Meredakan Ketegangan Politik
=======================
Demokrasi
merupakan mekanisme politik jalan damai, di mana kekuasaan diraih
melalui kompetisi sehat yang berbetuk pemilu. Sementara itu lembaga
politik dibentuk sebagai mekanisme penyelesaian konflik secara dialogis,
diplomatis, karena itu cara demokrasi di pilih.
Selama ini politik perebutan kekuasaan cenderung membawa ketegangan
bahkan konflik yang berpuncak pada perang, maka manusia menciptakan
mekanisme peralihan kekuasaan baru, setelah jera menghadapi berbagai
konflik dan perang demi kekuasaan.
Walaupun pemilu merupakan mekanisme politik damai, tetapi pembawaan
pemilu adalah tegang, karena itu sedamai apapun watak dasar yaitu
ketegangan dari pemilu mesti muncul dan ini kewajaran yang mesti
diterima Kalau hal ini tidak disadari akan menimbulkan kepanikan dan
memicu tumbuhnya kerawanan baru, pesisimme , bahkan apatisme yang
berlebihan.
Politik bukan merupakan kebaikan hati seseorang, melainkan sebuah
power struggle (pertarungan kekuatan), maka bargain yang terjadi di
antara kekuatan politik yang ada itulah yang akan menjadi keputusan.
Pemilu kali ini tidak urung melahirkan ketegangan baru saat penghitungan
suara, banyak pihak yang menganggap pemilu ini sukses dengan relatif
fair, tetapi tidak sedikit partai-partai yang menganggap pemilu ini
penuh kecurangan, sehingga menuntut untuk diulang, itu satu hal.
Hal lain yang tidak kalah menegangkan adalah rencana pemilihan
presiden, banyak calon yang muncul baik dari kalangan partai maupun non
partai, ikut meramaikan kontes itu. Untuk merespon perkembangan politik
tersebut ormas keagamaan seperti KWI, Muhammadiyah maupun NU mau tidak
mau harus bersikap, sebab umat yang mereka bina selama ini menjadi
konstituen yang akan terlibat langsung dalam pemilihan tersebut.
KWI biasanya mengeluarkan Surat Gembala, NU mengeluarkan Taushiyah
dan sebagainya. Tetapi menghadapi politik nasional belakangan ini NU
yang rencanaya menggelar musyawarah nasional (Munas) diurungkan kemudian
diganti dengan Rapat Gabungan. Langkah ini merupakan sikap sangat arif,
sebab sebenarnya ketegangan politik saat pemilu dan suksesi politik
pada umumnya memang sudah merupakan kelaziman, karena itu tidak perlu
dikhawatirkan. Namun demikian masyarakat termasuk para tokohnya tidak
boleh apriori, mesti bersikap secara matang dan dewasa, dari situlah
diperlukan kesamaan dan keutuhan sikap, agar tidak tercerai berai.
Sebab kalau NU mensikapi perkembangan ini terlalu serius atau terlalu
membesar-besarkan, dengan menyelenggaraakan Munas misalnya memancing
ketegangan baru. Walaupun ini dimungkinkan tetapi merupakan hal yang luar kebiasaan, apalagi NU mempunyai potensi politik yang sangat
besar, maka sikap apapun yang diambil NU akan menjadi pusat perhatian.
Bisa jadi sebagai kekuatan yang perlu dipertimbangkan, tetapi seringkali
dijadikan sasaran tembak bagi mereka yang ingin memecah persatuan ulama
ini, ketika mereka dihadapkan pada persoalan sulit, saat memilih calon
pimpinan.
Sebagai ormas yang berorientasi kebangsaan NU bukan ingin
mempertinggi ketegangan, sebaliknya dengan pertemuan yang diadakan akaan
berusaha meredakan keteganagan politik pasca pemilu. Sebab para ulama
NU dengan jaringan rakyatnya yang luas akan mampu menepis setiap
poitensi konflik yang berkembang, dan dengan pendekatan moralnya akan
menjadi pembimbing masyarakat dari kebuntuan yang mengarah pada
kenekatan yang tanpa perhitungan, biasanya dilakukan oleh kelompok massa
mengambang, yang tidak memiliki ikatan emosional dengan kelompok social
atau keagamaan, yang mudah diprovokasi.
Sebagai organisasi yang terikat pada Khitah 1926, NU akan selalu
hati-hati dalam membuat sikap dan pilihan, ketika ia masih berstatus
sebagai organisasi social keagamaan, belum menjadi partai politik, yang
turut berkompetisi dalam merebut kekuasaan. Memang berpegang teguh pada
khitah bukan perkara mudah, tetapi sesulit apapun hal itu mesti
dipertahankan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar