ABDUL HAMID MUDJIB HAMID BERSHOLAWAT

Kamis, 30 Agustus 2018

Istilah “NKRI Harga Mati, Pancasila Jaya” dicetuskan oleh KH Muslim Rifai Imampuro atau Mbah Liem, sosok kiyai NU yang tersembunyi.




Istilah “NKRI Harga Mati, Pancasila Jaya” dicetuskan oleh KH Muslim Rifai Imampuro atau Mbah Liem, sosok kiyai NU yang tersembunyi.
##########################
🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃
KH. Muslim Rifai Imampuro atau yang akrab dipanggil Mbah Liem tergolong kiai yang bersahaja, nyentrik, sering berpenampilan nyleneh. Misalnya dalam menghadiri beberapa acara. Saat menyampaikan pidatonya dimuka umum sering berpakaian ala tentara, memakai topi berdasi bersepatu tentara tapi sarungan.

Bahkan pada saat prosesi upacara pemakaman Mbah Liem pun juga tergolong tidak seperti umumnya. Saat jenazah dipikul dari rumah duka menuju makam di Joglo Perdamaian Umat Manusia sedunia di komplek pesantren diarak dengan tabuhan hadroh “sholawat Thola’al Badrun alainaa” proses pemakamannya seperti Tentara menggunakan tembakan salto yang dipimpin langsung oleh TNI/Polri hal ini dilaksanakan sesuai wasiatnya.

Mbah Liem seolah menutupi indentitasnya bahkan hingga kini putra-purtinya tidak mengetahui persis tanggal lahirnya. Salah satu putra Mbah Liem yang bernama Gus Muh mengatakan Mbah Liem lahir pada tanggal 24 April 1924 namun begitu Gus Muh sendiri belum begitu yakin. Soal identitas Mbah Liem hanya sering mengatakan kalau beliau dulu adalah bertugas sebagai Penjaga Rel kereta Api. Tentang silsilah pada akhir akhir hayatnya menurut informasi dari Gus Jazuli putra menantunya bahwa Mbah Lim pernah menulis di kertas bahwa ia masih keturunan keraton Surakarta.

Kiprah Mbah Liem di NU dan untuk NKRI belum banyak orang yang tahu apalagi mendokumentasikannya. Hanya setelah beliau wafat sudah mulai ada yang menulis artikel atau cerita-cerita mengenai Mbah Liem di web/blog dan di medsos. Mbah Liem dikenal sangat dekat dengan Gus Dur bahkan jauh sebelum Gus Dur menjadi presiden, kedua kiai ini sudah saling akrab.

Banyak orang mengatakan bahwa Mbah Liem adalah Guru spiritualnya Gus Dur. Dalam struktur NU baik mulai tingkat bawah hingga pengurus besar nama Mbah Lim tidak pernah tercatat sebagai pengurus namun kiprahnya dalam menjaga dan membesarkan NU tidak absen sedikitpun. Mbah Liem walaupun tidak pernah menjadi pengurus NU namun selalu mejadi rujukan para kiai dalam menahkodai NU, bahkan Mbah Liem hampir pasti selalu hadir  dalam setiap acara-acara PBNU mulai dari Konbes, Munas hingga Muktamar NU.

Setelah berkelana nyantri ke berbagai pondok pesantren terutama nyantri pada kiai Shirot Solo, Mbah Liem akhirnya hijrah ke Klaten tinggal di dusun Sumberejo Desa Troso Kecamatan Karanganom lalu mendirikan Pondok Pesantren Al-Muttaqien Pancasila Sakti. Nama pesantrren tergolong unik dan sudah pasti merupakan bukti konsistensi Mbah Liem dalam mencintai dan menjaga NKRI dan Pancasila.

Pada kurun tahun 1983 kelompok Islam radikal atau bisa disebut islam transnasional mulai mempersoalkan lagi Pancasila sebagai dasar negara dan mempertanyakan lagi relevansi Pancasila dengan Islam. Gagasan kelompok radikal yang mulai menyoal lagi Pancasila dipandang oleh para kiai NU sangat membahayakan keutuhan NKRI dan Pancasila maka NU segera menyikapi dengan mengadakan Munas Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Sukorejo, Situbondo Jawa Timur dengan hasil sebagai berikut:

1. Pancasila sebagai dasar dan falsafah Negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan Agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan Agama.

2. Sila ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menjiwai sila-sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.

3. Bagi Nahdlatul Ulama, Islam adalah akidah dan syariat, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antar manusia.

4. Penerimaan dan pengalaman pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat lslam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya.

5. Sebagai konsekuensi dari sikap di atas, Nahdlatul Ulama berkewajiban mengamalkan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak.

Semenjak Pancasila sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia mulai dipersoalkan oleh kelompok radikal maka para kiai terutama Mbah Liem dalam setiap acara apapun terus mengatakan dan mendoakan agar NKRI Pancasila Aman Makmur Damai HARGA MATI.

Mbah Liem kalau berpidato selalu judul utamanya adalah tentang kebangsaan dan kenegaraan. Kurang lebih kalimatnya “mugo-mugo NKRI Pancasila Aman Makmur Damai Harga Mati” (Semoga NKRI Pancasila Aman Makmur Damai Harga Mati).

Di masjid Pondoknya Mbah Liem setiap setelah iqamah sebelum shalat berjama’ah selalu diwajibkan membaca do’a untuk umat Islam, bangsa dan negara Indonesia, berikut doanya:

Subhanaka Allahumma wa bihamdika tabaroka ismuka wa ta’ala jadduka laa ilaha Ghoiruka.

“Duh Gusti Alloh Pangeran kulo, kulo sedoyo mbenjang akhir dewoso dadosno lare ingkang sholeh, maslahah, manfaat dunyo akherat bekti wong tuo, agomo, bongso maedahe tonggo biso nggowo becik ing deso, soho NEGORO KESATUAN REPUBLIK INDONESIA PANCASILA KAPARINGAN AMAN, MAKMUR, DAMAI. Poro pengacau agomo lan poro koruptor kaparingono sadar-sadar, Sumberejo wangi berkah ma’muman Mekah.”

Menurut kesaksian Habib Luthfi bin Yahya dalam buku Fragmen Sejarah NU karya Abdul Mun’im DZ mengatakan bahwa pada saat Panglima TNI Jenderal Benny Moerdani datang ke Pesantren Al-Muttaqien Pancasila Sakti Klaten, Mbah Liem meneriakkan yel, NKRI Harga Mati...! NKRI Harga Mati...! NKRI Harga Mati...! Pancasila Jaya, maka sejak itulah yel-yel NKRI Harga Mati menjadi jargon, slogan tidak hanya di NU tapi di beberapa pihak seperti di TNI. Jadi slogan atau jargon “NKRI Harga Mati, Pancasila Jaya” dicetuskan oleh KH Muslim Rifai Imampuro atau Mbah Liem.

Gus Dur dan kewalian Mbah Liem (KH. Muslim Rifai Imampuro)

GUS DUR mengenalkan KH Muslim Rifa'i Imampuro atau yang lebih dikenal dengan Mbah Liem, sebagai Wali Allah. Di obrolan terbatas, di pengajian umum, Gus Dur bilang bahwa Mbah Liem itu wali. Kepada wartawan, Gus Dur juga bilang demikian. Ta syak, khalayak ramai percaya Mbah Liem Wali.

M. Said Budairy pernah bercerita pada saya. Suatu kesempatan, dirinya bertanya tentang kewalian Mbah Liem, langsung kepada Mbah Liem, waktu itu Gus Dur juga ada di tengah-tengah keduanya. Mereka ngobrol santai-santai selepas Magrib, di kantor PBNU.

“Mbah, di mana-mana Gus Dur bilang Sampean Wali. Bagaimana ceritanya?” tanya Budairy, mungkin iseng, mungkin juga serius.

“Hahaha... Sampean diapusi Gus Dur,” jawab Mbah Liem sambil terkekeh-kekeh.

“Lho, saya tanya serius Mbah. Saya juga pengen jadi wali,” desak Budairy. Tawa dia antara mereka makin keras, Gus Dur yang tadinya serius baca majalah pun ikut tertawa.

“Begini Mas Said. Gus Dur pancen jago mempromosikan sahabat-sahabatnya, termasuk mempromosikan saya yang pendek, kurus, ndeso, bahasa Indonesia ora lancar,” Mbah Liem menjelaskan.

“Maksudanya pripun, Mbah?” Budairy tidak paham.

“Maksudnya biar saya terkenal, terangkat derajatku, dilirik orang,” ujar Mbah Liem enteng.

“Kok Gus Dur endak promosiin saya sebagai wali ya?” tanya Budairy sambil tertawa dan melirik Gus Dur.

“Lho, Sampean kan sudah jadi orang. Tinggal di tengah kota, jurnalis senior, aktivis PBNU, koncone okeh,” tambah Mbah Liem kalem.

Mbah Liem dalam cerita para santri baik dari santri 5 atau yang disebut Mbah Lim sebagai Pendowo Limo maupun dari cerita santri senior yang lain seperti  KH Muhaimin Yogyakarta. Mbah Liem memang tidak pernah membacakan sebuah Kitab kepada para santrinya melainkan beliau langsung mengajarkan dengan ilmu hal atau memberi contoh langsung.
##########################
🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃
Ajaran-ajaran Mbah Liem tersebut yaitu:

1. “Nguwongke Uwong, Gawe Legane Uwong.” Mbah Liem selalu menghargai dan menerima setiap orang dengan segala potensi dan niat baiknya. Kalau pun kita tidak membutuhkan, mungkin manfa’atnya bisa dirasakan keluarga, tetangga atau masyarakat kita. Contohnya setiap kali ada tamu, baik pejabat maupun tokoh yang lain, Mbah Liem selalu menyambut dengan hangat siapapun orangnya dan Mbah Lim tidak lupa memberikan ruang interaksi untuk mendekatkan pejabat/tokoh dengan masyarakat.

2. “3 T“: Titi – Tatak – Tutuk. Mbah Liem mengajarkan jika melaksanakan setiap tugas dalam hidup, haruslah Titi (cermat, teliti dan selektif), Tatak (legowo, sabar), sehingga Tutuk (sampai, selesai dengan hasil yang memuaskan).

3. “3 K “: Kuli – Kiai – Komando. Setiap santri haruslah mampu memerankan diri sebagai Kuli (siap bekerja keras), Kiai (siap mengamalkan ilmu dan berdo’a), Komando (siap menjadi pemimpin yang piawai mengambil keputusan, bijak serta berwibawa)

4. “Kita harus Tegak, Tegas dan Tegar selama benar “. Setiap melaksanakan kebenaran kita harus Tegak ( penuh keyakinan, tidak goyah oleh pengaruh apapun), Tegar ( tak kenal kompromi terhadap pelanggaran aturan ), Tegar ( Ikhlas, Sabar ).

5. “3 R “: Rampung bangunane – Rame jama’ahe – Rukun masyarakate “. Dalam mendirikan sarana apapun ada 3 hal yang harus diupayakan yakni “ Rampung bangunane “ (bisa terwujud ), Rame jama’ahe ( berfungsi dan dibutuhkan para pemangku kepentingan ), Rukun masyarakate ( menjadi sumber kedamaian dan perekat persatuan ).

6. “Aja Mung Benteng Ulama, ning Nahnu Anshorullah, Masyriq-Maghrib “ di samping perannya sebagai Benteng Ulama, Banser seharusnya mampu menjalankan peran yang lebih luas di seluruh permukaan bumi, dalam bingkai “ Nahnu Anshorulloh”.

7.     “ 3 S “:  Sholat – Sinau – Sungkem. Maksudnya  “ Sholat “ Seorang santri harus tekun beribadah, prihatin dan berdoa.  “ Sinau “ santri harus belajar terus menerus. “ Sungkem “santri harus mempunyai akhlak yang mulia, tau sopan santun, tawadhu’ pada Kyai/Guru.

8.   “ 2 B “ Berhasil – Berkah . dalam mencapai cita – cita/usaha  harus mempunyai komitmen yang kuat agar tercapai yang di inginkan,”  Berkah “setiap cita – cita/ usaha harus di mulai dengan niat ibadah (niat baik) agar mendapat keberkahan dari Allah SWT.

9. “ Dadi uwong ki ojo gur mangan terus tapi yo Ngising barang” (Jadi orang itu jangan hanya makan aja tapi ya buang air besar juga). Kita tidak boleh hanya melulu mencari harta terus tapi kita juga harus rajin bersedekah. (sumber dari Umi Hasanah dari Hj Siti Choiriyah putri pertama Mbah Liem.
##########################
🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃
Kebiasaan Mbah Liem

1. Setiap bertemu dengan orang lain, di manapun selalu mendo’akan dengan uluk salam “Assalamu’alaikum!“

2. Dalam perjalanan setiap kali bertemu dengan Makam dan Sungai, beliau selalu membaca Fatehah kepada Ahli kubur dan Fatehah kepada Nabiyullah Khidzir AS.

3. Jika berpapasan dengan Pelajar/Mahasiswa, beliau selalu mendo’akan “Sholeh, Sholehah Penerus”.

Selain itu saya mendengar pemaparan pak Haji Danun (santri/sopir mbah Liem) setiap mau berangkat perjalanan silaturrahmi ke manapun Mbah Liem selalu berkata “ niate silaturrahmi, ngubengi RI untuk mendo’akan NKRI Pancasila agar AMD (Aman, Makmur, Damai). Dan di dalam mobil Mbah Liem selalu mengajak Dzikir, Sholawat di sepanjang perjalanan.
##########################
🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃
Mengenal sosok KH Muslim Imam Puro atau Mbah Liem sebagai Sang Ulama Nasionalis Sejati

Mbah Liem dikenal sebagai ulama besar sekaligus nasionalis sejati. Ia meninggal pada usia 91 tahun. Mbah Liem lahir di lingkungan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Pada 1959, ia mengasingkan diri ke gubuk kecil di pinggiran kali di Desa Troso Kecamatan Karanganom Klaten.

”Tempat itulah yang kini jadi pesantren dengan ribuan alumnus,” papar Jazuli A Kasmani, menantu Mbah Liem, ketika itu.

Mbah Liem meninggalkan sembilan anak dan 18 cucu. Dia dikenal sebagai kiai nasionalis sekaligus nyentrik. Nama Pesanteran Al Muttaqien Pancasila Sakti dan Kampus Kader Bangsa (KKB) yang didirikannya adalah bentuk kecintaannya kepada Ibu Pertiwi.

Kepada para santrinya, Mbah Liem selalu mewajibkan menyanyikan Indonesia Raya sebagai lagu pembuka setiap kegiatan. Dia juga peduli terhadap kerukunan antarumat beragama. Dia merintis Joglo Perdamaian Umat Manusia Sedunia di kompleks pesantren.

Dia juga dikenal sebagai pribadi yang sederhana, ia senang memakai topi saja atau topi dikalung sorban macam petani di desa-desa. Gayanya mirip petani dan rakyat biasa. Ia senang berjalan-jalan dengan sepedanya. Namun jangan salah. Di dalam kesederhanaannya itu, Mbah Liem merupakan tokoh yang disegani. Bahkan, setiap keruwetan politik penting, banyak pejabat yang datang ke pesantrennya untuk minta pencerahan dari Mbah Liem.
##########################
🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃
Weruh Sakdurunge Winarah

Sebagai seorang tokoh ulama, ia juga dikenal sedikit ‘nyentrik’. Perilaku nyentrik ditunjukkan dengan banyak hal. Beberapa kali Mbah Liem menyambut tamu dengan sarung dan baju lengan panjang murahan. Kadang dia mengenakan topi usang kebanggaannya. Pernah pula dia dengan sepeda motor tuanya memboncengkan musisi kondang Iwan Fals. Saat bersama Iwan Fals di panggung, Mbah Liem berbaju koko, bersarung dan bersepatu boot.

Namun kenyentrikannya itu juga diimbangi dengan sikap beliau yang terkadang disebut orang sebagai weruh sakdurunge winarah (tahu sebelum terjadi). Seperti halnya ketika menjelang Muktamar NU ke-28 tahun 1989 di Yogyakarta, saat itu Mbah Kiyai Hamid Kajoran tengah sakit. Mbah Liem mengajak Gus Dur menengok ke kediaman beliau.

“Aku tak mati yo, Lim… (Aku mau mati nih, Liem),” kata Mbah Hamid.

“Ndak bisa ndak bisa ndak bisa….”, Mbah Liem dengan gayanya yang khas, “mau Muktamar kok mati… enak aja…”

“Lha gimana…?”

“Mati ya mati tapi nunggu Muktamar dulu!”

Tepat empat puluh hari sesudah hari itu, beberapa minggu sesudah Muktamar, Mbah Hamid Kajoran wafat.

Maut pula yang kemudian juga mempertemukannya kembali dengan Mbah Hamid Kajoran. Mbah Liem wafat Kamis 24 Mei 2012. Jenazah Mbah Liem dikebumikan di Joglo Perdamaian Umat Manusia Sedunia di kompleks pesantren pada Kamis pukul 20.00 WIB. Jenazah dikebumikan berdampingan dengan makam istrinya, Umi As’adah.

Teruntuk beliau Al fatihah...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar