===================
SANTRI
"Berdasarkan
peninjauan tindak langkahnya adalah orang yang berpegang teguh dengan
al-Qur'an Al-Matin dan mengikuti sunnah Rosul Al-Amiin SAW dan teguh pendirian setiap detik/ waktu dan hin/ masa(Kokoh, Teguh Dan Kuat Pendirian Dalam Situasi, Kondisi Dan Domisi Dimanapun dan Kapanpun). Ini
adalah arti dengan bersandar sejarah dan kenyataan yang tidak dapat
diganti dan diubah selama-lamanya. Dan Alloh-lah Yang Maha Mengetahui atas
kebenaran sesuatu dan kenyataannya"
Begitulah Dawoh Dan Wasiyat Hadlratus Syaikh :
Begitulah Dawoh Dan Wasiyat Hadlratus Syaikh :
(Romo KH. Mas Hasani Nawawie BaSyaiban Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan)
Lahu AL-FATIHAH....................
بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمـَنِ الرَّحِيم
الْحَمْدُ للّهِ رَبِّ الْعَالَمِين الرَّحمـنِ الرَّحِيم مَـالِكِ يَوْمِ الدِّين إِيَّاك نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِين اهدِنَــــا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمتَ عَلَيهِمْ غَيرِ المَغضُوبِ عَلَيهِمْ وَلاَ الضَّالِّين.آمِيّنْ
الْحَمْدُ للّهِ رَبِّ الْعَالَمِين الرَّحمـنِ الرَّحِيم مَـالِكِ يَوْمِ الدِّين إِيَّاك نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِين اهدِنَــــا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمتَ عَلَيهِمْ غَيرِ المَغضُوبِ عَلَيهِمْ وَلاَ الضَّالِّين.آمِيّنْ
=============================================
sumber:http://ahmad-nu.blogspot.com/2011/06/kiai-hasani-muda-diplomat-ulung-di-masa.html
Hadlrotus Syeikh KH MAS HASANI Sidogiri
=========================
Kiai Mas Hasani Muda:
Diplomat Ulung di Masa Belanda
Lahir sekitar tahun 1924/1925, Kiai Hasani sudah yatim semenjak masih
dalam usia dini. Abah beliau, K.H. Nawawie wafat ketika Kiai Hasani
masih berusia sekitar 2 tahun.
Kiai Hasani adalah putera bungsu KH. Nawawie bin Noer Hasan. Beliau
adalah satu dari 8 bersaudara putera Kiai Nawawie. Masing-masing adalah
KH. Noer Hasan bin Nawawie (dari Nyai Ruyanah); Nyai Hanifah, K.H. Kholil
Nawawie, Nyai 'Aisyah (dari Nyai Nadzifah); K.H. Sirajul Millah Waddin, K.A.
Sa’doelloh Nawawie dan K.H. Hasani Nawawie (dari Nyai Asyfi‘ah).
Tanda-tandanya sebagai ulama' yang dekat dengan Allah sudah tampak
semenjak muda. Tidak seperti umumnya anak-anak muda, Kiai Hasani
menghabiskan masa belianya penuh dengan cahaya keagamaan. Beliau adalah
sosok pemuda yang agamis, wara’, khusyu’, rajin, dan berbudi pekerti
luhur.
Menghabiskan waktu dengan aktivitas tak berguna merupakan hal yang
sangat tidak disukainya. Raut wajahnya sejuk dipandang. Bila berjalan,
selalu menundukkan kepala dan tampak sangat tenang.
Tak seperti kebanyakan putra ulama besar, Kiai Hasani tidak menghabiskan
masa mudanya untuk menimba ilmu di berbagai lembaga pendidikan. Beliau
tidak pernah bersekolah dan mondok di pesantren manapun kecuali di
pesantren abahnya di Sidogiri. Dalam hal ini Kiai Hasani mengaku dirinya
mondok ke Sidogiri dari rumah ibunya (Ibu Nyai Asyfi’ah) di Gondang
Winongan ke Sidogiri. Selain itu, beliau tidak pernah mondok ke
mana-mana.
Kiai Hasani lebih banyak mendapatkan ilmunya secara otodidak. Semasa
hidup, putra bungsu K.H. Nawawie bin Noerhasan ini, hanya mempunyai tiga
orang guru. Pertama kali beliau belajar kepada K.H. Syamsuddin (?) di
Tampung Winongan Pasuruan. Kepada ulama yang biasa dipanggil Gus Ud ini,
Kiai Hasani ngaji kitab al-Ajurumiyah, ‘Imrithi dan Mutammimah. Selain
kepada Gus Ud, di Tampung, beliau juga ngaji kepada K.H. Birrul Alim.
Selanjutnya, Kiai Hasani belajar kitab Alfiyah Ibn Malik kepada kakak
iparnya sendiri, K.H. Abdul Djalil Abd. Syakur, di Sidogiri. Kitab
monumental tentang ilmu nahwu (gramatika Arab) ini beliau pelajari
sampai tuntas. Usai mengkhatamkan Alfiyah, atas saran kakak iparnya itu,
Kiai Hasani bermaksud belajar ilmu fiqh (hukum Islam). Kiai Djalil juga
berjanji akan membacakan kitab al-Asybah wa al-Nazha’ir kepadanya.
Tapi, sebelum kitab kaidah fiqh itu sempat diajarkan kepada Kiai Hasani,
K.H. Abdul Djalil Abd. Syakur terlebih dahulu wafat.
Kiai Hasani merupakan satu-satunya orang yang belajar secara langsung
kepada K.H. Abdul Djalil. K.H. Abdul Djalil adalah pengasuh Pondok
Pesantren Sidogiri pada era 1930-an serta menantu K.H. Nawawie bin
Noerhasan, abah Kiai Hasani.
Konon, salah satu penyebab Kiai Hasani alim tanpa perlu belajar di
lembaga pendidikan mana pun adalah berkat doa K.H. Ma’ruf (Kedungloh
Kediri). Kiai Ma’ruf adalah teman akrab K.H. Nawawie bin Noerhasan, Abah
Kiai Hasani. Ia masyhur sebagai wali Allah. Bisa bertemu langsung
dengan Nabi Khidir dan bila ada kesulitan, langsung berdialog dengan
Rasulullah SAW.
Suatu saat, Kiai Hasani sowan kepada ulama sepuh itu. Setelah
menceritakan asal usulnya, beliau ditanya oleh K.H. Ma’ruf: “Apakah
sudah hafal nadham Alfiyah?”. Dengan jujur, Kiai Hasani menjawab tidak.
Lalu Kiai Ma’ruf menawari untuk belajar di pesantrennya selama 40 hari,
tapi Kiai Hasani menolak. Kiai Hasani mengatakan beliau sulit untuk
kerasan.
Kiai Ma’ruf lalu menawari Kiai Hasani untuk mengamalkan puasa selama 3
hari. Selama puasa hanya diperkenankan sahur dan berbuka hanya dengan
satu biji kurma. Dengan tirakat ini, K.H. Ma’ruf menjamin Kiai Hasani
bisa alim tanpa belajar. Tapi, lagi-lagi Kiai Hasani menolaknya karena
merasa tidak mampu melaksanakan amalan itu.
Mendengar jawaban Kiai Hasani itu, K.H. Ma’ruf menyuruh beliau pulang
dan berjanji akan mendoakannya dalam setiap sholat.
Kiai Hasani memang tidak pernah mengenyam pendidikan di lembaga
tertentu. Dalam pertualangannya mencari ilmu, Kiai Hasani lebih banyak
mempelajari ilmu pengetahuan secara otodidak. Di dalemnya, beliau tekun
me-muthalaah kitab-kitab. Tafsir dan akhlaq merupakan disiplin
pengetahuan kesukaannya. Kitab-kitab yang beliau miliki penuh dengan
catatan dan kertas-kertas kecil sebagai tanda bahwa terdapat sebuah
pernyataan penting pada halaman kitab tersebut. Beberapa hari setelah
wafatnya, kitab-kitab itu diwakafkan ke Perpustakaan Sidogiri.
Kiai Hasani tidak menghabiskan masa mudanya dari pesantren ke pesantren.
Beliau hidup pada masa di mana penjajahan Belanda sedang pada
puncaknya. Kiai Hasani muda lebih memilih berjuang melawan para penjajah
itu dibanding menghabiskan waktunya di sebuah menara gading. Namun
modus perjuangan yang beliau tempuh adalah modus yang unik. Tidak
seperti Kiai A. Sa’doellah Nawawie, kakaknya, yang memilih berjuang
mengangkat senjata, Kiai Hasani lebih suka berjuang melalui jalan
diplomasi. Beliau kerap mendatangi kamp-kamp Belanda dan berpidato di
situ.
Dengan mendekati Belanda Kiai Hasani berupaya menetralisir incaran
Belanda terhadap Sidogiri. Sidogiri, saat itu, memang sedang menjadi
salah satu incaran utama pasukan Kompeni. Sidogiri merupakan markas
perjuangan Kiai A. Sa’doellah dalam mengusir Belanda. Kakak Kiai Hasani
itu sering memimpin pasukan untuk mengadakan penyerbuan terhadap Belanda
dari Sidogiri.
Apa yang dilakukan Kiai Hasani dengan mendekati Belanda ternyata cukup
efektif untuk mengamankan Sidogiri dari serangan mereka. Jika pasukan
Belanda mau menyerang Sidogiri, Kiai Hasani sudah menyetop mereka
sebelum masuk ke Sidogiri. Beliau menyuruh mereka untuk kembali. Dan,
mereka pun menuruti apa yang dikatakan Kiai Hasani.
Kiai Hasani Nawawi: Pola Hidup Sufi
21 Kali Bermimpi Soekarno
Terletak di tepi selatan asrama Pesantren Sidogiri bersebelahan dengan
Mesjid, dalem itu tampak sepi. Seperti tak ada kegiatan kerumahtanggaan
di situ. Bangunannya tampak tua sekali, dengan jendela dan pintu bercat
cokelat. Bagian depan berlantai semen seluas 1×3 meter. Tak ada aksesori
apapun, hanya tampak beberapa pohon pisang di depan dalem. Pagar bambu
yang menutupinya sudah tampak agak rusak. Di sebelah barat, dalem itu
ditutupi beberapa satir dari anyaman bambu.
Di sinilah, Kiai Hasani tinggal. Jika anda ke sana, anda tak mengira
bahwa itu adalah dalem seorang ulama besar yang amat disegani, terutama
di Jawa Timur. Rumah itu memang terlalu sederhana. Tapi, dari sinilah
figur panutan itu meniupkan angin sufisme dari pikiran ke pikiran:
sufisme yang tidak hanya dalam bentuk konsepsi, tapi sebuah realitas
kehidupan.
Kiai Hasani memang menyukai hidup sederhana. Apa yang dijalani dalam
hidupnya merupakan bentuk nyata dari nilai-nilai sufistik yang tak
mengacuhkan materi. Sufisme memang telah menjadi pandangan hidup beliau
sejak muda. Beliau konsisten dengan nilai-nilai itu, qawlan wa fi‘lan.
Sehingga ada kesan unik pada pola hidup yang beliau jalani. Memang pola
hidup sufistik pada jaman ini, secara realitas tidaklah populer, meski
hal itu sering muncul sebagai komoditas wacana. Ia telah menjadi
tumpukan cerita di masa lalu.
Nilai utama sufisme yang selalu dipegang teguh oleh beliau sampai akhir
hayatnya adalah al-bu‘d ‘an al-dun‘ya. Dalam catatan sejarah, nilai ini
dipopulerkan oleh Sayyidina Ali yang menyatakan talak tiga untuk dunia.
Begitu pula dalam pandangan Kiai Hasani, hubb al-dun‘ya (suka dunia)
adalah penyakit yang telah amat kronis menimpa umat ini. Suatu ketika,
dalam sebuah manuskripnya, beliau mengungkapkan bahwa akar dari
kerusakan umat ini adalah kesenangan ulama-ulamanya kepada dunia.
Memang, dari 8 orang putra Kiai Nawawie, semuanya hidup miskin. Tapi,
yang membuat Kiai Hasani berbeda dari saudara-saudaranya adalah
kesempatan untuk kaya selalu beliau tolak. Beliau tidak pernah
menghiraukan urusan uang dan harta. “Jangan sampai engkau tahu, berapa
jumlah uang yang ada di sakumu,” dawuh beliau.
Begitulah Kiai Hasani dalam memandang dunia. Zuhud (asketisme) menjadi
cermin utama dalam pola hidup yang beliau jalani. Seperti tak ada
kesukaan sedikit pun terhadap dunia. Kalau pada umumnya, para tokoh
(termasuk ulama) menyukai fasilitas-fasilitas mewah, tapi lain halnya
dengan Kiai Hasani. Beliau malah hidup sangat sederhana. Tidak suka
mobil. Sering tampak berjalan kaki atau naik becak untuk sebuah
keperluan. “Keinginan punya mobil saja, aku tidak ingin,” dawuhnya suatu
ketika kepada K.H. Nawawi bin Abdul Jalil, keponakannya.
Jika anda masuk ke dalem Kiai, maka mesti tersirat sebuah kesimpulan
betapa sederhananya beliau. Di dalem, tidak terdapat peralatan apa-apa.
Tak ada hiasan dan hanya berlantai semen. Menariknya di dinding sebelah
dalam, Kiai menggantungkan celurit, pacul dan tangga. Entah isyarat apa
yang beliau maksudkan dengan peralatan tani ini. Yang jelas,
barang-barang itu bukan hiasan yang dimaksudkan untuk menambah keindahan
pemandangan.
Dalam dahar-nya (makan) sehari-hari, K.H. Hasani biasanya hanya cukup
dengan nasi putih dengan lauk krupuk dan kecap. Makanan kesukaan beliau
adalah kentang rebus diletakkan di piring kecil dan tempe mendol.
Pada hari Senin, sehari sebelum wafat, Kondisi beliau semakin melemah.
Dokter yang memeriksanya menganjurkan agar makan lebih banyak, tapi
beliau beralasan bahwa sejak dulu beliau tidak pernah makan banyak.
Akhirnya Dokter hanya menyarankan agar yang penting perut tetap ada
isinya.
Uniknya, Kiai malah memberi makan kucing piaraannya dengan ikan tongkol
dan ikan-ikan yang biasanya menjadi lauk kebanyakan orang. Kiai memang
suka memelihara hewan yang konon juga merupakan hewan piaraan kegemaran
Abu Hurairah, Sahabat Nabi dan perawi hadits paling masyhur itu.
Kucing-kucing yang terlantar dan sakit-sakitan beliau rawat dan
dipeliharanya dengan baik sampai sehat dan gemuk. Kalau ada kucing yang
mati maka beliau akan menguburkannya layaknya manusia. Suatu saat salah
satu kucing piaraan beliau terlindas kendaraan salah satu keluarga. Lalu
dikuburkan di suatu tempat. Ketika tahu kejadian tersebut, beliau
langsung membongkar lagi kuburan kucing tersebut dan dipindahkan ke
tempat penguburan kucing yang terletak di belakang dalem beliau. Dalam
dawuhnya, Kiai Hasani menyatakan bahwa kucing merupakan nunutan beliau
untuk masuk surga. “Kamu tidak punya dosa, Pus!” dawuh beliau suatu hari
seperti berdialog dengan kucing kesayangannya.
Memang, beliau sangat akrab dengan kesederhanaan itu. Hidup layaknya
orang biasa sudah menjadi manhaj al-hayah bagi beliau. Berpakaian
seperti lazimnya orang biasa. Sering terlihat memakai baju takwa hitam.
Tidak suka memakai sorban seperti kebiasaan para ulama. Bahkan, beliau
juga lebih suka memakai kopyah hitam dibanding kopyah putih. Itu semua
merupakan manifestasi dari pandangan kesederhanaan dan kesukaan untuk
hidup layaknya orang biasa.
Kiai Hasani memang amat tidak suka memakai atribut jasmaniah para ulama.
Beliau juga tidak senang diperlakukan istimewa. Pernah suatu ketika,
beliau diundang menghadiri walimatul arusy salah seorang tokoh di
Pasuruan. Di tempat yang disediakan untuk undangan para kiai, tertulis
kalimat “Khusus Masyayikh”. Tahu ada tulisan semacam itu, Kiai Hasani
yang kebetulan diundang dan hadir dalam acara tersebut tidak berkenan
masuk. Apa kata beliau? “Aku bukan masyayikh”. Akhirnya tuan rumah
melepas tulisan itu dan Kiai Hasani pun berkenan masuk. Konon, Kiai juga
senang diundang ke Probolinggo karena di tempat itu beliau tidak
di’istimewa’kan dari yang lain.
Jika Kiai Hasani mau, bukannya beliau tidak bisa untuk hidup seperti
lazim tokoh-tokoh lain. Dalam pembagian tirkah warisan setelah beliau
wafat, uangnya banyak tercecer di mana-mana. Kadang di bawah kasur, di
dalam kitab dan di tempat-tempat lain. . Ini merupakan sebuah cermin
bahwa Kiai tidak pernah memasukkan urusan harta ke dalam pikirannya.
Beliau tidak pernah menghitung berapa uang yang dimilikinya. “Jangan
sampai kau ketahui uang yang masuk ke sakumu, agar kamu tidak bersandar
pada uang,” ungkap beliau menyiratkan sebuah pandangan zuhdiyah-nya.
Dulu, Kiai Hasani pernah titip modal kepada H. Makki, salah satu jutawan
terkenal di Pamekasan Madura. Hal ini dimaksudkan beliau sebagai
pemenuhan atas kewajiban berkasab bagi seorang muslim. Tapi, sampai
akhir hayatnya Kiai Hasani tidak pernah menghiraukan uang itu lagi.
Menjelang pembagian warisan, uang itu diserahkan oleh H. Makki kepada
keluarga beliau di Sidogiri.
“Al-Dun’ya dawa’,” dawuh Hadratussyekh. “Dunia adalah obat”. Kalimat
singkat itu diperoleh beliau melalui mimpi. Syahdan, Kiai Hasani pernah
bermimpi bertemu Soekarno (Presiden ke-1 Republik Indonesia). Dalam
mimpi itu, Soekarno hanya menyampaikan kalimat “al-dun’ya dawa” kepada
Kiai. Konon, mimpi yang sempat beliau tulis dalam manuskripnya itu,
terjadi selama 21 kali.
Awalnya K.H. Hasani tidak paham apa maksud dari kalimat tersebut. Lalu
beliau menceritakan mimpi itu kepada kakak beliau Almaghfurlah K.H.
Cholil Nawawie. Setelah berpikir cukup lama, K.H. Cholil bisa menjawab
apa maksud dari kalimat “dunia adalah obat”. “Obat itu hanya digunakan
jika keadaan sakit (betul-betul membutuhkan, begitu pula dunia,” jelas
Kiai Cholil kepada Kiai Hasani. Mengenai hal itu, Kiai Hasani juga
berdawuh: “Yang baik, obat itu apa kata dokternya. Tidak boleh
overdosis.”
Pandangan dan sikap hidup asketis itu memang telah beliau tampakkan
semenjak muda. Tak ada tempat di hati untuk kesenangan duniawi. “Saya
ingin tahu, seperti apa rasanya senang dunia itu?” dawuh beliau suatu
ketika.
Begitulah Kiai Hasani, selalu memelihara kelarasan antara dawuh dan
perilaku. Kekentalannya dengan sufisme tidak hanya terejawantahkan dalam
kata-kata, tapi juga pola hidupnya sehari-hari. Oleh kerena itu, beliau
sering mewanti-wanti bahwa sekarang ini yang terpenting bagi kita
adalah mengamalkan ilmu. “Kalau dulu memang dibutuhkan orang-orang alim,
sekarang sudah tidak perlu lagi. Semuanya sudah alim-alim. Kita hanya
perlu menyelamatkan diri,” tegas Hadratussyekh.
Ulama memang telah begitu banyak. Lalu, sebanyak itukah orang yang
bermoral ulama? Sufisme telah menjadi kajian luas: di majelis ta‘lim,
seminar, halaqah, dan mimbar-mimbar kuliah. Buku-buku tentang tasawuf
membanjiri toko-toko. Lantas, seluas itukah nilai-nilai sufisme itu
telah diterapkan? Kiai Hasani seperti mengkritik itu semua: “al-Ilm
al-yawm mazhlum,” dawuh beliau penuh kecewa. Saat ini, ilmu pengetahuan
(terutama pengetahuan agama) memang telah menjadi korban.
Pandangan kritis itu tidak hanya ditunjukkan Kiai Hasani untuk para
ulama dan cendekiawan. Dalam pandangan beliau, orang-orang yang
melaksanakan ibadah pun sekarang banyak yang maghrur, terjerumus dalam
lembah kedunguan. Setelah naik haji pada tahun 1958, beliau enggan untuk
naik haji lagi. Hadratussyekh begitu prihatin melihat Baitullah itu
sekarang. Begitu banyak munkarat di situ. Padahal kita mesti ekstra
hati-hati di Tanah Suci itu. Tanah Haram tidak bisa dibuat sembarangan.
Mengenai ibadah, Kiai Hasani memberi penekanan utama pada sisi makna.
Ibadah bukan cuma urusan ritual badaniah belaka, tapi berintisari pada
pemaknaan hati. Oleh karena itu, beliau lebih suka melakukan ibadah yang
dirasanya sebagai hal berat. Di situ ada upaya menundukkan hati kepada
Ilahi. Mengatur gerak hati memang lebih berat dibanding aktivitas
jasmaniah. Ini terutama menyangkut keikhlasan dan gerak kalbu yang lain.
“Lebih berat maksiatnya hati dari pada maksiatnya badan,” dawuh beliau.
Menjadikan gerak kalbu sebagai esensi segala aktivitas merupakan
pandangan yang diperkenalkan kalangan sufi. Kendati demikian, Kiai
Hasani sangat kukuh dan tegas memegang norma-norma ritual sebuah ibadah.
Beliau amat tegas dengan kebenaran tatalaksana shalat menurut aturan
fiqh, begitu pula dalam ibadah-ibadah lain. Bahkan, sampai masalah adzan
pun beliau mempunyai perhatian amat serius. Sampai sekarang, adzan di
Mesjid Sidogiri tidak pernah berlagu. Kiai Hasani marah jika adzan
dilakukan berlagu. Memang, pada aspek tatakrama, adzan berlagu hanya
mementingkan dominasi seni serta telah kehilangan makna panggilannya
menghadap Allah.
Persis seperti umumnya para sufi, K.H. Hasani sejak lama merindukan
mati, sebuah keinginan yang tidak wajar dalam pikiran orang yang belum
merasakan betapa sesak dunia ini dan betapa indah bertemu dengan Sang
Rabb. Kerinduan itu sering beliau ungkapkan, terutama menjelang hari
wafatnya. Apa yang menguntungkan dari mati? ”Kalau orang baik pendek
umur, ia cepat ketemu kebaikannya. Kalau orang yang jelek pendek umur,
ia cepat putus dari kejelekannya agar tidak banyak dosanya,” dawuh
Hadratussyekh membangun logika dari pandangannya.
Jika ada tamu, Kiai Hasani selalu mengantarkan sendiri suguhannya.
Beliau juga sangat sedih jika banyak tamu, khawatir tidak bisa
menghormati mereka dengan layak.
Etiket sufisme lain yang juga sudah begitu melekat pada Kiai Hasani
adalah melestarikan ajaran khumul. Dalam kamus sufi, khumul berarti
tidak mau dikenal orang (tentang keistimewaan dirinya). Dalam tuntunan
tasawuf Ibnu Atha’ al-Sakandari ajaran ‘tidak suka tampil’ itu
dimaksudkan sebagai langkah penyelamatan bagi seorang yang menjalani
kehidupan sufi agar tidak terjerumus oleh popularitas dan ketenaran.
“Sing enak saiki iki mastur,” dawuh Kiai kepada K.H. A. Nawawi bin Abdul
DJalil, keponakannya.
Memang, khumul seperti telah menjadi filosofi baku, tidak hanya bagi
Kiai Hasani tapi juga Sidogiri. Pondok pesantren yang sudah berusia 256
tahun itu seperti besar dalam ketersembunyian: tidak pernah menyebar
brosur atau jenis promosi lain, bahkan memasang plakat pun bagi Sidogiri
terkesan tabu.
Kiai Hasani Nawawi: Perjuangan Mendidik Generasi
Mendidik Masyarakat dengan Uswah
Tak ada Kiai Hasani, Sidogiri seperti kehilangan urat nadi. “Kiai Hasani
wafat, siapa lagi yang punya perhatian penuh pada shalat,” kalimat itu
kerap terdengar dari santri Sidogiri pasca wafatnya Hadratussyekh K.H.
Hasani Nawawie.
Memang, selama dasawarsa terakhir, Sidogiri memiliki komitmen pendidikan
shalat yang luar biasa. Upaya pendidikan shalat bagi santri digalakkan
sedemikian rupa. Bahkan, semenjak dua tahun yang terakhir, Sidogiri
menetapkan lulus ujian shalat sebagai syarat kenaikan kelas di madrasah.
Komitmen yang luar biasa hebat ini merupakan buah perhatian ekstra Kiai
Hasani terhadap shalat santri. Dalam dawuhnya, beliau menyatakan bahwa
shalat merupakan standar keberhasilan pendidikan di Pondok Pesantren
Sidogiri. Shalat santri baik, berarti pendidikan berhasil; shalat santri
jelek, berarti pendidikan gagal.
K.H. Hasani memang lebih sering memerankan sebagai sosok yang mengerem
langkah Pesantren Sidogiri agar tidak bergeser dari visi semula: ingin
mencetak ‘ibad Allah al-shalihin. Beliau adalah supervisor, penyelia
segenap komponen pesantren yang sedang berproses.
Tugas ini beliau akui sebagai beban yang mahaberat, soalnya menyangkut
tanggung jawab di hadapan Allah. Tugas mahaberat ini sejalan dengan
pandangan beliau bahwa pesantren merupakan lembaga yang ussisa ‘ala
al-taqwa, dibangun dan berdiri atas dasar takwa kepada Allah. Jadi,
bagaimanapun dan kemanapun pesantren ini melangkah, takwa tetap harus
menjadi oreintasi dasar.
Hal tersebut betul-betul membuat Kiai Hasani tidak bisa tenang, terutama
ketika menyaksikan ibadah santri. Di dalem, Kiai kadang berdiri sampai
berjam-jam menghadap ke mesjid. Beliau memperhatikan dengan seksama
santri yang sedang melakukan shalat. Kiai memang mempunyai keprihatinan
yang mendalam melihat shalat santri belakangan ini.
Kiai menjalankan kontrol penuh terhadap mesjid. Sampai sekarang pun,
dalemnya yang terletak bersebelahan dengan mesjid itu seperti menjadi
pengawas bisu bagi santri yang masuk ke mesjid. Mereka terlihat amat
hati-hati berada di mesjid ini, terutama ketika Hadratussyekh masih
hidup.
Menyaksikan mesjid Sidogiri akan terlihat aktivitas ibadah yang
berlangsung tertib. Mesjid selalu ramai dengan lalulalang santri yang
hendak, usai, atau sedang melaksanakan ibadah. Bangunan tua itu memang
padat dengan aktivitas dalam 24 jam. Tapi, semuanya berjalan tenang dan
tertib. Ini semua buah kontrol ketat Kiai Hasani terhadap tempat ibadah
itu. Kontrol penuh K.H. Hasani atas mesjid itu memang terbukti efektif
bagi pembangunan semangat ibadah bagi santri Sidogiri.
Kiai Hasani sangat tidak suka jika tempat ibadah itu dicampuri dengan
hal-hal yang bisa merusak makna ketertundukan terhadap sang Maha
Pencipta. Setiap kali ada hal-hal yang mengurangi kesopanan terhadap
tempat suci ini, Hadratussyekh mesti memberi respon kontrolnya, minimal
dalam bentuk teguran kepada orang yang dipasrahi untuk menjaga
ketertiban ibadah di mesjid.
Beliau sering memberi teguran jika terjadi keramaian yang sebetulnya
tidak perlu terjadi. Peringatan yang sering beliau sampaikan kepada
santri menjadi kontrol efektif bagi mereka untuk tidak berlaku urakan
dan keterlaluan dalam bergurau dan mengekspresikan sesuatu. Kontrol itu
sangat melekat pada jiwa masing-masing santri. Saking lekatnya kontrol
dari Hadratussyekh ini, setiap terjadi keramaian, satu kata “dalem”
betul-betul ampuh untuk membuat mereka diam dan tenang kembali. Pada
aspek apapun,
Dalam segala hal, K.H. Hasani menekankan pentingnya keseriusan. Pada
aspek apapun Kiai berpegang pada prinsip falyadhaku qalila walyabku
katsira, perbanyak menangis dibanding tertawa. Prinsip tersebut
merupakan prinsip dasar yang diajarkan al-Qur’an sebagai pandangan hidup
bagi setiap muslim.
Sebagai pemangku utama Pondok Pesantren Sidogiri, peran K.H. Hasani
dalam menjaga keseimbangan arus pesantren agar tidak bergeser dari
prinsip al-Salaf al-Shalihin betul-betul vital. Beliau menitikkan
perhatiannya pada pembentukan haliyah, perilaku dan moral santri. Ini
adalah bagian dari pandangan dan komitmen beliau yang luar biasa: bahwa
santri merupakan tanggung jawab mahaberat dun’ya wa ukhra.
Kiai Hasani: uswah sebagai strategi dakwah
Beliau memang sosok sufi, zuhud dan tidak menyukai kehidupan
materialistik. Sebagai sosok dengan komitmen relegius yang kental, tak
bisa dibayangkan betapa kecewa beliau melihat ‘jaman’ ini. Ya,
kekecewaan itu memang sering diungkapkan beliau. Bahkan, berbagai
manuskrip, maqalah dan pandangan-pandangannya kerapkali menumpahkan
kekecewaan yang mendalam itu.
Anehnya, kekecewaan itu tidak membuat beliau lebih suka berada di menara
gading dan menghabiskan hari-harinya dengan menikmati munajat kepada
Allah di hamparan sunyi. Pandangan hidupnya yang zuhud tidak membawa
beliau untuk menyepi, menjauh dari khalayak.
Kiai Hasani suka berbaur dengan masyarakat sekitar. Kerap berkumpul di
tengah-tengah mereka untuk sekedar bincang-bincang, kadang juga di
warung-warung. “Kalau kiainya warung dan kiainya kucing, tanyakan saya,”
dawuh beliau suatu ketika. Detik-detik persentuhan dengan masyarakat
itulah yang kerap digunakan Hadratussyekh untuk menaburkan ajaran Islam
dari pikiran ke pikiran.
Kedekatannya dengan masyarakat akar rumput membuat mereka merasa amat
kehilangan atas kemangkatan Kiai Hasani. “Kiai Hasani wafat, siapa lagi
yang akan dekat dengan masyarakat,” ujar salah seorang penduduk desa.
Kiai Hasani selalu hadir jika diundang masyarakat, baik untuk walimah
atau acara-acara selamatan lain. Bahkan beliau selalu hadir tepat waktu,
meskipun undangan lain masih belum datang. “Jika diundang jam tujuh,
beliau datangnya pas jam tujuh. Kadang tuan rumahnya pun waktu itu masih
belum persiapan,” cerita salah satu sumber.
Dalam dakwahnya kepada masyarakat luas, Kiai Hasani lebih mengutamakan
aksi dibanding retorika. Selama hidupnya, Hadratussyekh tidak pernah
tampil memberi ceramah maupun pengajian di depan publik. Beliau
berdakwah dari pintu ke pintu; dari orang ke orang. Naluri dakwah
semacam inilah yang membuat masyarakat merasa bahwa Kiai Hasani begitu
dekat dengan mereka. “Mereka tidak salah. Yang salah itu kamu dan aku.
Mereka tidak mengerti, tidak mendengar dakwah Islam,” dawuh Kiai kepada
Mas Abdullah Syaukah, keponakannya.
Kiai Hasani memang sosok ulama yang mempunyai kepedulian sosial amat
tinggi. Kiai memposisikan dirinya sebagai bagian dari masyarakat bawah,
juga merasakan penderitaan mereka. Hal ini misalnya tercermin dari sikap
tenggang rasa yang beliau tampakkan untuk kalangan bawah itu. Naik
becak dari lapangan Sidogiri ke dalemnya saja (sekitar 200 meter), Kiai
memberi ongkos dari Rp. 20 ribu sampai Rp. 50 ribu. Suatu ketika salah
satu keponakannya yang menyaksikan hal tersebut bertanya: “Apa tidak
terlalu banyak, Kiai?” Apa dawuh Kiai Hasani? “Kalau aku disuruh nyetir
becak itu dari lapangan ke sini, diberi uang segitu pun aku tidak mau,”
jawab beliau. Dawuh semacam itu timbul dari kepedulian dan tenggang rasa
yang mendalam terhadap penderitaan kalangan bawah.
Kiai begitu memahami keadaan masyarakat bawah. Dalam membimbing mereka
menuju kebenaran, beliau lebih mengutamakan langkah memberi teladan.
Segala segi dari pola hidup yang beliau jalani merupakan bagian dari
bimbingan melalui haliyah itu. “Sebetulnya, sekarang pun aku mampu
membeli mobil Mercedes keluaran terbaru. Tapi, aku takut masyarakat
mempunyai pemahaman keliru bahwa menjadi kiai itu enak. Lalu mereka
memondokkan anaknya ke pesantren biar jadi kiai dan hidupnya enak,”
dawuh beliau mengungkapkan visi dakwahnya kepada salah seorang guru
Sidogiri.
Kiai memang terkenal sebagai sosok ulama yang selalu menjaga
kemanunggalan kata dan sikap. Semua yang beliau katakan, selalu beliau
laksanakan. Dalam berdakwah, beliau mesti memulai dari diri sendiri.
Dalam bahasa K.H. Hasyim Muzadi (Ketua Umum PBNU), Kiai Hasani adalah
ulama yang alim amaliyah dan amil ilmiyah. Hal tersebut diungkapkan K.H.
Hasyim saat memberi sambutan dalam selamatan 40 hari wafatnya
Hadratussyekh.
“Saat ini, kita amat terpukul dengan kepergian Kiai Hasani. Tapi hal itu
tidak cukup. Yang terpenting bagi kita setelah ini adalah meneladani
kehidupan yang telah dicontohkan beliau,” ungkap salah satu ulama dalam
kalimat belasungkawanya di hadapan kaum muslimin ketika akan
melaksanakan shalat jenazah yang ke-8 untuk al-Maghfurlah K.H. Hasani.
Kiai Hasani adalah sosok yang netral. Dalam berdakwah, beliau tidak
pernah membeda-bedakan orang. Siapapun orangnya, kalau ia memiliki visi
dakwah yang sama, maka akan beliau dekati. K.H. Hasani tidak pernah
mempermasalahkan dari kelompok mana ia. Dalam aksi dakwah dan
pemberdayaan umat, baju sektarianisme mesti harus disingkirkan. Yang
terpenting bagi K.H. Hasani orang itu adalah muslim yang taat beragama.
Dalam hidupnya, selain dikenal dekat dengan sejumlah ulama dari kalangan
NU, K.H. Hasani juga dekat dengan ulama-ulama yang terkenal sebagai
tokoh Syi’ah, seperti Habib Husein al-Habsyi (YAPI Bangil) dan Habib
Husein al-Habsyi (Malang). Kedua tokoh tersebut memang dikenal sebagai
ulama yang amat concern dengan dakwah Islam dan pemberdayaan umat.
Tidak ada kamus fanatik terhadap figur tertentu bagi K.H. Hasani.
Standar tunggalnya adalah visi dan ketaatannya dalam beragama. Pernah
suatu ketika ada acara Peringatan Tahun Baru Islam yang diselenggarakan
GP Ansor di lapangan Sidogiri. Penceramah dalam acara tersebut adalah
Habib Muhsin Alatas. Sehabis acara, Muhsin Alatas berniat sowan kepada
al-Maghfurlah K.H. Hasani. Ia minta tolong kepada Sudirman (kawan dekat
Mas Fuad Noerhasan, keponakan K.H. Hasani) untuk menyampaikan maksudnya
kepada beliau.
dengan habib tersebut, karena dikiranya adalah Habib Husein al-Habsyi
Malang. Seperti telah menjadi berita hangat di berbagai media, saat itu
Habib Husein terlibat dalam percaturan politik yang memanas. Ia memberi
statemen akan menghadang Banser dengan pasukan Ikhwanul Muslimin.
Statemen ini nyaris mengakibatkan perpecahan antara sesama umat Islam.
Ia juga sering berkomentar kepada sesama muslimnya dengan nada cacian
(tentang Gusdur misalnya). K.H. Hasani tidak suka dengan sikap Habib
Husein itu kendati sebelumnya beliau cukup dekat. Kiai menolak untuk
bertemu dengannya. Ketika dijelaskan bahwa yang akan sowan bukan Habib
Husein, tapi Habib Muhsin Kiai Hasani bersedia menerimanya.
Kiai Hasani memang tidak suka dunia politik. Selama hidupnya, beliau
tidak pernah mendukung partai apapun di Indonesia. Tapi jika perseteruan
politik mengakibatkan pecahnya umat, maka Kiai akan peduli untuk
mempersatukan kembali.
Saat di Pasuruan terjadi aksi dukung mendukung atas pemberhentian Bupati
Dade Angga, silaturrahim K.H. Hasani ke Bupati dapat meredam gejolak
massa yang hampir mengakibatkan suasana chaos di kota santri ini. Ketika
suasana Pasuruan sedang dalam keruh-keruhnya karena demonstrasi massa
mendesak Dade Angga mundur, Hadratussyekh berkunjung ke Pendapa Kota
Pasuruan. Kunjungan Kiai itu sebagai silaturrahim biasa. Sebelumnya,
Bupati bersilaturrahim ke dalemnya, kemudian ganti beliau
bersilaturrahim ke Bupati.
Silaturrahim Kiai ke Bupati itu ternyata mendapat perhatian luas dari
masyarakat. Media massa utama Jawa Timur, Jawa Pos (Radar Bromo) dan
SURYA sempat mengeksposnya. Dan, silaturrahim itu membawa dampak positif
bagi perkembangan Pasuruan. Kota Untung Suropati ini berangsur-angsur
tenang kembali.
Kiai Hasani: Pandangan dan Visi
Dukungan Penuh atas Pancasila
Jika teliti, anda akan menangkap sebuah pemandangan aneh di pintu
gerbang Pondok Pesantren Sidogiri. Di pintu masuk timur tepat di sebelah
barat jalan, anda akan disambut ukiran Burung Garuda. Lambang Republik
Indonesia tersebut diukir di tembok sebelah kiri gerbang. Di bawahnya,
tertera butir-butir Pancasila. Tak ada gambar dan tulisan lain selain
itu, termasuk petunjuk bahwa gerbang itu adalah pintu masuk ke Pondok
Pesantren Sidogiri.
Ada apa gerangan dengan gerbang Sidogiri? Konon, ukiran Burung Garuda
dan butir-butir Pancasila itu dibuat atas instruksi dari Hadratussyekh
K.H. Hasani. Tidak diketahui pasti semenjak kapan. Namun dari wajah
gambar, tampak bahwa ukiran tersebut sudah berusia puluhan tahun.
Tak heran, Hadratussyekh menginstruksikan membuat gambar itu di pintu
gerbang. Jika anda membaca manuskrip Kiai yang disebar Keluarga beberapa
puluh hari setelah wafatnya, anda pasti bisa meraba-raba apa maksud
beliau dengan gambar itu.
Kiai Hasani, seperti yang banyak beliau tulis dalam manuskripnya,
merupakan tokoh yang memiliki kekaguman luar biasa dengan butir demi
butir Pancasila. Butir-butir itu searah dengan pemikiran beliau, tapi
dalam penafsiran yang berbeda dengan yang dimiliki orang pada lazimnya.
Perbedaan penafsiran itu terletak pada sila Ketuhanan yang Maha Esa.
Dengan tegas Kiai Hasani menyatakan bahwa sila pertama ini hanya sesuai
dengan akidah Islam, tidak dengan agama-agama lain. Logikanya, dengan
sila ini semua agama tidak berhak untuk hidup di Indonesia karena tidak
sesuai dengan dasar negara.
Apa yang beliau ungkapkan tentang tafsir sila ini tidak hanya sekedar
apologia. Kiai Hasani membangun sebuah argumentasi teologis yang mapan.
Beliau mengurut arti kata “esa” dari langgam teologi: bahwa pada titik
makna dasarnya keesaan itu hanya sesuai dengan akidah Islam.
Argumentasi yang beliau bangun tentang kemanunggalan sila pertama dengan
akidah Islam berujung pada kesimpulan bahwa sila tersebut mengandung
dua unsur pokok. Pertama, kepercayaan akan eksistensi Tuhan (i‘tiraf
al-uluhiyah); kedua, kepercayaan akan keesaan Tuhan (i‘tiraf
al-wahdaniyah). Dengan unsur pertama, dasar negara tersebut menolak
komunisme-ateisme; sedang unsur kedua menolak akidah agama selain Islam.
Konsekwensi dari sila tersebut adalah bahwa Republik Indonesia harus
menyesuaikan segala haluan, kebijakan dan undang-undangnya dengan ajaran
Islam, karena ideologi negaranya hanya sesuai dengan akidah Islam,
tidak agama lain.
Sebagai dasar negara tentu hal tersebut harus betul-betul ditegakkan di
Indonesia. Kiai Hasanimenyerukan agar kaum muslimin betul-betul
memperjuangkan Pancasila, dalam arti bahwa “al-hukm bima anzal-Allah”
harus berlaku di Bumi Pertiwi ini.
Dalam pandangan K.H. Hasani Nawawie, kemanunggalan ajaran Islam dengan
Pancasila juga terbentuk melalui sila kedua (Keadilan Sosial). Jika sila
pertama mempresentasikan ajaran Islam terkait hubungan vertikal dengan
Allah, maka sila kedua mempresentasikan ajaran Islam terkait hubungan
horizontal antara hamba dan hamba.
Visi umum ajaran Islam hanya ada dua: al-qiyam bi haqq al-Haqq dan
al-qiyam bi haqq al-khalq. Pertama, melaksanakan kewajiban terkait
dengan Sang Pencipta; kedua, melaksanakan tanggungjawab terkait dengan
makhluk Sang Pencipta. Kedua visi itu dipresentasikan seluruhnya oleh
sila Ketuhanan yang Maha Esa dan Keadilan Sosial.
K.H. Hasani Nawawie: Visi Keumatan
Menjelang Pemilu tahun 1997, Sidogiri terlibat dalam sebuah polemik di
majalah Editor. Adalah Ustadz H. Mahmud Ali Zain yang menjadi jubir
Sidogiri ketika itu. Apa yang katanya tentang pemilu? “Berpartai
hukumnya haram”.
Ada apa Sidogiri dengan pernyataan yang menyentak publik itu?
Penegasan itu datang dari K.H. Hasani Nawawie. Tak ada hal lain yang
mendorong Kiai menegaskan hal itu kecuali ghirah dan keprihatinan yang
sangat kuat melihat fenomena umat. Begitu mudah persatuan umat
tercabik-cabik hanya karena fanatisme yang dihembuskan oleh kalangan
partai. Urusan partai betul-betul telah membuat umat ini berada pada
pertikaian yang tak tentu ujungnya. Bahkan, kerapkali tokoh umatnya
sendiri yang menjadi motor pertikaian itu. Melihat kenyataan bahwa
berpartai mengandung potensi sangat kuat dalam tafriq al-jama‘ah
(memecahbelah umat), K.H. Hasani mengharamkan berpartai itu. Masalah
berpartai merupakan sarana untuk tanshib al-imamah (memilih pemimpin),
maka masih ada berpartai bukan satu-satunya cara untuk memilih pemimpin
itu.
Bagaimanapun, kata Kiai Hasani, orang berpartai akan menumbuh ta‘ashhub
(fanatisme) dalam hatinya. Ia akan membela partainya tanpa melihat
apakah partai itu patuh pada syari’at atau tidak.
Fanatisme partai sudah sedemikian lama menjadi penyakit yang menggilas
semangat ukhuwah. Politik dan berpartai merupakan motif utama konflik
umat secara massal. K.H. Hasani tak kuasa melihat fenomena ini.
Pertikaian umat betul-betul menyesakkan ruang dada beliau. “Bagaimana
aku akan bertanggung jawab di akhirat terhadap santri-santri Sidogiri
yang ikut partai ini dan itu, kemudian saling bertengkar,” dawuhnya
suatu ketika kepada H. Thayyib (Ketua Yayasan STIE Malangkucecwara),
sahabat dekat beliau.
K.H. Hasani memang sangat konsisten dengan pandangan-pandangan tentang
persatuan umat. Tak ada kamus fanatisme terhadap madzhab dan golongan
tertentu bagi beliau. Yang terpenting adalah Islam dan berperilaku
Islami, bukan golongan ini dan golongan itu atau madzhab ini dan madzhab
itu.
Solidaritas Islam begitu mengakar pada pandangan dan langkah-langkah
beliau. Kiai paling tidak bisa menerima jika melihat umat Islam
ditindas. L.B. Moerdani (Panglima ABRI di masa Soeharto) adalah orang
yang sangat dibencinya. Moerdani merupakan tokoh utama di balik
pembantaian ratusan umat Islam di Tanjung Priok. Di kalangan aktivis
pembela Islam, Moerdani dikenal sebagai Panglima Salibis. Hal itu
disebabkan karena sikap kerasnya dalam memusuhi umat Islam dan membela
umat Kristen. “Membawa bom, lalu salaman dengan Moedani, kemudian mati
bersama itu bukan mati bunuh diri, tapi mati syahid,” dawuh beliau.
Santri dan Pesantren : Sebuah Predikat Moral
SANTRI. Berdasarkan peninjauan tindak langkahnya, adalah orang yang
berpegang teguh pada Alqur’an dan mengikuti sunnah Rasul SAW dan teguh
pendirian. Ini adalah arti dengan bersandar sejarah dan kenyataan yang
tidak dapat diganti dan diubah selama-lamanya. Allah yang maha
mengetahui atas kebenaran sesuatu dan kenyataannya.
Mirip sebuah prasasti, kalimat tersebut terpampang besar di bagian depan
asrama “J” Pondok Pesantren Sidogiri. Terukir di tembok seluas
kira-kira 7×2 meter, berwarna putih dengan latar belakang hijau. Di
sebelah atas tercantum redaksi aslinya dalam bahasa Arab di bawah judul
al-Santri.
Ukiran itu dibuat sekitar 11 tahun yang lalu. Kalimatnya disusun oleh
Almaghfurlah K.H. Hasani Nawawie pada tahun 1972. Sejak semula kalimat
tersebut dijadikan sebagai asas dasar Pondok Pesantren Sidogiri. Santri
yang mondok di situ pasti hafal luar kepala. Bagi mereka, menghafal
kalimat itu sama artinya dengan membaca prinsip hidup dan jati dirinya
sendiri.
Pandangan K.H. Hasani tentang santri dan pesantren, setidaknya, telah
dicurahkan dalam beberapa kalimat itu. Dalam kemasan “ta’rif santri”
tersebut, Kiai Hasani mempertegas bahwa kata “santri” adalah murni
sebagai predikat moral. Santri, bukanlah nama dari sebuah komunitas
tertentu atau kelompok dengan budaya tertentu, tapi murni sebagai
predikat dari sebuah ketaatan beragama.
Ada dua hal pokok yang disebut K.H. Hasani dalam ta’rif santri itu:
ketaatan pada garis agama serta prinsip tegas dan perilaku yang lurus.
Dan, persis seperti apa yang dikemukakannya tentang santri, beliau juga
memberi arti pesantren, murni dalam sebuah predikat moral keagamaan.
Menurut K.H. Hasani, pesantren adalah lembaga yang berdiri atas dasar
takwa kepada kepada Allah atau menjadikan ketaatan beragama sebagai
pijak dasarnya (ussisa ‘ala al-taqwa).
Dalam memandang segala sesuatu (terutama masalah agama), K.H. Hasani
memang selalu bertumpu pada substansi dan prinsip keagamaan. Jika
prinsip dan substansinya sudah benar, beliau tak pernah menghiraukan
lagi siapa dan dari kelompok mana. Hal ini selalu beliau tampakkan dalam
setiap langkah-langkahnya, baik dalam berdakwah, membangun ukhuwah,
maupun dalam kehidupannya sehari-hari.
Kiai Hasani dan Kritik Sosial
Pandangannya yang lurus dan tak kenal kompromi membuat K.H. Hasani
disegani ulama-ulama lain. Beliau memang putera ulama besar, tapi yang
membuatnya disegani adalah sikap dan pandangannya yang lurus serta
tegas.
Kiai Hasani memang tak segan-segan menegor siapa saja yang dianggapnya
tidak mengindahkan ajaran agama, tak terkecuali dia itu tokoh besar atau
mempunyai pengaruh luas. Dalam menyikapi sesuatu, beliau selalu teliti
dan kritis. Kritik-kritik beliau lebih banyak ditunjukkan untuk para
pengemban ilmu pengetahuan, baik santri, pelajar, maupun ulama,
dibanding yang lain.
Menyikapi kerusakan moral di masyarakat, Kiai Hasani tidak terlalu
menyalahkan mereka. Beliau melihat hal ini sebagai kesalahan para
pengemban dakwah Islam. “Mereka tidak salah, yang salah itu kamu dan
saya,” dawuhnya.
Rusaknya moral umat bersumber dari rusaknya moral para ulama. Begitulah
salah satu inti dari tulisan beliau dalam beberapa manuskripnya.
Menurutnya, seperti ditegaskan Rasulullah, komponen yang paling
menentukan baik-buruknya umat ada 2, yaitu ulama (kaum cendekiawan) dan
umara (kaum birokrat).
Kerusakan moral masyarakat merupakan akibat dari bobroknya moral para
penguasa (birokrat). Kebobrokan penguasa, disebabkan karena tidak
becusnya para ulama. Begitulah Kiai Hasani mengurai sumber utama
kebobrokan ini. Dalam pandangan beliau, ulama saat ini telah banyak yang
tergila-gila pada harta dan kedudukan (hubb al-jah wa al-mal).
Kritik keras juga beliau alamatkan kepada para pelajar dan santri. Dalam
hal ini, yang menjadi bidikan utama beliau adalah kebiasaan tidak
serius dalam mencari ilmu. Tertawa dan kegaduhan yang tidak perlu telah
menjadi kebiasaan yang telah melekat di tempat belajar dan majlis
al-ilm. Kebiasaan tidak serius ini amat disayangkan Hadlratussyekh.
Dalam sebuah manuskripnya beliau bercerita tentang suasana belajar di
majelis pengajiannya al-A‘masy. Suatu ketika, seorang murid al-A‘masy
tertawa saat berlangsungnya pengajian. Syahdan, al-A‘masy menindaknya
dan menyuruhnya berdiri. “Engkau mencari ilmu yang telah di-taklif-kan
Allah kepadamu, sedang engkau tertawa,” kata al-A‘masy memarahinya.
Setelah itu al-A‘masy tidak menyapa murid itu selama 2 bulan.
Dalam Semalam, Istiqamah Bangun Lima Kali
Anak adalah buah hati. Keturunan berarti kelangsungan sejarah bagi
seseorang. Tiada anak, hambarlah kehidupan rumah tangga. Tapi, tidak
dengan K.H. Hasani Nawawie. Kiai yang menghabiskan hidupnya dengan lakon
zuhud ini malah tidak ingin punya anak. “Saya ini sudah anak, anaknya
Kiai Nawawie Sidogiri. Jadinya seperti ini. Kalau saya punya anak,
jadinya seperti apa. Sedang antara saya dan Abah bayna al-sama’ wa
al-sumur (antara tingginya langit dan dalamnya sumur),” dawuhnya.
Filosofi yang dipegang Kiai Hasani tentang “anak” memang tidak seperti
filosofi yang dipegang orang pada umumnya. Beliau memandang keturunan
tidak dalam bentuk kuantitas, tapi murni pada kualitas kesalehannya di
hadapan Sang Pencipta. Dan, Hadlratussyekh, sampai akhir hayatnya, tidak
mempunyai seorang putera pun. Beliau hanya mempunyai dua putera angkat,
Yaitu Mas Abdul Bari dan Mas Anshori (Putera Nyai Sholihah, isteri Kiai
Hasani yang ketiga).
K.H. Hasani beristeri tiga kali. Dari ketiga isterinya itu, beliau tidak
menurunkan putera sama sekali. Isteri pertama beliau adalah Ibu Nyai
Zubaidah. Tidak begitu lama berkeluarga dengan Ibu Nyai Zubaidah, Kiai
Hasani men-firaq-nya. Beliau kemudian berkeluarga dengan Ibu Nyai Lilik,
puteri K.H. Zaini Rembang. Namun, tidak lama juga beliau men-firaq-nya.
Yang terakhir beliau berkeluarga dengan Ibu Nyai Sholihah. Ibu Nyai
Shalihah berasal dari Malang. Beliau adalah janda dengan putera 7 orang.
Puteranya yang ikut ke Sidogiri hanya 2 orang, yaitu, Mas Abdul Barri
dan Mas Anshori.
, Kiai Hasani mempunyai perhatian penuh terutama pada sisi moral. Nuansa
zuhud dan sufi tidak hanya kental pada diri beliau semata, tapi juga
segenap keluarganya. “Kamu mau saya jadikan apa saja ikutlah!” dawuh
beliau kepada Mas Abdul Barri, salah satu putera angkatnya.
Disiplin ajaran Islam betul-betul beliau terapkan pada keluarganya. K.H.
melarang keras keluarganya keluar tanpa disertai mahram. Wanita yang
bukan mahram tidak boleh masuk ke dalemnya. Beliau juga melarang
televisi bagi keluarganya. Dalam pandangan Kiai Hasani, televisi banyak
mudharat-nya dalam pembentukan moral. “Meskipun thariqat kalau masih
ngingu (punya) TV, itu thariqat gendeng,” dawuh beliau mengometari media
hiburan plus informasi itu.
Sehari-hari beliau menekankan pentingnya shalat berjamaah bagi
keluarganya. Beliau sendiri, sejak masih belum baligh tidak pernah
meninggalkan shalat berjamaah. Dan, Kiai lebih suka melaksanakan shalat
jamaah di dalemnya daripada di mesjid. Konon, beliau tidak betah shalat
di mesjid yang sehari-hari ramai dengan aktivitas ibadah santri itu.
Kiai Hasani tidak tahan melihat ibadah santri, yang menurut beliau,
tidak karuan. “Kalau aku shalat di mesjid, marah-marah nanti,” dawuhnya.
K.H. Hasani melalui hari-harinya dengan lakon yang amat berat. Anjuran
tasawuf tentang “perbanyak menangis daripada tertawa” betul-betul beliau
laksanakan. Hari-harinya beliau lalui dengan perasaan susah, terutama
ketika ada hujan, petir dan banjir. Hal ini beliau lakukan sebagai kiat
untuk menjaga hati agar selalu mengingat Allah. Bahkan, jika merasa
gembira beliau memaksakan diri untuk susah. “Hati yang dibuat susah,
meskipun karena urusan dunia, baik untuk hati tersebut. Sebaliknya, jika
dibuat gembira, meskipun karena akhirat itu justru tidak baik untuk
hati itu”. Begitulah prinsip beliau.
Setiap malam, Kiai Hasani istiqamah bangun dalam setiap jam. Dalam
semalam Kiai bangun sebanyak 5 kali, mulai jam 11.00 malam sampai jam
3.00 dini hari. Setiap selesai shalat Isya, beliau beristirahat sampai
jam 11.00 malam. Kemudian bangun dan berwudlu’, lalu membaca surah
Al-Fatihah. Setelah itu, beliau istirahat lagi. Pukul 12.00 malam,
beliau bangun dan melakukan hal yang sama. Begitu juga pada pukul 1.00
dini hari. Pukul 2.00 beliau bangun lagi, berwudlu’, membaca surah
Al-Fatihah lalu bertafakkur sebentar kemudian istirahat kembali. Pukul
3.00, beliau bangun dan terus melakukan ibadah sampai subuh tiba.
Dalam ibadah Kiai Hasani lebih senang mengerjakan yang dianggapnya
paling berat. Beliau suka ber-mujahadah. Ning Hikmah (keponakannya)
pernah bercerita mengenai CD al-Qur’an, Hadits dan kitab-kitab lain
kepada beliau. Dengan CD, seseorang dapat dengan mudah mencari data-data
yang diperlukan. Tapi, Kiai Hasani menyatakan tidak suka dengan
kemudahan-kemudahan dari produksi teknologi tersebut. “Aku gak seneng,
kurang ganjarane” (Aku tidak suka, karena kurang pahalanya), jawab
beliau.
Selain tegas serta kukuh dalam menegakkan dan melaksanakan ajaran Islam,
Kiai Hasani juga sangat syafaqah dan penyayang. Rasa syafaqah-nya yang
mendalam tidak hanya beliau tunjukkan untuk sesama manusia, tapi juga
kepada makhluk Allah yang lain. Beliau menyayangi binatang-binatang.
Beliau tidak pernah memberi makan kucing di dalemnya dengan ikan yang
masih ada tulangnya. Ikan yang mau diberikan kepada kucingnya mesti
dibuang tulangnya dulu. Ayamnya pun diberi makan roti. “Meskipun semut,
itupun juga makhluk Allah,” kata beliau.
Kiai juga terkenal telaten dalam mengajar. Dulu, Kiai Hasani mengadakan
pengajian khusus untuk keponakan-keponakannya. Pengajian itu
dilaksanakan di dalem Ibu Nyai Hanifah (saudari beliau). Beliau sangat
telaten mengajar keponakan-keponakannya itu. Sampai-sampai ada seorang
keponakannya yang tidak bisa menulis karena sering dituliskan oleh
beliau.
10 hari sebelum wafat,
KH Hasani Nawawy Bermimpi Didatangi Imam al-Ghazali
Ribuan orang berjubel di komplek pesarean (makam) Keluarga Pondok
Pesantren Sidogiri. Komplek pemakaman yang terletak di belakang mesjid,
sebelah barat mihrab itu, tampak penuh dengan orang-orang yang ingin
memberikan penghormatan terakhir untuk KH. Hasani Nawawie. Sebagian
besar datang dari jauh, bukan masyarakat setempat. Wajah-wajah mereka
terlihat muram. Berduka. Tak ada tawa. Di sebelah barat komplek
pemakaman dengan luas sekitar 50 meter persegi ini, terlihat
wanita-wanita berdesakan meraih satir untuk melihat prosesi pemakaman
dari atas tirai terpal itu.
Di sekitar pagar, tampak petugas dari satuan Banser sibuk mencegah
orang-orang yang merengsek ke pagar. Mereka ingin masuk ke dalam
kompleks agar dapat mengekspresikan penghormatan terakhirnya secara
langsung. Di dalam pagar, tampak Keluarga, tokoh-tokoh dan orang-orang
yang sibuk mempersiapkan pemakaman.
Sementara itu di luar komplek pemakaman, terdengar gaduh. Masyarakat
berebut ikut memikul keranda jenazah Kiai Hasani Nawawie. Minimal,
mereka dapat menyentuh keranda tokoh panutan itu. Melalui pengeras
suara, terdengar seruan agar masyarakat tidak berebutan. “Hormati
mayyit, hormati jenazah, jangan berebutan!” Teriakan itu terdengar sibuk
dan sangat keras.
Ketika jenazah sampai di pesarean, masyarakat yang sejak semula gaduh
mulai tenang. Hanya sesekali terdengar bisikan, gumam “Allah” dan isak
tangis wanita dari barat pesarean.
Prosesi pemakaman itu berlangsung sekitar pukul 16.00 Selasa sore, 13
Rabiul Awal 1422 / 5 Mei Juni 2001. Sebelumnya, shalat jenazah
dilaksanakan sebanyak 11 kali di mesjid Jami Sidogiri. Shalat jenazah
dilaksanakan berulang-ulang karena masyarakat yang datang berta’ziah
terus mengalir dari berbagai daerah. Setiap kali shalat jenazah
dilaksanakan mesjid selalu penuh, sampai meluber ke surau dan
jalan-jalan. Shalat jenazah pertama dilaksanakan sekitar pukul 9.00
pagi, sedang shalat jenazah terakhir sekitar 16.00 sore.
Kiai Hasani memenuhi panggilan Allah sehari setelah peringatan Maulid
Nabi Muhammad; tepatnya pada malam Selasa, 13 Rabiuts Tsani 1422, pukul
03.50 dini hari. Beliau wafat pada usia 77 tahun karena serangan darah
tinggi yang sudah sejak lama dideritanya.
Sehari sebelum wafat (malam Senin), Hadratussyekh masih sempat
menghadiri acara peringatan maulid Nabi di Mesjid Sidogiri. Kiai
mengikuti pembacaan diba’ mulai awal sampai selesai. Beliau juga masih
sempat berta‘ziyah ke rumah H. Ismail, seorang warga desa Sidogiri yang
wafat sehari sebelum maulid. Saat itu, Kiai sudah terlihat sakit parah.
Sambil dipapah, beliau berjalan ke rumah H. Ismail yang berjarak
kira-kira 150 meter dari dalemnya.
Menurut penuturan dari salah satu putra tirinya, Mas Abdul Bari, 10 hari
sebelum wafat, Kiai Hasani bercerita telah didatangi Imam al-Ghazali
dalam tidurnya. Beliau mushafahah (berjabat tangan) dengan tokoh sufi
terkemuka Abad Pertengahan itu. Kiai Hasani merasakan perjumpaan dengan
Imam al-Ghazali seperti dalam alam nyata, tidak dalam mimpi. Beliau
tidak menceritakan lebih lanjut tentang pertemuan dengan Imam al-Ghazali
tersebut. Cuma, pada hari itu pula beliau dawuh kepada K.H. Nawawi
Abdul Djalil: “Sing enak saiki mastur (Yang enak sekarang ini tidak
dikenal orang).
Sebelumnya, beliau akan untuk naik haji pada tahun ini menemani Nyai
Shalihah, istri beliau. Niat itu telah diutarakan kepada beberapa
Keluarga Sidogiri. Yang membuat Keluarga Sidogiri tersentak sedih dengan
niat Kiai ini, beliau mengatakan bahwa usai naik haji, dirinya tidak
akan kembali lagi.
Komentar Para Tokoh tentang KH Hasani Nawawie
Habib Taufik bin Abd. Qodir Assegaf, Tokoh Habaib Pasuruan“Saya Kagum
Dengan Visi dakwahnya”
Saya cukup kenal dekat dengan beliau. Dan beliau saya anggap sebagai
guru dan orang tua. Banyak hal yang saya teladani dari figur beliau.
waro’, sederhana, dan tidak mau menonjolkan diri adalah salah satu sifat
utama beliau.
Satu hal dari beliau yang selalu saya ingat adalah kelapangan hati untuk
menerima kritik sekalipun dari orang yang masih muda. Pernah satu
ketika, karena melihat beliau sering datang ke pendopo kabupaten,
didorong rasa sayang pada beliau saya sampaikan, “Sebaiknya kiai jangan
sering-sering datang ke pendopo, biar saya saja yang menjadi corong
kiai”. Dibilang begitu beliau sangat gembira sampai-sampai uang yang ada
disakunya dikasihkan pada saya semua, kalau tidak salah sekitar seratus
lima puluh ribu. “orang berani dan jujur begini yang saya senangi”,
kata beliau saat itu.
Dalam dakwah beliau tidak pernah mempermasalahkan dari golongan mana.
Asal visinya jelas dan sesuai dengan visi dakwah beliau pasti
didukungnya. Entah itu NU atau bukan. Dan saya termasuk orang yang
selalu diberi semangat oleh beliau untuk berdakwah.
Dan satu hal lagi, beliau tidak pernah menyakiti bahkan selalu memberi
manfaat pada orang lain. Dan orang yang seperti itu sangat mahal
harganya.
KH. Yusbakir, Wakil bupati Pasuruan
“Penyejuk Birokrat”
Pertama kali mendengar beliau wafat saya terkejut sekali, sebab salah
satu pelita yang menerangi umat telah diambil oleh Allah. Kiai Hasani
sangat punya perhatian pada masalah-masalah kepemerintahan. Beliau
sering datang dalam pertemuan atau rapat di pendopo. Walau tidak banyak
berkomentar bahkan tak jarang tak sepatah katapun beliau ucapkan. Namun
dengan kedatangannya saja kami sudah merasa tenang dan sejuk, sebab kami
merasa apa yang kami lakukan telah mendapat restunya.
Beliau memang lebih senang diam. Jika berkata sekalipun pendek tapi
mengandung makna yang sangat luas dan dalam. Dan justru dengan sikapnya
diamnya itulah kami semakin respek dan kagum.
Kiai Hasani sangat peka dan tanggap terhadap persoalan keumatan. Beliau
sering bertanya tentang bagaimana situasi keamanan Pasuruan dan
memberikan nasehat-nasehat kepada para pejabat. Perhatian dan
kesungguhan beliau setidaknya bisa dilihat dari masalah suksesi yang
sempat menjadi polemik beberapa saaat lalu. “Yang saya inginkan
bagaimana pasuruan bisa tenang kembali”, kata beliau saat itu.
Sikap yang beliau tunjukkan selalu memberikan kesejukan pada siapapun
yang melihat. Dan ternyata dalam kesederhanaannya beliau tetap punya
kharisma yang begitu kuat.
***
H. Thayyib: Kiai Hasani, ayah dan guru saya
Apa kata STIE tentang Pondok Pesantren Sidogiri? Sekolah tinggi ekonomi
kenamaan di kota Malang ini menganggap Sidogiri sebagai keluarga
sendiri. “Sebagai keluarga, ilmu apa saja yang bisa diambil Sidogiri
dari STIE Malangkucecwara silahkan diambil,” ungkap H. Thayyib, pemilik
sekaligus Ketua Yayasan Malangkucecwara ketika menerima rombongan
Sidogiri yang melakukan kunjungan ke yayasan itu. Didampingi istri,
puteri, dan menantunya serta beberapa pengurus yayasan dan dosen STIE,
H. Thayyib mengungkapkan rasa kehilangannya yang amat mendalam atas
wafatnya Almarhum K.H. Hasani Nawawie. “Bagi saya dan keluarga saya,
beliau adalah guru sekaligus ayah. Sampai sekarang pun, saya masih punya
semacam perasaan bahwa Kiai masih ada,” katanya dengan muka sedih.
“Oleh karena itu, saya harap hubungan dengan Sidogiri terus berlanjut
sampai kapan pun,” lanjut lelaki yang terkenal suka seni bangunan ini.
Lelaki setengah tua yang masih gagah ini menyatakan kekaguman yang luar
biasa kepada almarhum. Menurutnya, almarhum adalah sosok yang sangat
patut diteladani dan sulit dicari. Beliau adalah ulama yang
sebetul-betulnya ulama. H. Thayyib yakin, Kiai Hasani adalah wali Allah.
“Bahkan, menurut Kiai Mujahid dan seorang Habib, Kiai Hasani mempunyai
dua kewalian,” ungkapnya.
Ia mengaku menerima banyak wejangan dari Kiai Hasani terutama terkait
dengan prinsip hidup serta jalinan ukhuwah dengan sesama muslim. Salah
satu pesan Kiai Hasani yang selalu ia ingat adalah prinsip menjaga
kesatuan umat dengan tidak terjerumus ke dalam fanatisme partai dan
golongan. H. Thayyib mengaku sering mengkampanyekan prinsip ini kepada
masyarakat dan para ulama.
Dalam pertemuan yang berlangsung dengan suasana penuh kekeluargaan itu,
H. Thayyib menceritakan bahwa sekitar 2 minggu sebelum wafatnya, Kiai
Hasani sempat menyatakan niatnya untuk naik haji pada tahun mendatang.
Ia menyambut niat beliau ini dengan gembira. Tapi, yang kemudian membuat
ia sedih, Kiai menyatakan tidak akan kembali setelah haji itu. Dawuh
Kiai ini membuat H. Thayyib menangis sejadi-jadinya, karena menurut
firasatnya ini adalah isyarat bahwa beliau akan meninggalkan kita.
“Beliau seperti pamitan waktu itu,” ungkapnya sedih.
Menurut orang yang mengaku pernah diberi minum air zamzam sampai tiga
gelas oleh K.H. Hasani Nawawie (padahal ia sedang berpuasa sunah, tapi
terpaksa ia batalkan) ini, hal utama yang membuat K.H. Hasani sesak
berada di dunia ini, adalah konflik yang kerap terjadi sesama muslim
akhir-akhir ini. Pemicu utama konflik itu masalah partai. “Kiai Hasani
pernah dawuh: ‘bagaimana aku akan bertanggung jawab terhadap
santri-santri Sidogiri yang ikut partai ini dan itu, kemudian saling
bertengkar’,” ungkap H. Thayyib memendam rasa kecewa atas pertikaian
umat yang meruncing akhir-akhir ini. (abi)
Ketika Seorang Sufi Mendobrak Fanatisme
Santri
“Berdasarkan peninjauan tindak langkahnya adalah orang yang berpegang
teguh pada al-Quran dan mengikuti Sunnah Rasul saw. dan teguh pendirian.
Ini adalah arti bersandar sejarah dan kenyataan yang tidak dapat dirobah
selama-lamanya.
Allah maha mengetahui atas kebenaran sesuatu dan kenyataannya”.
Sebuah makna sekaligus predikat moral bagi santri yang diberikan oleh
Hadlratus-Syaikh KH Hasani bin Nawawie. Sebuah peninggalan beliau yang
tak akan lekang oleh waktu. Abadi, sejarah akan selalu mengenangnya.
Sang Panutan Agung
Ketika waktu mengeja sejarah
ada yang yang tersisa tak terbaca
lelampah sang panutan
menerangi pojok-pojok nurani
yang hampir mati
Lelampah agung, harus dikenang
lewat catatan, tutur berita dan
lewat cahaya-nya
yang senantiasa membisu
Di sini dan di saat ini …
kita akan tahu
keagungan yang terpendam
dalam “diam”-nya yang menentramkan
Hadlratus-Syaikh KH. Hasani Nawawie
ijinkan kami mengenangmu,
walau sekedar ceritamu!
sumber:http://ahmad-nu.blogspot.com/2011/06/kiai-hasani-muda-diplomat-ulung-di-masa.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar