Madzhab Imam Ahmad al-Muhajir
Sebagian
ulama Hadramaut telah menyusun risalah khusus yang menerangkan tentang
madzhab al-Muhajir, diantara kitab yang berisi persoalan tersebut pada
zaman terakhir ini ialah yang ditulis oleh seorang sejarawan al-Allamah
al-Sayid Abdurrahman bin Ubaidillah al-Seqqaf dengan judul kitabnya Nasim Hajir. Dalam
bukunya tersebut dijelaskan bahwa Imam Ahmad al-Muhajir bermadzhab
Imamiyah, dengan makna imamah secara batin yaitu imamah berdasarkan
maqam quthbaniyah yang diwariskan dari ahlul bait khususnya
Imam Ali bin Abi Thalib. Imam al-Muhajir dan kakek-kakeknya khususnya
Imam Ali bin Abi Thalib dan keturunannya membuang jauh-jauh dari
perilaku mencaci sahabat, taqiyah dan lainnya dimana hal-hal tersebut
digolongkan sebagai pekerjaan kaum Rawafidh, hal itu dibuktikan
dengan alasan yang kuat dan maksud-maksud yang disampaikan dalam
mendukung alasan tersebut. Begitu pula dukungan dari berbagai penyaksian
yang banyak dinukil dari kitab-kitab al-Imam Yahya bin Hamzah pengarang
kitab yang mengemukakan dalil pembelaan terhadap para sahabat.
Dalam
tulisannya, Sayid Abdurahman bin Ubaidillah al-Saqqaf tidak mengkaji
secara terperinci pasal demi pasal pendapat-pendapat lainnya dalam
masalah tersebut, akan tetapi beliau menulis dalam muqadimah risalahnya
yang mengatakan bahwa al-Muhajir bermadzhab Syafii, tulisan tersebut
berbunyi, ‘Al-Muhajir menjauhkan diri dari bertaqlid kepada Syafi’i’.
Suatu pendapat yang menyatakan al-Muhajir adalah seorang Syafi’iyah,
tapi tidak mengikutinya secara taklid buta.
Sayyid Alwi bin Thahir, mufti Johor, dalam risalahnya yang berjudul Itsmid al-Bashoir bil Bahtsi fi Madzhab al-Imam al-Muhajir mengeluarkan
pendapat atas ketidakjelasan petunjuk yang ditulis oleh Ibnu Ubaidillah
tentang keimamiyahan al-Muhajir, dengan tidak adanya kajian lebih
lanjut dalam kitab Nasim Hajir, dan hanya berdasarkan
keterangan-keterangan dari para muridnya mengenai pandangan Ibnu
Ubaidillah, menjelaskan bahwa makna sebenarnya dari perkataan imamah tersebut adalah suatu madzhab yang mengharuskan untuk membuang jauh-jauh dari perilaku mencaci sahabat, taqiyah dan lainnya.[1]
Untuk
menguatkan pendapat tersebut, maka ditulislah suatu risalah yang
disusun berdasarkan petunjuk atas keimamahan al-Imam Ali al-Uraidhi bin
Ja’far al-Shadiq sebagaimana yang disebutkan dalam kitab al-Masra’,
dan menjelaskan pendapat itu berdasarkan berbagai riwayat dan rujukan
yang dinukil, kemudian tulisan berpindah menerangkan kitab Quut al-Qulub dan
Abi Thalib al-Makki serta bergurunya Imam Ubaidillah bin Ahmad
al-Muhajir dengan membaca dan menelaah kitab tersebut kepada Abi Thalib
al-Makki di Hijaz.
Menyusul kitab Nasim Hajir yang
ditulisnya, Sayid Abdurahman bin Ubaidillah al-Saqqaf menekankan
kembali makna imamiyah yang terdapat dalam kitab pertamanya tersebut
melalui tulisan keduanya yang diberi judul Samum Najir, dengan tidak adanya kajian dalam kitab al-Itsmid seperti
juga yang disebutkan di awal, beliau menulis bahwa makna yang dimaksud
dari kata imamah yang diwariskan oleh para ahlil bait adalah ‘maqam ruh al-qutbaniyah’.
Pada baris terakhir dari kitab Samum Najir,
Ibnu Ubaidillah berkata, ‘Jika kembali kepada masalah itu (imamah yang
mempunyai makna al-qutbaniyah), saudara kami yang yang memiliki
kepemimpinan yang lurus di Tarim Sayid Alwi bin Syihabbuddin berkata
kepadaku : Jika makna (al-quthbaniyah) itu telah disepakati, maka tidak perlu lagi kita mengarang (untuk menentang) hal tersebut’.
Kemudian Al-Allamah Abdullah bin Hasan Bilfaqih mengarang suatu kitab yang berjudul Subhu al-Diyajir Fi Tarikh al-Imam al-Muhajir. Dalam kitab tersebut, beliau menyebutkan bahwa sesungguhnya madzhab al-Imam al-Muhajir adalah madzhab Syafi’i.
Sayid
Soleh bin Ali al-Hamid bertanya tentang masalah keimamiyahan al-Muhajir
kepada Sayid Alwi bin Thohir al-Haddad, maka beliau menjawab dengan
panjang lebar dalam risalahnya yang berjudul Jana Samarikh min Jawab Asilah fi al-Tarikh yang ditulis dengan dipenuhi oleh dalil-dalil yang menolak perkataan-perkataan dan pendapat-pendapat yang bathil atas keimamiyahan al-Muhajir[2],
dan selanjutnya beliau berpendapat bahwa, ‘Keimamiyahan al-Muhajir
adalah Imamiyah ayah dan kakek-kakeknya dari pemimpin ahlul bait yang
benar’. Sayid Muhammad bin Ahmad al-Syatri dalam kitabnya al-Adwar, berkata :
Yang jelas madzhab Imam al-Muhajir adalah madzhab Imam Syafi’i
al-Sunni, sebagaimana yang dijelaskan pada beberapa sumber. Juga telah
dimaklumi bahwa meskipun dia mengikuti madzhab Imam Syafii, dia tidak
mengikutinya dengan buta. Imam al-Muhajir sangat jauh dari sikap seperti
ini. Bagaimana dia harus bersikap taklid buta kepada Imam Syafii,
sedangkan di hadapannya ada alquran dan hadits, yang menjadi sumber
utama madzhab Syafii. Demikian juga aqidah Islamnya sebagaimana aqidah
moyangnya, seperti al-Baqir, dan Zain al-Abidin karena tidak ada
pertentangan antara aqidah Ahlul-bait yang lama dan Ahlu Sunnah, kecuali
dalam masalah-masalah tertentu.[3]
Sayid Muhammad bin Ahmad al-Syatri berpandangan bahwa pendapat itu
menyatakan sesungguhnya al-Imam Muhajir adalah seorang mujtahid bukan
muqalid. Dan disebutkan juga kumpulan pendapat penting yang mengharuskan
pembaca untuk meneliti maksud dari pendapat-pendapat tersebut, sehingga
memberikan kesimpulan seperti yang ditulis oleh Sayid Dhiya’ Shahab
dalam bukunya al-Muhajir :
Banyak disebut dalam kitab-kitab Hadramaut sesungguhnya madzhab al-Imam
al-Muhajir adalah madzhab kakek-kakeknya yang beliau pelajari sampai
kepada Rasulullah saw. Sama halnya dengan thariqah Alawiyin diperoleh
dari ayah-ayah mereka dari awal hingga akhir, para ulama selalu
memelihara dan menyambungkan silsilah tersebut kepada Imam al-Muhajir,
ayah dan kakeknya sampai kepada Imam Ali bin Abi Thalib.[4]
Al-Muhajir
belajar kepada ayahnya Isa yang dikenal dengan sebutan al-Amri
dikarenakan beliau adalah seorang naqib, beliau adalah seorang pemimpin
kaum Alawiyin di masanya yang digelari dengan al-Rumi. Isa al-Rumi
belajar kepada ayahnya Muhammad al-Naqib, Muhammad al-Naqib belajar
kepada ayahnya Ali al-Uraidhi di Madinah. Beliau adalah seorang pemimpin
Syarif Alawiyin dan Syekh Bani Hasyim di Uraidhi. Ali al-Uraidhi
belajar kepada ayahnya Ja’far al-Shadiq dan saudaranya Musa al-Kadzim
dan anak saudaranya Ali Ridho dan Muhammad al-Jawwad.
Muhammad Dhiya’ Syahab menukil perkataan sayid Alwi bin Thohir al-Haddad dalam majalah al-Rabithah,
‘Sesungguhnya mereka mengikuti perjalanan para pendahulunya, mereka
hanya tinggal sebentar hingga tersebar madzhab dan kecenderungan umat
Islam untuk memegang kepada madzhab yang khusus, maka mereka memilih
madzhab al-Imam al-Syafii, dan itu setelah tahun 500 hijriyah’. Sayid Alwi bin Thohir al-Haddad berkata :
Sesungguhnya madzhab Syafi’i telah
ada di Yaman tetapi hanya dalam jumlah kecil, sebagaimana dikutip dari
al-Sakhawi dari al-Janadi bahwa madzhab Syafi’i telah tersebar di Yaman
pada akhir tahun 300 hijriyah, dan di Yaman saat itu terdapat madzhab
Hanafiyah, sebagian besar madzhab Zaidiyah dan madzhab Usmaniyyah di
Hadramaut, madzhab Usmaniyah mereka adalah kaum Nawashib, dan madzhab
Ismailiyah yang berada di gunung-gunung, serta kelompok-kelompok kecil’.[5]
Sedangkan
aqidah Imam Ahmad al-Muhajir yaitu aqidah ahlul bait dari jalur ayah
dan kakeknya. Dan setelah masa Imam al-Muhajir tidak dikenal manhaj Ahlu
Sunnah kecuali aqidah Imam al-Asy’ari. Aqidah al-Asy’ari masuk
setelahnya, di awal abad keempat hijriyah dan tidak tersebar madzhabnya
itu di Iraq kecuali pada tahun 380 hijriyah.
Dari penelitian terhadap tulisan-tulisan yang lampau diperoleh kesimpulan yang kuat bahwa madzhab al-Imam al-Muhajir adalah madzhab ayah dan kakeknya yang silsilahnya bersambung kepada Rasulullah saw,
sedangkan madzhab Syafii banyak dianut pada masa-masa akhir dengan
ikhtiar dan ijtihad para pemimpin ahlul bait. Dapat disimpulkan bahwa
berdasarkan penelitian sesungguhnya al-Muhajir adalah seorang mujtahid,
yang berijtihad terhadap amalan madzhab Syafii bukan taklid. Sayid Alwi bin Thohir menulis :
Sesungguhnya al-Imam al-Muhajir dan anaknya tidak menjauhi tasawuf,
karena beliau keduanya adalah seorang sufi, karena ahli sufi dan ahli
ibadah banyak terdapat di Basrah lebih banyak dari yang lainnya, seperti
Abu al-Hasan bin Salim al-Zahid, dia adalah Ahmad bin Muhammad bin
Salim al-zahid al-Bashri, salah seorang pembesar dari golongan Bani
Salim, beliau mempunyai ahwal dan tekun dalam bermujahadah, kepadanya
berguru al-Ustadz Abu Thalib al-Makki dan dia adalah teman terakhir dari
Sahal al-Tusturi yang wafat pada tahun 360 hijriyah.[6]
Muhammad Dhiya’ Syahab dalam kitabnya al-Muhajir
menukil pendapat Sayid Alwi bin Thohir al-Haddad, berkata :
Sesungguhnya di Basrah hidup para sufi dan ahli ibadah yang terkenal,
dan disana banyak pula para salaf ahli sufi, di mana warna sufi mereka
berlainan dengan perkiraan kita saat ini, sufi tersebut melatih dirinya
untuk mengerjakan amal dan mengkaji ilmu serta berprilaku dengan akhlaq
yang baik, memperkuat keyakinan dengan kebenaran iman, mendisplinkan
diri pada perkara ibadah, itulah tasawuf yang tidak dimasuki oleh
kelompok-kelompok lain dan cara-caranya.
Hal ini menunjukkan bahwa tasawuf seperti
suluk dan akhlaq telah mulai timbul bersamaan dengan zaman al-Imam
al-Muhajir, kemudian anak-anak dan cucu-cucunya, dan tersebarnya tasawuf
seperti cara-cara dan thariqahnya baru di kemudian hari melalui usaha
al-Ustadz al-A’dzam al-Faqih Muqaddam pada abad ke enam.
Sayid Abubakar al-Adeni bin Ali al-Masyhur dalam kitabnya al-Abniyat al-Fikriyah
menulis : Jika al-Imam al-Muhajir datang ke negeri Hadramaut dari Iraq
membawa madzhab berdasarkan pandangannya sendiri, maka penduduk setempat
tidak akan dengan cepat menerima pandangan-pandangan tersebut. Madrasah
dan manhaj yang ditumbuhsuburkan oleh al-Muhajir di seluruh dunia
berdasarkan jalan damai dalam menyelesaikan segala bentuk perbedaan
pandangan.
Dengan dasar keyakinan, kita dapat melihat bahwa al-Imam al-Muhajir menanamkan manhaj al-Nubuwwah al-Muhammadiyah,
melayani dunia Islam berdasarkan kitabullah dan sunnah Rasulullah saw
dalam menyelesaikan perbedaan pendapat dalam menjalankan ajaran
Rasulullah saw yang tumbuh pada setiap kelompok madzhab. Inilah
pengertian al-Imamah menurut madrasah bani Alawi yang tidak
memerlukan penetapan hujjah baik dalam bentuk nash maupun
pendapat-pendapat lisan, dengan sikap yang jauh dari kesewenang-wenangan
al-Muhajir berhasil membangun madrasah Bani Alawi di Hadramaut yang
terukir baik secara nyata dan tersembunyi pada hati masyarakat setempat,
anak-anaknya dan keturunannya yang jauh dari sikap taqiyah,
permasalahan inilah yang terputus sejak dahulu, sehingga saat itu
Hadramaut telah dipenuhi oleh kecenderungan berpikir kepada paham imamah
yang murni yaitu imamah al-Mustofa saw sebagai dasar membangun
asas-asas syariah dan adab-adabnya, paham imamah inilah yang dilahirkan
kembali oleh al-Imam al-Muhajir melalui perantaraan ilmu, amal dan
akhlaq kenabiannya, jauh dari sikap ashobiyah madzhab. Terpeliharaannya
keamanan dan ketenangan di semua tempat dan waktu di Hadramaut, semuanya
disebabkan manhaj Islam dan kepemimpinan al-Muhajir.
[1]Abubakar al-Adeni bin Ali al-Masyhur, Op Cit, hal. 79.
[3]Muhammad bin Ahmad al-Syatri. Op Cit, hal. 160.
[4]Muhammad Dhiya’ Syahab & Abdullah bin Nuh. Op Cit, hal. 8.
sumber:http://benmashoor.wordpress.com/2008/08/01/madzhab-imam-al-muhajir/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar