang dan mempunyai seorang putra yang bernama Hazam.
Setelah menikah dengan putri kedua Mbah Soleh, Sayid Sulaiman kembali ke Cirebon. Tapi suasana Cirebon dan banten saat itu sedang terjadi kericuhan besar, dimana Sultan Ageng Tirtayasa sedang berperang dengan putranya sendiri yakni Sultan Haji (1681-1683). Melihat pertikaian ini, Sayid Sulaiman kemudian kembali ke Pasuruan dan menetap di desa Gambir Kuning.Di Gambir Kuning ia mendirikan dua buah masjid dan sampai sekarang masjid itu masih ada dan mengalami sedikit perubahan pada lantai dan sebagian bangunan lainnya.
Rupanya kekeramatan Sayid Sulaiman kembali di dengar oleh Ratu Mataram, kembali ia memanggilnya untuk bertemu. Ratu Mataram kemudian menurus salah satu Adipatinya untuk menemuinya dan mengajak Sayid Sulaiman untuk bertemu dengan sang Ratu. Bersama tiga orang santrinya yakin, Mbah Jaelani (Tulangan, Sidoarjo), Ahmad Surahim (putra Untung Surapati), dan Sayid Hazam (putranya) mereka berangkat ke Solo. Ratu Mataram pada waktu itu berembuk untuk mengangkat Sayid Sulaiman sebagai hakim, namun ia menolak dengan alasan akan meminta pertimbangan dan restu dari istri dan masyarakat yang ada di Pasuruan.
Tentu saja, mereka yang ada di Pasuruan tidak menyetujuinya. Sayid Sulaiman kemudian pamit kepada istrinya yang sedang hamil tua untuk pergi ke Solo. Namun di tengah perjalanan, tepatnya di kampung Batek, Mojoagung Jombang, ia jatuh sakit. Selama masa sakit, ia dirawat oleh seorang kiai bernama Mbah Alif sampai beliau wafat dan kemudian wafat dan di makamkan di sana.
Perjuangan Sayid Sulaiman dalam membabat kawasan timur pulau Jawa menjadi daerah yang sarat dengan nilai-nilai religius sudah tidak disangsikan lagi. Hasil jerih payahnya masih dapat kita saksikan sampai sekarang. Sayid Sulaiman berjasa mendirikan pesantren Sidogiri,s ebuah pesantren tertua di Jawa Timur dan menurunkan pewaris perjuangan, di mana anak keturunannya di kemudian hari banyak menjadi pemangku pesantren-pesantren besar di tanah Jawa, mulai dari pesantren Sidogiri (Pasuruan), Sidoresmo (Surabaya), Al Muhibbain (Surabaya) sampai Syaikhona Cholil (Bangkalan).
Sayid Sulaiman dari istri pertamanya di Krapyak (Pekalongan), ia dikaruniai empat putra yakni Hasan, Abdul Wahab, Muhammad Baqir (Galuran, Sidoarjo) dan Ali Akbar. Dari galur Abdul Wahab banyak keturunannya yang tinggal di Magelang dan Pekalongan. Sedangkan dari jalur Muhammad Baqir berada di Krapyak (Pekalongan).
Abdul Wahab dan Hasan (Pangeran Agung) dikenal sebagai pejuang yang gigih melawan penjajah Portugis dan Belanda. Melalui jalur Ali Akbar terlahir ulama-ulama pemangku pesantren di Jawa Timur seperti Sidogiri, Demangan (Bangkalan), dan Sidoresmo (Surabaya).
Sayid Ali Akbar meninggalkan enam putra yakni Imam Ghazali (Tawunan, Surabaya), Sayid Ibrahim (Kota Pasuruan), Sayid Badrudin (makamnya di sebelah Tugu Pahlawan, Surabaya), Sayid Iskandar (Bungkul, Surabaya), Sayid Abdullah (Bangkalan, Madura), Sayid Ali Ashghar (Sidoresmo).
Dari Sayid Abdullah inilah menurunkan para pemangku pesantren Sidogiri dan Demangan (Bangkalan) yang memiliki puluhan ribu santri. Keturunan dari Sayid Ali Ashghar di Surabaya banyak tinggal di Sidoresmo dan Sidosermo. Sekarang, di dua desa itu terdapat sekitar 28 pondok pesantren dan semuanya adalah anak keturunan dari Sayid Sulaimain. Sayid Ali Asghar juga menurunkan ulama-ulama pemangku pesantren di Tambak, Yosowilangon. Dari istri kedua, putri mbah Soleh Semendi Sayid Sulaiman menurunkan Sayid Ahmad (Lebak, Pasuruan). Dari istri ketiganya di Malang, ia mempunyai satu putra, Sayid Hazam
sumber:http://alhabaib.blogspot.com/2009/05/sayid-sulaiman-bin-abdurrahman.html
===============================================
Sayyid Sulaiman, Sidogiri - Pasuruan
=======================================
Sekitar pertengahan abad ke-16 Masehi tersebutlah seorang pemuda gagah berdarah Arab di tepi barat pulau Jawa, Cirebon. Selama beberapa bulan ia berlayar dari kampung halamannya di negara Yaman.
Saat itu memang sedang gencar-gencarnya orang-orang Arab berimigrasi ke tanah Jawa. Dan salah satunya adalah kakek Mbah Sayid Sulaiman, pemuda yang disebut di awal tulisan ini. Orang-orang Arab ini datang dengan maksud bermacam-macam. Ada yang berdakwah untuk menyebarkan agama Islam, ada pula yang berniaga seraya berdakwah.
Pemuda itu bernama Abdurrahman. Ia adalah Sayid keturunan Rasulullah r, bergelar Basyaiban. Basyaiban adalah gelar warga habib keturunan Sayid Abu Bakar Syaiban, seorang ulama terkemuka di Tarim, Hadramaut, yang terkenal alim dan sakti. Sayid Abu Bakar mendapat julukan Syaiban (yang beruban) karena ada kisah unik dibalik julukannya itu. Suatu ketika, Sayid Abu Bakar yang saat itu masih tergolong muda menghilang. Sejak itu ia tidak muncul-muncul. Konon, ia uzlah untuk mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa. Baru setelah sekitar tiga puluh tahun, Sayid Abu Bakar muncul di Tarim. Ia tetap muda. Tapi aneh, rambutnya putih, tak selembarpun yang hitam. Ia seperti berambut salju. Sejak itulah orang-orang menjulukinya Syaiban (yang beruban).
Abdurrahman masih tergolong cicit dari Sayid Abu Bakar Basyaiban. Ia putra sulung Sayid Umar bin Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar Basyaiban. Lahir pada abad 16 Masehi di Tarim Yaman bagian selatan, perkampungan sejuk di Hadramaut yang masyhur sebagai gudang para wali.
Dalam masa perantauannya ke Nusantara, tepatnya di Pulau Jawa, Sayid Abdurrahman memilih bertempat tinggal di Cirebon, Jawa Barat. Beberapa waktu kemudian, ia mempersunting putri Maulana Sultan Hasanuddin (1570 M). Putri bangsawan itu juga masih keturunan Rasulullah. Ia bernama Syarifah Khadijah, cucu Raden Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.
Dari pasangan dua keturunan Rasulullah ini, lahir tiga orang putra: Sayid Sulaiman, Sayid Abdurrahim (terkenal dengan sebutan Mbah Arif Segoropuro, Segoropuro Pasuruan), dan Sayid Abdul Karim.
Mewarisi ketekunan leluhurnya dalam berdakwah, keluarga ini berjuang keras menyebarkan Islam di Jawa, tak jauh dengan apa yang telah dilakukan oleh Syarif Hidayatullah, Sunan Gunung Jati, di Cirebon.
Pengaruh dan ketekunan mereka dalam berdakwah membuat penjajah Belanda khawatir. Maka ketika menginjak dewasa, Sayid Sulaiman dibuang oleh mereka. Putra sulung Sayid Abdurrahman ini, kemudian tinggal di Krapyak, Pekalongan, Jawa Tengah. Di Pekalongan, beliau menikah dan mempunyai beberapa orang putra. Empat di antaranya laki-laki, yaitu Hasan, Abdul Wahhab, Muhammad Baqir, dan Ali Akbar.
Dari Pekalongan Sayid Sulaiman berkelana lagi. Kali ini, Solo (Surakarta) menjadi tempat tujuan. Selama tinggal di Solo beliau terkenal sakti. Kesaktiannya yang sudah masyhur itu mengundang rasa iri seorang Raja dari Mataram. Sang Raja ingin membuktikan kesaktian Sayid. Maka diundanglah Sayid ke keraton.
Saat itu di istana sedang berlangsung pesta pernikahan putri bungsu sang Raja. Sayid Sulaiman dipanggil menghadap. Untuk memeriahkan pesta pernikahan putri bungsunya ini, Raja meminta agar Sayid memperagakan pertunjukan yang tak pernah diperagakan oleh siapapun.
“Sulaiman, panjenengan tiyang sakti. Le’ bener-bener sakti, kulo nyuwun tulung gawe’no tanggapan sing ora umum, ora tau ditanggap wong,” pinta Raja Mataram kepada Sayid dengan nada menghina.
Mendengar permintaan Raja yang sinis itu, Sayid meminta pada Raja untuk meletakkan bambu di alas meja, sembari berpesan untuk ditunggu. Sayid Sulaiman lalu pergi ke arah timur. Masyarakat sekitar keraton menunggu kedatangan Sayid demikian lama, namun Sayid belum juga datang. Raja Mataram hilang kesabaran. la marah. la membanting bambu di alas meja itu hingga hancur berkeping-keping. Sesuatu yang ajaib terjadi, kepingan bambu-bambu itu menjelma menjadi hewan bermacam-macam. Raja Mataram tersentak melihat keajaiban ini, barulah ia mengakui kesaktian Sayid Sulaiman.
Raja Mataram kemudian menitahkan beberapa prajuritnya untuk mencari Sayid Sulaiman. Sedang hewan-hewan jelmaan bambu itu terus dipelihara. Hewan-hewan itu ditampung dalam sebuah kebun binatang yang kemudian diberi nama “Sriwedari”. Artinya, “Sri” adalah tempat, sedangkan “Wedari” adalah “wedar sabdane Sayid Sulaiman”. Kebun binatang itu tetap terpelihara. Tak lama berselang, Sriwedari menjadi sebuah taman dan obyek wisata terkenal peninggalan Mataram.
Namun pada tahun 1978, binatang-binatang di Sriwedari dipindah ke kebun binatang Satwataru.
Nyantri di Ampel
Setelah meninggalkan Solo, Mbah Sayid Sulaiman pergi dari Solo ke Surabaya. Untuk sampai ke Surabaya, beliau harus melalui hutan belantara. Tujuan beliau menuju ke Ampel, Surabaya, adalah untuk nyantri (berguru agama) kepada Raden Rahmat atau Sunan Ampel.
Kabar keberadaan Sayid Sulaiman akhirnya sampai ke telinga Raja Mataram. Ia mengirim utusan ke Surabaya untuk memanggilnya. Di antara utusan itu ada Sayid Abdurrahim, adik kandung Sayid Sulaiman sendiri. Sesampainya di Ampel, ia sangat terharu bertemu kembali dengan kakaknya tercinta. Dan akhirnya, ia memutuskan untuk tidak kembali lagi ke Mataram. Ia ingin belajar kepada Sunan Ampel bersama sang kakak.
Pada suatu malam, saat murid-murid Sunan Ampel sudah tertidur pulas, tiba-tiba terdapat dua kilatan sinar menerpa dua orang murid Sunan Ampel yang sedang tidur. Sinar itu berwarna kuning keemasan. Sunan Ampel yang saat itu sedang tidak tidur, menghampiri tempat jatuhnya sinar tadi. Karena keadaan yang gelap, beliau tidak dapat melihat dengan jelas wajah kedua santrinya yang diterpa sinar keemasan ini. Beliau memutuskan untuk mengikat sarung kedua santrinya itu.
Usai salat Subuh, Sunan Ampel bertanya kepada para santrinya, “Siapa yang sarungnya tadi malam terikat?” Mbah Sayid Sulaiman dan Mbah Abdurrahim mengacungkan tangan, Lalu, Sunan Ampel berkata, “Mulai saiki, santriku ojok nyeluk Sulaiman, ojok nyeluk Abdurrahim tok, tapi nyelu’o Mas Sulaiman den Mas Abdurrahim! (Mulai sekarang santriku jangan memanggil Sulaiman dan Abdurrahim saja, tapi panggillah Mas Sulaiman dan Mas Abdurrahim!)”. Panggilan ini menjadi cikal-bakal sebutan “Mas” (semacam “Gus”) oleh santri untuk memanggil keturunan para Masyayikh Sidogiri.
Riwayat belajarnya Sayid Sulaiman ini masih sangat disangsikan. Soalnya, terdapat selisih tahun yang terlalu jauh antara masa hidup Sayid Sulaiman dan Sunan Ampel. Sunan Ampel hidup pada 1401-1481 M (abad 14 M), sedangkan Sayid Sulaiman diperkirakan hidup pada abad 17 M, jadi selisih tiga abad (300 tahun) dengan Sunan Ampel.
Kemungkinan besar, Sayid Sulaiman belajar di Ampel ini tidak pada Sunan Ampel sendiri, tetapi pada generasi-generasi penerus beliau.
Keramat di Pasuruan
Setelah nyantri di Ampel, kakak beradik ini pergi ke Pasuruan untuk nyantri pada Mbah Sholeh Semendi di Segoropuro. Setibanya di Pasuruan, setelah mengungkapkan keinginan untuk menuntut ilmu, mereka diajak mandi di sungai Winongan oleh Mbah Sholeh Semendi. Ketika mereka sedang asyik mandi bersama, tiba-tiba Mbah Semendi hilang, tak lama kemudian, muncul lagi. Kejadian ini terulang sampai dua kali.
Mbah Sulaiman berfirasat bahwa Mbah Sholeh Semendi bermaksud mencoba kesaktiannya bersama adiknya berdua. Mereka berunding, jika nanti Mbah Sholeh sedang mandi, teklek (bakiak zaman dahulu) miliknya dipegang bersama-sama agar Mbah Sholeh tidak bisa menghilang. Maka mereka memegang teklek Mbah Sholeh itu dengan mengerahkan segala kemampuan. Demikian pula Mbah Sholeh. Tapi Mbah Sholeh Semendi tidak bisa menghilang. Akhirnya ia tahu bahwa ia tidak bisa menghilang sebab tekleknya dipegang oleh Sayid Sulaiman dan Sayid Abdurrahim, “Eh, eh, jangan begitu. Lepaskan sandal saya!” pinta Mbah Sholeh. Setelah kejadian itu, Mbah Sholeh mengakui akan kesaktian dua bersaudara itu.
Banyak kisah-kisah luar biasa yang terjadi antara Sayid Sulaiman dan Mbah Sholeh. Di antaranya, pada suatu hari, Mbah Sholeh hendak bepergian. Sebelum pergi, beliau berpesan kepada semua santrinya agar halaman dibersihkan selama kepergiannya. Maka saat beliau berangkat pergi, semua santri Mbah Sholeh melaksanakan kerja bakti, Sayid Sulaiman dan Sayid Abdurrahim turut serta bersama mereka. Lagi-lagi Sayid Sulaiman membuat keajaiban. Ia mencabuti pohon-pohon besar hingga bersih total.
Setiba dari bepergiannya, Mbah Sholeh kaget melihat pohon-pohon besar yang dicabuti sampai bersih. Setelah tahu bahwa yang mencabuti adalah Sayid Sulaiman, Mbah Sholeh memerintahkan agar pohon-pohon itu dikembalikan seperti semula. Subhanallah, dengan izin Allah, pohon-pohon tersebut dapat dikembalikan lagi oleh Mbah Sayid. Sejak kejadian itu, berita tentang kesaktian Mbah Sayid Sulaiman tersiar dari mulut ke mulut di seluruh penjuru Pasuruan.
Setelah ‘mondok di Mbah Sholeh, Sayid Sulaiman tinggal di Kanigoro, Pasuruan. Sehingga beliau mendapat julukan Pangeran Kanigoro. Saat itu, beliau sempat menjadi penasehat Untung Surapati. Untung Surapati adalah tokoh terkemuka Pasuruan. Ia tercatat sebagai pahlawan yang berjasa mengusir penjajah Belanda dari Nusantara di Pasuruan.
Berita tentang kesaktian Sayid Sulaiman juga terdengar oleh Raja Keraton Pasuruan. Raja Pasuruan ini tidak percaya tentang kesaktiannya. Ia sering kali melecehkan kesaktian Mbah Sayid. Sampai suatu ketika Putri Keraton yang sedang berjalan-jalan keliling kota hilang. Kusir dan kereta kuda yang dipakai oleh sang Putri juga ikut raib. Sang Raja menjadi sedih bermuram durja.
Diadakanlah sayembara: Bagi yang menemukan sang Putri, akan mendapat hadiah yang amat besar. Tapi malang, tidak ada satu orang pun yang berhasil menemukan sang Putri. Sang Putri seperti lenyap ditelan bumi. Hati Raja semakin bersedih dan putus asa.
Akhirnya, ia meminta bantuan kepada Sayid Sulaiman yang sebelumnya sering ia hina. Di hadapan Sang Raja, Mbah Sulaiman memasukkan tangannya ke dalam saku. Tak berapa lama kemudian, beliau melemparkan sesuatu dari dalam sakunya ke halaman. Luar biasa! Dengan izin Allah, sang Putri muncul bersama kereta dan kusirnya di halaman Keraton. Konon, ia dibawa lari jin ke alam gaib.
Melihat putrinya kembali, hati Raja berbunga-bunga. Ia gembira alang-kepalang dan meminta agar Sayid Sulaiman menikahi putrinya itu sebagai tanda ucapan terima kasih atas jasanya. Namun Mbah Sayid menolak. Beliau memilih kembali ke Kanigoro.
Tak lama kemudian, Sayid Sulaiman diambil menantu oleh gurunya, Mbah Sholeh Semendi. Semula, beliau menolak, tetapi akhirnya menerima permintaan gurunya itu. Beliau menikahi putri Mbah Sholeh yang kedua. Sedangkan adiknya, Mbah Abdurrahim, mempersunting putri Mbah Sholeh yang pertama, kakaknya istri Mbah Sulaiman.
Mbah Abdurrahim tinggal di Segoropuro, Pasuruan, sampai meninggal dunia. Orang-orang mengenalnya dengan panggilan Mbah Arif Segoropuro. Sedangkan Mbah Abdul Karim, adik Sayid Sulaiman yang kedua, wafat di Surabaya dan dimakamkan di komplek pemakaman Sunan Ampel.
Selain beristri putri Mbah Sholeh, Sayid Sulaiman juga mempunyai istri dari Malang. Dari istrinya dari Malang ini beliau mempunyai putra bernama Hazam.
Kembali ke Cirebon
Setelah hari pernikahan, Mbah Sulaiman kembali ke Cirebon, Jawa Barat, tempat di mana ia lahir dan menghabiskan masa kanak-kanaknya bersama ayah dan ibu tercinta. Tapi pada saat itu, suasana di Banten dan Cirebon sedang ricuh disebabkan terjadinya pertikaian antara Sultan Agung Tirtayasa dengan putranya sendiri, Sultan Haji, yang terjadi berkisar pada tahun 1681-1683. Maka sejak tahun 1681, Sultan Agung Tirtayasa aktif melakukan penyerangan terhadap putranya ini. Pemicu pertikaian yang berlangsung sampai tiga tahun ini adalah pemihakan Sultan Haji pada Belanda.
Melihat hal ini, Mbah Sulaiman memutuskan untuk kembali lagi ke Pasuruan. Beliau kembali menetap di Kanigoro, sebuah dusun di desa Gambir Kuning.
Di Gambir Kuning beliau mendirikan dua buah masjid unik. Bahan bangunannya seperti kayu usuk, Belandar, ring, dan lain-lain hanya diambilkan dari kayu satu pohon terbesar di hutan Kejayan. Pohon besar itu adalah pemberian dari kepala hutan Kerajaan Untung Surapati Pasuruan. Karena ukuran pohon itu sangat besar, disediakanlah 40 ekor sapi untuk menariknya ke lokasi pembangunan masjid, tapi sapi-sapi itu tidak kuat membawanya. Tapi aneh, keesokan harinya kayu-kayu itu sudah ada di lokasi pembangunan. Konon, yang mengangkat kayu itu adalah Sayid Sulaiman sendiri.
Sampai sekarang masjid ini masih tetap ada. Namun, karena lokasinya yang sempit, masjid itu dipindah agak ke selatan oleh Syekh Rafi’i, cicit Mbah Sulaiman dari cucunya, Ummi Kultsum bin Hazam bin Sulaiman, pada bulan Rabiul Awal 1243 H, hampir dua abad yang lalu.
Masjid dengan gaya arsitektur kuno itu, kini telah berusia lebih dari 400 tahun. Sampai kini, bahan-bahan masjid peninggalan Mbah Sulaiman itu masih asli, kecuali lantai dan tiang bagian dalam.
Pergi ke Keraton Mataram
Kabar kekeramatan Mbah Sayid di Pasuruan terdengar kembali ke Keraton Mataram (Solo). Raja Mataram mengutus salah seorang adipatinya untuk memanggil Mbah Sayid di Pasuruan. Setibanya di Pasuruan, adipati tersebut mengajak Mbah Sayid untuk memenuhi panggilan Raja. Mbah Sayid bermaksud memenuhi panggilan ini.
Bersama tiga orang santrinya, Mbah Djailani (Tulangan Sidoarjo), Ahmad Surahim bin Untung Surapati, dan Sayid Hazam, putranya sendiri, beliau berangkat ke Solo. Di Keraton, Raja Mataram mengumpulkan pembesar-pembesar kerajaan. Ia menyiapkan jamuan besar-besaran yang betul-betul mewah. Namun ada yang terasa janggal di hati Mbah Sayid. Ada tiga keris pusaka yang diletakkan di alas cowek yang ada sambalnya ketika mereka sedang makan bersama-sama.
Mbah Sulaiman heran melihat keris di depannya itu. Beliau berbisik kepada santrinya, “Le, awakmu lali nggak mangan jangan kacang iki, ayo panganen situk edang! (Nak, kamu lupa tidak memakan sayur kacang ini. Ayo makan, masing-masing satu!),” perintah Mbah Sulaiman.
“Oh, enggih Mbah (Oh, iya Mbah),” jawab mereka serempak.
Tiga buah keris itupun habis dimakan seperti halnya makan sayur kacang-kacangan. Semua yang hadir terhenyak. “Kalau muridnya seperti ini, apalagi gurunya,” gumam mereka kagum.
Setelah acara makan-makan selesai, Raja Mataram Solo berembuk dengan pembesar-pembesarnya untuk mengangkat Mbah Sulaiman menjadi hakim. Namun saat kesepakatan ini disampaikan pada Sayid, beliau menolak, dengan alasan akan meminta pertimbangan dan restu kepada istri dan masyarakatnya yang ada di Pasuruan. Tentu saja, mereka yang di Pasuruan tidak menyetujui. Mereka tidak mau kehilangan tokoh yang disegani ini.
Wafatnya Sayid Sulaiman
Setiba di Pasuruan, setelah dari Solo untuk mengabarkan penolakan rakyat Pasuruan pada sang Raja, Sayid Sulaiman pamit kepada istrinya yang sedang hamil tua untuk pergi ke Ampel, Surabaya. Lalu meneruskan perjalanannya ke Jombang. Namun di tengah perjalanan, tepatnya di kampung Batek, Mojoagung, Jombang, beliau jatuh sakit, kemudian wafat dan dimakamkan di sana. Tidak diketahui dengan pasti tahun kewafatannya.
Istri Mbah Sulaiman yang sedang hamil tua itu terus menunggu kedatangan sang suami. Yang ditunggu-tunggu ternyata tidak kunjung datang. la memutuskan untuk mencari Mbah Sulaiman. Dari Pasuruan ke Sidoarjo, Surabaya, lalu ke Malang. Akhirnya ia melahirkan di Desa Mendit, dekat pemandian. Namun bayinya langsung meninggal dunia dan dimakamkan di Kampung Woksuru.
Istri Mbah Sulaiman ini tetap tidak putus asa. la terus mencari Sayid ke arah selatan, menuju Desa Sawojajar, Malang bagian timur. Tapi malang tak dapat ditolak, ia meninggal dunia sesampainya di desa Grebek.
Menurut versi lain, ketika pergi ke Solo untuk memenuhi panggilan Raja, Mbah Sulaiman tidak sampai ke Solo. Beliau jatuh sakit di tengah perjalanan, tepatnya di kampung Batek Mojoagung. Selama masa sakitnya, beliau dirawat oleh seorang kiai bernama Mbah Alif, sampai beliau memenuhi panggilan Tuhan. Selama berada di Mojoagung dalam rawatan Mbah Alif, Mbah Sayid Sulaiman berdoa kepada Tuhan, Kalau pertemuannya dengan Raja Solo dianggap baik dan bermanfaat, maka beliau memohon agar dipertemukan. Tetapi jika tidak, maka beliau minta lebih baik wafat di tempat itu. Akhirnya, permintaan yang kedua dikabulkan oleh Allah I. Beliau tidak sampai bertemu dengan Raja Mataram, dan wafat di Mojoagung.
Adipati yang disuruh menjemput Mbah Sayid, mengirim surat kepada Raja Solo, bahwa dirinya tidak akan kembali ke Solo dan memilih menetap di Mojoagung untuk menjaga makam Mbah Sayid. Sang adipati tetap tinggal di Mojoagung hingga meninggal dunia dan dimakamkan di sana pula.
Turunkan Pewaris Perjuangannya
Hasil jerih payah Mbah Sayid dalam segala usahanya membawa berkah amat besar bagi kehidupan beragama kaum Muslimin sampai sekarang. Perjuangannya mendirikan pesantren, melawan dan bergelut dengan tantangan, telah menorehkan napak tilas terciptanya apa yang kini kerap disebut dengan kentalnya moralitas agamis dan budaya pesantren. Beliau berjasa mendirikan Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan, juga menurunkan pewaris-pewaris perjuangannya. Para pewaris perjuangannya termasuk para ulama pemangku pesantren-pesantren besar, mulai dari Pondok Pesantren Sidogiri, Pondok Pesantren Sidoresmo dan Pondok Pesantren Al-Muhibbain Surabaya, sampai Pondok Pesantren Syaikhona Cholil Bangkalan.
Dari istri pertamanya di Krapyak Pekalongan, Sayid Sulaiman dikaruniai empat orang putra. Yaitu Hasan, Abdul Wahhab, Muhammad Baqir (makamnya ada di Geluran Sepanjang Sidoarjo), dan Ali Akbar. Keturunan Sayid Sulaiman dari jalur Abdul Wahhab, banyak yang tinggal di Magelang dan Pekalongan. Sedangkan keturunan beliau dari jalur Muhammad Baqir berada di Krapyak Pekalongan.
Abdul Wahhab dikenal sebagai pejuang yang gigih melawan penjajah Portugis dan Belanda. Begitu pula Hasan. Sayid yang masyhur dengan sebutan “Pangeran Agung” ini juga sosok pejuang pembebasan tanah Jawa dari cengkeraman Kompeni Belanda.
Melalui jalur Sayid Ali Akbar, banyak terlahir ulama-ulama pemangku pesantren di Jawa Timur. Sebut saja, Sidogiri, Demangan Bangkalan, dan Sidoresmo Surabaya.
Sampai kini, makam Sayid Ali Akbar tidak diketahui. Konon, karena kegigihannya menentang penjajah, ia selalu diburu oleh Kompeni Belanda. Suatu ketika, Belanda berhasil menangkap Ali Akbar dan akan dibuang ke Belanda dengan menggunakan kapal. Tapi di tengah pelayaran Sayid Ali Akbar hilang. Anehnya, ia muncul lagi di Sidoresmo.
Untuk kedua kalinya beliau ditangkap tentara Kompeni dan dibawa ke Belanda. Tapi seperti semula, beliau menghilang di tengah pelayaran dan kembali ke Sidoresmo. Kemudian, untuk ketiga kalinya beliau ditangkap dan dibawa ke Belanda. Tidak seperti penangkapan sebelumnya, Ali Akbar tidak kembali ke Sidoresmo. Ia terus menghilang. Konon, beliau lari ke Tarim di Hadramaut, kampung para wali di mana kakeknya, Abdurrahman Basyaiban, dilahirkan.
Sayid Ali Akbar meninggalkan enam putra yang kelak menjadi penerus jejak kakeknya, Mbah Sayid Sulaiman. Mereka adalah Sayid Imam Ghazali (makamnya di Tawunan Pasuruan), Sayid Ibrahim (makamnya di Kota Pasuruan), Sayid Badruddin (makamnya di sebelah Tugu Pahlawan Surabaya), Sayid Iskandar (makamnya di Bungkul Surabaya), Sayid Abdullah (makamnya di Bangkalan Madura), dan Sayid Ali Ashghar (makamnya di Sidoresmo).
Dari Sayid Abdullah, terlahir pewaris-pewaris perjuangan Sayid Sulaiman yang memangku pesantren seperti Sidogiri dan Demangan Bangkalan, yang masing-masing telah memiliki ribuan santri. Sedangkan keturunan Mbah Sayid Sulaiman dari Ali Ashghar di Surabaya telah ‘menguasai’ dua desa, Sidoresmo dan Sidosermo. Sekarang, di dua desa ini terdapat sekitar 28 pondok pesantren. Semuanya diasuh oleh keturunan Sayid Sulaiman. Sayid Ali Ashghar juga menurunkan ulama-ulama pemangku pesantren di Tambak Yosowilangon.
Sedangkan dari istrinya yang kedua, putri Mbah Sholeh Semendi, Sayid Sulaiman mempunyai beberapa putra. Di antaranya kiai Ahmad, Lebak Pasuruan. Dari istrinya yang ketiga di Malang, beliau mempunyai putra Sayid Hazam. Tetapi menurut riwayat lain, Hazam adalah putra Mbah Sulaiman dari istri yang kedua, putri Mbah Sholeh Semendi.
Pembabat Sidogiri
Konon, Mbah Sayid Sulaiman membabat Sidogiri atas titah dari Sunan Giri. Beliau harus berjuang habis-habisan untuk membabat Sidogiri. Tidak sekadar bekerja keras menebang pohon-pohon Sidogiri yang masih berwujud rimba, tapi juga harus bertarung melawan bangsa Jin, sebab Sidogiri yang saat itu masih sangat angker dan menyeramkan, menjadi sarang makhluk halus dan markas para dedemit (jin). Sayang, beliau keburu mangkat saat melakukan perjalanan ke Jombang, sebelum perjuangannya yang penuh pengorbanan ini berhasil dengan sempurna. Setelah wafatnya Sayid Sulaiman, tidak ditemukan data yang kuat mengenai pelanjut perjuangan beliau dalam mambabat Sidogiri. Jejak sejarahnya hilang dan baru tercatat sejak periode Kiai Aminullah.
Ada dua versi mengenai tahun berdirinya Pondok Pesantren Sidogiri. Dalam satu versi, Sidogiri didirikan pada tahun 1745. Dalam catatan lain Pondok Pesantren Sidogiri berdiri pada tahun 1712.
Tahun 1712 adalah tahun paling dekat dengan masa hidup Sayid Sulaiman. Sebab seperti disebutkan di muka, beliau membabat Sidogiri pada usia senjanya. Belum sempurna pembabatan Sidogiri, Sayid Sulaiman keburu meninggal. Sedang beliau hidup pada masa Untung Surapati yang meninggal tahun 1705. Sedangkan tahun 1745 diperkirakan masa hidup Kiai Aminullah. Jadi, kemungkinan besar, usia Pondok Pesantren Sidogiri 255 tahun pada tahun 2000 adalah terhitung sejak periode Kiai Aminullah ini.
Kiai Aminullah adalah seorang santri yang berasal dari Bawean. Menurut satu riwayat, beliau menikah dengan Nyai Masturah binti Rofi’i bin Umi Kultsum binti Hazam bin Sayid Sulaiman. Bersama Nyai Masturah, Kiai Aminullah menetap di Sidogiri. Namun menurut riwayat yang masyhur di kalangan keluarga Sidogiri berdasarkan catatan silsilah, Kiai Aminullah menikah dengan Nyai Indah binti Sayid Sulaiman. Menurut riwayat ini, Kiai Aminullah adalah menantu langsung Sayid Sulaiman.
Kiai Aminullah sendiri adalah figur abid (ahli ibadah) yang senang berkhidmah. Bahkan, sehabis salat Tahajud, beliau istikamah mengisi jeding masjid-masjid di sekitar Sidogiri. Hal ini terus beliau lakukan sampai empat tahun. Diketahui kemudian, bahwa menurut catatan nasab keluarga Sidogiri dan Bangkalan, Sayid Abdullah adalah putra Sayid Sulaiman, bukan cucu Sayid Sulaiman dari Sayid Ali Akbar. Dalam Buku Saku Santri Pondok Pesantren Sidogiri, tahun lahirnya Pondok Pesantren Sidogiri ada dua versi: 1718 dan 1745.
Sumber : http://sidogiri.net/index.php/profil/index/2
=============================================
Sejarah Islam di Indonesia : KRONOLOGI SEJARAH ISLAM DI INDONESIA
Sejarah Islam di Indonesia - Sejarah Islam di Indonesia
Tuesday, 06 October 2009 11:59
Oleh : Pandji Kiansantang
717 Dikabarkan oleh pengembara China yaitu Itsing bahwa ia menumpang suatu kapal dalam armada Timur Tengah yang menuju China dimana mereka singgah beberapa bulan lamanya di Aceh dan Sriwijaya.
1010 Dikabarkan tentang Naik Hajinya seorang Raja dari Sumatera
yang disebut “Haji Sumatrabhumi”.
1082 Angka dari makam seorang muslimat yaitu Fatimah binti Maimun di Leran Jawa Timur yang merupakan makam tertua di Pulau Jawa.
1271 Peurelah diserang Kerajaan Sriwijaya setelah Kesultanan Peurelah tunduk Tentara Sriwijaya ditarik mundur (1275)
1292 Armada Kapal Mongol-China dimana turut serta pengembara Italy yakni Marcopolo dalam perjalanannya ke Persia singgah 5 bulan di Aceh Utara.
1297 Wafatnya Raja Samudera Pasai yakni Marah Silu atau Sultan Malik As-Saleh.
1345 Pengembara muslim terbesar di masanya yakni Ibn Bathuthah utusan Sultan Delhi singgah di Kesultanan Pasai dan bertemu dengan S.Malik Az-Zahir.
1350 Tentara Majapahit dalam rangka “Persatuan Nusantara” Gajah Mada menundukkan Kesultanan Pasai.
1380 Tahun dari suatu makam muslim di Minje Tujoh Aceh yang berisi 2 bait Syair yang dinyatakan sebagai Kesusasteraan Islam tertua di Indonesia.
1414 Kerajaan Hindu Malaka menjadi Kerajaan Islam.
1419 Maulana Malik Ibrahim wafat di Gresik Jawa Timur.
1478 Berdirinya Kesultanan Demak dipimpin Raden Patah setelah menaklukan Kerajaan Hindu Majapahit.
1479 Cirebon melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Hindu Pajajaran dan menjadi pusat penyebaran Islam di Jawa Barat.
1495 Sultan Zainal Abidin dari Kesultanan Ternate memperdalam ilmu Agama di Giri.
1511 Armada Portugis dipimpin Alfonso D’Albuquerque menaklukan Kesultanan Malaka yang dipertahankan Sultan Mahmud Syah-Keluarga Raja menyingkirkan Riau.
1512 Bangsa Portugis untuk pertama kalinya tiba di Banda Maluku dipimpin Antonio D’ Abreu.
1513 Armada Demak dipimpin Pati Unus menyerang Portugis di Malaka yang berakhir dengan kekalahan total.
1517 Kesultanan Demak dipimpin Pati Unus meruntuhkan Kerajaan Majapahit karena rajanya yaitu Prabu Udara bersekutu dengan Portugis.
1520 Aceh dibawah Sultan Ali Mughayat Syah berkembang menjadi Kerajaan Besar dan pusat perdagangan di Selat Malaka.
1527 Armada Portugis yang melabuh di Pelabuhan Sunda Kelapa dihancurkan tentara Demak dipimpin Falatehah Sunda Kelapa menjadi Jayakarta.
1537 Serangan Aceh pertama terhadap Portugis di Malaka yakni di masa Sultan Alauddin Al-Kahar (1537-1571). Selanjutnya selama Portugis di Malaka 1511-1641 mengalami 13 kali serangan lagi dari kesultanan Aceh, tapi selalu gagal.
1546 Sultan Trenggono dari Demak wafat. Dimulainya kemunduran Demak akibat perebutan kekuasaan di antara sesama keluarga Sultan.
1568 Banten melepaskan diri dari kekuasaan Demak. Berdirlah Kesultanan Banten yang dikuasai Hasanuddin (1552-1570).
1570 Dengan licik Gurbernur Portugis di Ternate membunuh Sultan Khairun. Pembalasan oleh Sultan Baabullah (1570-1583) yang menyebabkan terusirnya Portugis (1575).
1579 Sultan Yusuf dari Banten (1570-1580) meruntuhkan Kerajaan Hindu Pajajaran. Bangsa Inggris tiba pertama kali di Indonesia yakni armada Sir Francis Drake dari Philipina di Ternate.
1581 Raja Pagarruyung Minangkabau masuk Islam.
1586 Kerajaan Pajang dipimpin Arya Pangiri (1582-1586) dikalahkan Adipati Mataram yaitu Sutawijaya. Kerajaan Pajang berakhir dan timbul Kerajaan Mataram dipimpin Sutawijaya (1586-1601).
1596 Tentara Banten menyerang Palembang dengan dipimpin Sultan Maulana Mohammad (1580-1596) tapi gagal kerena Sultan tewas. Bangsa Belanda tiba di Indonesia untuk pertama kalinya dengan 4 kapal Kongsi Compagnie Van Verre yang dipimpin Pieter de Keyzer (Kapten Kapal) dan Cornelis de Houtman (Pemimpin dagang) di Pelabuhan Banten.
1599 Pertentangan pertama antara bangsa Belanda dengan Bumiputra yakni di Aceh, dimana Cornelis de Houtman tewas, sedangkan armada Belanda lari ke Ceylon.
1602 a. Terbentuk kongsi dagang VOC di Amsterdam yang memiliki beberapa hak istimewa dengan Wilayah operasi antara Tanjung Harapan hingga Selat Magelhaens. Kekuasaan pertama: Ambon (1605).
b. Kesultanan Aceh mengakui berdirinya Negeri Belanda yang Merdeka dari Portugis.
1603 Kerajaan Goa-Tallo menjadi Kerajaan Islam.
1607 Perkasa Alam naik tahta Kesultanan Aceh dengan gelar Sultan Iskandar Muda (1607-1636), dimana dibawah kekuasaannya Aceh menjadi pusatnya dan menjadi pusat peradaban Islam di Nusantara. Berkuasanya Patih Ranamanggala (1608-1629) di Banten yang berpolitik keras pada Penjajah.
1611 Islam masuk ke Bone melalui penaklukan Kerajaan Goa-Tallo. Dipimpin Sultan Alauddin (1593-1639).
1612 Ibukota Banjarmasin dibumihanguskan kapal-kapal VOC, akibatnya Ibukota dipindahkan ke Martapura.
1613 Kekuasaan Mataram jatuh ke Mas Ransang yang bergelar Sultan Agung (1613-1645) mewujudkan puncak Mataram dengan perpaduan kebudayaan Islam dengan kebudayaan Hindu-Jawa.
1615 Kerajaan Islam Jambi menjadi Kesultanan dengan bergantinya gelar Raja menjadi Sultan.
1619 VOC dipimpin JP Coen merebut Jayakarta dari tangan Banten. Dijadikan kedudukan baru VOC dengan nama Batavia (1621)
1628 Serangan pertama Mataram dipimpin Bupati Kendal Baurekso terhadap VOC di Batavia gagal.
1629 Serangan Mataram kedua terhadap Batavia dipimpin Bupati Sunda Dipati Ukur. Meski gagal tetapi Gubernur Jenderal JP Coen (1618-1623:1627-1629) tewas.
1630 Wafatnya Mufti Sasterawan dan Shufi Aceh, yaitu Syamsuddin Asy-Sumatrany.
1637 Syekh Nurrudin Ar Raniry diangkat sebagai Mufti besar Aceh. Memulihkan paham Ahlussunnah Wal Jama’ah dan memberantas ajaran Wihdatul Wujud.
1638 Kitab Bustanussalatin ditulis Nuruddin Ar Raniry.
1639 Kerajaan Hindu Blambangan diruntuhkan Mataram.
1640 Raja Bima Sumbawa masuk Islam.
1641 Untuk pertama kalinya dalam Sejarah Islam Nusantara Wanita menjadi Sultan, yaitu Sri Tajul Alam Safiatuddiansyah (1641-1675) untuk Kesultanan Aceh.
1650 Raja Mas Cinni mendirikan Kesultanan Sumbawa.
1662 Kesultanan/Cirebon terpecah 2 karena Pangeran Giri laya (1650-1662) membagi 2 Kerajaannya yaitu untuk Raja Sepuh (Raja Tua) dan Raja Anom (Raja Muda).
1663 Kerajaan Pagarruyung melepaskan diri dari Aceh dengan bantuan VOC.
1667 Kerajaan Goa-Tallo menyerah terhadap VOC dan Aru Palakka dan menandatangani perjanjian Bongaya.
1669 Sultan Hasanuddin (1653-1669) yang kalah perang dipaksa turun tahta Kerajaan Goa-Tallo oleh VOC.
1674 Meletusnya pemberontakan terhadap Mataram yang bersekutu dengan VOC, yang dipimpin oleh Trunajaya ditumpas habis tahun 1680.
1680 Akibat penentangan para ulama Giri terhadap Mataram yang takluk pada VOC, panembahan Giri beserta segenap ulama disana mati syahid. Berakhirlah pemerintahan Ulama Giri.
1683 Menyerahnya Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682) terhadap Putranya Abdul Kahar/Sultan Haji yang bersekutu dengan VOC dalam Perang Saudara Banten (1681-1683). Banten tunduk pada VOC.
1692 Kerajaan Hindu Bali menaklukan rakyat Lombok.
1699 Banten menaklukan rakyat Lombok.
Berakhirnya masa pemerintahan Ratu-ratu Aceh digantikan oleh Sultan-sultan keturunan Sayid Arab.
1706 Untung Surapati gugur dalam Pertempuran melawan VOC di Bangil Jawa Timur.
1735 Sayid Abdurrahman berdakwah di Pulau Bangka dan Belitung.
1740 Kerajaan Mataram di Pulau Lombok kalah perang atas Kerajaan Hindu Karangasem dari Bali.
1749 Kerajaan Mataram Jawa diserahkan Sultan Paku Buwana II (727-1749) pada VOC.
1750 Pemberontakan rakyat Maulana Banten terhadap Raja-raja Banten Boneka Belanda. Dipimpin oleh Kyai Tapadan Ratu Bagus. Sesudah 1753 menjadi Gerilya.
1755 Ditandatangani Perjanjian Gianti antara Mangkubumi VOC dan Sultan Mataram dimana dinyatakan berdirinya Kerajaan Yogyakarta pecahan dari Mataram yang di Rajai Mangkubumi dengan gelar Hamengkubuwono I.
1757 Ditanda tangani perjanjian Sala Tiga yang menyatakan Mas Said sebagai Raja Mangkunegara dengan Mangkunegara I.
1779 Syarif Abdurrahman mendirikan Kesultanan Pontianak
1787 VOC memperoleh kekuasaan atas Kesultanan Banjarmasin.
1788 Meletus pemberontakan rakyat dan Ulama Cirebon terhadap Belanda yang mengawali serangkaian pemberontakan berikutnya.
1799 VOC dihapuskan seluruhnya karena bangkrut total, kekuasaan di Indonesia langsung ditangani dari Negeri Belanda yang diwakili oleh Pemerintah Hindia Belanda
1801 Kesultanan Tidore dipimpin oleh S.Nuku (1797-1805) mengusir Belanda dari Tidore.
1803 Pulangnya ke Minangkabau 3 Haji yang membawa masuk Paham Wahabi dari Tanah Suci. Bibitnya timbul Gerakkan Paderi.
1808 Belanda menyerahkan kekuasaan di Indonesia pada Perancis yang diwakili Gubernur Jendral Daendels (1808-1811) yang kejam.
1811 Kesultanan-kesultanan di Cirebon dihapuskan oleh Daendels Perancis menyerahkan kekuasaan di Indonesia pada Inggris yang diwakili Gubernur Jendral R. Raffles (1811-1816 )yang licik.
1813 Raffles menurunkan S.Muh.Aliuddin Kesultanan Banten dihapuskan.
1821 Meletuslah Perang Paderi antara Kaum Paderi dengan Kaum Adat yang dibantu Belanda. Perlawanan S.Mahmud Badaruddin II dari Pelembang dipatahkan oleh Tentara Belanda dpp Letjen de Kock.
1824 Belanda memajukan Perjanjian Ujung Pandang pada Kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan yang menyatakan kedaulatan penuh Belanda. Sebagian kerajaan dpp Bone menolaknya.
1825 Pecah Perang Diponegoro yang menggabungkan unsur bangsawan yang dpp, P.Diponegoro, unsur Ulama dpp Kyai Maja dan unsur rakyat jelata dpp Sentot Ali Basyah.
1830 Dengan licik De Kock menangkap P.Diponegoro di Magelang. Berakhirnya perang Diponegoro.
1833 Kesultanan Jambi dpp S.Fakhruddin (1833-1841) menyerah pada Belanda.
1837 Pertahanan kaum Paderi di Bonjol jatuh pada Belanda.
1847 Rakyat Sintang di Kalimantan Barat dipimpin Ade Idris Pangeran Ratu memberontak pada kekuasaan Belanda
1859 Pecah Perang Banjar dpp Pangeran Antasari dan P.Hidayat. Belanda menghapuskan Kesultanan Banjar.
1873 Belanda Menyerbu Aceh, dimulailah Perang Aceh
1874 Tentara Belanda dpp Van Swieten merebut Ibukota Aceh.
1878 Tentara Belanda menduduki Istana Jambi, Sultan Thaha Safiuddin (1851-1878) menyingkir dan bergerilya terhadap Belanda.
1882 Dibentuknya Pengadilan Agama (Priestaraad) di Jawa dan Madura.
1888 Pecah Perang/Pemberontakan Ulama di Cilegon.
1894 Suku Sasak Lombok dibantu Belanda mengusir Kekuasaan Hindu Bali, lalu Belanda mengambil alih kekuasaan Lombok.
Pemimpin Aceh Teungku Chi’di Tiro wafat.
1899 Pemimpin gerilya Teuku Umar gugur di Aceh Haji Abdullah Ahmad mendirikan Sekolah Modern pertama di Minang yaitu Sekolah Adabiyah.
KH. Hasyim Asy’ari mendirikan Pesantren Tebu Ireng di Jombang.
17 Juli 1905 Pembentukan Organisasi dakwah dan pendidikan Jamiyatul Khairiyah di Jakarta.
16 Oktober 1905 Berdirinya organisasi serikat dagang Islam (SDI) dipimpin H.Samanhudi di Solo
30 Juli 1905 Perlawanan Rakyat Bone dipimpin raja terakhir: Karaeng Sigeri (1895-1905) ditumpas.
10 September 1912 SDI menjelma menjadi Serikat Islam (SI)
18 November 1912 KH.Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah di Yogyakarta.
18 Maret 1915 Dibentuknya Central Serikat Islam (CSI) sebagai badan pemersatu SI-SI lokal.
24 Juni 1916 Dibukanya Kongres Nasional CSI di Bandung ayang merupakan Kongres terbesar di masa pergerakan Nasional.
18 Mei 1918 Pembukaan Volksraad yang menimbulkan perpecahan strategi pergerakan nasional yaitu Koperasi dan Non-ko.
15 Februari 1920 Kaum Muda mendirikan Thawalib Sumatera di Padang panjang.
10 Oktober 1921 Golongan komunis dikeluarkan dari Serikat Islam
25 Oktober 1922 PKI menggerakkan SI Merah untuk menandingi SI asli.
31 Oktober 1922 Diadakan Kongres Al Islam oleh SI dan Muhammadiyah dalam rangka mempersatukan umat Islam.
1 Januari 1925 Pembentukan Jong Islamieten Bond oleh anggota-anggota Jong Java yang berhaluan Islam.
31 Januari 1926 Pembentukan Nahdatul Ulama (NU) di Surabaya oleh KH.Hasyim Asy’ari
20 Mei 1930 Berdirinya Persatuan Muslimin Indonesia (PERMI) di bukit tinggi.
04 Oktober 1934 Berdirinya Partai Arab Indonesia (PAI) di Solo oleh golongan peranakan Arab dipimpin Ar Barswe.
28 November 1936 Golongan Komperator PSII dipimpin HA.Salaim mendirikan barisan.
18 Oktober 1937 Akibat Tindakan keras pemerintah kolonial maka PERMI dibubarkan.
01 Maret 1838 Terbentuknya Federasi organisasi-organisasi Islam yaitu Majelis A’la Islam Indonesia (MIAI)
06 Desember 1938 Terbentuknya Partai Islam Indonesia (PII) di Yogyakarta.
05 Mei 1938 Ulama-ulama Aceh Mendirikan Persatuan Ulama seluruh Aceh (PUSA).
4 September 1942 Dalam rapat yang diselenggarakan Pemerintah Jepang tokoh-tokoh Islam menolak Federasi baru dan mempertahankan MIAI
Mei 1943 Jepang mengorganisir Guru-guru Islam dalam “Penggabungan Guru Islam Indonesia“ yang dpp Haji Abdulkarim Amrullah.
24 Oktober 1943 Dibentuknya Majelis Syuro Muslimin Indonesia(Masyumi) sebagai pengganti MIAI.
25 Februari 1944 Meletus pemberontakan Singaparna dipimpin KH. Zainal Mustafa yang ditumpas secara kejam oleh Jepang.
8 Desember 1944 Berdirinya Lasykar Pemuda Hizbullah oleh Pemerintah Jepang yang dipimpin KH. Ainul Arifin
01 Mei 1945 Jepang mengumumkan bahwa hari Jumat adalah setengah libur bagi instansi pemerintah.
22 Juni 1945 Ditanda tanganinya Piagam Jakarta oleh 9 anggota panitia perumus yaitu, rumusan Pancasila ditambah 7 kata: “Dengan menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluk pada H. sila pertama”.
17 Agustus 1945 Proklamasi Kemerdekaan RI Indonesia
2 Oktober 1945 Dibentuknya Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) dipimpin Harsosno Cokroaminoto.
November 1945 Dibentuknya Laskar Perjuangan Sabilillah dipimpin KH.Masykur
7 November 1945 Terbentuknya wadah tunggal parpol Islam Indonesia yaitu Masyumi.
3 Januari 1946 Diadakannya Departemen Agama
5 Februari 1947 Berdirinya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di yogya diketuai HMS.Mintareja
25 Maret 1947 Perjanjian Linggarjati, yang ditentang Masyumi dan PNI serta dibela Presiden dan Wapres
22 April 1947 PSII keluar dari Masyumi
17 Januari 1948 Persetujuan Renville, yang didukung semua pihak kecuali kaum Komunis dan golongan Islam extrim yang membentuk Darul Islam.
27 November 1948 Berdirinya Serikat Guru Islam Indonesia (SBII), Ormas Masyumi dipimpin Moh. Alyono
7 Agustus 1948 SM. Kartosuwiryo Memproklamasikan Negara Islam Indonesia (NII)
Desember 1949 Dibentuknya Panitia Haji Indonesia (PHI) sebagai Organisasi pengatur Ibadah Haji yang resmi.
17 Agustus 1950 Negara kesatuan RI terbentuk dilandasi UUDS 1950 yang mempraktekan Demokrasi Liberal.
1 Mei 1952 NU keluar dari Masyumi
30 Agustus 1952 NU, PSII dan Perti bergabung dalam Liga Muslimin Indonesia (LMII)
21 Desember 1953 Meletus pemberontakan Daud Beureuh yang didukung PUSA di Aceh.
24 Maret 1956 Dilantik Kabinet Pemilu 1955 yang hanya bertahan 1 tahun.
21 Februari 1957 Presiden Soekarno mengemukakan gagasan Demokrasi terpimpin
5 Juli 1959 Dekrit Presiden kembali ke UUD ‘45
8 Februari 1960 Pemberontakan PRRI memproklamasikan Republik Persatuan Indonesia (RPI) di Padang dengan Syaffrudin Prawira Negara sebaga Presiden
17 Agustus 1960 Presiden Soekarno membubarkan Masyumi dan PSI
3 Februari 1965 Berakhirnya pemberontakan DI/TII di Indonesia dengan tertembak matinya Gembong terakhir yaitu Kahar Muzakar di Makasar.
30 September 1965 Pengkhianatan G-30 S/PKI
20 November 1968 Pemerintah membentuk Partai Muslimin Indonesia (Parmusi)
5 Januari 1973 Terbentuklah Fusi Parpol Islam yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
26 Juli 1975 Pemerintah mendirikan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dipimpin Prof.Dr.Hamka.
Nabi SAW:مَنْ صَلَّى عَلَيَّ فِي كِتَابٍ لَمْ تَزَلِ الْمَلَائِكَةُ تَسْنَغْفِرُ لَهُ مَا دَامَ اسْمِي فِي ذَلِكَ الْكِتَابِ (Barang siapa menulis sholawat kpdku dlm sebtah buku, maka para malaikat selalu memohonkan ampun kpd Alloh pd org itu selama namaku masih tertulis dlm buku itu). اَلتَّحِيَّاتُ الْمُبَارَكَاتُ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ لِلّٰهِ اَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ اَلسَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusBerdasarkan ahli sejarah sayid Muhammad Dhiya Syahab, sayid Abdurrahman bin Umar ini datang dari Hadramaut ke Cirebon pada abad ke 18 Masehi., Menurutku yang masuk akal sayid Abdurrahman bin Umar masuk Cirebon pada abad 15 itu baru benar
BalasHapus