ABDUL HAMID MUDJIB HAMID BERSHOLAWAT

Minggu, 24 Juli 2011

sejarah PONDOK PESANTREN ZAINUL HASAN GENGGONG PROBOLINGGO DARI MASA KE MASA

PONDOK PESANTREN ZAINUL HASAN GENGGONG DARI MASA KE MASA
=========================================================
Salah satu pesantren salaf tua di Indonesia adalah Pesantren Genggong. Genggong adalah nama sejenis bunga. Bunga ini banyak tumbuh di sebuah desa bernama Karangbong. Desa ini terletak di Kecamatan Pajarakan, ± 25 km arah timur Kabupaten Probolinggo. Sebelum berada di Kecamatan Pajarakan, dulu Pesantren Genggong berada di wilayah Kawedanan Kraksaan. Menurut cerita, dulu bunga ini sering digunakan oleh masyarakat untuk riasan penganten, khitan (sunat), dan beberapa keperluan-keperluan lain. Seiring dengan berjalannya waktu, perhatian masyarakat pada bunga ini berkurang hingga bunga Genggong tidak pernah lagi terlihat di desa tersebut. Tidak ada masyarakat yang pernah lagi melihat bunga ini tumbuh. Masyarakat pun menganggap bunga ini telah punah.
Adalah KH. Zainul Abidin, seorang ulama keturunan Maghrabi (Maroko), pada tahun 1259 h/1839 m mendirikan sebuah pesantren di desa tersebut. Beliau pernah menuntut ilmu di Pesantren Sidoresmo Surabaya. sayang sekali tidak ada sumber yang menyebutkan silsilah KH. Zainul Abidin dengan jelas dan terperinci. Oleh masyarakat, pesantren yang didirikan beliau dinamakan Genggong, sesuai dengan nama bunga yang dimaksud. Hingga saat naskah ini disusun, Pesantren Genggong telah diasuh oleh empat orang pengasuh. Pengasuh pertama sekaligus pendirinya adalah KH. Zainul Abidin. Beliau menjadi mengasuh pesantren sejak didirikan hingga wafat pada 1890 m.
Di masa awal, partisipasi dan perhatian masyarakat sekitar belum begitu nampak, namun lama-kelamaan para santri makin bertambah dari tahun ke tahun sehingga diperlukan pembangunan lokasi menginap para santri yang akan bermukim. karena bangunan yang ada masih belum cukup untuk menampung jumlah santri yang semakin meningkat, maka pengajian-pengajian dilakukan di tempat-tempat darurat selama masih layak ditempati. perlahan, bangunan-bangunan yang disebut kotakan tersebut mulai berdiri berkat usaha KH. Zainul Abidin serta dukungan dari masyarakat sekitar dan para wali santri. Kotakan adalah istilah lain dari kamar untuk menyebut tempat menginap santri pada masa awal berdirinya Pesantren. Kotakan ini terbuat dari bahan bambu dan kayu. Biasanya satu kotakan bisa ditempati oleh beberapa orang santri. Jumlah santri yang tinggal di satu kotakan tergantung dari besar dan luasnya kotakan.
Berkat ketekunan dan kesabaran dalam melayani para santrinya yang mengaji, makin hari makin banyak santri yang datang untuk menuntut ilmu. Ini adalah buah yang dipetik KH. Zainul Abidin yang telah dilihat langsung dan didengar oleh masyarakat. berkat ilmu dan keahliannya, maka mulai berdatangan orang tua santri untuk menitipkan putranya kepada beliau.
Pengasuh kedua adalah KH. Mohammad Hasan. Beliau adalah menantu KH. Zainul Abidin dari putri beliau yang bernama Nyai Ruwaidah. Sejak pernikahan inilah KH. Mohammad Hasan membantu mertuanya dalam membina pesantren. Beliau mengembangkan sistem pendidikan pesantren salafiyah (tradisional) dengan metode pembelajaran dan pendidikan klasikal. Masa ini bersamaan dengan perjuangan fisik kemerdekaan Indonesia melawan penjajah. Organisasi-organisasi pergerakan yang bersifat nasional maupun lokal mulai terbentuk. Di tengah situasi tersebut itulah KH. Mohammad Hasan mengasuh pesantren. Beliau menjadi pengasuh pesantren sejak wafatnya KH. Zainul Abidin tahun 1890-1952 m. Beliau wafat pada tahun 1955 m.
Pengasuh ketiga adalah KH. Hasan Saifouridzall. Beliau adalah putra KH. Mohammad Hasan dari pernikahan dengan istri beliau yang bernama Nyai Hj. Siti Aminah. Pada masa beliaulah pengembangan pendidikan formal mulai dilakukan dengan memadukan kurikulum pendidikan agama dan salafiyah dengan kurikulum nasional yang ditandai dengan membuka lembaga pendidikan dari tingkat pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Beliau menjadi pengasuh pesantren tahun sejak tahun 1952 hingga wafat pada 1991 m. Sebenarnya KH. Mohammad Hasan wafat pada 1955 m., namun kepemimpinan pesantren telah diserahkan pada tahun 1952 m. di saat KH. Mohammad Hasan sudah berusia senja. Kepengasuhan keempat diteruskan oleh KH. Mohammad Hasan Mutawakkil Alallah. Beliau adalah putra KH. Hasan Saifouridzall dari pernikahan dengan Nyai Hj. Himami Hafshawati. Beliau menjadi pengasuh pesantren sejak tahun 1991 m.
Selama perjalanannya pesantren ini telah mengalami 3 kali perubahan nama yang digunakan secara bergantian. Genggong adalah nama pertama pesantren ini. Nama genggong digunakan sejak awal berdirinya pada tahun sampai tahun 1952 m. Saat bernama genggong, pesantren ini telah diasuh oleh 2 (dua) orang pengasuh, yaitu KH. Zainul Abidin dan KH. Mohammad Hasan.
Perubahan nama untuk pertama kalinya terjadi pada tahun 1952 m. Nama genggong secara formal dirubah menjadi Asrama Pelajar Islam Genggong, disingkat APIG. Nama ini digunakan sampai tahun 1959 m. Perubahan ini terjadi pada masa kepengasuhan KH. Hasan Saifouridzall. Perubahan kedua ialah dengan mengganti APIG dengan Zainul Hasan. Nama ini ditetapkan sejak tanggal 19 juli 1959 m./1 muharram 1379 h. Nama Zainul Hasan ini diambil dari nama dua tokoh yang telah membesarkan Pesantren Genggong. Nama Zainul diambil dari nama KH. Zainul Abidin sebagai pendiri Genggong, sedangkan nama Hasan diambil dari nama KH. Mohammad Hasan, pengasuh kedua. Perubahan-perubahan nama tersebut tidak sepenuhnya dipahami masyarakat. Secara formal, nama pesantren ini adalah Zainul Hasan, namun masyarakat umum lebih mengenal nama Genggong dan tetap menyebutnya demikian.
Pesantren Genggong didirikan atas dasar cita-cita mulia dan luhur serta tanggung jawab secara keilmuan melihat fenomena masyarakat awam yang perlu mendapatkan sentuhan ilmu pengetahuan dan agama. Perilaku masyarakat pada awal berdirinya pesantren banyak bertentangan dengan nilai-nilai agama seperti melakukan perbuatan dosa besar kepada Allah SWT. Atas dasar itulah pesantren ini didirikan.
Keberadaan Pesantren Genggong di tengah-tengah kehidupan masyarakat mendatangkan banyak manfaat bagi daerah sekitarnya. Sektor-sektor kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya perlahan mulai terangkat dan terbenahi. Mentalitas masyarakat yang masih terpaku pada sistem adat-istiadat lama yang tidak bersesuaian dengan nilai-nilai agama perlahan diperbaiki. Upaya perubahan yang dilakukan Pesantren Genggong mendapatkan simpati masyarakat dengan mendukung perkembangan pesantren.
Kelak ketika santri telah pulang ke masyarakat, mereka diharapkan mampu mewarnai kehidupan masyarakat dengan tetap berpegang pada satu prinsip yang disebut “Satlogi Santri” yang digagas oleh KH. Hasan Saifouridzall. Satlogi santri ini merupakan kependekan dari
S (sopan santun)
A (ajeg/istiqomah)
N (nasehat)
T (taqwallah)
R (ridlallah)
I (ikhlas).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar