Menelusuri Sejarah Syech Wasil Kediri
Menelusuri Sejarah Syech Wasil, Ulama Besar Abad Ke-12
SIAPAKAH Syech Sulaiman Al-Wasil Syamsudin alias Mbah Wasil?
Pertanyaan ini mengemuka dalam dialog menelusuri ketokohan Mbah Wasil, di
Kompleks Makam Setonogedong, Kota Kediri, Minggu (30/6). Hingga kini, siapa
Mbah Wasil yang makamnya ada di Setonogedong, masih menjadi tanda tanya besar.
Yang pasti, Syech Wasil adalah seorang ulama besar yang sangat berperan dalam
penyebaran Islam di Jawa Timur (Jatim), sekitar abad ke-12.Itu terbukti dari
banyaknya umat Islam yang berziarah ke makamnya, setiap Kamis malam. Tak hanya
warga Kediri.
Warga luar kota
pun banyak yang datang ke makam Sulai-man Al-Wasil. Kesibukan pada malam Jumat
itu dapat dijumpai dengan mudah di Kompleks Makam Setonogedong, di Desa Setonogedong,
Kecamatan Kota, Kota Kediri.
Digelarnya dialog itu merupakan rangkaian dari upaya
Pemerintah Kota (Pemkot) Kediri
dalam menelusuri sejumlah situs sejarah. Selain makam Mbah Wasil, dua situs
yang tengah ditelusuri dan nantinya akan dilestarikan adalah situs penerbitan
kuno Boekhandel Tan Khoen Swie, dan tokoh kejawen tempo dulu Pontjo Legowo.
Kesimpulan bahwa Syech Wasil adalah ulama atau imam besar
pada sekitar abad ke-12 merupakan kesimpulan se-mentara Prof Dr Habib Mustopho,
yang menjadi salah satu pembicara dalam dialog tersebut. Menurut Habib Mustopho
yang juga Guru Besar Sejarah Universitas Negeri Malang, kesimpulan sementara
tentang Syech Wasil merupakan hasil penelitian berbasis data historis dan
arkeologis. "Beliau imam atau ulama besar, yang berjasa mengajarkan agama
Islam di Kediri," katanya.
Kesimpulan itu antara lain diperoleh dari adanya prasasti
berhuruf Jawa Kuno-biasa juga disebut epigraf-yang terdapat di makam Mbah
Wasil. Sayang sekali, bagian terakhir dari kalimat prasasti itu sudah terhapus
oleh ulah tangan-tangan jahil. Akibatnya, kalimat pada sekian baris terakhir
yang di antaranya menyebut tanggal dan tahun kematian, tak terbaca.
Namun, lanjut Habib, pembacaan prasasti penting itu dapat
dilakukan melalui gaya
bahasa Jawa Kuno dari kalimat di prasasti. "Dari penelitian yang saya
lakukan, ini sesuai gaya
abad ke-12. Sekaligus juga menunjukkan bahwa di Ke-diri pada saat itu sudah ada
pe-nyebaran Islam," ujarnya.
***
KOMPLEKS Makam
Setonogedong berada di sebuah gang yang merupakan salah satu cabang dari Jalan
Dhoho, salah satu jalan tersibuk di Kota Kediri. Makam Mbah Wasil
berada satu kompleks dengan puluhan makam lainnya. Hanya saja letaknya
tersendiri, yakni di sudut baratlaut.
Siapa nama asli Mbah
Wasil juga masih menjadi kajian. Nama Sulaiman Al-Wasil Syamsudin diduga
merupakan nama panggilan yang berasal dari kesepakatan masyarakat.
Nama Al-Wasil yang
berarti pengajar atau guru, diduga berasal dari sebutan masyarakat. Kata
"Al-Wasil" terdapat dalam epigraf di makam tokoh tersebut.
Sebutan-sebutan semacam ini juga banyak tertulis di makam-makam tokoh Islam
zaman dulu, seperti makam Maulana Malik Ibrahim.
Nama Sulaiman, masih
menurut Habib Mustopho, justru tidak ada dalam sejumlah referensi yang dia
temukan. Sedangkan nama Syamsudin tercantum dalam sebuah sumber tertulis yang
disimpan di Museum Pusat Jakarta.
Usai diterjemahkan,
sumber tertulis itu menyatakan, "... raja pendeta dari Ngerum bernama
Maulana Ali Syamsudin, datang ke Joyoboyo untuk membicarakan kitab
musyarar.." Kitab musyarar adalah buku tentang ramalan
peristiwa-peristiwa yang akan terjadi di masa mendatang.
Informasi menjadi makin
menarik ketika dari teks itu juga diketahui bahwa Maulana Ali Syamsudin
membahas kitab musyarar atas permintaan Joyoboyo. Setelah membahas kitab,
Maulana mukswa, atau tiba-tiba hilang tanpa bekas.
Djauhari Luthfi dari Tim
Penelusuran Sejarah Mbah Wasil menambahkan, teks tentang permintaan Joyoboyo
terhadap Maulana Ali Syamsudin juga disinggung dalam buku Serat Parmonosidhi.
Buku tersebut adalah salah satu buku terbitan Boekhandel Tan Khoen Swie.
***
MAKAM Mbah Wasil berada
di belakang Masjid Auliya. Tepat di belakang masjid itu terdapat sebuah
pelataran luas sekitar 225 meter persegi. Pelataran seluas itu sampai sekarang
masih jadi kontroversi. Sebagian orang menyebut itu bekas masjid, sebagian
lainnya menyatakan itu candi.
Ciri-ciri candi antara
lain terlihat dari banyaknya penemuan arca berbentuk Ganesha di sekitar
pelataran, serta relief batu bergambar bunga teratai dan burung garuda.
Bentuk-bentuk tersebut dikenal sebagai simbol-simbol penting agama Hindu.
Sementara ciri masjid,
lanjut Djauhari, terlihat dari adanya tempat imam di sisi barat pelataran, dan
sumur untuk pengadaan air wudu. Kontroversi ini juga belum berakhir, karena masih
minimnya referensi yang ada.
Namun, terkait dengan
masalah ini Habib Mustopho berkeyakinan bahwa pelataran itu dulunya memang
candi. "Tetapi, ketika Islam ganti berkuasa, tempat ini diubah
peruntukannya menjadi masjid. Perubah-an ini wajar seiring dengan perubahan
zaman. Di luar negeri kan
banyak masjid yang kini jadi gereja, dan yang dulu gereja sekarang jadi
masjid," tambahnya.
Bangunan penting lain,
tentunya makam Mbah Wasil yang panjangnya sekitar 4,5 meter. Sekarang makam
tersebut sedang dalam perbaikan. Minggu siang itu tampak ratusan umat yang
bergantian berziarah di makam yang ditutup kain putih tersebut.
Pemuliaan terhadap tokoh,
terutama tokoh penyebar agama, rasanya wajar-wajar saja. Asalkan, tutur Habib,
jangan sampai saking bersemangatnya memuliakan tokoh, justru merusak situs
aslinya. Kasus hilangnya deret terakhir kalimat prasasti di makam Mbah Wasil
patut menjadi pelajaran.
Kebiasaan para peziarah
untuk datang berbondong-bondong dalam jumlah besar banyak menimbulkan dampak
negatif. "Makin banyak orang yang menyentuh makam dan ornamen-ornamennya,
kemungkinan rusaknya makam tentu bertambah besar," ujar Habib Mustopho.
Renovasi makam, seperti
yang sedang dilakukan saat ini, jika tak hati-hati, juga bisa berdampak pada
hilangnya ornamen penting. Maksudnya hendak memperbaiki, tetapi ternyata malah
mengganti semua unsur lama dengan yang baru, sehingga menyesatkan generasi
mendatang.
Oleh karena itu, tidak
salah jika Indah Kristina dari Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala
Jawa Timur mengingatkan Pemkot Kediri
yang tidak berkoordinasi saat akan merenovasi makam Syech Wasil. "Kami
khawatir ciri penting makam diganti baru, sehingga menghilangkan data otentik
situs," kata Indah.
sumber:http://adipatipanjer.blogspot.com/2012/06/menelusuri-sejarah-syech-wasil-kediri.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar