ABDUL HAMID MUDJIB HAMID BERSHOLAWAT

Senin, 18 Februari 2013

NU, Historiografi, dan Peristiwa Pasca September 1965

================
NU, Historiografi, dan Peristiwa Pasca September 1965
=======================
Oleh: Erwin Kusuma
Berbicara tentang NU (Nahdlatul Ulama) kita akan membicarakan suatu komunitas Islam tradisional yang turut berperan penting dalam menentukan pemikiran dan gagasan tentang negara bangsa bernama Indonesia.
Secara historis, NU terlahir pada dekade 1920-an di Surabaya, salah satu kota pusat pergerakan nasional di Indonesia.
Dalam periode pergerakan nasional itu kita menemukan kisah bahwa KH Wahab Chasbullah, sang penggagas NU, bergaul akrab dengan Cokroaminoto bersama semua anak didiknya seperti Soekarno, Musso, Alimin, Kartosuwirjo, dan lain-lainya yang tengah menempuh pendidikan tingkat menengah di Surabaya.

Banyak karya indonesianis yang telah mengungkap peranan NU dalam berbagai periode sejarah Indonesia, meski masih banyak pula peranan NU yang belum terungkap di dalamnya. Sebagimana dituliskan Henk Schulte Nordholt dkk (2008) bahwa jika kita mengakui bahwa sejarah tentang apa yang terjadi dan sejarah tentang apa yang dikatakan telah terjadi adalah dua dimensi dari penulisan sejarah, maka kita juga harus mengakui bahwa perdebatan tentang sejuh mana terdapat batas yang tajam antara kedua dimensi itu belum selesai. Menurut Nordholt ada dua faktor utama yang telah membentuk situasi tersebut; pertama, pembentukan pengetahuan sejarah (historical knowledge) tergantung pada penguasaan terhadap sejumlah sumber daya institusional yang memungkinkan rekonstruksi, produksi, dan sirkulasi pengetahuan tentang masa lalu; kedua, tantangan terhadap narasi besar (grand narratives) tentang masyarakat dan masa lalu juga merupakan bagian dari dinamika hubungan kekuasaan.

Demikian halnya dengan historiografi NU --sebagai derivasi dari historiografi Indonesia-- selama ini harus menghadapai dua faktor tersebut di atas. Berbagai historigrafi nasional yang selama ini menempatkan NU dalam posisi yang tidak tepat dan seolah-olah peranan NU dinihilkan adalah produk historiografi dari sumber-sumber daya yang dikuasai oleh Negara dan kekuasaan politik tertentu yang tidak melibatkan NU sebagai pelaku sejarah. Selain itu, narasi besar sejarah Indonesia dalam periode-periode penting yang telah dihasilkan oleh indonesianis seperti George Mc Turnan Kahin, Herbert Feith, Lance Kastle, JD Legge, telah menempatkan NU sebagai komunitas yang kurang mempunyai peranan dalam sejarah, sebagai variable negative dalam sejarah, digambarkan sebagai kelompok puritan yang tidak terdidik, para pemimpinnya berwawasan jumud berbasis massa tapi tidak mempunyai pemikiran politik yang orisinil, dan berbagai label lainnya yang cukup merugikan NU sebagai sebuah komunitas.

Akhir-akhir ini, narasi besar semacam itu, terutama yang terkait dengan apa yang terjadi atau apa yang dikatakan telah terjadi pasca peristiwa September 1965 kembali meletakkan NU pada posisi yang sangat merugikan bagi NU. Dalam suatu opininya majalah Tempo (Edisi 1-7 Oktober 2012) menuliskan “NU adalah organisasi yang aktif berperan membersihkan PKI di Jawa Tengah dan Jawa Timur”, suatu pernyataan yang sudah pasti menyudutkan NU dalam suatu titik sejarah kelam bangsa Indonesia. Dalam redaksi semacam itu orang akan mudah berkesimpulan bahwa NU adalah satu-satunya pelaku aktif dalam peristiwa itu, dan seolah-olah pula peristiwa itu adalah suatu peristiwa yang berdiri tunggal, terpisah dari peristiwa lainnya yang mendahuluinya atau menyudahinya. Tapi demikianlah sejarah adalah milik siapa yang menuliskannya, tafsirannya kemudian diserahkan kepada khalayak publik yang membacanya.
***

Dalam menyikapi itu, baiknya NU harus mengingatkan kepada semua komponen bangsa ini, baik pemerintah, akademisi, aktivis HAM, media massa, dan semua organisasi masyarakat yang ada, bahwa suatu narasi sejarah tidaklah hanya suatu urutan (sequence) yang disusun oleh para sejarawan atau bahkan oleh para awak jurnalis suatu media, yang lalu dapat dikisahkan secara naratif tanpa melihat kausalitas dan penjelasan sejarah yang diharapkan dapat menjernihkan suatu peristiwa dengan sebaik-baiknya. Pada saat ini bangsa Indonesia --termasuk NU-- membutuhkan suatu narasi sejarah yang dibentuk melalui suatu penafisiran, pemahaman, dan pengertian yang dapat menjelaskan adanya suatu relativisme dalam penjelasan sejarah. Sejarah adalah suatu ilmu yang merekonstruksi suatu peristiwa masa lampau dengan manusia sebagai subyek pelaku dan obyeknya sekaligus. Sejarah bukanlah disiplin ilmu sebagaimana ilmu alam atau ilmu eksakta yang menerangkan sesuatu serba ajeg dan terukur sehingga bisa dikatakan sebagai sesuatu yang ilmiah. Dalam sejarah selalu ada unsur manusia yang unik dan partikular di dalam berbagai lintasan peristiwa lampau, sehingga objektifitas studi sejarah akan berbeda dengan objektifitas studi ilmu alam atau ilmu eksakta misalnya.  

Dengan pemahaman sejarah yang sedemikian rupa, NU harus segera menyusun suatu historigrafi yang mampu menjawab atau memaparkan berbagai peristiwa sejarah dalam suatu perspektif yang berbeda dari apa yang selama ini dinarasikan dalam historiografi nasional, historiografi kelompok tertentu, atau opini jurnalistik yang disebarkan kepada kalangan luas di luar NU. Suatu historiografi yang dianggap objektif harus mendapatkan kritik dan perbandingan dari historiografi lainnya yang juga mempunyai potensi objektifitas yang sama. NU berhak untuk melakukan hal itu, menandingi berbagai sumber daya pembentuk narasi sejarah yang meletakkan NU pada posisi yang tidak menguntungkan bagi masa depan NU.

Sebaiknya yang dilakukan NU bukanlah sekedar pembelaan, tapi lebih utama lagi NU harus mengembalikan diskursus peristiwa pasca September 1965 sebagai ranah studi sejarah yang terbuka untuk terus dikaji, ditafsirkan, dan dituliskan dengan berbagai kemungkinan fakta sejarah yang tidak datang dari satu dimensi saja. Kejujuran, keterbukaan, dan tanggung jawab atas keabsahan fakta apa yang nantinya diungkapkan harus benar-benar menjadi pedoman utama dalam penulisan sejarah NU. Pedoman semacam ini juga berlaku dalam menuliskan peran sejarah NU dalam berbagai masa dan peristiwa lainnya yang terjadi di Indonesia.

***

Lalu apa modal yang telah tersedia untuk menyusun historiografi NU? Antara lain di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) terdapat beberapa rol mikro film tentang arsip-arsip organisasi NU yang sangat berharga dan jarang dijamah oleh para peneliti sejarah. Paling tidak sebagai langkah awal NU harus segera menyusun suatu summary untuk berbagai arsip tersebut, memilah-milah diantara informasi kronologis, informasi kebijakan, dan produk pemikiran yang lahir dalam organisasi NU.

Selanjutnya di arsip Pusjarah TNI (Museum Satria Mandala) juga terdapat koleksi koran NU, yaitu Duta Masyarakat pada awal 1950an yang lebih lengkap daripada koleksi yang ada pada Perpustakaan Nasional. Dalam koran-koran itu terserak berbagai pemikiran tokoh-tokoh NU yang selama ini dianggap dan dinarasikan oleh para Indonesianis bahwa tokoh-tokoh NU itu jarang menulis dan hanya sedikit saja mempunyai produk pemikiran yang berarti. Padahal, jika kita telusuri berbagai bulletin atau selebaran Masyumi sejak periode pra kemerdekaan hingga berbagai kolom Duta Masyarakat yang beredar pada periode Orde Lama, tokoh-tokoh NU seperti Wahid Hasyim, Saifuddin Zuhri, dan A.A Achsien adalah para aktivis pergerakan yang aktif menuangkan pemikiran mereka dalam tulisan. Demikian halnya pada periode setelah Orde Lama, Mahbub Junaidi, Said Budairy, dan tentu saja Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah tokoh-tokoh NU yang piawai dalam mengolah pemikirannya dalam suatu tulisan tersiar.

Diluar data-data itu, berbagai arsip organisasi juga dapat kita himpun dari berbagai pelaku sejarah NU yang gemar menyimpan arsip-arsip NU sebagai koleksi pribadi atau koleksi keluarga. Mereka kebanyakan menganggap bahwa arsip-arsip NU itu bersifat sakral dan warisan orang tua yang harus dijaga sehingga mereka tak mudah untuk merelakannya kepada orang lain kecuali benar-benar percaya bahwa warisan itu akan terawat dengan baik. Idealnya arsip-arsip itu dihimpun dan disimpan oleh bagian Arsip PBNU atau paling tidak copy arsip tersebut baik dalam bentuk fisik maupun digital tersimpan di PBNU. Melalui cara itu usaha memetakan dan membuat summary arsip-arsip NU tersebut dapat dilakukan dengan baik. Dengan begitu arsip-arsip itu akan segera memberikan manfaat kepada kita, yaitu informasi sejarah yang berharga dan tidak hanya tersimpan sebagai lembaran kertas usang yang tak bermanfaat.    

Selain melakukan usaha penelusuran berbagai sumber sejarah yang telah ada, NU sebagai organisasi modern juga harus mulai melakukan sistem pendokumentasian aktivitas organisasi secara teratur, dan menata sistem kearsipan dan pustaka NU dengan lebih sistematis. Dari mulai saat ini, yang juga mendesak untuk dilakukan adalah usaha pendokumentasian secara audio dan visual kisah kisah para pelaku sejarah NU dalam setiap lapisan masyarakat. Dari mulai kyai, sebagai pemimpin NU, jamiyyah NU yang setia menjadi santri para kyai kyai itu, hingga para anggota Banser yang selalu siap sedia di garis depan membantu hampir semua aktivitas NU, sebaiknya tak luput dari usaha pendokumentasian. Pendokumentasian ini harus segera dilakukan dan secara simultan dilakukan analisa berupa cek silang narasumber untuk suatu masalah tertentu yang kebetulan saling terkait satu sama lain. Meskipun tingkat subjektifitas dokumentasi semacam ini relatif tinggi, tapi sebagai upaya untuk membangun suatu objektifitas sejarah pada level yang lebih besar lagi, di luar NU, dokumentasi itu sangat dibutuhkan.  

***

Dengan berbagai modal sumber sejarah yang telah ada maupun yang sedang diadakan itu, usaha untuk mewujudkan suatu historiografi NU adalah suatu keniscayaa. Bahkan, hingga saat ini NU adalah satu-satunya organisasi masyarakat Islam yang telah memiliki museum (Museum NU, Gayungsari, Surabaya). Meski harus terus ditingkatkan sistem penataan tata pamernya, Museum NU di Surabaya adalah bukti bahwa kesadaran bersejarah telah terpupuk dalam diri warga NU. Museum itu adalah bentuk lain dari sebuah historiografi yang seharusnya tertulis dan terekam dalam bentuk narasi tekstual. Dan dari museum NU itulah antara lain dapat kita sadari bahwa sesungguhnya banyak benda-benda bersejarah milik NU yang dapat dikembangkan menjadi sebuah kisah sejarah, lalu jika dituliskan sesuai dengan metode sejarah yang baik, sudah tentu akan menjadi sebuah karya historiografi.

Sesederhana apa bentuknya, menurut hemat saya, kisah sejarah yang telah tertulis dan terekam adalah bagian dari historiografi. Misalnya saja, sejak beberapa tahun yang lalu NU Online mempunyai rubrik  fragmen sejarah --yang dituliskan oleh para awak media online NU – juga dapat dianggap sebagai historiografi NU. Penggalan kisah kisah kecil (petite histoire) dalam fragmen itu bila disusun secara sistematis dan tersampaikan dalam bentuk teks yang lebih menjangkau masyarakat NU secara luas --terutama generasi muda-- akan dapat menjadi media historiografi NU yang sangat efektif dan lebih bersifat kultural. Meskipun secara politis, dalam, konteks NU sebagai organisasi masyarakat yang juga bermain dalam ranah perebutan ruang kekuasaan negara atau apapun namanya, juga sah-sah saja mempunyai suatu buku babon sejarah NU yang lebih bersifat propaganda atau mungkin buku putih yang lebih bersifat klarifikasi. Dua bentuk historiografi itu, baik yang kultural maupun yang politik  harus terus diupayakan untuk segera terwujud dan mewujud dalam ranah kesejarahan kita. Sekali lagi, sejarah adalah milik siapa yang menuliskannya, tafsirannya kemudian diserahkan kepada khalayak publik yang membacanya

Hal yang terakhir yang harus menjadi catatan bagi NU dalam menuliskan historiografi adalah soal cakupan sejarah atau fragmen sejarah NU yang akan dikisahkan kepada masyarakat. Pada akhir 2008, penulis mendapatkan nasehat dari KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bahwa proses bersejarah NU tidak hanya terjadi di Jawa, tapi di berbagai belahan nusantara lainnya juga terdapat kisah sejarah NU yang belum banyak digali oleh para sejarawan. Tentu saja nasehat ini sangat penting sekali bagi NU, terutama bagi para sejarawan dan pemerhati NU selama ini menekuni sejarah NU, bahwa cakupan kisah sejarah NU harus benar-benar me-nusantara atau meng-Indonesia, atau bila perlu mendunia. NU tidak hanya Jawa, apa lagi bagian kecil darinya, seperti Jombang, Surabaya, Cirebon, Solo, dan lain-lain, tapi NU adalah Nusantara, NU adalah Indonesia. Historiografi dengan cakupan seperti itulah yang harus segera kita wujudkan.



Erwien Kusuma, alumni jurusan Sejarah FSUI, penulis buku Yang Muda Yang Berkiprah (Sejarah GP Ansor), Kekal Press, 2011.

sumber:http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,50-id,41190-lang,id-c,esai-t,NU++Historiografi++dan+Peristiwa+Pasca+September+1965-.phpx

Tidak ada komentar:

Posting Komentar