Buku Rujukan Sama, Tetapi Keputusan Berbeda.
Dalam perjalanan menuju luar
kota, seorang teman bertanya seputar istilah ilmu nasab dan tanda dod
yang ada dalam buku nasab. Memang dalam ilmu nasab terdapat
istilah-istilah, di mana dengan istilah tersebut akan diketahui status
nasab seorang apakah ia termasuk sayid atau bukan. Penggunaan istilah
nasab tidak bisa dibuat sendiri tetapi harus merujuk kepada standar
istilah nasab yang digunakan oleh ulama nasab di dunia. Di bawah ini
adalah beberapa pertanyaan dari teman saya tersebut yang masih saya
ingat :
Pertanyaan 1 :
Apakah dalam ilmu nasab terdapat istilah-istilah nasab yang digunakan ?
Jawab :
Ya, dalam ilmu nasab terdapat
istilah-istilah ilmu nasab yang digunakan. Penggunaan istilah tersebut
berdasarkan standar istilah nasab yang dikenal di kalangan ulama nasab
di dunia. Jadi kita tidak bisa buat seenaknya tanpa adanya dasar atau
rujukan dari komunitas ahli nasab.
Pertanyaan 2 :
Apakah dalam ilmu nasab hanya terdapat dua istilah : Sahih al-Nasab dan Mardud al-Nasab ?
Jawab :
Tidak, dalam ilmu nasab terdapat istilah
nasab seperti Sahih al-Nasab (nasab yang benar), Makbul al-Nasab
(nasab yang diterima), Masyhur al-Nasab (nasab yang dikenal), Mardud
al-Nasab (Nasab yang ditolak) , Inqarad (tidak memiliki
keturunan/keturunannya terputus), dan lainnya.
Pertanyaan 3 :
Dari tetangga sebelah, saya mendapatkan
istilah nasab seperti nasabnya maskuk atau tahtal bahas, majhulun nasab
atau math’un nasab, apakah ini termasuk ke dalam istilah nasab ?
Jawab :
Dalam menggunakan istilah nasab kita
harus menggunakan standar penggunaan istilah tersebut, hal ini dapat
kita temui di kitab-kitab yang membahas masalah seputar nasab seperti Risalah al-Mustholahat al-Khossoh bi al-Nassabin fi Bayan Isthilahat al-Nasabah li Ba’di Ulama al-Nasab dan kitab lainnya seperti Jami’ al-Duror al-Bahiyah.
Istilah-istilah yang ada tanyakan di atas
tidak merupakan standar komunitas nasab dunia. Dalam kitab nasab diatas
tidak disebutkan istilah-istilah yang ditanyakan. Bila kita
mempelajari kembali siklus suatu sistem yang terdiri dari input, proses
dan output, maka istilah nasab ini adalah output (sudah fix menjadi
keputusan). Adapun istilah seperti maskuk dan tahtal bahas adalah
proses. Kalau sudah masuk kategori proses artinya belum ada keputusan
lalu sampai kapan proses itu akan selesai satu hari, satu minggu, satu
tahun ? Itu sebabnya kenapa istilah tersebut tidak digunakan oleh ulama
ahli nasab.
Sedangkan Math’un nasab dikarenakan nasab
seorang yang dilahirkan dari pernikahan yang rusak (tidak sesuai hukum
syar’i), maka penggunaan istilah nasabnya adalah Huwa lighoiri Rusydah.
Karena makna dari math’un al-nasab adalah bila pihak laki-laki
meyangkal bahwa anak yang dilahirkan itu bukan anaknya. Bagaimana jika
ayahnya tidak menyangkal ?
Adapun Majhulun Nasab dikategorikan
kepada Masyhur al-Nasab. Nasab suatu terkenal, tetapi tidak didapati
dengan baik nasabnya. Dalam pandangan ulama nasab mereka masyhur tetapi
dalam pandangan orang umum mereka majhul karena terdapat perselisihan
di antara mereka. Untuk lebih jelas bisa dilihat di :
Pertanyaan 4 :
Bila suatu nasab itu dikategorikan sahih,
apakah harus sesuai dengan buku-buku pedoman nasab saja atau cukup
dengan catatan nasab/silsilah keluarga yang dimiliki ?
Jawab :
Pengesahan suatu nasab yang dibuktikan
dengan adanya buku nasab dilakukan oleh suatu lembaga nasab. Untuk
mengesahkan sahih atau tidaknya nasab tersebut harus didasari oleh
data-data yang dimiliki dan kesaksian. Data-data tersebut harus sahih
dan bisa dipertanggungjawabkan. Biasanya data-data nasab yang ada pada
lembaga nasab merupakan kesinambungan dari data-data yang dimiliki oleh
individu tertentu yang telah terpilih menjadi pemimpin suatu kaum
(naqib/munsib) atau individu yang diberikan kepercayaan untuk memegang
buku nasab. Orang-orang yang dipilih biasanya adalah orang yang
mengetahui masalah nasab, jujur, istiqamah, tidak mudah melakukan
pekerjaan yang menyimpang dari syariat dan lainnya.
Bila buku-buku pedoman nasab yang berisi
data-data nasab suatu kaum sudah dinyatakan valid dan ditambah dengan
kesaksian sebagaimana yang disyaratkan dalam Islam, maka
individu/lembaga yang memiliki buku tersebut dalam dijadikan rujukan
benar atau tidaknya nasab seorang sayid.
Berkaitan dengan catatan nasab/silsilah
keluarga yang dimiliki, tidak serta merta dapat dijadikan pedoman
kesahihan nasab seorang. Mengapa demikian ? Karena sering terjadi
catatan nasab/keluarga seorang yang mengaku sayid berlainan dengan buku
rujukan suatu lembaga nasab. Jika demikian halnya, mana yang harus
dipakai, catatan nasab/silsilah pribadi atau berdasarkan data yang
dimiliki oleh lembaga nasab tersebut ?
Dalam hal ini harus dipegang adalah
lembaga nasab dikarenakan kita memohon pengesahan nasab dari lembaga
tersebut. Bila data yang dimiliki berlainan dengan lembaga tersebut,
maka lembaga tersebut tidak akan mengeluarkan pengesahan nasab pemohon.
Lain halnya jika mereka tidak memerlukan pengesahan dari lembaga nasab.
Pertanyaan 5 :
Bagaimana jika terdapat dua lembaga nasab tetapi berlainan dalam mengesahkan suatu nasab/silsilah seorang yang mengaku sayid ?
Jawab :
Dimungkinkan satu kasus akan mempunyai
dua keputusan, bila buku rujukan/pedoman nasab yang dimiliki oleh kedua
lembaga tersebut berbeda. Tetapi bila kedua lembaga tersebut memutuskan
kasus nasab berdasarkan buku rujukan yang sama tetapi berbeda hasilnya,
maka patut diduga salah satu lembaga tersebut kredibilitasnya diragukan,
karena tidak mungkin buku yang asli rujukan nasab itu dimiliki oleh dua
lembaga yang berbeda, pasti salah satu lembaga tersebut memiliki buku
yang asli dan lembaga yang satu lagi memiliki buku yang bukan asli (foto
copy). Selanjutnya bisa dilihat bagaimana cara mendapatkan foto copy
itu, apakah dengan legal atau illegal.
Untuk mengetahui kredibilitas
masing-masing lembaga, dapat diukur dari kapan lembaga itu didirikan,
siapa pendirinya, adakah landasan hokum berdirinya atau tidak, apa saja
rujukan nasab yang dimilikinya, dari mana sumber data rujukan yang
dimilikinya, bagaimana cara memperoleh rujukan tersebut , apakah
bertentang dengan syariat Islam atau tidak. bagaimana cara menerbitkan
buku nasabnya berdasarkan prosedur atau hanya karena godaan materi
semata dan tekanan dari pihak lain.
Jika kita telah mengetahui semua hal
tersebut maka kita harus mengambil keputusan untuk memilih salah satu
lembaga nasab di antara dua, yang jelas kita harus pastikan orang-orang
yang terdapat di dalam lembaga nasab tersebut adalah orang-orang yang
jujur, amanah dan tidak melakukan perbuatan yang melanggar syariat
Islam.
Pertanyaan 6 :
Apakah orang yang duduk dalam lembaga nasab harus orang yang mengerti tentang nasab ?
Jawab :
Idealnya orang yang duduk di lembaga nasab adalah orang yang mengerti nasab.
Pertanyaan 7 :
Sebaiknya mana yang harus dipilih untuk
duduk di lembaga nasab, orang yang mengerti nasab tetapi tidak jujur dan
tidak amanah atau orang mempunyai kemauan tinggi dalam bidang nasab
tetapi jujur dan amanah ?
Jawab :
Bila antum disodorkan dua pilihan
pemimpin, pilih yang mana, pemimpin yang mengaku ahli di bidangnya
tetapi korupsi, mencuri, tidak dapat dipercaya atau pemimpin yang kurang
ahli tetapi jujur dan amanah. Menurut hemat saya, pilih orang yang
mempunyai kemauan tinggi dalam bidang nasab tetapi jujur dan amanah.
Seiring waktu orang yang mempunyai kemauan tinggi dalam bidang nasab
akan menjadi ahli nasab juga. Tetapi orang yang sudah terlanjut tidak
jujur dan tidak amanah akan selamanya menjadi factor yang merusak dan
mengotori hal yang mulia yaitu menjaga dan melestarikan nasab khususnya
nasab Alawiyin.
Pertanyaan 8 :
Misalnya terdapat nama sayid Alawiyin
yang hidup pada tahun 1750, di buku rujukan sayid tersebut tidak
memiliki keturunan (ditandai dengan huruf dod). Apakah status nasab yang
sudah inqarad (tidak memiliki keturunan) dapat dirubah sehingga ia
memiliki keturunan hanya berdasarkan catatan nasab/silsilah keluarga
saja, selanjutnya disahkan oleh lembaga nasab ?
Jawab :
Untuk menyatakan bahwa seorang sayid yang
sudah inqarad (ada tanda dod), menjadi seorang sayid yang tidak inqarad
berarti dia harus menghapus tanda dod. Untuk menghapus tanda dod tidak
semudah seperti yang dibayangkan yaitu hapus dengan tip-ex lalu menarik
keturunan dari sayid tersebut dan langkah selanjutnya mengeluarkan buku
nasab.
Dalam hal ini kita tidak boleh gegabah
menyatakan bahwa sayid tersebut memiliki keturunan hanya berdasarkan
catatan nasab/silsilah keluarga saja. Kita harus hati-hati jangan sampai
pekerjaan kita menghapus tanda dod dan menarik garis keturunan baru
membuat kita menjadi golongan KAFIR dan haram mencium bau surge,
sebagaimana hadits Nabi saw, ‘Barang siapa yang menyambungkan suatu
nasab kepada ayahnya/kaumnya sedangkan ia tahu itu bukan
ayahnya/kaumnya, maka ia termasuk golongan orang-orang KAFIR’. Peran
lembaga nasab dalam hal ini adalah membantu menyambungkan nasab tersebut
kepada bukan ayah/kaumnya dengan cara mengeluarkan buku nasab. Ini
harus menjadi perhatian serius para pengurus lembaga nasab.
Masalah nasab adalah masalah yang terang
berderang (qath’i), bila buku rujukan telah mengatakan dod itu harus
kita patuhi, karena untuk menyatakan seorang sayid itu dod bukan hal
yang mudah, itu harus berdasarkan fakta yang ada. Apalagi yang
diamanahkan menjadi naqib dalam pengurusan nasab adalah seorang
waliyullah, tidak mungkin beliau berbohong mengatakan keturunan sayid
itu dod padahal sayid tersebut tidak dod.
Jika hanya dengan catatan/nasab yang
dimiliki keluarga, (apalagi catatan nasab itu dibuat tahun 1900-an),
dapat merubah/menghapus tanda dod sehingga seharusnya sayid tersebut
tidak memiliki keturunan menjadi mempunyai keturunan, maka jika hal ini
dijadikan pedoman, dasar atau argumentasi pihak-pihak yang
berkepentingan, ketahuilah ini adalah BENCANA BESAR bagi kelangsungan
kesahihan nasab Alawiyin. Mengapa demikian ?
Kalau yang sudah ada tanda dod saja bisa
dihapus dan dikeluarkan buku nasabnya, lalu bagaimana dengan puluhan
bahkan ratusan keluarga yang mengantri untuk dibuatkan buku nasab hanya
berdasarkan catatan nasab/silsilah pribadi saja , di mana nasab mereka
sudah lebih dari tujuh keturunan tidak tercantum pada buku rujukan nasab
? Apakah kita harus menerima bulat-bulat tanpa ada pengkajian lebih
dahulu ?
Lalu bagaimana jika seorang yang mengaku
sayid datang dari Afrika Timur yang kita tidak tahu hal ihwal mereka,
tetapi beliau membawa catatan nasab/silsilah pribadi, ternyata catatan
tersebut menyambung kepada seorang sayid yang sudah sepuluh generasi
tidak tercatat pada buku rujukan nasab yang ada, apakah ini juga akan
kita buatkan buku nasabnya sebagai pengakuan bahwa nasab mereka sahih ?
Pertanyaan 9 :
Apakah tidak ada kemungkinan huruf dod itu dihapus dikarenakan sayid tersebut memang benar memiliki keturunan ?
Jawab :
Dalam hal ini bisa saja huruf tersebut
dihapus, hal ini dapat dilakukan setelah pengurus lembaga nasab dan yang
berkepentingan bersama-sama melakukan penelitian, mengumpulkan data dan
fakta yang dapat mendukung bahwa sayid itu memang memiliki keturunan.
Hal-hal yang harus dipenuhi adalah :
1. Catatan nasab/silsilah keluarga
yang dijadikan dasar untuk bisa menghapus tanda dod harus ditriangulasi
dengan data lainnya. Sebagai contoh : jika sayid yang memiliki huruf dod
ini disangkakan masih memiliki keturunan di Indonesia, maka harus
dicroscheck dengan lokasi meninggalnya dan di mana kuburan/makam sayid
tersebut. Apakah benar sayid tersebut meninggal di Indonesia ? Karena
berdasarkan buku rujukan nasab yang ada, secara umum tanda dod yang
tidak ada keterangan di mana seorang Alawiyin itu meninggal sebelum
tahun 1800-an, mereka sebagian besar meninggal di luar Indonesia.
2. Catatan nasab/silsilah keluarga
yang ada harus lebih tua dari buku rujukan yang menyatakan sayid
tersebut terdapat huruf dod. Bila buku tersebut dibuat tahun 1850, maka
catatan nasab/silsilah tersebut harus yang lebih tua dari tahun 1850
atau catatan yang sezaman dengan masa hidup sayid tersebut.
3. Bila catatan sezaman tidak ada,
maka dapat digunakan catatan satu atau dua generasi dibawah sayid
tersebut, yaitu catatan nasab/silsilah pribadi yang dimiliki oleh anak
atau cucu sayid tersebut. Hal ini dapat dijadikan pertimbangan karena
anak dan cucu tersebut dianggap masih hidup dan menyaksikan/melihat
sayid tersebut. Jika terdapat catatan nasab/silsilah pribadi lebih
muda dari tahun pembuatan buku rujukan nasab, maka dokumen tersebut
tidak bisa dijadikan dasar untuk melegalkan bahwa sayid tersebut punya
keturunan, apalagi dokumen dibuat pada tahun 1950-an. Di zaman yang
serba manipulatif penuh rekayasa ini, apapun dapat dikerjakan demi
mencapai suatu tujuan, terutama menjadi keluarga Rasul saw.
Mudah-mudahan bermanfaat.
sumber:http://benmashoor.wordpress.com/2011/02/11/menyambung-nasab-yang-terputus/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar