ABDUL HAMID MUDJIB HAMID BERSHOLAWAT

Jumat, 08 Februari 2013

MANIPULASI SEJARAH GUS DUR Tidak Cukup Sekedar Maaf

=====================

MANIPULASI SEJARAH GUS DUR
Tidak Cukup Sekedar Maaf
=====================
Pembelokan sejarah, atau lebih tepatnya manipulasi sejarah pelengseran Presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam buku-buku pelajaran sejarah di sekolah-sekolah tergolong kasus besar. Ini bukan hanya soal perasaan warga NU, namun juga menyangkut perjalanan bangsa Indonesia. Sayang, secara “news” kasus ini antiklimaks gara-gara Bathoegana.

Saat kasus manipulasi sejarah Gus Dur dalam buku sejarah mencuat, media massa sudah tidak lagi tertarik dengan isu ini. Media sudah capek. Energi media sudah dihabiskan untuk mengisukan Sutan Batoegana yang keceplosan menyatakan Gus Dur turun dari kursi kepresidenan karena tidak bersih. Dan kasus ini dianggap selesai setelah politisi Partai Demokrat itu minta maaf kepada Ibu Sinta Nuriyah dan keluarga Gus Dur di Ciganjur.

Memang perlu dimaklumi, dari sisi bisnis, media massa lebih memilih berita yang sensasional, bukan berita yang penting. Jadi kasus manipulasi sejarah ini bukan lagi urusan media, tapi urusan kita.

Beberapa buku sejarah yang diterbitkan oleh dan atas izin Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memang tidak secara vulgar mengatakan Gus Dur turun karena kasus Bulog (Buloggate) dan Bruneigate. Namun jika uraian sejarah itu dirangkum menjadi soal ujian atau dalam lembar kerja siswa (LKS) maka siswa akan dipaksa untuk mengikuti alur sejarah yang disusun oleh pihak-pihak yang tidak senang dengan Gus Dur.

Misalnya dalam soal pilihan ganda ditanyakan, “Presiden ke-4 RI turun karena kasus…” Siswa harus menjawab Buloggate dan Bruneigate. Atau jika dibalik, “Skandal Buloggate dan Bruneigate menyebabkan turunnya presiden…” Siswa yang fanatik NU pun harus memilih jawaban Abdurrahman Wahid. Jika tidak maka jawabannya dianggap salah karena dalam btku Pedoman Ajar dan kunci jawaban untuk guru dan penguji pun menyebut demikian.

Padahal berbagai kajian akademik oleh pakar dan pengkaji  hukum di berbagai perguruan tinggi menyebutkan bahwa Gus Dur turun dari kursi kepresidenan bukan karena Buloggate dan Bruneigate. Bahkan secara hukum, penurunan Gus Dur dari kursi presiden dinilai cacat hukum. Dalam laporan resmi Tim Pengkaji Hukum Departemen Hukum dan HAM (2005) terkait Impeachment menyebutkan beberapa kesalahan hukum dalam proses penjatuhan Gus Dur.

Misalnya, disebutkan bahwa Sidang Istimewa MPR yang memecat Gus Dur tidak didahului dengan Memorandum I dan II. Memang sudah ada memorandum I dan II tapi itu untuk kasus lain, yakni Buloggate dan Bruneigate. Secara hukum ini proses tidak dibenarkan. Belum lagi soal mekanisme Sidang istimewa, siapa dan berapa syarat jumlah anggota MPR yang harus hadir.

Memang Setelah Kejaksaan Agung mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) terkait Buloggate dan Bruneigate, pihak-pihak yang ingin melengserkan Gus Dur mencari segala macam cara untuk menjatuhkan Gus Dur. Kesimpulannya, Gus Dur tidak turun dari kursi kepresidenan karena persoalan hukum, tapi dijatuhkan secara politik. Kajian Departemen Hukum dan HAM menyebut pelengseran Gus Dur seperti kudeta militer: tidak dibenarkan secara hukum namun menang secara politik.

Waktu itu situasi semakin tidak kondusif: bentrokan massa tidak terhindarkan, baik yang mendukung maupun yang membenci Gus Dur serta pihak-pihak yang sengaja membuat kerusuhan, Gus Dur akhirnya rela meninggalkan Istana Negara dengan hanya memakai kaos dan celana pendek: Gus Dur keluar istana sebagai rakyat biasa, bukan sebagai presiden atau kiai, dan keluar istana tanpa membawa apa-apa. Gus Dur memilih mundur dari pada pertumpahan darah 1998 terulang lagi. Korban sudah terlalu banyak berjatuhan.

Secara metodologis, penulisan sejarah turunnya Gus Dur juga tidak tepat karena belum melalui vase "pengendapan". Para pelaku sejarah masih banyak yang hidup dan masih berproses sebagai politisi dan pelaku sejarah. Siapa pahlawan dan siapa pecundang belum ditentukan. Sejarah baru dimulai dan masih sedang berproses. Jika pun kisah pelengseran Gus Dur itu perlu dibahas, maka pembahasan dilakukan dari perspektif politik atau hukum di fakultas hukum dan ilmu politik, bukan dalam buku pelajaran sejarah untuk siswa.

Maka yang dibutuhkan bukan sekedar kata maaf dari penyelenggara pendidikan; Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan Kementerian Agama. Kata maaf kepada keluarga Gus Dur, PBNU dan warga NU tidak menyelesaikan masalah. Semua buku pelajaran yang memanipulasi sejarah pelengseran Gus Dur harus dicabut. Para penyelenggara pendidikan harus menyiapkan buku sejarah yang bagus untuk anak-anak di negeri ini.

Kasus manipulasi Gus Dur dalam buku pelajaran sejarah di sekolah paling tidak mengharuskan kita, orang tua siswa, guru serta pemerhati pendidikan untuk lebih waspada dengan berbagai produk buku pelajaran dan lembar kerja siswa. Berbagai masukan, aspirasi dan kritik sat ini bisa disampaikan melalui media massa, jejaring sosial, atau melalui organisasi sosial keagamaan.

Kita tidak perlu berprasangka bahwa ada pihak-pihak yang mungkin “meracuni” siswa melalui buku-buku pelajaran. Kita hanya perlu mewaspadai para penulis dan penerbit buku yang ceroboh, malas dan “kejar setoran” dalam menyiapkan buku-buku pelajaran untuk siswa, dan mereka bisa dari kalangan manapun.

sumber:http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamib-s,detail-ids,3-id,41833-lang,id-c,analisa+berita-t,Tidak+Cukup+Sekedar+Maaf-.phpx


Tidak ada komentar:

Posting Komentar