ABDUL HAMID MUDJIB HAMID BERSHOLAWAT

Jumat, 08 Februari 2013

Indonesia Telah Menjual Segalanya

=====================
Indonesia Telah Menjual Segalanya
======================

Sepak bola profesional berkembang berkat adanya sponsor yang kuat dari perusahaan, serta didukung oleh adanya penggemar fanatik yang selau siap memadati stadium mendukung kesebelasan jagonya. Dari sponsor itulah Liga sepak bola sejak dari spanyol, Perancis, Italia, Inggris hingga Jerman berjalan. Walaupun dibiayai sepenuhnya oleh sponsor, tetapi identitas kenegaraan sebagai liga Spanyol, atau liga Ingris dan Liga Spanyol masih tampak. Paling, sponsor hanya diberi monopoli beberapa ruang sponsor yang setimpal. Eksistensi bangsa, eksisitensi Negara masih dipertahankan.

Tetapi di Indonesia sebalinya, liga sepak bola Indonesia sudah tidak ada, karena pemerintah telah menjual liga itu kepada perusahaan yang bisa membeli, maka yang ada bukan lagi liga Indonesia, tetapi Liga bentoel, Liga Djarum, Liga Sampoerna dan sebagainya. Identitas Negara dan harga diri bangsa tidak perlu ada. Sponsor bisa membeli segalanya dan Negara bisa menjual segalanya tanpa batas. Sikap ini dianggap paling professional, paling progresif karena bisa mendatangkan uang. Identitas tidak penting, kebangsaan terlalu mewah, kenegaraan terlalu besar dan terlalu abstrak. Paling konkret dan paling gampang uang dan ini yang harus diraih.

Tidak hanya itu. bagi mereka yang pernah melakukan perjalanan kereta Trans Jawa, kalau mau sedikit jeli maka akan kaget, bahwa seluruh space di stasiun sepanjang pulau ini telah dimonopoli dan didominasi oleh sebuah perusahaan rokok. Itu belum seberapa kalau iklan bertebaran di arena stasiun, ini sudah lazim. Tetapi saat ini iklan juga dipasang di papan nama kantor stasiun, dengan logo perusahaan sponsor yanag sangat besar, kemudian nama stasiun diubah menjadi sangat kecil di tengah warna-warna iklan sehingga orang sulit mengenali lagi stasiun mana yang sedang dilewati atau disinggahi, karena tulisan tidak lagi mudah dicari dan tidak mudah dibaca.

Karena sejak reformasi para pejabat telah diajari untuk mandiri bahkan diperkenalkan mental kewirausahaan, agar bisa membisniskan departemen yang dipimpinnya. Ini berbeda dengan pada zaman Orba di mana dulu komersialisasi jabatan dan lembaga Negara dilarang, karena waktu itu komersialisasi jabatan dianggap sebagai bentuk korupsi. Dan korupsi waktu itu tidak boleh disebut, sebagai gantinya tindakan pidana itu disebut komersialisasi jabatan.

Memang entrepreneurship itu kemudian dijalankan oleh mereka tanpa batas, tetapi hanya untuk kepentingan kelompok, tidak untuk kepentingan Negara dan perusahaan itu sendiri. Terbukti hingga saat ini fasilitas stasiun semakin rapuh, armada kereta juga semakin usang sehingga kereta cepat menjadi kereta lambat, belum lagi kereta eksekutif tetapi fasilitasnya telah turun menjadi kereta bisnis. Ternyata kewirausahaan itu hanya digunakan untuk mencari keuntungan sendiri, sehingga layanan pada publik sebagai tugas utama sarana transportasi Negara terabaikan.

Kalau olahraga Negara dan sarana transportasi dijual sehingga Negara kehilangan control atasnya itu belum seberapa. Tetapi kemudian sarana agama juga dijual habis, coba dalam menjalanakan ibadah haji atau umrah, jamaah Indonesia berbeda dengan jamaah dari Negara lain. Kalau jemaah Negara lain walaupun jumlahnya sedikit, tetapi mereka menggunakan identitas negaranya seperti bendera serta pakaian nasional khas mereka serta melakuakan berbagai aktivitas  yang kompak dan padu untuk bangsa dan Negara mereka.

Sementara bangsa Indonesia tidak diajari untuk memakai identitas mereka bendera merah putih atau pakaian nasional, serta melakuakan aktivitas untuk mendukung dan menyelamatkan bangsa. Para jemaah Indonesia yang banyak jumlahnya itu memakai pakaina semaunya, tidak diserta bendera atau lambing Negara Indonesia, melainkan menggunakan lambing perusahaan atau biro perjalanan masing-masing. Terlebih lagi mereka tidak terkordinasi, mereka hanya berdoa sendiri-sendiri untuk sanak keluarga. Mereka tidak dibekali semangat dan tanggung jawab untuk membela dan mendoakan keselamatan bangsa dan Negara.

Tampaknya departemen agama hanya merasa bertanggung jawab membekali manasik serta berbagai ritual tambahannya serta panduan wisata. Tetapi sama sekali tidak menanamkan kembali cinta tanah air yang merupakan bagian dari iman. Tidak pula mengingatkan akan pentingnya bela Negara yang itu merupakan kewajiban dari agama. Sehingga ibadah yang mereka lakukan sangat pribadi, sangat individualistis. Padahal yang namanya ibadah itu memiliki dimensi sosial yang besar, termasuk dimensi keumatan dan kebangsaaan.

Ketika para pegawai negeri sebagai abdi Negara itu diajarkan kewirausahaannnya untuk mengkomersilkan departemennya, maka dengan sendirinya departemen akan dijual habis. Maka yang proporsional adalah menanamkan semangat pengabdian dan pelayanan pada umat. Untuk pelayanan dan pengabdiannya itulah mereka dibayar, dengan kerja keras dengan penuh pengabdian terhadap Negara itulah Negara mendapatkan penghasilan dari kekayaan alam, tambang dan perusahaan yang ada. Negara tidak perlu menjual dirinya seperti perusahaan swasta yang berdagang, sementara Negara tugasnya melakukan pelayanan kepada segenap warga Negara.

sumber:http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,3-id,13192-lang,id-c,analisa+berita-t,Indonesia+Telah+Menjual+Segalanya-.phpx

Tidak ada komentar:

Posting Komentar