Sejarah mencatat. Gajah Mada adalah Mahapatih Amangkubumi mumpuni dan berjasa besar pada Majapahit. Bahkan, nama besar Gajah Mada, di beberapa daerah, lebih dikenal dari pada raja-raja Majapahit, termasuk Hayam Wuruk atau Sri Rajasanagara (1350 – 1359) sendiri. Karena jasanya, Professor Muhammad Yamin menyebut Gajah Mada Pahlawan Persatuan Nusantara. Boleh jadi, konsep Negara Kepulauan Indonesia saat ini adalah visi dari Gajah Mada di tahun 1300 Masehi. Sekitar 7 abad lalu.
Dibalik ketenaran, keunggulan serta kecemerlangan di bidang ilmu
politik pemerintahan, hukum serta kanuragan, namun asal usul, jati diri
dan akhir hayat Gajah Mada masih menjadi teka teki. Gajah Mada muncul dalam sejarah saat menjadi Bekel (kepala)Bhayangkara , yaitu satuan pengawal raja Jayanegara. Gajah Mada mampu menyelamatkan raja ke Bedander karena ada pemberontakan yang dipimpin Kuti. Bahkan, dengan segala daya upaya dan kepiawaiannya, Gajah Mada mampu mengatasi pemberontakan dan mengembalikan Prabu Jayanegara ke dampar kencana tahta Majapahit. Menariknya, tidak mungkin bila Prabu Jayanegara mempercayakan keselamatannya kepada seorang “Gajah Mada”
yang tidak diketahui asal usulnya! Ibaratnya, tidak mudah dan tidak
mungkin bagi seseorang untuk menjadi bagian apalagi pimpinan Paspampres(Pasukan Pengamanan Presiden) bila tidak memiliki track record yang luar biasa dan istimewa.
Muhammad Yamin mengatakan Gajah Mada lahir di sebuah lembah di dekat sumber mata air Brantas. Di kaki Gunung Kawi dan Gunung Arjuno. Naskah Usana Jawa yang digubah di Bali menyebut bahwa tokoh sejarah kuno ini lahir di Bali. Menurut naskah ini Gajah Madalahir dengan cara “memancar” dari buah kelapa sebagai penjelmaan Sang Hyang Narayana. Jadi lahir tanpa ayah dan ibu. Lahir karena kehendak dewa-dewa (Yamin 1977: 13 dalam Munandar 2010:1).
Babad Gajah Mada yang juga digubah di Bali menguraikan Gajah Mada berasal dari pertapaan Lemah Tulis. Ibunya Patni Nari Ratih yang bersuamikan Mpu Sura Darma Yogi, murid dari Mpu Raga Runting. Namun, Dewa Brahma terpesona dengan kecantikan Nari Ratih
sehingga menanam benih dengan cara memaksanya. Akhirnya, suami istri
ini pergi meninggalkan wilayah Lemah Tulis. Mereka mengembara sampai
berbulan-bulan dan tiba di kaki Gunung Semeru. Di Desa Mada lahirlah
sang jabang bayi laki-laki yang akhirnya diasuh oleh kepala Desa Mada.
Kedua orangtuanya melanjutkan bertapa di Gunung Plambang. Kelak si bayi
akan menjadi orang besar yang dikenal di seantero Nusantara.
Viddy Al Mahfud Daeri, seorang budayawan berpendapat, bahwa Gajah Mada
lahir di Desa Modo yang termasuk Kabupaten Lamongan. Buktinya, di
tempat itu ada petilasan yang dipercaya sebagai tempat kelahiran sang
Mahapatih Amangkubumi. Akhirnya, Pemda Lamongan pun giat menelusuri
bukti-bukti sejarah yang ada.
Interpretasi terbaru: Gajah Mada lahir di Pandaan. Demikian ungkap Agus Aris Munandar. Doktor dan dosen Arkeologi FIB UI. Gajah Mada adalah anak dari Gajah Pagon. Cucu Macan Kuping, penghulu tua Desa Pandakan. Bila benar Pandakan yang sekarang, dulu berpangkal kepada Desa Pandakan si Macan Kuping, maka Gajah Mada lahir di Jawa Timur, di dataran tinggi Malang, daerah awal mengalirnya Sungai Berantas (Munandar 2010: 11).
Walau secara geografis Agus Aris Munandar tidak secara tepat menyebut
Pandaan sebagai dataran tinggi di Kabupaten Pasuruan di kaki gunung
Welirang – Arjuno, pendapat tersebut sangat menarik untuk didiskusikan.
Apalagi interpretasi ini sangat dekat dengan perkiraan Yamin bahwa Gajah Mada lahir di kaki gunung Kawi dan Arjuno.
Berita Pararaton menyebutkan bahwa runtuhnya kraton Singosari adalah akibat seranganJayakatwang dari Gelang-gelang/ Kediri Awalnya Raden Wijaya, menantu Kertanegaradisertai dengan pengawal dan teman-teman setianya seperti Lembusora, Nambi, Ranggalawe, Gajah Pagon, Pedang Dangdi mencoba bertahan. Tapi akhirnya diputuskan untuk mengungsi ke utara. Gajah Pagon yang telah bertempur hebat melawan tentara Kediriterkena tombak di pahanya.
Pararaton secara lugas dan panjang lebar menulis perjalanan Raden Wijaya yang mengungsi ke arah utara akhirnya tiba di hutan kawasan Telaga Pager. Diputuskan kemudian Raden Wijaya harus menuju Madura meminta perlindungan Arya Wiraraja. Akhirnya, dengan susah payah rombongan Raden Wijaya tiba di desa Pandakan dan diterima oleh kepala desa bernama Macan Kuping. Raden Wijaya disuguhi kelapa muda yang setelah dibuka ternyata isinya tak lain nasi putih.
Lebih jauh Pararaton menyatakan: :
Gajah Pagon tidak dapat berjalan, berkata Raden Wijaya: “Penghulu Desa Pandakan saya titip seorang teman, Gajah Pagon tak dapat berjalan, agar ia tinggal disini”.
Berkatalah orang Pandakan: “Hal itu akan membuat buruk tuanku,
jika Gajah Pagon ditemukan di sini, sebaiknya jangan ada pengikut tuanku
yang diam di Pandakan. Seyogyanya dia berdiam di tengah kebun, di
tempat orang menyabit rumput ilalang, ditengah-tengahnya dibuat sebuah
ruangan terbuka dan dibuatkan gubuk, sepi tak ada yang tahu,
orang-orang Pandakan membawakan makanannya setiap hari”
Dari berita ini, dapat ditafsirkan keadaan berangsur-angsur aman dan Gajah Pagon sembuh dari lukanya. Sangat mungkin ia lalu menikah dengan anak perempuan Macan Kuping. Setelah penghulu Desa Pandakan itu meninggal, Gajah Pagon menggantikan kedudukannya menjadi kepala Desa Pandakan. Kemudian keadaan semakin membaik. Majapahit berdiri dan Wijaya menjadi raja. Saat itulah teman-teman seperjuangan Wijaya mendapat kedudukan masing-masing walaupun berbagai sumber menyatakan ada yang tidak puas.Gajah Pagon tetap menjadi penguasa daerah Pandakan. (Munandar 2010: 11).
Tokoh yang menonjol di awal Majapahit, kala diperintah Raden Wijaya (Krtaraja Jayawardhana) yang menggunakan nama “Gajah” adalah Gajah Pagon. Sedangkan tokoh selanjutnya yang bernama “Gajah“ yang juga terkenal adalah Gajah Mada, di jaman pemerintahan Jayanegara.
Nama “Gajah “ sesungguhnya berarti pemberani, tahan mental, tidak mudah
menyerah, setia kepada tuannya dan berperilaku seperti hewan gajah yang
akan menghalau semua penghalang! Jadi dapat diperkirakan bahwa Gajah Mada sejatinya adalah anak dari Gajah Pagon, salah seorang perwira dan pahlawan Majapahit yang terluka di Pandakan. Gajah Mada lahir dari hasil perkawinan Gajah Pagon dan putri Macan Kuping.Kedua “Gajah” ini punya nama dan sifat yang hampir identik.
Maka, mudahlah menerima alasan bila Prabu Jayanegara memilih anak muda bernama Gajah Mada untuk menjadi Bekel (Kepala) Bhayangkara, pasukan pengawal raja, karena Gajah Mada memang memiliki track record yang istimewa. Ayah Gajah Mada adalah perwira pilih tanding, setia kepada Raden Wijaya,
tidak terlibat dalam berbagai kerusuhan yang muncul saat awal Majapahit
berdiri karena ketidak puasan pembagian jabatan atau daerah. Gajah Mada
sendiri adalah prajurit unggul baik secara lahir maupun batin karena
gemblengan yang diperolehnya dari ayah dan tokoh-tokoh lainnya kala itu.
Bila Gajah Mada unggul dalam olah lahir dan olah batin hal tersebut dapat dengan mudah dipahami. Pandakan adalah termasuk lereng timur Gunung Penanggungan yang dulu disebut Pawitra. Gunung Penanggungan saat itu merupakan kiblat bagi masyarakat Majapahit. Di gunung suci inilah banyak terdapat mandala-mandala dan ke-resi-an tempat menggembleng berbagai macam ilmu. Baik ilmu ajaran keagamaan. yoga,
mitologi, serta ilmu duniawi seperti ilmu pemerintahan, hukum, politik
kerajaan, strategi perang dan mungkin juga dasar geografi Nusantara
(Munandar 2010: 15). Tak heran, bila akhirnya,Gajah Mada menjadi tokoh Majapahit yang mumpuni dan memiliki visi jauh ke depan.
Masih ada pertanyaan. Dimanakah letak Telaga Pager? Benarkah Pandakan jaman dahulu sama dengan Pandaan sekarang? Hasil penelusuran Hadi Sidomulyo terhadap beritaNegarakertagama, Telaga Pager terdiri dari dua nama, Pager dan Telaga. Desa Pager 2 km di utara Damar (termasuk Desa Sekarmojo, Kecamatan Purwosari). Sedangkan Telagamerupakan nama lama dusun Kucur (Sumberejo) yang letaknya 3 Km di barat daya Pager.Ini jelas tidak bertentangan dengan berita Pararaton, yang menyatakan dari Telaga Pager,Raden Wijaya menuju Pandakan sebelum ke Rembang lalu menyeberang ke Madura.
Nama Pandakan juga muncul dalam kitab Negarakertagama yang selesai ditulis tahun 1365. “ rahina muwah ri tambak i rabut wayuha balanak linakwan alaris anuju ri pandhakan ri bhanaragi amgil…. (Pada hari berikutnya ia melalui Tambak, Rabut Wayuhadan Balanak menuju Pandhakan dan Bhanaragi…) (Sidomulyo 2007: 84).
Tambak adalah dusun di Desa Lemahbang, 14 km dari Purwosari, Rabut Wayuha tak lain daripada Suwayuwo, 2 km di utara Lemahbang. Balanak dan Bhanaragi tak dikenal lagi. Dari urutan nama tempat itu jelas, Pandhakan tentu saja adalah Pandaan sekarang.
Pandhakan jaman dulu adalah identik dengan Pandaan sekarang juga didukung uraian Piagam Kudadu bertahun 1294, dikeluarkan oleh Kertarajasa Jayawardana berdasarkan pengalamannya saat mengungsi ke Madura. Prasasti Kudadu yang berasal dari Gunung Buthak, Trawas Mojokerto menceritakan terima kasih raja Kertarajasa kepada ketua dusun Kudadu yang pernah menerimanya dengan ramah waktu singgah dalam perjalanan ke Madura. Saat mengungsi Raden Wijaya dalam masalah besar. Namun ketua dusun Kudadumenerimanya dengan ramah dan memberinya makan dan minum. Kemudian mengantarnya ke Rembang untuk melanjutkan menyeberang ke Madura. Demikianlah dapat disimpulkan, nama Kudadu sebenarnya identik dengan Pandak /Pandhakan atau Pandaan sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar