ABDUL HAMID MUDJIB HAMID BERSHOLAWAT

Selasa, 12 Juni 2012

JANGAN KURANG BERHARAP KEPADA ALLOH SWT

IBNU 'ATHO'ILLAH ASSAKANDARY: مِنْ عَلاَماَتِ اْلاِعْتِماَدِ عَلَى الْعَمَلِ نُقْصاَنُ الرَّجاَءِ عِنْدَ وُجُوْدِ الزَّلَلِ “Termasuk tanda pengandalan pada amal ialah berkurangnya harapan ketika ada kesalahan.” Tidaklah mudah melepaskan diri dari keterikatan hati pada apa yang kita kerjakan. Kita bahkan sering memenuhi pikiran dan perasaan kita dengannya. Bukan hanya saat mengerjakan, tetapi terlebih sesudahnya. Tentu ini karena kita ingin sempurna melewati semua proses kerja (amal) hingga akhir. Akhirnya, tanpa kita sadari, kita lupa menempatkan Allah dalam perbuatan dan tindakan kita. Firman Allah Swt., “Atau apakah manusia akan mendapat segala yang dicita-citakannya? (Tidak), maka hanya bagi Allah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia.” (QS 53 : 24 – 25). Padahal, kita mestinya “melibatkan”-Nya sejak awal agar apa pun hasilnya tidak mengubah kedudukan kita di sisi-Nya. Maka, bekerja keraslah sembari tetap beribadah. Beribadahlah dengan benar dan ikhlas, maka bekerja pun menjadi lepas. Bila tergoda, senantiasa luruskan niat. Agar sesuai dengan haluan dalam kehidupan dunia ini, manusia dipandu oleh dua hal; al-Kitab dan as-Sunnah. Rasul Saw. mengajari kita bahwa tak seorang pun masuk surga karena amalnya. Saat beliau ditanya, “Tidak pula engkau, wahai Rasulullah?” Jawab beliau, “Tidak pula saya. Hanya saja Allah melingkupiku dengan rahmat-Nya.” Permasalahannya sejak awal hingga akhir intinya adalah rahmat Allah Swt. Firman Allah, “Wahai para hamba-Ku, masuklah kalian ke surga berkat rahmat-Ku dan berbagilah dengan amal perbuatan kalian.” Jika manusia hanya melihat pada amalnya, ia akan berkata, “Saya telah melaksanakan shalat.” Demi Allah, berapa banyak shalat yang diterima? Allah Swt. tidak menerima semua shalat. Dalam hadits qudsi disebutkan, “Aku hanya menerima shalat dari orang yang merendahkan diri pada keagungan-Ku, tidak menyakiti makhluk-Ku, tidak terus-menerus bermaksiat terhadap-Ku, serta mengasihi janda, orang miskin, dan ibnu sabil. Ia akan Aku jaga dengan pertolongan-Ku dan Aku minta para malaikat-Ku menjaganya. Perumpamaannya bagi-Ku adalah seperti Firdaus.” Jadi, orang yang sombong shalatnya tidak diterima. Yang tidak mengasihi manusia tidak dikasihi oleh Tuhan manusia. Orang yang merusak harga diri manusia Allah Swt. tidak menerima shalatnya. Persoalannya bukanlah keyakinan seseorang bahwa ia telah mengerjakan shalat. Akan tetapi, berapakah shalat yang diterima? Dan berapakah shalat yang tidak diterima? “Saya menunaikan zakat.” Allah-lah yang telah memberikan harta. “Saya melaksanakan shalat malam. Allah-lah yang menakdirkanku.” “Saya berpuasa pada siang hari. Allah-lah yang memudahkanku.” “Saya menunaikan ibadah haji ke baitul haram. Allah-lah yang telah memberikanku harta dan kesehatan. Dan Ia tidak memudahkan bagi orang lain.” Jadi, persoalannya adalah bahwa manusia tidak pernah bergantung pada perbuatannya. Akan tetapi bergantung pada keutamaan Allah Azza wa Jalla. Yang dikatakan Ibnu Atha’, “Termasuk tanda pengandalan pada amal ialah berkurangnya harapan ketika ada kesalahan.” Setiap anak Adam pasti mempunyai kesalahan. Andaikata kita tidak pernah melakukan kesalahan, Allah Swt. akan melenyapkan kita dan mendatangkan manusia-manusia yang melakukan kesalahan kemudian mereka memohon ampunan, lalu Allah Swt. mengampuni mereka semua. Manusia yang melakukan dosa paling besar adalah yang mengatakan pada dirinya, “Sesungguhnya dosaku lebih besar daripada ampunan Allah.” Tidak ada yang lebih besar dari ampunan Allah Swt. Ampunan Allah Swt. bisa menghapus seluruh dosa-dosa. Dia-lah yang Maha Pemaaf, Maha Pengampun, Yang menyukai orang-orang yang bertaubat. Allah Swt. berfirman, “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai orang-orang yang bersuci.” Allah Swt. tidak mengatakan bahwa Allah Swt. mencintai orang yang tidak pernah berbuat dosa sama sekali, tidak pernah berbuat salah sama sekali. Akan tetapi, Allah Swt. mencintai orang-orang yang bertaubat, yakni banyak berbuat dosa dan banyak bertaubat; berkeinginan kembali kepada Allah Swt. Tiap kali ia berbuat dosa – tentu ini adalah salah – , ia kembali kepada keridhaan dan kelapangan Allah Swt. Seperti halnya Nabi Shaleh as. yang berdoa kepada Tuhannya, “Wahai Tuhanku, Engkau adalah Engkau, sedangkan aku adalah aku. Aku adalah orang yang selalu kembali berbuat dosa, sedangkan Engkau adalah Dzat yang selalu kembali memberikan ampunan, maka ampunilah aku.” Allah Swt. berfirman, “Hamba-Ku telah mengetahui bahwa ia mempunyai Tuhan yang akan mengampuni dosa-dosa. Saksikanlah, wahai para malaikat-Ku, bahwa Aku telah mengampuninya.” Di dunia ini manusia tidak bisa bergantung pada amal perbuatannya. Ia wajib ikhlas dalam beramal. Sebuah hikmah berkata, “Andaikata makhluk tidak diciptakan, dan andaikata saat mereka diciptakan mengetahui kenapa mereka diciptakan. Allah berfirman, “Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan untuk beribadah kepada-Ku.” Dan andaikata saat mereka mengetahui kenapa mereka diciptakan, mereka melakukan apa yang mereka ketahui. Dan andaikata mereka melakukan apa yang mereka ketahui, mereka berbuat ikhlas dalam melakukan apa yang mereka ketahui.” Jadi, persoalannya yang pertama dan terakhir adalah keikhlasan, jauh dari sifat pamer, jauh dari sifat bangga diri, dan menghindari membicarakan kebaikannya pada orang lain. Ia harus ikhlas dalam beramal. Di dalam keikhlasan terdapat tiga rahasia; tidak ada malaikat yang mengetahuinya sehingga ia bisa menulisnya; tidak ada setan yang bisa melihatnya, sehingga ia bisa merusaknya; tidak pula hamba itu sendiri bisa melihatnya, sehingga ia bisa tertipu dengannya. Bahkan sebaliknya Allah Swt. akan membalik orang yang berbuat ikhlas menjadi orang yang dijadikan ikhlas (dimurnikan). Ia masuk ke dalam kelompok orang-orang yang benar. Firman Allah, “Sesungguhnya ia termasuk para hamba Kami yang mukhlas (dijadikan ikhlas).” Setan berkata, “Kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlas di antara mereka.” Setan tidak akan mampu menguasainya. Rasul Saw. bersabda, “Wahai Ibnu Khattab, setan tidak melihatmu melalui suatu jalan, kecuali ia akan melalui jalan yang lain.” Maka seorang hamba yang muslim, beriman, dan bertakwa tidak boleh mengandalkan amal perbuatannya. Karena itu Ibnu Atha’ berkata, “Termasuk tanda pengandalan pada amal ialah berkurangnya harapan ketika ada kesalahan.” Yakni, pada saat seseorang berbuat salah, banyak berbuat dosa, atau melampaui batas, ia berputus harapan akan diterimanya taubat. Kata orang shaleh, “Wahai Tuhanku, harapanku terhadap-Mu pada saat berbuat dosa lebih dekat daripada harapanku kepada-Mu ketika beramal. Sebab aku mengandalkan diriku saat beramal, karena terhadap kesalahan-kesalahan aku sungguh perlu dikasihani. Sedangkan dalam persoalan dosa aku sungguh mengandalkan ampunan-Mu, sebab Engkau terkenal dengan Maha Pemurah.” Allah Swt. terkenal dengan sifat pemurah-Nya; Ia melapangkan tangan-Nya pada malam hari supaya orang yang berbuat dosa pada siang hari bisa bertaubat. Dan Ia melapangkan tangan-Nya pada siang hari supaya orang yang berbuat dosa pada malam hari bisa bertaubat. Ingatlah kisah orang yang membunuh sembilan puluh sembilan orang kemudian disempurnakan menjadi seratus orang. Ia pun pergi ke tempat orang-orang yang taat saat ditunjukkan oleh seorang alim agar berpindah dari tempat orang-orang yang berbuat maksiat ke tempat orang-orang yang taat. Pada saat berada di tengah perjalanan ia pun meninggal dunia. Namun dadanya lebih mendekat ke arah tanah orang-orang yang taat, maka masuklah ia ke dalam rahmat Allah Swt. Karena itulah, saat seseorang berbuat salah, saat seseorang berbuat dosa, saat ia melampaui batas, ia tidak boleh berputus asa dari ampunan Allah Swt. Sebaliknya, ia harus benar-benar yakin bahwa Allah Swt. mencintai seorang hamba yang bertaubat ini. Orang yang tulus bertaubat lebih disukai oleh Allah Swt. daripada orang sombong yang bertasbih. Penyesalan kita terhadap dosa itu lebih baik daripada melakukan shalat dalam keadaan berbangga diri. Kita tidak bisa mengambil faidah dari berbangga diri. Berbangga diri adalah termasuk salah satu dosa besar. Ia adalah sebuah musibah. Saat kita membanggakan amal kita, apa yang kita peroleh? Kita akan memperoleh hapusnya pahala. Na’udzubillah min dzalik. Akan tetapi, jika seorang hamba menyesali kesalahan yang telah diperbuatnya, kedua matanya berlinang air mata, mata yang menangis karena takut kepada Allah Swt., mata yang tunduk dari apa yang diharamkan oleh Allah Swt., mata ini tidak akan tersentuh oleh api neraka dengan izin Allah Swt. Saat seorang hamba berbuat dosa, pada dirinya terdapat kehinaan di hadapan Allah Swt., pada dirinya terdapat kelemahan, di dalam perasaannya ia merasa telah berani terhadap Allah Swt., perasaan bahwa ia tidak memposisikan Allah Swt. dengan benar, pada saat itu ia menyesal dan bertaubat kepada Allah Swt. Seorang hamba harus bercermin, andaikata ia hanya mengandalkan amal perbuatannya, maka sayang sekali pengandalan ini bukanlah pada tempatnya. Pertama kali kita harus mengandalkan keutamaan Allah Swt., kemurahan Allah Swt., maaf dari Allah Swt., dan mengandalkan anugerah-anugerah Allah Swt. yang diberikan kepada kita. Inilah andalan kita yang sebenarnya. Sedangkan amal perbuatan hanyalah perantara. Kita memang harus beramal, karena amal yang menilai kehidupan manusia, hingga Umar ra. berdoa, “Ya Allah, aku minta amal yang paling ikhlas dan paling benar.” Beliau ditanya, “Apa yang paling ikhlas dan paling benar, wahai amirul mukminin?” Beliau menjawab, “Yang paling ikhlas adalah yang murni karena Allah Swt., sedangkan yang paling benar adalah yang berdasarkan al-Kitab dan as-Sunnah.” Kita tidak boleh membuat-buat suatu amal dari diri kita sendiri. Siapapun yang membuat-buat yang baru pada agama kita ini, maka ia tertolak. Harapan kita terhadap Allah Swt. janganlah berkurang sedikit pun, namun sebaliknya kita harus berdiri di depan pintu Allah Swt. yang tidak ada pintu dan penjaganya. Dan katakanlah, “Wahai Tuhanku.” Maka Tuhan para hamba itu lebih dekat daripada urat nadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar