Merefleksikan Demokrasi
=========================
Sebagai sarana
untuk mengatur kehidupan bersama, demokrasi bukan entitas yang berdiri
sendiri, melainkan sangat terkait dengan sistem budaya, tradisi, hukum
dan norama yang ada di masyarakatnya. Kehadiran demokrasi di Indonesia
ini diharapkan mamapu menjamin ketertiban kehidaupan, menjamin
kesetaraan, menciptakan keadalian dan kesejahteraan.
Nemun demikian perlu diingat, demokrasi sebagai alat, bisa digunakan
oleh siapa saja sesuai dengan kehendak rezim yang berkuasa.
Bagi rezim otoriter, demokrasi bisa digunakan sebagai sarana penyerahan mandat rakyat pada penguasa, sehingga tidak lagi hak bagi rakyat.
Bagi rezim otoriter, demokrasi bisa digunakan sebagai sarana penyerahan mandat rakyat pada penguasa, sehingga tidak lagi hak bagi rakyat.
Demikian juga dalam masyarakat liberal, demokrasi merupakan alat
penting untuk ekspansi modal daan persaingan pasar, bahkan pemerintah
menjadi alat bagi akumulasi modal. Demokrasi hanya menjadi alat pemilik
modal, untuk merebut hak-hak rakyat dalam memperoleh kesejahteraan dan
keadilan.
Demokrasi era reformasi di negeri ini, di antaranya menghasilkan
amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945, undang-undang baru di
pelbagai lini tata kenegaraan, baik di bidang politik, ekonomi, sosial
dan kebudayaan.
Lahirnya berbagai Undang-undang tersebut sebagai perwujudan dari
cita-cita pelaksanaan demokrasi dalam semua sektor kehidupan, karena itu
terus-menerus dijalankan. Tetapi ironisnya yang dikembangkan bukan
demokrasi sebagaimana digariskan oleh Pancasila, melainkan demokrasi
liberal, yang bebas hampir tanpa batas.
Atas nama demokrasi pula, opsi perubahan dasar negara dan bentuk
negara secara diam-diam dibuka lagi. Sehingga muncul berbagai gerakan
yang menawarkan ideologi baru di luar pagar Pancasila dan UUD 1945. Ada
yang berbasis agama, dan ada yang bersifat sekuler. Gagasan itu
dipasarkan dan dipaksakan secara terbuka, akibatnya, keresahan dan
ketegangan terjadi di mana-mana.
Gerakan demokrasi yang kemudian diterjemahkan menjadi pemberian
otonomi pada daearah, yang kemudian diturunkan kembali dengan
pelaksanaaan pemilihan kepala daerah langsung turut menyemarakkan
kehidupan sosial politik di daerah. Tetapi ketika otonomi daerah tidak
disertai power sharing antar elite denga rakyat, maka sebenarnya tidak
terjadi perubahan power relation seperti yang dikehendaki dalam otonomi
daerah yang sebenarnya. Rakyat daerah tetap tidak berdaulat, kedaulatan
hanya dimiliki penguaasa daerah.
Otonomi daerah yang diterapkan hampir tanpa batas mengakibatkan
pemerintah pusat kehilangan kendali terhadap daerah. Demikian juga
pemilihan kepala daerah langsung yang dilandasi persaingan bebas,
mengakibatkan kompetisi yang keras, seringkali membuat keretakan, bahkan
konflik sosial. Selain itu biaya Pilkada yang sangat mahal
mengakibatkan terjadinya penyimpangan. Kita tahu, banyak sekali pimpinan
daerah, baik di tingkat propinsi maupun kabupaten dan kota yang menjadi
tersangka korupsi dan sebagaian bahkan terdakwa dan terpidan. Bahkan
menurut data Kementerian Agama, angka perceraian meningkat tajam yang
diakibatkan perbedaan pilihan politik saaat Pilkada. Kejadian semacam
itu perlu dikaji agar pelaksanaan demokrasi lebih menjamin tertib
politik dan harmoni sosial.
Lebih memprihatinkan lagi virus Pilkada ini juga sudah merusak
pendidikan, di berbagai daerah, kepala sekolah atau guru bisa dimutasi
ketika ia mendukung calon yang terkalahkan, lalu diganti dengan kepala
sekolah yang mendukung sang penguasa. Dunia pendidikan ikut teracuni,
tidak mengutamakan kualitas dan profesionalitas, tapi mengutamaan
kesetiaan pada partai yang berkuasa. Situasi semacam ini, bila dibiarkan
terus, akan merusak kualitas pendidikan, akan merusak masa depan bangsa
ini sendiri.
Di sisi lain, “demokrasi yang dibiarkan” semacam ini, memunculkan
kelompok-kelompok penentang Pancasila. Satu kelompok menolak Pancasila
karena diangap tidak sesuai dengan Islam yang mereka pahami. Gerakan ide
mendasarkan diri pada fundamentalisme Islam. Kelompok lainnya menolak
Pancasila karena dianggap tidak sejalan dengan berbagai konvensi
internasional tentang kebebasan manusia, dll. Kelompok ini mendasarkan
ideologinya pada liberalisme yang juga disebut sebagai fundamentalisme
pasar.
Walaupun saling berentangan tapi keduanya saling memanfaatkan secara
taktis. Kebebasan yang diserukan oleh kelompok liberal sekular digunakan
sepenuhnya oleh kelompok Islam radikal untuk mengembangkan gerakannya.
Maka gerakan yang mereka lakukan menjadi legitimate secara politik dan
terlindungi secara hukum, sehingga sulit dibendung. Gerakan itu menjadi
berbahaya ketika telah diejawantahkan dalam bentuk intimidasi dan teror
terhadap kelompok di luarnya. Terorisme tidak bisa dicegah, karena
mereka mendapatkan perlindungan hukum yang memadai.
Perlu diingat, perkembangan berbagai gerakan ekstrem, baik yanag
berdasarkan agama ataupun maupun ekonomi, berkembang pesat. Tiada lain,
demokrasi liberal yang dikembangan saat ini telah memberi
kemungkinan-kemungkinan untuk itu.
Karena itu, dalam upaya untuk menyelamatkan keutuhan dan kedamaian di
negeri ini, Taushiyah PBNU (18/6) dalam rangka Harlah ke-85 dengan
tegas akan melakukan evaluasi mendasar terhadap proses pengembangan
demokrasi macam sekarang ini.
Bagi NU demokrasi bukanlah kebebasan yang atanpa batas. Demokrasi
harus dibatasi oleh moral, hukum daan kesepakatan pendiri bangsa.
Demokrasi, pertama, haruslah mampu menjaga keutuhan bangsa. Kedua
mampu menciptakan keadilan. Ketiga mampu berikan kesejahteraan pada
rakyat. Keempat mampu menjaga rasa kebersamaan. Kelima, harus mampu
mejamin keutuhan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Sejaka awal penerapan demokrasi liberal itu telah dikritik oleh
berbagai pihak, mengingat Indonesia pernah gagal menerapkan demokrasi
model itu. Sementara gelombang demokrasi liberal tidak bisa dibendung
lagi. Dalam kenyataanya demokrasi model itu tidak mampu mewujudkan
aspirasi masyarakat. Demikian juga keamanan dan keutuhan negara semakin
terancam, karena demokrasi model ini membiarkan benih radikalisme
berkembang.
Tata-nilai demokrasi memang bersifat universal, tapi mestinya
penerapannya bersifat partikular. Artinya sesuai dengan norma, tradisi
dan budaya setempat, dengan demikian, demokrasi yang relevan haruslah
bersifat kebangsaan. Bangsa Indonesia telah merumuskan dasar negaranya
yaitu Pancasila, yang merupakan filosofi dari bangsa ini. Dalam
Pancasila demokrasi atau kedaulatan rakyat diterapkan berdasarkan hikmah
dan kebijaksanaan.
Demokrasi yang sejalan dengan pandangan hidup bangsa inilah yang
semestinya diterapkan di negeri ini. Dengan demikian demokrasi
diharapkan sejalan dengan jiwa masyarakat sehingga mampu memenuhi
cita-cita masyarakat dan bangsa yang menyangganya.
sumber:http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,3-id,32925-lang,id-c,analisa+berita-t,Merefleksikan+Demokrasi-.phpx
Tidak ada komentar:
Posting Komentar