ABDUL HAMID MUDJIB HAMID BERSHOLAWAT

Kamis, 07 Juni 2012

Mengenal Alloh Dari Kelembutan-Nya dan KeperkasaanNya

================ مَتَى أَعْطاَكَ أَشْهَدَكَ بِرَّهُ ، وَمَتَى مَنَعَكَ أَشْهَدَكَ قَهْرَهُ ، فَهُوَ فِيْ كُلٍّ مُتَعَرِّفٌ إِلَيْكَ وَمُقْبِلٌ بِوُجُوْدِ لُطْفِهِ عَلَيْكَ Ibnu Atho'illah Assakandary berkata: “Ketika Dia memberimu, Dia persaksikan kebaikan-Nya. Ketika Dia tidak memberimu, Dia memperlihatkan keperkasaan-Nya. Pada semua itu Dia memperkenalkan diri kepadamu dan mendatangimu lewat kelembutan-Nya.” Rasakanlah sentuhan kelembutan-Nya kepadamu. Bagaikan sifat angin, kadang datang dengan tiupan sepoi-sepoi yang menyejukkan. Namun, di lain waktu, ia sekonyong-konyong menjadi topan yang meluluhlantakkan. Dalam dua kehadiran itu, yang kita temukan tetaplah angin. Begitulah Allah dalam cara-Nya menyapamu, membukakan tabir kedekatan-Nya melalui peristiwa berbeda. Satu waktu Allah menyapa kita melalui kesenangan dan karunia, tetapi lain waktu kita disapa oleh-Nya dengan kesempitan dan penderitaan. Meski berbeda cara-Nya menyapa, tapi sesungguhnya Allah menunjukkan kehadiran-Nya kepada kita. Pesan-Nya, saat sukses jangan lupa diri dan saat gagal jangan rendah diri. Bersama-Nya kita bisa! Adakalanya Allah Azza wa Jalla memberi, tapi adakalanya juga Dia tidak memberi. Kedua hal ini bagus bagi orang mukmin, seperti sabda Rasul Saw., “Seluruh persoalan orang mukmin itu mengagumkan; jika ia mendapatkan kebahagiaan kemudian bersyukur, itu bagus baginya. Dan jika ia tertimpa kesengsaraan kemudian bersabar, itu juga bagus baginya.” Ini hanya khusus bagi orang mukmin. Apabila yang memberi ujian adalah Allah, Dialah Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Hamba menyadari bahwa dengan ujian itu Allah ingin menghapus kesalahan-kesalahannya, atau hendak mengangkat derajatnya, atau menambah kebaikan-kebaikannya. Ia pun bersabar, karena sadar bahwa mereka yang dipuji oleh Tuhan adalah mereka yang ketika tertimpa musibah, mengucapkan, “Sesungguhnya kami adalah milik Allah.” Saat hamba tidak diberi, ia harus merenungkan ketidakdiberian ini; jika Dia tidak memberiku harta, bersyukurlah karena harta adalah titipan yang harus dikembalikan, dan mungkin aku jadi melampaui batas karena harta ini. Jika Dia tidak memberiku kedudukan, aku harus menyadari bahwa itu lebih baik bagi agama dan duniaku. Karena, seandainya aku menduduki kursi itu, aku mungkin bisa menganiaya orang lain, aku tidak layak menduduki kedudukan itu, atau kedudukan itu mengandung fitnah dan malapetaka, aku menjadi riya’, sombong, bangga diri, dll. Jika kesehatanku bermasalah, aku katakan, “Ini bisa menghapuskan dosa-dosa.” Abu Dzar berkata, “Aku senang lapar, senang sakit, dan suka kematian.” Ada yang berkomentar, “Wahai Abu Dzar, semua ini tidak ada yang suka.” Beliau menjawab, “Jika aku lapar, hatiku menjadi lembut. Apabila aku sakit, dosaku berkurang. Saat aku mati, aku bertemu Tuhanku.” Jadi, apabila hamba mendapatkan cobaan pada hartanya, tubuhnya, keluarganya, kesehatannya, atau semisal itu, ia harus bersyukur kepada Allah Azza wa Jalla, sebab yang penting cobaan itu tidak menimpa agamanya. Ulama berkata, “Aku memuji Allah Tuhan semesta alam saat mendapatkan musibah pada empat hal; musibah itu tidak menimpa agama, tidak lebih besar, Dia memberiku kesabaran atas musibah itu, dan Dia menjadikanku bersama orang-orang yang diuji.” Cobaan itu warisan Nabi. Apabila cobaan yang diterima sedikit, warisan kenabiannya juga sedikit. Kebaikan Allah Swt. sangat luas luas. Jika Allah Swt. memberi, jangan ditanya tentang sebab. Andaikata seluruh manusia bersepakat untuk berbuat baik padamu, mereka sama sekali tidak akan bisa berbuat baik padamu, kecuali apa yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. atasmu. Dan andaikata mereka bersepakat untuk mencelakaimu, mereka tidak akan mampu mencelakaimu kecuali apa yang telah ditentukan oleh Allah Swt. atasmu. Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering. Masalahnya bukan pada kesepakatan manusia untuk berbuat baik atau mencelakaimu, tapi apabila Allah Swt. menakdirkan sesuatu, Dia akan membuat jalannya. “Ketika Dia memberimu, Dia persaksikan kebaikan-Nya. Ketika Dia tidak memberimu, Dia memperlihatkan keperkasaan-Nya. Pada semua itu Dia memperkenalkan diri kepadamu dan mendatangimu lewat kelembutan-Nya.” Pada dua hal ini; baik dan perkasa, atau memberi dan tidak memberi, Allah Swt. mendekati hamba-Nya dan memperkenalkannya dengan kedermawanan-Nya. Sekali waktu dengan pemberian. Pada kali yang lain dengan tidak memberi. Sekali waktu dengan memberi kesehatan, pada kali yang lain dengan rasa sakit. Sekali waktu dengan kehidupan yang sulit, pada kali yang lain dengan kehidupan yang lapang. Sekali waktu dengan cinta manusia padanya, pada kali yang lain dengan siksaan manusia, karena Allah Swt. bermaksud engkau dapat mengambil kebaikan-kebaikan mereka saat mereka menggunjingmu atau menistakan kehormatanmu. Kata Imam Syafi’i, “Ya Allah, pagi-pagi aku sudah sedekah dengan kehormatanku pada kaum muslimin.” “Ketika Dia memberimu, Dia persaksikan kebaikan-Nya.” Dengan begitu engkau bisa melihat kebaikan Allah Swt., dan Engkau bisa memuji-Nya. “Ketika Dia tidak memberimu, Dia memperlihatkan keperkasaan-Nya.” Dengan begitu engkau bisa bersabar dan introspeksi diri. Di antara rasa syukur dan sabar inilah posisi seorang hamba. Agama ini adalah ungkapan sikap sabar dan rasa syukur. Engkau mungkin melihatnya sebagai musibah, tapi itu bukanlah musibah. Pada mulanya ketika ibu Nabi Musa as. melempar anaknya ke sungai, ia memandang itu adalah musibah. Tapi apa buah cobaan ini? Cobaan ini membuahkan sesuatu yang luar biasa, membuahkan Nabi. Membuahkan apa cobaan Allah Swt. kepada Nabi Ibrahim untuk menyembelih anaknya? Buah cobaan ini, kita bisa menyaksikan bagaimana kepatuhan seorang anak terhadap ayahnya dalam menjalankan perintah Allah Swt. Buah cobaan ini, seorang ayah mampu melaksanakan perintah Allah Swt. tanpa bermusyawarah dengan seorang pun, karena perintah Allah Swt. tidak perlu dimusyawarahkan. Saat Allah Swt. memerintahkan kita shalat, kita tidak boleh menimbang, “Saya shalat atau tidak?”. Saat Allah memerintahkan kita untuk membayar hutang, kita tidak boleh menimbang, “Saya bayar atau tidak?” Dalam kewajiban tidak ada musyawarah. Terkadang orang menyangsikan, “Bagaimana cobaan itu bisa kau katakan kelembutan Allah Swt.?” Ya, kau bawa seorang dokter untuk anakmu, saat suhu tubuh anakmu mencapai 40 derajat. Kata dokter, “Harus segera disuntik.” Suntikan itu menyakitkan bagi sang anak. Tapi dengan akalmu kau sadar bahwa kebaikan anak terdapat pada suntikan yang menyakitkan itu. Firman Allah Swt., “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS 2 : 216). Pada permulaan ayat Allah Swt. berfirman, “Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci.” Beberapa perkara wajib memang tidak disukai oleh watak manusia. Tapi siapa tahu bahwa sesuatu yang dibenci itu mengandung kebaikan dan sesuatu yang disuka itu berisi keburukan. Mungkin seseorang menyukai harta, padahal ia bisa membuatnya melampaui batas. Mungkin seseorang menghendaki kedudukan, sementara kedudukan itu bisa melalaikannya dari mengingat Allah Swt. Apabila manusia melalaikan shalat, ia akan dibangkitkan bersama Fir’aun, Haman, Qarun, dan Ubay bin Khalaf. Ada apa dengan mereka berempat? Kekuasaan, harta, dan perdagangan mencegah mereka dari menunaikan shalat. Mereka berempat dijadikan contoh karena mereka berada di dasar neraka Jahannam. Na’udzu billah. Tidak ada berkah pada perkara yang melalaikan dari berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla. Ya Allah, perlihatkanlah kebaikan-Mu kepada kami dan berilah kami kesabaran atas cobaan-Mu. Kenalkanlah kami kepada kitab-Mu dan syariat Nabi-Mu Saw. Ampunilah kami dan berilah kami rahmat. Sesungguhnya Engkau sebaik-baik Yang Maha Pengampun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar