ABDUL HAMID MUDJIB HAMID BERSHOLAWAT

Selasa, 12 Juni 2012

MANUSIA PALING BODOH, TINGGALKAN KEYAKINANNYA

IBNU 'ATHO'ILLAH ASSAKANDARY: أَجْهَلُ الناَّسِ مَنْ تَرَكَ يَقِيْنَ مَا عِنْدَهُ لِظَنِّ ماَ عِنْدَ الناَّسِ “Sebodoh-bodoh manusia adalah orang yang meninggalkan keyakinannya karena mengikuti sangkaan orang-orang.” Jangan tertipu oleh sanjungan yang menipu! Engkaulah sesungguhnya yang paling tahu siapa dirimu. Engkaulah yang tahu persis kebaikan dan keburukan yang melekat dalam dirimu. Tentang seberapa banyak kebaikan yang telah engkau lakukan. Tentang seberapa rapat dirimu menyembunyikan berbagai keburukan. Mengapa engkau malah menikmati penilaian orang lain tentangmu? Mereka tidak mengenalmu, mereka tidak mengerti tentangmu. Mereka hanyalah melihat apa yang tersingkap dari dirimu. Mereka cuma menduga-duga dengan pujian yang mereka arahkan kepadamu. Jadi, kenapa engkau menjadi begitu bodoh, membiarkan orang lain memasuki wilayahmu sendiri? Apakah memang engkau lebih suka orang lain yang mengatur dirimu? Manusia adakalanya hidup dengan keyakinan dan adakalanya hidup dengan sangkaan. Jika seseorang hidup dengan sangkaan, sangkaan itu sama sekali tidak dapat dijadikan sandaran kebenaran. Sangkaan hanya akan memberikan sesuatu yang buruk bagi manusia. Sangkaan tidak akan membuahkan sesuatu yang bermanfaat bagi manusia dan baik bagi kaum muslimin. Saat engkau berada di hadapan manusia, mereka melihatmu menunaikan shalat di masjid, mereka melihatmu melakukan kebaikan-kebaikan. Inilah yang dilihat oleh manusia. Namun tak seorang pun mampu memeriksa ke dalam hatimu dan melihat apa yang ada di dalamnya; di dalamnya mungkin ada sedikit rasa sombong, sedikit rasa bangga diri, sedikit sifat riya’ (pamer), sedikit rasa aman dari siksa Allah, sedikit rasa putus asa dari rahmat Allah, sedikit rasa tidak jujur dalam bertawakal, atau tidak ada keyakinan terhadap ketentuan Allah Swt. Manusia tidak dapat melihat semua ini. Di antara kemurahan Allah Swt. juga – dan ini adalah kemurahan Allah Swt. yang paling besar – Allah Swt. menjadikan dosa kita tidak berbau. Jika tidak, maka tak seorang pun dari kita bersedia duduk di samping saudaranya, duduk di samping istrinya, duduk di samping anak-anaknya, duduk di samping teman-teman sekerjanya, juga duduk di samping para tetangganya. Allah-lah Dzat Maha penutup yang menutupi segala kesalahan. Manusia memuliakanku sebatas aib-aibku yang ditutupi oleh Allah Swt. Yakni sebanyak aib-aibku yang ditutupi oleh Allah Swt., sebanyak itulah manusia memuliakanku. Maka seyogyanya seorang hamba memuji Tuhannya karena manusia tidak bisa melihat apa yang ditutupi oleh Allah Swt. Saya memuliakan Anda sebatas cela Anda yang ditutupi oleh Allah Swt. dari penglihatan saya. Begitu pula Anda memuliakan saya sebatas cela saya yang Allah Swt. tutupi dari penglihatan Anda. Namun dalam hakikat segala sesuatu ini tidaklah begitu berarti. Yakni Anda memuliakan saya atau saya memuliakan Anda. Yang penting adalah Allah Azza wa Jalla meridhai kita. Karena itu Ibnu Atha’ berkata, “Sebodoh-bodoh manusia adalah orang yang meninggalkan keyakinannya karena mengikuti sangkaan orang-orang.” Setiap orang lebih mengetahui cacat yang ada dalam dirinya. Penduduk suatu negeri lebih mengetahui semboyan mereka. Saya pun lebih mengetahui kata hati saya. Masing-masing dari kita bisa mengatakannya saat kita menimbang amal kita dengan timbangan. Bagaimana seseorang bisa menimbang amalnya? Dia bisa meletakkan al-Kitab dan as-Sunnah pada sisi kanan timbangan dan menaruh amalnya pada sisi kiri timbangan. Jika amalnya sesuai dengan al-Kitab dan as-Sunnah, maka ia harus bersujud syukur kepada Allah Swt. Ia wajib meletakkan wajahnya di tanah demi berterima kasih kepada Dzat yang memberikan kedudukan mulia kepadanya dengan menaati Allah Swt. Allah Swt. memuliakan orang yang hina dengan menaati-Nya dan menghinakan orang yang mulia dengan bermaksiat kepada-Nya. Jadi saya harus menimbang amal saya. Bagaimana seseorang menimbang amalnya? Saya bisa menimbangnya dengan kitab Allah Azza wa Jalla. Siapakah kaum yang dipuji oleh kitab Allah Azza wa Jalla?, Kelompok apakah yang dipuji oleh kitab Allah Azza wa Jalla?, Dan amal-amal apakah yang dipuji oleh kitab Allah Azza wa Jalla? Mereka adalah kaum yang begini, mereka adalah kelompok yang seperti ini. Saya bisa menimbang amal saya, apakah saya mempunyai amal yang dipuji oleh al-Quran dan diagungkan oleh kitab Allah Azza wa Jalla? Saya akan melihat ke dalam al-Quran siapakah kaum yang dimurkai oleh Allah Swt. dan dicela oleh kitab Allah Azza wa Jalla? Mereka adalah kaum yang begini dan begini. Jadi, apakah saya mengikuti mereka? Apakah amal saya seperti amal mereka? Apakah amal ini dilarang oleh Tuhan sedangkan saya tetap mengerjakannya? Dengan pertimbangan pertama, saya harus menimbang amal saya dengan al-Kitab. Kemudian yang kedua, saya harus menimbang amal saya dengan as-Sunnah. Hal-hal apakah yang disukai oleh Rasulullah Saw. dan hal-hal apakah yang dibencinya? Apakah beliau suka berbohong? Apakah beliau suka terhadap sifat munafik? Apakah beliau suka terhadap sifat riya’? Apakah beliau suka menyombongkan diri? Apakah beliau suka membanggakan diri? Apakah beliau suka merendahkan harga diri kaum muslimin? Beliau Saw. tidak pernah menyukai semua hal ini. Akan tetapi beliau suka memperhatikan orang-orang miskin, berinfak, tersenyum, menyambut orang-orang, memerintah kepada yang makruf dan mencegah dari kemungkaran, qiyamullail, shadaqah, jihad di jalan Allah, dan perbuatan-perbuatan yang baik. Semua ini disukai oleh Rasulullah Saw. Maka apakah amal perbuatanmu itu sesuatu yang disukai oleh Rasulullah Saw. ataukah sesuatu yang dibenci oleh Rasulullah Saw.? Inilah timbangan kedua yang bisa kita gunakan untuk menimbang amal kita. Yang ketiga, seseorang bisa menimbang amal perbuatannya dengan teman yang shaleh. Dalam hal ini para ulama memberikan lima syarat: pertama, melihatnya akan mengingatkanku pada Allah Swt.; kedua, keadaannya bisa menunjukkanku pada Allah Swt.; ketiga, perkataannya bisa menambah ilmuku; keempat, jika ia melihatku lalai, ia akan mengingatkanku; kelima, jika ia melihatku sadar, ia akan membantuku. Inilah lima syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang akan dijadikan teman. Jika aku melihatnya, penglihatanku terhadapnya akan mengingatkanku pada Allah Swt. Jika dia berbicara, pembicaraannya akan menambah ilmuku. Kondisinya dalam beramal akan memberiku petunjuk. Saat ia melihatku jauh dari Allah; saya tidak pergi shalat, misalnya, ia akan berkata, “Hai sobat, saya tidak melihatmu shalat Subuh.”, “Hai teman, saya tidak melihatmu di pengajian.”, “Hai teman, saya tidak melihatmu ikut mengantarkan jenazah si anu.”, “Hai teman, engkau tidak pergi untuk menjenguk si anu yang sakit.” Begitulah saat ia melihatku lalai, ia akan mengingatkanku. Ketika ia melihatku sadar, ia akan membantuku. Ia akan berkata, “Hai teman, engkau hanya berpuasa pada bulan Ramadhan? Mana puasa enam hari pada bulan Syawal? Mana puasa Senin dan Kamis? Mana puasa tiga hari setiap bulan, tanggal 13, 14, dan 15?”, “Hai teman, mana qiyamullailmu?”, “Hai teman, mana hafalan al-Quranmu?” Begitulah ketika ia melihatku lalai, ia akan mengingatkanku. Dan saat ia melihatku sadar, ia akan membantuku. Seorang muslim bisa menimbang amalnya; baik dengan al-Quran, dengan as-Sunnah, maupun dengan sahabat yang shaleh yang merupakan cermin bagi sahabatnya. “Orang mukmin adalah cermin bagi saudaranya.” Dua orang yang bersahabat karena Allah Swt. bagaikan dua tangan yang saling membersihkan satu sama lain. Selanjutnya, aku bisa mengetahui cela-celaku dari para musuhku. Orang-orang yang membenciku mungkin mengatakan bahwa aku mempunyai dua puluh sifat buruk. Mungkin aku mempunyai sepuluh sifat baik, namun tidak menutup kemungkinan pada diriku juga terdapat sifat-sifat yang dikatakan oleh orang-orang yang membenciku. Kenapa demikian? Karena mereka melihat dengan pandangan kritis yang harus aku perhatikan. Dengan demikian seseorang bisa mengetahui celanya dari pandangan orang-orang yang hasud terhadapnya. Kenapa? Karena pada saat itu seseorang bisa memastikan keadaannya. Maka janganlah engkau tinggalkan itu, sebab sebodoh-bodoh manusia adalah orang yang meninggalkan keyakinannya. Misalnya, saya yakin bahwa saya tidak khusyuk dalam shalat, saya yakin bahwa puasa saya hanya sebatas tidak makan dan tidak minum, saya yakin bahwa terkadang saya berbuat riya’ dalam beramal, saya yakin bahwa seluruh malam hanya saya gunakan untuk tidur dan saya tidak bangun kecuali untuk shalat Subuh, hingga dikatakan bahwa pada permulaan malam terdapat pemanggil yang memanggil dari bawah ‘Arsy, “Tidakkah orang-orang yang beribadah bangun?”, maka satu kelompok pun bangun. Kemudian pada pertengahan malam diseru, “Tidakkah bangun orang-orang yang taat?”, maka bangunlah satu kelompok. “Tidakkah orang yang beristighfar bangun?”, maka satu kelompok pun bangun. Kemudian pada saat terbit fajar diseru, “Tidakkah orang-orang yang lalai bangun?” Manusia tidak seharusnya tidur sepanjang malam. Jangan biarkan ayam jantan menjadi lebih pintar daripada kita, karena ia sudah bangun, sedangkan kita belum bangun. Manusia harus melihat perhitungannya dengan dirinya. Ibnu Atha’ mengingatkan kita akan hal ini dengan mengatakan, “Sebodoh-bodoh manusia adalah orang yang meninggalkan keyakinannya karena mengikuti sangkaan orang-orang.” Orang-orang terkadang menyangka bahwa kita adalah orang shaleh. Namun ini adalah sangkaan, sedangkan sangkaan tidak bisa menjadi sandaran kebenaran. Sebaliknya kita harus membangun putusan-putusan kita berdasarkan keyakinan yang ada pada diri kita hingga kita bisa memperbaiki cela-cela kita. Andaikata salah seorang dari kita senantiasa berusaha memperbaiki cela-celanya siang dan malam, maka umurnya akan habis sedangkan cela yang ada pada dirinya belum habis. Saudaraku, sebelum engkau capek mengoreksi cela orang lain, perbaikilah dulu celamu sendiri. Janganlah menuduh saudaramu dengan mengatakan, “Engkau salah dalam hal ini.”, padahal jari yang menunjuk ke arahmu lebih banyak. Itu menunjukkan bahwa engkau adalah orang yang banyak salah terhadap saudaramu. Berpura-puralah buta terhadap kesalahan-kesalahan saudaramu. Kemudian apabila engkau melihat satu kebaikan, sebarkanlah. Namun jika engkau melihat satu kesalahan, tutupilah. Begitulah sikap seorang muslim terhadap saudaranya. Saudaraku, orang-orang yang bergaul dengan kita itu ada tiga golongan; orang yang lebih tua dari kita, orang yang seumur dengan kita, dan orang yang lebih muda dari kita. Katakanlah tentang orang yang lebih tua, “Di sisi Allah ia lebih utama dari saya, karena ia lebih dulu berislam daripada saya.” Pada yang lebih muda katakanlah, “Ia lebih utama di sisi Allah daripada saya, karena saya telah mendahuluinya berbuat dosa.” Pada orang yang seumur katakanlah, “Saya lebih mengetahui dosa-dosa yang ada pada diri saya dengan sebenar-benarnya. Sedangkan ia tidak mengetahui. Maka ia lebih utama di sisi Allah.” Janganlah hal ini kita biarkan sehingga kita menjadi manusia yang paling bodoh, yaitu orang yang meninggalkan keyakinannya karena mengikuti sangkaan orang-orang. Ya Allah, terimalah taubat kami dan berilah kami taufik terhadap apa yang Engkau cintai dan ridhai. Wa shallallahu ‘ala sayyida Muhammad wa shahbihi wa sallam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar