ABDUL HAMID MUDJIB HAMID BERSHOLAWAT

Selasa, 12 Juni 2012

QOLBU TIADA AKAN BERSINAR BILA TETAP DILEKATI GAMBARAN DUNIAWI

IBNU 'ATHO'ILLAH ASSAKANDARY: كَيْفَ يَشْرُقُ قَلْبٌ صُوَرُ اْلأَكْوَانِ مُنْطَبِعَةٌ فِيْ مِرْآتِهِ ، أَمْ كَيْفَ يَرْحَلُ إِلَى اللهِ وَهُوَ مُكَبَّلٌ بِشَهَواَتِهِ ، أَمْ كَيْفَ يَطْمَعُ أَنْ يَدْخُلَ حَضْرَةَ اللهِ وَهُوَ لمَ يَتَطَهَّرْ مِنْ جَناَيَةِ غَفَلاَتِهِ ، أَمْ كَيْفَ يَرْجُوْ أَنْ يَفْهَمَ دَقاَئِقَ اْلأَسْراَرِ وَهُوَ لَمْ يَتُبْ مِنْ هَفَواَتِهِ “Bagaimana kalbu akan bersinar, sementara gambaran dunia melekat pada cerminnya?! Bagaimana akan pergi menuju Allah, sementara ia terbelenggu oleh syahwatnya?! Bagaimana ingin masuk ke hadirat Allah, sementara ia belum membersihkan diri dari pidana kelalaiannya?! Bagaimana berharap bisa memahami berbagai rahasia, sementara ia belum bertobat dari kekeliruannya?!” Ini medan kontemplasi. Pergulatan antara kesadaran (ruh) dan kecenderungan (nafsu). Hati tidak akan tenang bersama-Nya bila kenyataannya nafsu masih lebih senang bersama makhluk-Nya. Tidak ada ibadah yang “menyejukkan” bila dunia masih tetap “memabukkan”. Sebab, hati adalah tempat bertemunya “cahaya” kebenaran dan “api” kecenderungan. Hati akan redup, bahkan gelap, bila kesadaran tersingkirkan. Hati bahkan bisa dipenuhi ilusi dan kelalaian. Lalu, kebenaran seperti apa yang akan kita peroleh? Terangilah hati, sempatkan diri meniti, untuk melangkah lebih hati-hati. Manusia adalah makhluk yang tersusun dari tanah bumi dan tiupan ruh dari Allah Swt. Tiap kali manusia menyinari tiupan ruh ini dengan ketaatan kepada Allah Swt., dengan berdzikir, dengan keikhlasan niat, dengan membetulkan jalannya, pada saat itu tingkat kerendahan tanah bumi akan menipis, kondisinya akan membaik, dan rintangan di hadapannya akan sirna. Namun, manusia harus memperhatikan bahwa hati itu bermacam-macam; ada hati yang tak pernah terlahir, ia masih menjadi janin di dalam rahim syahwat. Segala tindak tanduk hati ini sesuai dengan syahwatnya. Ada hati yang pemiliknya bertaubat kepada Allah Swt. dengan taubat nasuha. Hati ini kehidupannya mulai seperti cermin bening yang memantulkan citra yang bagus, serta ketaatan-ketaatan yang melapangkan dada dan menerangi hati. Ada juga hati yang sedang mendaki dari satu ketaatan ke ketaatan yang lain. Hati ini bagaikan burung yang terbang dari satu pohon ke pohon yang lain dan dari satu buah ke buah yang lain. Ia seperti tawon yang mengambil tepung sari dari tiap-tiap bunga. Saat itu ia seakan-akan mencium bau harum yang berupa sedekah, qiyamullail, silaturahim, beningnya hati, tawakal kepada Allah Swt., kesabaran, keyakinan, beramal karena Allah Swt., dan zuhud dalam hal dunia. Semua ini menunjukkan bahwa hati tersebut sedang mendaki. Ibnu Atha’ berkata, “Bagaimana kalbu akan bersinar, sementara gambaran dunia melekat pada cerminnya?!” yakni, dunia dan segala isinya yang terdiri dari persoalan-persoalannya. Kita mengerjakan shalat hanya untuk menggugurkan tanggungan. Kita puasa hanya dengan meninggalkan makan dan minum. Bahkan saat kita membaca al-Quran pun tanpa merenungi kandungannya. Firman Allah Swt., “Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Quran ataukah hati mereka terkunci.” (QS 47:24). Dunia sangat tidak mengenal cermin hati ini. Lihatlah hati Khalilullah Ibrahim as. saat ia masuk ke dalam ujian yang sangat sulit. “Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu.” (QS 37:102). Ini adalah ujian yang sangat sulit. Ia harus melaksanakan perintah Allah Swt. untuk menyembelih anaknya. Ini supaya tampak jelas bagi para malaikat dan seluruh manusia sepanjang masa bahwa di dalam hati khalilullah Ibrahim tidak ada yang lain kecuali hanya khalil(kekasih)nya, tidak ada yang lain kecuali hanya Allah Swt., walaupun itu anak kandungnya yang paling dekat dengannya, yang paling dicintainya, yang dianugerahkan kepadanya saat usia senja. Walaupun demikian, saat perintah untuk menyembelih putranya melalui mimpi itu datang – mimpi para nabi adalah mimpi yang benar –, kita semua tahu bahwa di dalam hati bapak para nabi ini tidak ada yang lain kecuali hanya Kekasihnya Swt. Karena itulah orang bijak Arab berkata, “Engkau telah menyibukkan titian jiwa dariku, karena itulah kekasih disebut kekasih.” Saat kecintaan kepada Allah Swt. telah bercabang-cabang di dalam hati nabi Ibrahim, di dalam hatinya tidak ada yang lain kecuali hanya Allah Azza wa Jalla. Di dalam hati ini tidak ada gambaran dunia yang melekat pada cerminnya. Hati juga membutuhkan nutrisi, sebagaimana tubuh membutuhkan nutrisi. Nutrisi hati adalah ketaatan, niat yang tulus, ikhlas, tekat yang kuat, cita-cita yang tinggi, tawakal kepada Allah Swt., keyakinan yang benar, dan percaya terhadap apa yang dimiliki oleh Allah Swt. Abu Bakar ra. berkata, “Demi Allah, wahai Rasulullah, sesungguhnya harta yang kami berikan kepadamu lebih kami cintai daripada harta yang ada di rumah kami.” Umar ibn Khatthab ra. berkata, “Demi Allah, sesungguhnya masuk Islamnya Abbas lebih aku sukai daripada masuk Islamnya ibn Khatthab.” Mereka bertanya, “Bagaimana bisa demikian, amirul mukminin?” Dia menjawab, “Karena masuk Islamnya Abbas dapat memberikan kebahagiaan pada hati Rasulullah Saw., sedangkan masuk Islamnya ibn Khatthab hanya memberikan kebahagiaan dalam hatiku. Dan memberikan kebahagiaan pada hati Rasulullah Saw. itu lebih utama dan lebih aku sukai daripada memberikan kebahagiaan dalam hatiku.” Lihatlah hati yang dipenuhi oleh rasa cinta kepada Rasulullah Saw. Bagaimana kalbu akan bersinar, sementara gambaran dunia melekat pada cerminnya?! Bagaimana akan pergi menuju Allah, sementara ia terbelenggu oleh syahwatnya? Orang yang pergi menuju Allah Swt. harus terbebas dari syahwat, karena syahwat adalah ibarat beban berat. Bayangkanlah, seeokor burung ingin terbang ke angkasa. Kemudian engkau ikatkan pada kaki burung itu batu yang lebih berat daripada berat tubuhnya. Apakah burung itu akan bisa terbang ke angkasa? Ia tidak akan bisa. Begitulah syahwat. Saat hati manusia terbelenggu oleh syahwat, ia tidak akan sampai kepada Allah Swt. Ada jenis hamba yang memiliki mata dan hati yang bisa melihat apa yang tidak bisa dilihat oleh orang yang melihat, dan sayap-sayap tanpa bulu yang terbang ke kerajaan Tuhan semesta alam. Mereka adalah para hamba yang melaksanakan firman Allah Swt., “Maka segeralah lari (kembali) kepada Allah.” (QS 51:50). Mereka lari kepada Allah Swt. dari segala sesuatu, maka mereka pun sampai kepada segala sesuatu. Karena kekuasaan berada di tangan Tuhan yang segala sesuatu berada di tangan-Nya Swt. Bagaimana akan pergi menuju Allah, sementara ia terbelenggu oleh syahwatnya? Bagaimana ingin masuk ke hadirat Allah, sementara ia belum membersihkan diri dari pidana kelalaiannya? Manusia berada dalam kelalaian. Seluruh dunia adalah sesuatu yang melalaikan. Kata bijak menyebutkan, “Manusia itu sedang tidur. Saat mereka meninggal dunia, mereka tersadar. Saat mereka tersadar, mereka menyesal. Padahal penyesalan tiada berguna saat datangnya siksa.” Lalai adalah lupa yang disengaja. Orang yang lupa tidak dibuat perhitungan atasnya oleh Allah Swt. Sabda Rasul Saw., “Sesungguhnya Allah memaafkan dari umatku sesuatu yang dilakukan karena salah, lupa, dan sesuatu yang dipaksakan kepadanya.” Allah Swt. tidak berfirman, “Janganlah kamu termasuk orang-orang yang lupa.” Tapi, Allah Swt. berfirman, “Janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” Jadi, lalai adalah lupa dengan disengaja. Kita dengan sengaja pura-pura lupa waktu shalat. Kita dengan sengaja pura-pura lupa waktu zakat. Kita pura-pura lupa bahwa menggosip dapat menyebabkan manusia masuk ke dalam banyak kesulitan. Aku katakan, hamba yang terbelenggu oleh syahwat, hatinya tidak akan mampu terbang kepada Allah Swt. Adapun orang yang telah memutus tali yang menambatkan hatinya dengan syahwat dan nafsu dunianya, dengan hati tersebut ia akan mampu terbang kepada Allah Swt. Bagaimana ingin masuk ke hadirat Allah, sementara ia belum membersihkan diri dari pidana kelalaiannya? Bagaimana berharap bisa memahami berbagai rahasia, sementara ia belum bertobat dari kekeliruannya? Hati itu orientasinya hanya dua; dunia atau akhirat. Namun, kehebatan Islam adalah ia tidak mendikotomikan antara pekerjaan dunia dan amalan akhirat. Setiap orang bisa menjadikan pekerjaan dunianya sebagai amalan akhirat dengan niat. Misal, aku tidur karena Allah, aku makan karena Allah, aku minum karena Allah, aku berolah-raga karena Allah, aku memberikan makanan karena Allah, aku memakai pakaian bagus karena Allah, aku tinggal di rumah yang bagus karena Allah, semua itu dilakukan demi memperoleh keridhaan Allah Swt. Sesungguhnya Allah Swt. ingin melihat efek nikmat-Nya pada hamba-Nya dan hamba-Nya menyadari bahwa yang memberikan semua itu adalah Allah Swt. Allah Swt. ingin melihat efek nikmat-Nya hingga Ia bisa berterima kasih dan bertambahlah nikmat-Nya. Firman Allah Swt., “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu.” Sedangkan manusia yang melakukan tindak pidana lalai – Ibnu Atha’ mengatakan, “Pidana kelalaiannya”. Kelalaian terhadap Allah Swt. Lalai terhadap Dzat Yang menganugerahinya kenikmatan-kenikmatan ini – ia tidak akan mampu memahami berbagai rahasia. Karena itulah, orang-orang shaleh bersabar, sebab mereka memahami buah yang akan mereka dapatkan. Seorang sahabat wanita saat jarinya terpotong dan darah mengucur darinya, ia tersenyum. Pembantunya pun bertanya, “Nyonya, Anda tersenyum sedangkan darah mengucur dari jari Anda.” Ia menjawab, “Saat aku merasakan manisnya buah ketaatan/kesabaran, aku lupa pahitnya rasa sakit.” “Bagaimana kalbu akan bersinar, sementara gambaran dunia melekat pada cerminnya?! Bagaimana akan pergi menuju Allah, sementara ia terbelenggu oleh syahwatnya?! Bagaimana ingin masuk ke hadirat Allah, sementara ia belum membersihkan diri dari pidana kelalaiannya?! Bagaimana berharap bisa memahami berbagai rahasia, sementara ia belum bertobat dari kekeliruannya?!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar