ABDUL HAMID MUDJIB HAMID BERSHOLAWAT

Jumat, 28 Desember 2012

ABU MANSHUR AL-HALLAJ RA

 -------------------------------------------
 AL-HALLAJ
=========================
Nama lengkapnya adalah al-Husain bin Mansur, popular dipanggil dengan Abul Mughits, berasal dari penduduk Baidlo’ Persia, lalu berkembang dewasa di Wasith dan Iraq. Menurut catatan As-Sulamy, Al-Hallaj pernah berguru pada Al-Junaid al-Baghdady, Abul Husain an-Nury, Amr al-Makky, Abu Bakr al-Fuwathy dan guru - guru lainnya. Walau pun ia ditolak oleh sejumlah Sufi, namun ia diterima oleh para Sufi besar lainnya seperti Abul Abbad bin Atha’, Abu Abdullah Muhammad Khafif, Abul Qasim Al-Junaid, Ibrahim Nashru Abadzy. Mereka memuji dan membenarkan Al-Hallaj, bahkan mereka banyak mengisahkan dan memasukkannya sebagai golongan ahli haqiqat. Bahkan Muhammad bin Khafif berkomentar, “Al-Husain bin Manshur adalah seorang a’lim Robbany.”

Pada akhir hayatnya yang dramatik, Al-Hallaj dibunuh oleh penguasa zalim ketika itu, di dekat gerbang Ath-Thaq, pada hari Selasa di bulan Zulqaedah tahun 309 H.

Kelak pada perkembangannya, teori - teori Tasauf yang diungkapkan oleh Al-Hallaj, berkembang lebih jauh, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Araby, Al-Jiily, Ibnu Athaillah as-Sakandary, bahkan gurunya sendiri Al-Junaid punya Risalah (semacam Surat - surat Sufi) yang pandangan utuhnya sangat mirip dengan Al-Hallaj. Sayang Risalah tersebut tidak tersebar luas, sehingga misalnya mazhab Sufi Al-Junaid tidak difahami secara komprehensif pula. Menurut Prof Dr. KH Said Aqiel Sirraj, “Kalau orang membaca Rasailul Junaid, pasti orang akan faham tentang pandangan Al-Hallaj.”

Pandangan Al-Hallaj banyak dikafirkan oleh para Fuqaha’ yang biasanya hanya bicara soal halal dan haram. Sementara beberapa kalangan juga menilai, kesalahan Al-Hallaj, kerana ia telah membuka rahsia Tuhan yang seharusnya ditutupi. Kalimahnya yang sangat terkenal hingga saat ini, adalah “Ana al-Haq”, yang bererti, “Akulah Allah”.

Tentu, pandangan demikian menjadi heboh. Apalagi jika ungkapan tersebut difahami secara sepintas belaka atau bahkan tidak difahami sama sekali.

Para teologi, khususnya Ibnu Taymiyah tentu mengkafirkan Al-Hallaj dan termasuk juga mengkafirkan Ibnu Araby dengan tuduhan ke2nya adalah penganut Wahdatul Wujud atau pantheisme.

Padahal dalam seluruh pandangan Al-Hallaj tak satu pun kata atau kalimah yang menggunakan Wahdatul Wujud (kesatuan wujud antara hamba dengan Khaliq). Wahdatul Wujud atau yang disebut pantheisme hanyalah penafsiran keliru secara filosofi atas wacana - wacana Al-Hallaj. Bahkan yang lebih benar adalah Wahdatusy Syuhud (Kesatuan Penyaksian). Sebab yang manunggal itu adalah penyaksiannya bukan ZatNya dengan zat makhluk.Para pengkritik yang kontra Al-Hallaj, menurut Kiyai Abdul Ghafur, Sufi kontemporeri dewasa ini, melihat haqiqat hanya dari luar saja. Sedangkan Al-Hallaj melihatnya dari dalam. 

Sebagaimana Al-Ghazali melihat sebuah bangunan dari dalam dan dari luar, lalu menjelaskan isi dan bentuk bangunan itu kepada awam, sementara Ibnu Rusydi melihat bangunan hanya bentuk luarnya saja dan menjelaskannya kepada awam pula. Tentu jauh berbeza kesimpulan Al-Ghazali dan Ibnu Rusydi.

Setidak-tidaknya ada 3 keleompk besar dari kalangan Ulama, baik fuqaha’ maupun Sufi terhadap pandangan - pandangan Al-Hallaj ini. Mereka ada yang langsung kontra dan mengkafirkan; ada pula yang secara moderat tidak berkomentar dan ada yang langsung menerima dan mendukungnya. Menurut penelitian Dr. Abdul Qadir Mahmud, dalam bukunya Al-Falsafatush Shufiyah fil Islam, mengatakan:
  1. Mereka yang mngkafirkannya, antara lain adalah para Fuqaha’ formalis dan kalangan mazhab zahiriyah, seperti Ibnu daud dan Ibnu Hazm. Sedangkan dari kalangan Syi’ah Imamiyah antara lain Ibnu Babaweih al-Qummy, ath-Thusy dan al-Hilly. Dari kalangan mazhab Maliki antara lain Ath-Tharthusy, Iyyadh, Ibnu Khaldun. Dari kalangan mazhab Hanbaly antara lain Inu Taymiyah. Dan kalangan Syafi’iyah antara lain Al-Juwainy dan Ad-Zahaby.

    Sementara itu dari kalangan Mutakallimin yang mengkafirkan: Al-Jubba’i dan al-Qazwiny (Mu’tazilah); Nashiruddin ath-Thusy dan pengukutnya (Imamiyah); Al-Baqillany (Asy’ariyah); Ibnu Kamal dan al-Qaaly (Maturidiyah).

    Dari kalangan Sufi antara lain, Amr al-Makky dan kalangan Salaf, diantaranya juga para Sufi mutakhir, selain Ahmad ar-Rifai’y dan Abdul Karim al-Jily, keduanya tidak berkomentar.
  2. Mereka yang mendukung pandangan Al-Hallaj, dari kalangan Fuqaha’ antara lain: At-Tusytary dan Al-Amily (Imamiyah); Ad-Dilnajawy (Malikiyah); Ibnu Maqil dan an-Nabulisy (Hambaliyah),; Al-Maqdisy, Al-Yafi’y, Asy-Sya’rany dan Al-Bahtimy (Syafi’iyah). Dari kalangan Mutakallimin, Ibnu Khafif, Al-Ghazaly dan Ar-Razy (kalangan Asy’ary) serta kalangan Mutakallim Salaf.

    Dari kalangan Filosofi pendukungnya adalah Ibnu Thufail. Sedangkan dari kalangan Sufi antara lain asSuhrawardy al-Maqtul, Ibnu Atha’ as=Sulamy dan Al-Kalabadzy.
  3. Kelompok yang tidak berkomentar, dari kalangan Fuqaha’ antara lain: Ibnu Bahlul (Hambaliyah), Ibnu Suraij, Ibnu Hajar dan As-Suyuthy (Syafi’iyah).

    Dari kalangan Sufi antara lain, Al-Hushry, Al-Hujwiry, Abu Sa’id al-Harawy, Al-Jilany, Al-Baqly, Al-Aththar, Ibnu Araby, Jalaluddin ar-Ruumy, Ahmad Ar-Rifa’y dan Al-Jiily.
Kontroversi Al-Hallaj, sebenarnya terletak dari sejumlah ungkapan - ungkapannya yang sangat rahsia dan dalam, yang tidak boleh ditangkap secara substansial oleh mereka, khususnya para Fuqaha’ (ahli syariat). Sehingga Al-Hallaj dituduh anti syari’at, lalu ia harus disalib. Padahal tujuan utama Al-Hallaj adalah bicara soal haqiqat kehambaan dan Ketuhanan secara lebih telus.
Tudingan bahawa Al-Hallaj penganut Wahdatul Wujud semata juga kerana tidak memahami wahana puncak - puncak rohani Al-Hallaj sebagaimana dialami oleh para Sufi. Banyak sekali wacana Tasauf yang mirip dengan Al-Hallaj. Dan Al-Hallaj tidak pernah mengaku bahwa dirinya adalah Allah sebagaimana pengakuan Fir’aun dirinya adalah Tuhan. Dalam sejumlah wacananya, Al-Hallaj senantiasa menyatakan dirinya adalah seorang hamba yang hina dan fakir. Apa yang ditampakkan oleh Al-Hallaj adalah situasi dimana wahana ruhaninya menjadi dominan, sehingga kesedarannya hilang, sebagaimana mereka yang sedang jatuh cinta di puncaknya atau mereka yang sedang terkejut dalam waktu yang lama.

Al-Hallaj tetap berpijak pada pandangan Al-Fana’, Fana’ul Fana’ dan al-Baqa’, sebagaimana dalam wacana - wacana Sufi lainnya.
Al-Hallaj juga tidak pernah mengajak umat untuk melakukan tindakan Hulul. Sebab apa yang dikatakan semuanya merupakan Penyaksian kepada Allah atau sebagai sikap murni dari seorang Sufi yang sangat dalam.

Sejarawan Al-Baghdady mengisahkan tragedi kematian dan peradilannya:
“Ketika mereka hendak membunuh Al-Husain bin Mansur Al-Hallaj, para Fuqaha’ dan Ulama dihadirkan, sementara Al-Hallaj diseret di hadapan Sultan. Para dewan kepolisian juga dihadirkan di sisi barat, tepatnya di hari Selasa, bulan zulqaedah Minggu ke2, TAHUN 309. Ia dicambuk sekitar 1,000 kali cambukan, lalu kedua kakinya dipotong, menyusul kedua tangannya, lalu lehernya ditebas. Lalu tubuhnya dibakar dengan api. 

Kepalanya yang dipenggal itu diangkat, ditunjukkan kepada awam dalam jeriji besi, sementara kedua tangan dan kakinya diletakkan di sisi kepalanya. Ketika Al-Hallaj mendekati saat-saat penyaliban, ia membisikkan kata-kata, “Wahai yang menolong kefanaan padaku…tolonglah diriku dalam kefanaan….Tuhanku, Engkau mengasihi orang yang menyakitiMu, maka bagaimana engkau tidak mengasihi orang yang lara dalam DiriMu…Cukuplah yang satu menunggalkan yang satu bagiNya….”. Lalu ia membaca sebuah ayat, “
Sebelum meninggal dengan hukuman tragik itu, Al-Hallaj mengalami hidup dari 1 tahanan ke tahanan lainnya, akibat iri dan kedengkian para Fuqaha’ dan para Ulama yang merasa tersaingi oleh pengaruh Al-Hallaj yang mulai meluas. Boleh jadi penguasa sangat terpengaruh pula oleh bahaya massa Al-Hallaj. Kalau Al-Hallaj harus dihukum mati dengan disalib, sebagaimana pernah ia ramalkan sendiri, adalah kerana ia harus menghadapi ketidakberdayaan kekuasaan. Tetapi sekali lagi, Al-Hallaj adalah penganut amaliyah Syariat yang sangat patuh, yang digambarkan, sebagai susuk yang hafiz Al-Qur’an, tekun solat sepanjang malam, puasa sepanjang siang dan melakukan ibadah haji berulang kali. Hukuman mati baginya, sama sekali tidak ada kaitannya dengan legitimasi bahawa dirinya salah dan benar.

Rasanya Tragedi Al-Hallaj menjadi hikmah yang luar biasa dalam perkembangan Tasauf. Mereka akan mehamami substansi Al-Hallaj, manakala mereka juga menjalankan dan merasakan apa yang dialami oleh Al-Hallaj. Sekadar menuduh Al-Hallaj begini dan begitu, tanpa pernah menghayati substansi terdalam dalam praktik Sufisme, siapa pun akan selalu gagal memahaminya.

Ada ungkapan Sufi yang sangat arif boleh jadi renungan kita bersama untuk sekadar merasakan sedikit dari rasa Al-Hallaj. “Orang yang sedang tenggelam di lautan, tidak akan pernah boleh bicara, bercerita, berkata-kata, tentang tenggelam itu sendiri. Ketika ia sudah timbul dari tenggelam dan sedar, baru ia bicara tentang kisah rahsia tenggelam tadi. Ketika ia bicara tentang tenggelam itu, kedudukannya bukan lagi sebagai amaliyah tenggelam, tetapi sekadar ilmu tentang tenggelam.

Bezakan antara amal dan ilmu. Sebab banyak salah faham orang yang menghayati tenggelam, tidak dari amalnya, tetapi dari ilmunya. Maka muncullah salah
faham dalam memahami tenggelam itu sendiri.”
Diantara Ucapan-ucapan Al-Hallaj :
  1. Allah menghijab mereka dengan Nama, lantas mereka pun menjadi hidup. Seandainya Dia menampakkan Ilmu Qudrat pada mereka, mereka akan hangus. Seandainya hijab haqiqat itu disingkapkan nescaya mereka mati semua.
  2. Tuhanku, Engkau tahu kelemahanku jauh dari rasa bersyukur kepadaMu, kerana itu bersykurlah pada DiriMu bukan dariku, karena itulah sesungguhnya Syukur, bukan yang lain.
  3. Siapa yang mengandalkan amalnya ia akan tertutupi dari yang menerima amal. Siapa yang mengandalkan Allah yang menerima amal, maka ia akan tertutupi dari amal.
  4. Asma' - asma' Allah Ta’ala dari segi pemahaman adalah Nama ansich, tapi dari segi kebenaran adalah haqiqat.
  5. Bisikan Allah adalah bisikan yang sama sekali tidak mengandung kontra.
  6. Suatu ketika Al-Hallaj ditanya tentang al-Murid, “Ia adalah orang yang dilemparkan menuju kepada Allah dan tidak akan berhenti naik sampai ketika ia sampai.”
  7. Sama sekali tidak diperbolehkan orang yang mengenal Allah Yang Maha Tunggal atau mengingat Yang Maha Tunggal, lalu ia mengatakan, “Aku mengenal Al-Ahad” padahal ia masih melihat individu - individu lainnya.
  8. Siapa yang dimabukkan oleh cahaya - cahaya Tauhid, ia akan tertupi dari ungkapan - ungkapan Tajrid (menyendiri bersama Allah). Bahkan, siapa yang dimabukkan oleh cahaya - cahaya Tajrid, ia akan bicara dengan haqiqat Tauhid, kerena kemabukan itulah yang bicara dengan segala hal yang tersembunyi.
  9. Siapa yang menempuh kebenaran dengan cahaya Iman, maka ia seperti pencari matahari dengan cahaya bintang gemilang.
  10. Ketika Allah mewujudkan jasad tanpa sebab, demikian pula Allah mewujudkan sifat jasad itu tanpa sebab, sebagaimana hamba tidak memiliki asal usul pekerjaannya, maka, hamba itu pun tidak memiliki pekerjaannya.
  11. Sesungguhnya Allah Ta’ala, Maha Pemberi Berkat dan Maha Luhur, serta Maha Terpuji, adalah Zat Yang Esa, Berdiri dengan DiriNya Sendiri, Sendiri dari yang lain dengan Sifat QidamNya, tersendiri dari yang lainNya dengan KetuhananNya, tidak dicampuri oleh apa pun dan tidak didampingi apa pun, tidak diliputi tempat, tidak pula di temukan waktu, tidak mampu difikirkan dan tidak boleh tercetus dalam imaginasi, tidak pula boleh dilihat pandangan, tidak boleh darusi kesenjangan.
  12. Akulah Al-Haq, dan Al-Haq (Allah) Benar, Mengenakan ZatNya, di sana tak ada lagi perbezaan.
  13. Ketika ditanya tentang Tauhid,ia menjawab, “Memisahkan yang baru dengan Yang Maha Dahulu, lalu berpaling dari yang baru dan menghadap kepada Yang Maha Dahulu dan itulah hamparan Tauhid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar