Agar NU Tidak Ditinggalkan Umat
=========================
ixel
PERHELATAN
penting Nahdlatul Ulama (NU) seperti Munas Ulama dan Muktamar merupakan
hajatan besar bagi seluruh warga NU, baik jajaran pengurus maupun warga
biasa dari seluruh level, sejak dari ulama, aktivis, muballigh, ustaz
hingga warga biasa. Tidak ketinggalan pula kalangan tujjar (pedagang)
NU, baik yang grosiran hingga yang eceran plus pengasong tumplek blek
menjalankan peran masing-masing dalam acara sosial keagamaan tersebut.
Sebagai sebuah jamiyah (organisasi) para pengurus NU merancang dan
mempertangungjawabkan seluruh amanah yang dilimpahkan, untuk membimbing,
melayani dan melindungi warganya. Sebaliknya dari kalangan jamaah
(komunitas) yang bukan penguurus, penyelenggaraan Munas atau Muktamar
semacam forum penthabisan kembali spirit ke-NU-annya. Maka di situ
terjadi silaturrahmi besar antar pengurus NU sendiri dari seluruh
jajaran, dengan para alim ulama, serta dengan segenap warga nahdliyin.
Dari
kesemuanya berkeyakinan, bahwa Munas dan Muktamar sangat penting untuk
menambah pengetahuan keagamaan dan kemasyarakatan mereka, karena
persoalan agama dan kemasyarakatan dibahas tuntas disana. Selanjutnya
forum itu juga untuk memperkuat komitmen ke-NU-an mereka. Tradisi itu
berkembang atas inisiatif para pendiri NU, yang dengan sengaja dan susah
payah mengajak warga dan umat Islam pada umumnya agar menghadiri acara
Muktamar dan Munas untuk menimba pengetahuan an memperkuat keimanan.
Secara sosial ini juga bisa dianggap sebagai syiar islam dan NU, karena
itu Kiai Hasyim Asy’ari selalu meluangkan waktu untuk menemui warga saat
Muktamar NU, sehinga warga berduyun menghadiri Muktamar di mana saja
secara suka rela untuk menghadap para ulama.
Ketika Munas NU diselenggarakan di Lampung, misalnya, warga NU dari
Riau dari Palembang bahkan dari Jawa Timur datang secara suka rela.
Begitu juga ketika Munas NU diselenggarakan di Bagu, sebuah desa
terpencil di Lombok Nusa Tenggara Barat, ribuan warga NU dari Jawa
Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur datang naik bis ke sana. Karena mereka
butuh bimbingan, butuh pengayoman dan butuh memperdalam kerohanian
serta perlu memperkuan komitmen dan kecintaan pada NU. Hal itu
dimungkinkan karena memang pengurus NU dari seluruh wilayah dan cabang
mengkhabarkan pada warga akan diselenggarakannya Munas atau Muktamar
NU, sehingga warga serentak menyambutnya. Jarak wilayah tidak pernah
jadi soal, sebab ada keintiman batin, sehingga mampu mengatasi jarak
tempat yang berjauhan.
Berbeda dengan Munas yang diselenggarakan di Surabaya 2006 ini,
praktis hanya dihadiri para pengurus NU baik pusat maupun wilayah, serta
beberapa kiai pesantren. Tidak dihadiri warga NU. Bayangkan warga NU
dari Kotamadya Surabaya, dari Gresik dan Sidoarjo yang tidak hanya
militan tapi juga sangat kreatif dalam menciptakan berbagai sofenir NU
untuk diperdagangkan pada para Muktamirin dan Musyawirin serta warga NU
yang hadir, semuanya absen dalam munas ini. Selah tak tahu di kotanya
ada perhelatan besar para ulama. Apalagi warga NU dari Jawa Tengah dan
Jawa Barat. Terlebih lagi warga NU luar Jawa kelihatannya tidak
mendengar bahwa Munas telah diselenggarakan.
Hal itu semuanya terjadi bukan sekadar persoalan teknis bahwa
pengurus NU tidak mengkhabarkan pada warganya. Tetapi adanya
kerenggangan hubungan pengurus dengan jamaah Nahdlliyin. Kenapa
pengkhabaran itu tidak dilakukan, tidak lain karena pengurus hampir
tidak peduli pada umat. Para pengurus selama ini hampir tidak melakukan
fungsi kepemimpinan, yang mampu mengarahkan, membimbing, melayani dan
melindungi warga NU. Masyarakat ber-NU dan ber-ahlussunnah waljamaah
sendiri, tanpa bantuan pengurus NU.
Pengurus NU saat ini lebih banyak melayani penguasa dan pengusaha dan
elite lainnya. Sedikit sekali waktu yang tersisa untuk warganya.
Hubungan para pengurus NU dengan warganya menjadi terputus. Sementara
kelompok Islam redikal sedang menemukan momentumnya untuk mengembangkan
paham mereka, yang mau tak mau akan mengerus komitmen warga NU. Para
pimpinan NU, bahkan kiai pesantren terjebak dalam ladang pembantaian
yang bernama pemilihan kepala daerah (Pilkada). Tempat ini sebagai
ladang pembantaian karakter dan pembantaian politik. Tidak sedikit
pimpinan NU dan para kiai yang dibantai di ladang tersebut, yang
akibatnya reputasinya merosot di kalangan warga. Akhirnya warga memilih
jalannya sendiri, sementara mereka juga semakin tengelam dalam lumpur
politik kekuasaan dan perusahaan, seraya melupakan umatnya.
Demikian kalangan aktivis yang selama ini menyuarakan NU keluar,
sudah terlampau jauh terjebak pada liberalisme, sehingga mereka tidak
sabar lagi melihat kalangan lama yang masih berpegang teguh pada ajaran
agama. Di samping melihat adanya demoralisasi di kalangan pimpinan,
akhirnya kelompok ini juga absent dari acara ini. Apalagi dengan
penampilannya yang konfrontatif, kalangan ulama yang dulunya respek pada
gerakan ini, sekarang menjadi resisten. Apalagi ketika diketahui adanya
kekuatan imperialis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar