Nabi SAW:مَنْ صَلَّى عَلَيَّ فِي كِتَابٍ لَمْ تَزَلِ الْمَلَائِكَةُ تَسْنَغْفِرُ لَهُ مَا دَامَ اسْمِي فِي ذَلِكَ الْكِتَابِ (Barang siapa menulis sholawat kpdku dlm sebtah buku, maka para malaikat selalu memohonkan ampun kpd Alloh pd org itu selama namaku masih tertulis dlm buku itu). اَلتَّحِيَّاتُ الْمُبَارَكَاتُ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ لِلّٰهِ اَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ اَلسَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ
Selasa, 12 Juni 2012
PANGKAL MA'SHIYYAT: LALAI, SYAHWAT DAN UMBAR HAWA NAFSU
IBNU 'ATHO'ILLAH ASSAKANDARY:
أصل كل معصية وغفلة وشهوة الرضا عن النفس . وأصل كل طاعة ويقظة وعفة عدم الرضا منك عنها . ولأن تصحب جاهلا لايرضى عن نفسه خير لك من أن تصحب عالما يرضى عن نفسه . فأي علم لعالم يرضى عن نفسه وأي جهل لجاهل لا يرضى عن نفسه
“Pangkal segala maksiat, kelalaian, dan syahwat adalah pengumbaran nafsu. Dan pangkal segala ketaatan, kewaspadaan, dan kebajikan adalah pengekangan nafsu. Bersahabat dengan orang bodoh yang tidak memperturutkan hawa nafsunya lebih baik bagimu daripada bersahabat dengan orang pintar yang memperturutkan hawa nafsunya. Kepintaran apalagi yang dapat disandangkan pada orang pintar yang selalu memperturutkan hawa nafsunya? Dan kebodohan apalagi yang dapat disandangkan pada orang bodoh yang tidak memperturutkan hawa nafsunya?”
Orang cerdas adalah mereka yang mampu mengendalikan diri. Bergaul dengan orang seperti ini pastilah lebih aman. Sebab, pengendalian diri merupakan perjuangan yang paling berat, besar, dan melelahkan. Tidak ada kata berhenti kecuali nanti saat kita mati. Bila engkau temukan orang seperti ini, rengkuhlah menjadi sahabatmu. Jangan pedulikan status pendidikannya. Ini tidak ada kaitannya dengan gelar akademis ataupun prestise. Merekalah orang-orang yang layak memberi “warna” dalam kehidupan kita. Bersama mereka, kita akan mudah “tercelup” dalam celupan-Nya. Lalu, teladanilah kemampuan mereka menjaga potensi kebaikan. Sadarilah potensi keburukanmu dengan bercermin kepada mereka. Telitilah lebih jauh apa yang menghalangimu menikmati ketaatan, dan apa yang membuatmu terdorong pada kemaksiatan.
Saat seseorang merasa aman dari siksa Allah Swt., ia akan lupa dan memandang amal shalehnya yang kecil seakan-akan amal tersebut adalah besar, seakan-akan ia banyak melakukan perbuatan-perbuatan baik. Ketika ia melakukan kemaksiatan, setan menjadikan kemaksiatan tersebut remeh di hadapannya. Selalu kita katakan, “Janganlah melihat pada kecilnya dosa, tetapi lihatlah pada keagungan Dzat yang engkau maksiati.” Seorang hamba harus selalu sadar bahwa Allah Swt. adalah Dzat yang Maha Mengawasi. Manusia harus selalu mengekang hawa nafsunya. Engkau bisa membaca kisah orang-orang shaleh, ketika Umar ra. berkata, “Andaikata aku menjadi orang yang lupa dan terlupakan. Andaikata ibu Umar tidak pernah melahirkan Umar.” Abu Darda’ ra. berkata, “Andaikata aku adalah kambing yang disembelih.” Abu Dzar ra. berkata, “Andai saja aku menjadi kayu bakar.” Abu Bakar ra. berkata, “Aku iri padamu, wahai burung. Engkau bebas berkicau, makan, dan minum tanpa menanggung perhitungan amal dan siksa. Andaikata aku sepertimu.” Tak seorang pun dari orang-orang shaleh itu yang mengumbar hawa nafsu mereka. Kenapa? Karena manusia harus mempunyai standard tertentu dalam perjalanan hidupnya. Standard tersebut yaitu; dalam hal agama harus melihat kepada yang lebih utama, sedangkan dalam hal dunia harus melihat kepada yang lebih rendah. Jika sudah demikian, kita tidak akan meremehkan nikmat Allah Swt. Musibah itu ada pada diri manusia. Dalam hal dunia mereka melihat kepada yang lebih utama. Mereka melihat diri mereka mengendari mobil butut, namun mereka memandang mobil tetangganya yang baru. Mereka tinggal di rumah dengan tiga kamar, akan tetapi mereka melihat orang yang tinggal di rumah dengan lima kamar. Mereka mempunyai uang seribu rupiah, namun melihat pada orang yang mempunyai tiga ribu rupiah. Ini adalah musibah. Setan telah menjadikan kecil nikmat-nikmat Allah Swt. yang dianugerahkan kepadanya.
Orang mukmin dalam hal dunia memandang kepada yang lebih rendah. Ia bisa berkata, “Alhamdulillah, saya tinggal di rumah dengan dua kamar. Ada yang hanya memiliki satu kamar.” Jika ia hanya memiliki satu kamar, ia bisa berkata, “Ada yang hanya tinggal di tenda, atau tidur tanpa memiliki rumah.” Orang yang mempunyai seribu rupiah bisa berkata, “Ada orang yang tidak mempunyai uang.”, “Ada yang sakit, yang butuh pengobatan.”, atau “Ada juga janda yang memiliki anak-anak yatim.”
Ada orang yang aneh. Dalam hal agama ia melihat yang lebih rendah. Ia bisa mengatakan, “Alhamdulillah, saya melaksanakan shalat. Si anu tidak shalat.”, “Saya berpuasa dua atau tiga hari tiap bulan, sedangkan si anu tidak berpuasa.” Saudaraku, lihatlah orang yang lebih utama dalam hal agama. Katakanlah, “Sayangnya aku hanya melaksanakan shalat fardhu saja. Sedangkan si anu di samping menunaikan shalat fardhu, ia juga menunaikan shalat sunat.”, “Saya hanya menunaikan shalat empat waktu di masjid, sedangkan selama beberapa tahun si anu selalu menekuni shalat berjamaah di masjid dalam lima waktu.”, “Si anu mengerjakan shalat malam, sedangkan saya tidak mengerjakannya.”, “Si anu mengkhatamkan al-Quran sekali seminggu, sedangkan saya mengkhatamkannya selama sebulan.” Begitulah, lihatlah orang yang lebih utama dalam hal agama, dan lihatlah orang yang lebih rendah dalam hal dunia. Ibnu Atha’ berkata, “Pangkal segala maksiat, kelalaian, dan syahwat adalah pengumbaran nafsu.” Selama engkau mengumbar hawa nafsu, engkau akan melihat kemaksiatan-kemaksiatan di hadapanmu sebagai sesuatu yang remeh. “Dan pangkal segala ketaatan, kewaspadaan, dan kebajikan adalah pengekangan nafsu.” Engkau harus mengekang hawa nafsu, selalu mendorongnya kepada kebaikan, karena secara alami nafsu itu mendorong kepada kejelekan kecuali orang yang dikasihi Allah Swt. Saudaraku, engkau harus melatih nafsunya secara bertahap dari nafsu ammarah bissu’ (nafsu yang selalu mengajak kepada kejelekan) kepada nafsu lawwamah (nafsu yanf mencela pelakunya saat berbuat maksiat), kemudian kepada nafsu muthmainnah (jiwa yang tenang), kemudian kepada nafsu radhiyah (jiwa yang rela), kemudian kepada nafsu mardhiyah (jiwa yang diridhai), kemudian kepada nafsu mulhamah (jiwa yang mendapatkan petunjuk), hingga engkau termasuk golongan orang-orang shaleh. “Takutlah kepada firasat orang mukmin karena ia melihat dengan cahaya Allah Azza wa Jalla.”
Ibnu Atha’ berkata, “Bersahabat dengan orang bodoh yang tidak memperturutkan hawa nafsunya lebih baik bagimu daripada bersahabat dengan orang pintar yang memperturutkan hawa nafsunya. Kepintaran apalagi yang dapat disandangkan pada orang pintar yang selalu memperturutkan hawa nafsunya? Dan kebodohan apalagi yang dapat disandangkan pada orang bodoh yang tidak memperturutkan hawa nafsunya?” Saya bisa bersahabat dengan orang bodoh selama ia tidak memperturutkan hawa nafsunya, kenapa? Karena orang ini selalu menuduh dirinya dengan kelalaian. Ia menuduh dirinya adalah orang yang lalai; ia tidak bangun pada malam hari kecuali hanya sebentar. Yang lain menuduh dirinya, “Saya tidak bangun kecuali hanya untuk shalat Subuh.” Yang lain meskipun bodoh mengatakan, “Saya lalai dalam menghadiri pengajian yang bertujuan supaya saya bisa belajar atau silaturahim.”, “Saya lalai dalam menjenguk orang sakit.”, “Saya lalai dalam mengantarkan jenazah.”, atau “Saya lalai dalam merenungkan firman Allah Azza wa Jalla.” Selama ia tidak memperturutkan hawa nafsunya, bersahabatlah dengannya karena banyak kebaikan pada dirinya.
Sebaliknya, orang pintar yang memperturutkan hawa nafsunya, ia berada dalam kondisi tertipu. Kenapa engkau memperturutkan hawa nafsu? Semua manusia pasti pernah bersalah. Bahkan Nabi Saw. memohon ampunan sebanyak seratus kali dalam sehari dari dosa. Itu sebagai rasa syukur kepada Allah Swt. supaya selalu mendapatkan kebersamaan Allah Swt. dan bisa menjadi contoh bagi kita agar kita senantiasa memohon ampun siang dan malam. Seseorang menemui Sayyidina Ali ra. dan berkata kepadanya, “Wahai amirul mukminin, sejak lama kabilah kami tidak mendapatkan hujan.” Beliau menjawab, “Mohonlah ampun kepada Allah.” Orang itu pun kembali ke kampungnya dengan banyak membaca istighfar. Seorang yang lain datang menemui Ali ra. dan berkata, “Wahai amirul mukminin, saya mempunyai kesulitan dana.” Ia mempunyai hutang dan membutuhkan harta. Beliau menjawab, “Mohonlah ampun kepada Allah.” Ia pun keluar. Masuklah orang ketiga lalu berkata, “Wahai amirul mukminin, saya ingin mendapatkan anak.” Ia tidak memiliki anak laki-laki maupun perempuan.” Beliau berkata kepadanya, “Mohonlah ampun kepada Allah.” Orang-orang yang hadir merasa heran sebab pertanyaannya beraneka ragam, sedangkan jawabannya hanya satu. Maka Ali ra. berkata, “Tuhan kita telah berfirman, ‘Maka aku katakan kepada mereka, ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, memperbanyak harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.’”
Begitulah amirul mukminin Ali bin Abi Thalib ra. Beliau memahami apa yang tidak kita pahami; istighfar dapat membuahkan banyak kebaikan. Hujan turun dari langit, harta benda menjadi banyak, dan manusia bisa mendapatkan anak. Begitulah hamba dalam kebersamaan dengan Allah Azza wa Jalla. Karena itu Ibnu Atha’ berkata, “Kepintaran apalagi yang dapat disandangkan pada orang pintar yang selalu memperturutkan hawa nafsunya? Dan kebodohan apalagi yang dapat disandangkan pada orang bodoh yang tidak memperturutkan hawa nafsunya?” Ibnu Atha’ menganggap bahwa kebodohan yang paling bodoh adalah memperturutkan hawa nafsu dan kepintaran yang paling pintar adalah tidak memperturutkan hawa nafsu. Kenapa demikian? Karena saat saya tidak memperturutkan hawa nafsu, saya bisa mendorong diri saya untuk mengerjakan ketaatan-ketaatan, saya dapat merasakan bahwa saya belum melakukan apa-apa, saya bisa merasa bahwa saya adalah orang yang lalai, dan saya khawatir amal saya tidak diterima oleh Allah Swt.
Firman Allah Swt., “Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.” Saat Aisyah ra. bertanya kepada Nabi Saw. tentang ayat ini, beliau menjawabnya, “Aisyah, mereka mengerjakan shalat dan menunaikan puasa, namun mereka khawatir amal-amal mereka tidak diterima.” Yakni, mereka merasa takut Allah Swt. tidak menerima amal perbuatan mereka. Mungkin pintu amal terbuka untukmu, tapi pintu penerimaan amal tertutup bagimu. Dan mungkin dosa mendatangimu supaya engkau bertaubat hingga menjadi penyebab sampainya dirimu kepada-Nya. Manusia tidak boleh memperturutkan hawa nafsunya. Jika ia memperturutkan hawa nafsunya, sangat disayangkan ia masuk ke fase kebodohan. Ibnu Atha’ berkata, “Pangkal segala maksiat, kelalaian, dan syahwat adalah pengumbaran nafsu. Dan pangkal segala ketaatan, kewaspadaan, dan kebajikan adalah pengekangan nafsu. Bersahabat dengan orang bodoh yang tidak memperturutkan hawa nafsunya lebih baik bagimu daripada bersahabat dengan orang pintar yang memperturutkan hawa nafsunya. Kepintaran apalagi yang dapat disandangkan pada orang pintar yang selalu memperturutkan hawa nafsunya? Dan kebodohan apalagi yang dapat disandangkan pada orang bodoh yang tidak memperturutkan hawa nafsunya?”
Ya Allah, bersihkanlah jiwa kami dan berilah ketakwaannya. Engkau adalah sebaik-baik Dzat yang membersihkannya, wahai Tuhan semesta alam. Dan semoga shalawat serta salam tetap tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad Saw., keluarga, dan para sahabatnya. Amin.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar