ABDUL HAMID MUDJIB HAMID BERSHOLAWAT

Jumat, 08 Februari 2013

Agar NU Tidak Ditinggalkan Ummat

========================
Agar NU Tidak Ditinggalkan Umat
=========================
ixel
PERHELATAN penting Nahdlatul Ulama (NU) seperti Munas Ulama dan Muktamar merupakan hajatan besar bagi seluruh warga NU, baik jajaran pengurus maupun warga biasa dari seluruh level, sejak dari ulama, aktivis, muballigh, ustaz hingga warga biasa. Tidak ketinggalan pula kalangan tujjar (pedagang) NU, baik yang grosiran hingga yang eceran plus pengasong tumplek blek menjalankan peran masing-masing dalam acara sosial keagamaan tersebut.
Sebagai sebuah jamiyah (organisasi) para pengurus NU merancang dan mempertangungjawabkan seluruh amanah yang dilimpahkan, untuk membimbing, melayani dan melindungi warganya. Sebaliknya dari kalangan jamaah (komunitas) yang bukan penguurus, penyelenggaraan Munas atau Muktamar semacam forum penthabisan kembali spirit ke-NU-annya. Maka di situ terjadi silaturrahmi besar antar pengurus NU sendiri dari seluruh jajaran, dengan para alim ulama, serta dengan segenap warga nahdliyin.
Dari kesemuanya berkeyakinan, bahwa Munas dan Muktamar sangat penting untuk menambah pengetahuan keagamaan dan kemasyarakatan mereka, karena persoalan agama dan kemasyarakatan dibahas tuntas disana. Selanjutnya forum itu juga untuk memperkuat komitmen ke-NU-an mereka. Tradisi itu berkembang atas inisiatif para pendiri NU, yang dengan sengaja dan susah payah mengajak warga dan umat Islam pada umumnya agar menghadiri acara Muktamar dan Munas untuk menimba pengetahuan an memperkuat keimanan.  Secara sosial ini juga bisa dianggap sebagai syiar islam dan NU, karena itu Kiai Hasyim Asy’ari selalu meluangkan waktu untuk menemui warga saat Muktamar NU, sehinga warga berduyun menghadiri Muktamar di mana saja secara suka rela untuk menghadap para ulama.
Ketika Munas NU diselenggarakan di Lampung, misalnya, warga NU dari Riau dari Palembang bahkan dari Jawa Timur datang secara suka rela. Begitu juga ketika Munas NU diselenggarakan di Bagu, sebuah desa terpencil di Lombok Nusa Tenggara Barat, ribuan warga NU dari Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur datang naik bis ke sana. Karena mereka butuh bimbingan, butuh pengayoman dan butuh memperdalam kerohanian serta perlu memperkuan komitmen dan kecintaan pada NU. Hal itu dimungkinkan karena memang pengurus NU dari seluruh wilayah dan cabang mengkhabarkan pada warga akan diselenggarakannya Munas atau  Muktamar NU, sehingga warga serentak menyambutnya. Jarak wilayah tidak pernah jadi soal, sebab ada keintiman batin, sehingga mampu mengatasi jarak tempat yang berjauhan.
Berbeda dengan Munas yang diselenggarakan di Surabaya 2006 ini, praktis hanya dihadiri para pengurus NU baik pusat maupun wilayah, serta beberapa kiai pesantren. Tidak dihadiri warga NU. Bayangkan warga NU dari Kotamadya Surabaya, dari Gresik dan Sidoarjo yang tidak hanya militan tapi juga sangat kreatif dalam menciptakan berbagai sofenir NU untuk diperdagangkan pada para Muktamirin dan Musyawirin serta warga NU yang hadir, semuanya absen dalam munas ini. Selah tak tahu di kotanya ada perhelatan besar para ulama. Apalagi warga NU dari Jawa Tengah dan Jawa Barat. Terlebih lagi warga NU luar Jawa kelihatannya tidak mendengar bahwa Munas telah diselenggarakan.
Hal itu semuanya terjadi bukan sekadar persoalan teknis bahwa pengurus NU tidak mengkhabarkan pada warganya. Tetapi adanya kerenggangan hubungan pengurus dengan jamaah Nahdlliyin. Kenapa pengkhabaran itu tidak dilakukan, tidak lain karena pengurus hampir tidak peduli pada umat. Para pengurus selama ini hampir tidak melakukan fungsi kepemimpinan, yang mampu mengarahkan, membimbing, melayani dan melindungi warga NU. Masyarakat ber-NU dan ber-ahlussunnah waljamaah sendiri, tanpa bantuan pengurus NU.
Pengurus NU saat ini lebih banyak melayani penguasa dan pengusaha dan elite lainnya. Sedikit sekali waktu yang tersisa untuk warganya. Hubungan para pengurus NU dengan warganya menjadi terputus. Sementara kelompok Islam redikal sedang menemukan momentumnya untuk mengembangkan paham mereka, yang mau tak mau akan mengerus komitmen warga NU. Para pimpinan NU, bahkan kiai pesantren terjebak dalam ladang pembantaian yang bernama pemilihan kepala daerah (Pilkada). Tempat ini sebagai ladang pembantaian karakter dan  pembantaian politik. Tidak sedikit pimpinan NU dan para kiai yang dibantai di ladang tersebut, yang akibatnya reputasinya merosot di kalangan warga. Akhirnya warga memilih jalannya sendiri, sementara mereka juga semakin tengelam dalam lumpur politik kekuasaan dan perusahaan, seraya melupakan umatnya.
Demikian kalangan aktivis yang selama ini menyuarakan NU keluar, sudah terlampau jauh terjebak pada liberalisme, sehingga mereka tidak sabar lagi melihat kalangan lama yang masih berpegang teguh pada ajaran agama. Di samping melihat adanya demoralisasi di kalangan pimpinan, akhirnya kelompok ini juga absent dari acara ini. Apalagi dengan penampilannya yang konfrontatif, kalangan ulama yang dulunya respek pada gerakan ini, sekarang menjadi resisten. Apalagi ketika diketahui adanya kekuatan imperialis.

sumber:http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,3-id,7171-lang,id-c,analisa+berita-t,Agar+NU+Tidak+Ditinggalkan+Umat-.phpx


Tidak ada komentar:

Posting Komentar