ABDUL HAMID MUDJIB HAMID BERSHOLAWAT

Selasa, 12 Juni 2012

KELUARLAH DARI SIFAT MANUSIAWIMU YG KONTRAVERSI DG PENGHAMBAAN-MU

IBNU 'ATHO'ILLAH ASSAKANDARY: اجرج من أوصاف بشريتك عن كل وصف يناقض عبوديتك لتكون لنداء الحق مجيبا ومن حضرته قريبا “Keluarlah dari sifat-sifat manusiawimu, yaitu dari semua sifat yang bertentangan dengan penghambaanmu, agar engkau dapat menyambut seruan Allah dan dekat dengan hadirat-Nya.” Bisakah orang yang menolak kebenaran dan meremehkan orang lain mendekat dengan benar pada sumber kebenaran? Bagaimana mungkin ada pengabdian (ibadah) bila kita tidak merasa diri sebagai hamba-Nya. Bersikaplah selayaknya sebagai hamba; hiduplah dalam keberserahan sepenuhnya. Agar hatimu jernih mendengar panggilan-Nya. Agar jiwamu damai bersama-Nya. Sungguh, bila engkau menyadari kehambaanmu di hadapan-Nya, engkau akan menikmati “jamuan” terindah dari-Nya. Jauhkan segala bentuk tabiat menyimpang agar langkahmu mendekati-Nya gampang. Jadikan hatimu lapang, agar nafsumu tidak menentang. Engkau akan temukan daya panggil menuju-Nya lebih kuat daripada daya tarik pada apapun. Manusia adalah manusia. Ia tercipta dari dua unsur; segumpal tanah dan satu tiupan ruh Allah Azza wa Jalla. Saat ia menyinari tiupan ruh ini dengan cahaya ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla, menjauhi apa yang dibenci oleh Allah Swt., serta istiqamah di jalan Allah Azza wa Jalla, maka akan semakin minim prosentasi kegelapan yang berasal dari gumpalan tanah, yang di dalamnya terdapat syahwat, kemarahan, melampaui batas hak orang lain, dan lain-lain. Karena manusia tercipta dari dua unsur ini, manusia terbagi menjadi dua golongan; manusia yang membersihkan diri, seperti firman Allah Swt., “Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu.” (QS 91:9) dan manusia yang rugi, seperti firman Allah Swt., “Dan sesungguhnya merugilah orang-orang yang mengotorinya.” (QS 91:10). Dua kelompok ini jelas berbeda; mereka yang beruntung membersihkan jiwa mereka dengan istighfar, taubat, mengerjakan amal shaleh, melakukan kebaikan-kebaikan, istiqamah di jalan Allah Azza wa Jalla., dan seterusnya. Sedangkan kelompok lain yang merugi, mereka mengejar syahwat mereka dan melupakan Tuhan mereka. Ketika seseorang melupakan Tuhannya, Tuhannya juga akan melupakannya, na’udzu billahi min dzalik. Allah Swt. berfirman, “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS 59:19). Secara alami manusia juga mempunyai sifat-sifat seperti malaikat; suka mensucikan jiwa, tidak mudah marah, hatinya cahaya, perbuatannya kebaikan, serta tidak bermaksiat kepada Allah Azza wa Jalla dengan sengaja. Jika ia melakukan kemaksiatan, ia segera memohon ampun kepada Allah Swt. Ada orang yang mempunyai sifat seperti cahaya karena banyaknya ketaatan kepada Allah, merenungkan kitab Allah, beribadah kepada Allah, melakukan amal shaleh, tidak menyimpan rasa dengki, hasud, atau benci di dalam hatinya kepada seorang pun, dan seterusnya. Pada saat ada orang yang memiliki sifat-sifat seperti ini, ada juga orang yang mempunyai sifat-sifat kebinatangan; suka menyakiti orang lain dan ingin merampas hak orang lain. Ia hanya menuruti insting-insting kebinatangannya. Akalnya, hatinya, dan ketakwaannya kepada Allah Swt. tidak mampu menghalanginya. Sebaliknya, seorang muslim memahami betul bahwa Allah Azza wa Jalla selalu menyertainya setiap saat, senantiasa mengawasinya, dan ada juga malaikat yang menyaksikan amal perbuatannya. Di antara kemurahan Allah Azza wa Jalla adalah saat Allah menerima taubat seorang hamba, Dia akan mengirim malaikat untuk menjaganya dan menjadikan tanah yang ditempati maksiat tidak memberikan kesaksian kepadanya pada hari Kiamat. Sayangnya beberapa orang lupa dengan kenyataan-kenyataan ini. Andaikata ia mau merenung dan mendengarkan sabda Rasul Saw., “Wahai Abu Dzar, perbaikilah kapal karena lautan itu dalam, perbaikilah layar karena rintangan itu membebani, perbanyaklah bekal karena perjalanan itu panjang, dan ikhlaskanlah niat karena pengawas itu Maha Melihat.” Harus ada niat ikhlas karena intinya bukan pada amal perbuatan. Intinya adalah ikhlas dalam beramal, sebab hanya ikhlas dalam beramallah yang bisa menempatkan amal pada posisi yang sebenarnya. Firman Allah Swt., “Aku adalah Dzat yang paling tidak butuh terhadap persekutuan, maka barangsiapa yang menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, Aku akan meninggalkannya bersama yang disekutukannya.” Misalnya, seorang beramal 99% karena Allah Swt., tapi 1% amalnya karena selain Allah Swt., maka Allah Swt. akan menolak seluruh amalnya. Seluruh amal harus dilakukan dengan ikhlas karena Allah Azza wa Jalla. Saat Ali bin Abi Thalib ra. menang melawan musuhnya dalam suatu pertempuran, musuhnya jatuh ke tanah, dan Ali ingin menghabisinya, orang itu meludahi wajah Ali. Ali pun menyarungkan pedangnya. Ketika orang-orang saling bertanya, “Apa yang telah terjadi, wahai amirul mukminin?” beliau menjawab, “Aku ingin membunuhnya karena Allah Azza wa Jalla, karena ia adalah musuh Allah dan Rasul-Nya. Namun ketika dia meludahi wajahku aku khawatir aku membunuhnya hanya demi membalas dendam untuk diriku sendiri. Aku memohon ampun kepada Allah Tuhan semesta alam.” Beliau tidak melanjutkan perbuatannya karena beliau merasa bahwa perbuatannya itu bukan karena Allah Swt. Saat amal tidak dilakukan semata-mata karena Allah Swt., maka manusia harus menilik kembali dirinya. “Keluarlah dari sifat-sifat manusiawimu, yaitu dari semua sifat yang bertentangan dengan penghambaanmu, agar engkau dapat menyambut seruan Allah dan dekat dengan hadirat-Nya.” Penghambaan hanyalah kepada Allah Swt. Manusia tidak boleh sombong karena hanya Allah-lah yang boleh menyombongkan diri. Manusia tidak perlu membalas, sebab Allah-lah yang akan membalas orang-orang kafir dan musuh-musuh-Nya. Jangan kuasai manusia dengan kekuasaanmu, hartamu, atau kedudukanmu. Jika engkau menyadari kekuasaanmu terhadap manusia, maka sadarilah kekuasaan Allah terhadapmu. “Keluarlah dari sifat-sifat manusiawimu, yaitu dari semua sifat yang bertentangan dengan penghambaanmu,” Kehambaan menuntut kerendahan kepada Allah Azza wa Jalla dan tawadhu’ kepada manusia. Sabda Rasul Saw., “Apakah kalian tahu siapa yang paling dekat tempat duduknya dariku pada hari Kiamat? Ialah sebaik-baik kalian akhlaknya, orang yang menyediakan diri untuk menolong orang lain, yang mengasihi dan dikasihi.” Engkau mungkin pernah bertemu dengan orang, yang apabila ia datang, kegembiraan ikut datang menyertainya. Namun ada juga orang yang apabila ia pergi berlalu, tampak kebahagiaan. Ada orang yang kehadirannya tidak diharapkan dalam kehidupan ini, sehingga ketika dia meninggal orang-orang dan para malaikat berkata, “Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah menentramkan masyarakat dan negeri ini dari orang itu.” Ada banyak orang yang tidak ingin kita lihat dalam kehidupan ini karena ia tidak pernah menanamkan kebaikan. Ada juga orang yang apabila ia pergi, orang-orang akan menanyakannya. Karena itulah orang-orang shaleh berpesan kepada kita, “Seyogyanya kamu menyertai manusia. Apabila kamu jauh dari mereka, mereka akan rindu padamu. Dan apabila kamu meninggal, mereka akan mengasihimu.” Sebaik-baik manusia adalah apabila ia pergi, orang-orang merindukannya; rindu untuk bertemu dengannya, rindu untuk duduk bersamanya, atau rindu untuk bercakap-cakap dengannya. Dan saat dia meninggal, orang-orang mengasihinya. Ini menunjukkan bahwa Allah Swt. menjadikan orang itu diterima di hati manusia. “Keluarlah dari sifat-sifat manusiawimu, yaitu dari semua sifat yang bertentangan dengan penghambaanmu,” Kehambaan harus tampak dengan menghinakan diri kepada Allah Swt., bahkan kepada orang-orang mukmin. Allah Swt. menggambarkan orang-orang mukmin sebagai orang-orang yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir dan bersikap lemah lembut terhadap kaum mukminin. Musibah yang tampak di hadapan kita adalah orang mukmin bersikap keras terhadap saudara mukminnya, keras terhadap suami/istrinya, keras terhadap pamannya, keras terhadap tetangganya, keras terhadap bawahannya, dan seterusnya. Sedangkan terhadap orang kafir sangat lemah lembut, bahkan ketakutan seperti tikus. Tetapi mukmin yang benar bersikap lemah lembut terhadap saudaranya dan bersikap keras terhadap orang-orang kafir. Begitulah gambaran orang-orang mukmin. Saat seseorang memakai selendang kesombongan, ia tidak akan keluar dari sifat-sifat kehambaannya. Seorang yang bersikap pongah terhadap makhluk, ia harus menilik kembali dirinya. Dalam sebuah kisah diceritakan bahwa seorang raja membangun sebuah istana. Kemudian seseorang disuruh menyerukan, “Barangsiapa yang bisa menunjukkan satu cacat saja di dalam istana ini, maka sang raja akan menunjuknya sebagai penasehatnya.” Para pakar dan insinyur pun berdatangan. Mereka berkeliling seputar istana. Setelah beberapa saat mengelilingi istana mereka pun kembali. Semuanya mengatakan, “Istana ini tidak ada cacatnya sama sekali.” Hingga masuklah seorang yang sudah tua renta berjalan dengan tongkatnya. Tanpa mengelilingi istana ia berkata, “Wahai raja, istanamu ini memiliki dua cacat. Istanamu ini memang megah, hanya saja di dalamnya terdapat dua cela.” Raja pun heran dan berkata, “Wahai orang, engkau berpendapat tentang istanaku tanpa melihatnya!” Dia berkata, “Dengarlah dua cacat ini.” Dia bertanya, “Apakah dua cacat itu?” Dia menjawab, “Hancurnya istana setelah beberapa masa, dan matinya pemiliknya setelah beberapa waktu.” Hanya Tuhanlah yang akan tetap abadi. Kita semua bersifat fana. Suatu saat kita pasti akan mati. Pada suatu hari istana itu akan hancur. Lihatlah kaum Ad; penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi (QS 89:7). Lihatlah kaum Tsamud dan hasil karya mereka. Lihatlah ratu Bilqis dan singgasananya. Semuanya sirna. Baik yang baik maupun yang buruk, semuanya lenyap, hanya menyisakan amal shaleh. “Keluarlah dari sifat-sifat manusiawimu, yaitu dari semua sifat yang bertentangan dengan penghambaanmu, agar engkau dapat menyambut seruan Allah dan dekat dengan hadirat-Nya.” Orang sombong tidak akan mau menerima nasehat. Orang yang tidak berhias diri dengan penghambaan dan kerendahan diri kepada Allah Swt. tidak akan bisa mengambil manfaat dari nasehat. Kita memohon kepada Allah Azza wa Jalla agar menjadikan kita termasuk orang-orang yang mau mendengarkan perkataan dan mengikuti yang baik, karena sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas hal itu. Dan semoga shalawat serta salam tetap tercurah kepada Nabi kita Muhammad Saw., para keluarga, dan para sahabatnya. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar