ABDUL HAMID MUDJIB HAMID BERSHOLAWAT

Jumat, 08 Juni 2012

Pada zaman azali belum ada keikhlasan amal ataupun keadaan spiritual?

IBNU 'ATHO'ILLAH ASSAKANDARY: عِناَيَتُهُ فِيْكَ لاَ لِشَيْءٍ مِنْكَ . وَأَيْنَ كُنْتَ حِيْنَ واَجَهَتْكَ عِناَيَتُهُ وَقاَبَلَتْكَ رِعاَيَتُهُ . لَمْ يَكُنْ فِيْ أَزَلِهِ إِخْلاَصُ أَعْماَلٍ وَلاَ وُجُوْدُ أَحْواَلٍ . بَلْ لَمْ يَكُنْ هُناَكَ إِلاَّ مَحْضُ اْلإِفْضاَلِ وَعَظِيْمُ النَّواَلِ “Perhatian Allah kepadamu bukanlah karena sesuatu yang timbul dari dirimu. Dimanakah engkau ketika perhatian dan pemeliharaan-Nya menemuimu? Pada zaman azali belum ada keikhlasan amal ataupun keadaan spiritual. Bahkan, belum ada apa-apa selain banyaknya karunia dan pemberian semata.” Jadikan ibadahmu beranda menuju istana Yang Maha Berada. Pada zaman azali, tidak ada sesuatu pun yang berhubungan dengan waktu lampau maupun sekarang. Yang ada saat itu hanyalah “karunia” dan “pemberian”. Karena itu, segala bentuk amal shaleh yang datang kemudian tidak dapat menjadi sebab pemberian-Nya. Inilah perhatian dan pemeliharaan-Nya kepadamu. Meski begitu, engkau sebagai hamba-Nya tidaklah pantas menjadikan ini sebagai alasan untuk tidak melakukan amal shaleh apa pun. Sebab, amalmu adalah bentuk penghambaanmu kepada-Nya, sedang karunia dan pemberian adalah kehendak asal-Nya. Pahamilah, lalu cobalah mengerti tentang-Nya. Allah Azza wa Jalla memuliakan hamba dengan mewujudkannya, membantunya, dan menunjukkannya ke jalan yang benar. Karena kebodohannya manusia menyangka bahwa Allah memuliakannya karena ia memang pantas untuk dimuliakan. Tidak, sobat. Allah Azza wa Jalla memuliakan karena memang Dia Maha Pemurah dan Maha Pemberi. Allah memberikan dunia kepada siapa yang dicintai dan tidak dicintai. Tetapi Dia hanya memberikan agama bagi orang-orang yang dicintainya. Di dunia kita bisa dapati orang-orang non-muslim yang menyumbangkan kebaikan kepada umat manusia. Tuhan memulikan mereka dengan pujian karena mempersembahkan karya bagi umat manusia. Andaikata Thomas Alfa Edison, penemu bola lampu, ditanya, “Buat apa engkau membuat bola lampu?” “Demi umat manusia,” jawabnya. Baiklah, manusia telah memberimu reputasi dan penghargaan. Begitu pula yang berlaku pada Graham Bell, penemu telefon, dan James Watt, penemu mesin uap. Saat ditanyakan kepada mereka semua, “Buat apa kalian membuat karya ini?” Jawab mereka, “Untuk umat manusia.” Baik, manusia telah memberi balasan kepada kalian. Di dalam sebuah hadits yang menakutkan, tiga orang yang pertama kali dilemparkan ke dalam api neraka dari kaum muslimin adalah alim (orang berilmu), syahid (orang yang mati dalam jihad), dan dermawan. Si alim didatangkan, dan Tuhan memberi tahu nikmat-Nya, ia pun menyadarinya. Kemudian Dia bertanya kepadanya, “Apa yang engkau lakukan dengan ilmumu?” Dia menjawab, “W`hai Tuhanku, aku mengajarkan ilmu kepada makhluk-Mu.” Dia berfirman, “Sesungguhnya engkau mengajarkannya supaya dikatakan alim, dan sudah dikatakan.” Dia pun dilempar ke neraka. Kemudian si syahid didatangkan. “Apa yang telah engkau lakukan?” “Aku berperang di jalan-Mu, kemudian aku terbunuh dan mendapatkan syahadah.” Dia berfirman, “Sesungguhnya engkau berperang supaya dikatakan berani.” Kemudian yang ketiga, dermawan, didatangkan, “Apa yang engkau lakukan?” Dia memberitahu nikmat-Nya yang berupa harta. Dia pun menyadarinya. “Engkau berinfak hanya agar dikatakan dermawan, dan telah dikatakan.” Dia pun dilempar ke dalam neraka.” Niat kita menginfakkan harta, niat kita berjihad, atau niat kita menceramahi manusia sebagai orang alim, telah mendorong kita untuk melakukan apa yang kita inginkan. Saat manusia masih berupa janin di dalam perut ibunya sejak minggu pertama hingga bulan yang ke sembilan, apa yang diberikannya saat ia senantiasa mendapatkan karunia? Tidak ada. Dimanakah manusia saat ia masih berada di kegelapan rahim sebelum dilahirkan di dunia? Apa yang telah diberikannya hingga ia berhak mendapatkan karunia? Saat masih bergabung dengan tali ari-ari ibunya apakah ia melaksanakan shalat dan berdoa? Tidak sama sekali. Apakah ia mengerjakan puasa dan berdoa? Tidak sama sekali. Apakah ia menunaikan zakat? Tidak sama sekali. Ketika ia keluar dari perut ibunya dan mulai tumbuh berkembang, apa yang disumbangkannya hingga usia dewasa? Tidak ada. Karena itu Ibnu Atha’ berkata, “Perhatian Allah kepadamu bukanlah karena sesuatu yang timbul dari dirimu. Dimanakah engkau ketika perhatian dan pemeliharaan-Nya menemuimu? Pada zaman azali belum ada keikhlasan amal ataupun keadaan spiritual.” Saat kita masih dalam perut ibu atau masih kecil dan belum mukallaf, saat itu belum ada keikhlasan maupun keadaan spiritual. “Bahkan, belum ada apa-apa selain banyaknya karunia dan pemberian semata.” Allah memberi karunia tanpa diminta karena Dia Maha Pemberi. Siapa yang saat makan roti, berdoa, “Ya Allah, jadikanlah tanganku bisa memotong roti dan menaruhnya di mulut, dan tidak menaruhnya di mata atau telinga”? Siapa yang berdoa, “Ya Allah, jadikanlah gigi bisa mengunyah”? Siapa yang berdoa, “Ya Allah, bukalah tenggorokan hingga makanan bisa turun dan tidak masuk ke dalam saluran pernafasan hingga menutup aliran udara, yang menyebabkan aku tercekik dan mati”? Siapa yang berdoa, “Ya Allah, tetapkanlah makanan di dalam lambung hingga sari pati makanannya diserap oleh tubuh”? Tak seorang pun berdoa demikian. Tapi Allah memberikan semua itu, meskipun kita tidak memintanya. Allah memberikan karunia tanpa meminta. Karena itu jika hamba menyangka bahwa ia diberi karena ia taat, atau karena ia berdoa, atau karena ia beramal, atau karena ia bekerja, ia harus menghapus pikiran itu. Seyogyanya ia katakan, “Allah Maha Pemberi. Dia memberi meskipun tanpa diminta oleh seorang pun.” Siapa di antara kita yang berdoa sebelum berangkat bekerja, “Ya Allah, mungkinkanlah aku duduk di kursi beberapa saat hingga bisa menyelesaikan urusan warga yang menjadi tanggung jawabku”? Kenyataannya, manusia berangkat bekerja, lalu duduk tanpa meminta. Ia diberikan keutamaan ini tanpa meminta kepada Allah Swt. Ia hanya akan meminta kepada Allah Swt. saat nikmat itu hilang darinya. Manusia tidak akan berdoa, “Ya Allah, mungkinkanlah saya untuk duduk.”, kecuali saat ia telah kehilangan nikmatnya duduk. “Ya Allah, mudahkanlah saya menelan makanan.”, kecuali setelah ia merasa kesulitan menelan makanan. Manusia yang beriman menyadari saat nikmat itu ada, tidak pada saat nikmat itu tiada. Sedangkan orang munafik tidak mengenal nikmat, kecuali setelah nikmat itu sirna. “Perhatian Allah kepadamu bukanlah karena sesuatu yang timbul dari dirimu. Dimanakah engkau ketika perhatian dan pemeliharaan-Nya menemuimu? Pada zaman azali belum ada keikhlasan amal ataupun keadaan spiritual. Bahkan, belum ada apa-apa selain banyaknya karunia dan pemberian semata.” Yakni, ketika itu yang ada hanya karunia Allah Azza wa Jalla yang memberikan karunia siang dan malam. Tangan-Nya penuh karunia kebaikan, pemberian-Nya diharapkan, dan perbendaharaan-Nya tidak pernah habis. Langit menurunkan hujan dan bumi menumbuhkan tanaman, oksigen yang berada di udara, matahari terbit setiap hari, semua ini adalah nikmat dan semuanya adalah karunia. Semua pemberian ini bukan karena doa hamba. Kita berdoa siang malam, kita bekerja siang malam, kita harus beribadah kepada Tuhan siang dan malam. Walau hamba sujud kepada Tuhan selamanya, ia belum bisa memenuhi satu saja dari hak-hak Allah. Kita tidak boleh lupa bahwa Allah Swt. memberi kita karena Dia Maha Pemurah, Maha Dermawan, Maha Pengasih, dan memberi t`npa diminta. Dia memberi ketika diminta atau tidak diminta. Kita minta kepada Allah Swt. agar menerima amal ibadah kita, memperbaiki keadaan kita, tidak memasrahkan kita pada diri kita sendiri walau sekejap mata, menjadikan kita termasuk orang yang mendengarkan perkataan dan mengikuti yang paling baik, menjadikan lidah kita senantiasa bersyukur kepada-Nya siang malam, memberi kita taufiq kepada yang dicintai dan diridhainya, menutup dosa kita di dunia dan akhirat, sesungguhnya Tuhan kita Maha Kuasa atas segala sesuatu. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar