-------------------------------------------
AL-HALLAJ
=========================
Nama lengkapnya adalah al-Husain bin Mansur, popular dipanggil dengan Abul Mughits, berasal dari penduduk Baidlo’ Persia, lalu berkembang dewasa di Wasith dan Iraq.
Menurut catatan As-Sulamy, Al-Hallaj pernah berguru pada Al-Junaid
al-Baghdady, Abul Husain an-Nury, Amr al-Makky, Abu Bakr al-Fuwathy dan
guru - guru lainnya. Walau pun ia ditolak oleh sejumlah Sufi, namun ia
diterima oleh para Sufi besar lainnya seperti Abul Abbad bin Atha’, Abu
Abdullah Muhammad Khafif, Abul Qasim Al-Junaid, Ibrahim Nashru Abadzy.
Mereka memuji dan membenarkan Al-Hallaj, bahkan mereka banyak
mengisahkan dan memasukkannya sebagai golongan ahli haqiqat. Bahkan
Muhammad bin Khafif berkomentar, “Al-Husain bin Manshur adalah seorang
a’lim Robbany.”
Pada
akhir hayatnya yang dramatik, Al-Hallaj dibunuh oleh penguasa zalim
ketika itu, di dekat gerbang Ath-Thaq, pada hari Selasa di bulan
Zulqaedah tahun 309 H.
Kelak
pada perkembangannya, teori - teori Tasauf yang diungkapkan oleh
Al-Hallaj, berkembang lebih jauh, seperti yang dilakukan oleh Ibnu
Araby, Al-Jiily, Ibnu Athaillah as-Sakandary, bahkan gurunya sendiri
Al-Junaid punya Risalah (semacam Surat - surat Sufi) yang pandangan
utuhnya sangat mirip dengan Al-Hallaj. Sayang Risalah tersebut tidak
tersebar luas, sehingga misalnya mazhab Sufi Al-Junaid tidak difahami
secara komprehensif pula. Menurut Prof Dr. KH Said Aqiel Sirraj, “Kalau
orang membaca Rasailul Junaid, pasti orang akan faham tentang pandangan
Al-Hallaj.”
Pandangan
Al-Hallaj banyak dikafirkan oleh para Fuqaha’ yang biasanya hanya
bicara soal halal dan haram. Sementara beberapa kalangan juga menilai,
kesalahan Al-Hallaj, kerana ia telah membuka rahsia Tuhan yang
seharusnya ditutupi. Kalimahnya yang sangat terkenal hingga saat ini, adalah “Ana al-Haq”, yang bererti, “Akulah Allah”.
Tentu,
pandangan demikian menjadi heboh. Apalagi jika ungkapan tersebut
difahami secara sepintas belaka atau bahkan tidak difahami sama sekali.
Para
teologi, khususnya Ibnu Taymiyah tentu mengkafirkan Al-Hallaj dan
termasuk juga mengkafirkan Ibnu Araby dengan tuduhan ke2nya adalah
penganut Wahdatul Wujud atau pantheisme.
Padahal
dalam seluruh pandangan Al-Hallaj tak satu pun kata atau kalimah yang
menggunakan Wahdatul Wujud (kesatuan wujud antara hamba dengan Khaliq).
Wahdatul Wujud atau yang disebut pantheisme hanyalah penafsiran keliru
secara filosofi atas wacana - wacana Al-Hallaj. Bahkan yang lebih benar
adalah Wahdatusy Syuhud (Kesatuan Penyaksian). Sebab yang manunggal itu
adalah penyaksiannya bukan ZatNya dengan zat makhluk.Para pengkritik
yang kontra Al-Hallaj, menurut Kiyai Abdul Ghafur, Sufi kontemporeri
dewasa ini, melihat haqiqat hanya dari luar saja. Sedangkan Al-Hallaj
melihatnya dari dalam.
Sebagaimana
Al-Ghazali melihat sebuah bangunan dari dalam dan dari luar, lalu
menjelaskan isi dan bentuk bangunan itu kepada awam, sementara Ibnu
Rusydi melihat bangunan hanya bentuk luarnya saja dan menjelaskannya
kepada awam pula. Tentu jauh berbeza kesimpulan Al-Ghazali dan Ibnu
Rusydi.
Setidak-tidaknya
ada 3 keleompk besar dari kalangan Ulama, baik fuqaha’ maupun Sufi
terhadap pandangan - pandangan Al-Hallaj ini. Mereka ada yang langsung
kontra dan mengkafirkan; ada pula yang secara moderat tidak berkomentar
dan ada yang langsung menerima dan mendukungnya. Menurut penelitian Dr.
Abdul Qadir Mahmud, dalam bukunya Al-Falsafatush Shufiyah fil Islam,
mengatakan:
- Mereka
yang mngkafirkannya, antara lain adalah para Fuqaha’ formalis dan
kalangan mazhab zahiriyah, seperti Ibnu daud dan Ibnu Hazm.
Sedangkan dari kalangan Syi’ah Imamiyah antara lain Ibnu Babaweih
al-Qummy, ath-Thusy dan al-Hilly. Dari kalangan mazhab Maliki
antara lain Ath-Tharthusy, Iyyadh, Ibnu Khaldun. Dari kalangan mazhab
Hanbaly antara lain Inu Taymiyah. Dan kalangan Syafi’iyah antara lain
Al-Juwainy dan Ad-Zahaby.
Sementara itu dari kalangan Mutakallimin yang mengkafirkan: Al-Jubba’i dan al-Qazwiny (Mu’tazilah); Nashiruddin ath-Thusy dan pengukutnya (Imamiyah); Al-Baqillany (Asy’ariyah); Ibnu Kamal dan al-Qaaly (Maturidiyah).
Dari kalangan Sufi antara lain, Amr al-Makky dan kalangan Salaf, diantaranya juga para Sufi mutakhir, selain Ahmad ar-Rifai’y dan Abdul Karim al-Jily, keduanya tidak berkomentar. - Mereka
yang mendukung pandangan Al-Hallaj, dari kalangan Fuqaha’ antara
lain: At-Tusytary dan Al-Amily (Imamiyah); Ad-Dilnajawy
(Malikiyah); Ibnu Maqil dan an-Nabulisy (Hambaliyah),; Al-Maqdisy,
Al-Yafi’y, Asy-Sya’rany dan Al-Bahtimy (Syafi’iyah). Dari kalangan
Mutakallimin, Ibnu Khafif, Al-Ghazaly dan Ar-Razy (kalangan
Asy’ary) serta kalangan Mutakallim Salaf.
Dari kalangan Filosofi pendukungnya adalah Ibnu Thufail. Sedangkan dari kalangan Sufi antara lain asSuhrawardy al-Maqtul, Ibnu Atha’ as=Sulamy dan Al-Kalabadzy. - Kelompok
yang tidak berkomentar, dari kalangan Fuqaha’ antara lain: Ibnu
Bahlul (Hambaliyah), Ibnu Suraij, Ibnu Hajar dan As-Suyuthy
(Syafi’iyah).
Dari kalangan Sufi antara lain, Al-Hushry, Al-Hujwiry, Abu Sa’id al-Harawy, Al-Jilany, Al-Baqly, Al-Aththar, Ibnu Araby, Jalaluddin ar-Ruumy, Ahmad Ar-Rifa’y dan Al-Jiily.
Kontroversi
Al-Hallaj, sebenarnya terletak dari sejumlah ungkapan - ungkapannya
yang sangat rahsia dan dalam, yang tidak boleh ditangkap secara
substansial oleh mereka, khususnya para Fuqaha’ (ahli syariat). Sehingga
Al-Hallaj dituduh anti syari’at, lalu ia harus disalib. Padahal tujuan
utama Al-Hallaj adalah bicara soal haqiqat kehambaan dan Ketuhanan
secara lebih telus.
Tudingan
bahawa Al-Hallaj penganut Wahdatul Wujud semata juga kerana tidak
memahami wahana puncak - puncak rohani Al-Hallaj sebagaimana dialami
oleh para Sufi. Banyak sekali wacana Tasauf yang mirip dengan Al-Hallaj.
Dan Al-Hallaj tidak pernah mengaku bahwa dirinya adalah Allah
sebagaimana pengakuan Fir’aun dirinya adalah Tuhan. Dalam sejumlah
wacananya, Al-Hallaj senantiasa menyatakan dirinya adalah seorang hamba
yang hina dan fakir. Apa yang ditampakkan oleh Al-Hallaj adalah situasi
dimana wahana ruhaninya menjadi dominan, sehingga kesedarannya hilang,
sebagaimana mereka yang sedang jatuh cinta di puncaknya atau mereka yang
sedang terkejut dalam waktu yang lama.
Al-Hallaj tetap berpijak pada pandangan Al-Fana’, Fana’ul Fana’ dan al-Baqa’, sebagaimana dalam wacana - wacana Sufi lainnya.
Al-Hallaj
juga tidak pernah mengajak umat untuk melakukan tindakan Hulul. Sebab
apa yang dikatakan semuanya merupakan Penyaksian kepada Allah atau
sebagai sikap murni dari seorang Sufi yang sangat dalam.
Sejarawan Al-Baghdady mengisahkan tragedi kematian dan peradilannya:
“Ketika
mereka hendak membunuh Al-Husain bin Mansur Al-Hallaj, para Fuqaha’ dan
Ulama dihadirkan, sementara Al-Hallaj diseret di hadapan Sultan. Para
dewan kepolisian juga dihadirkan di sisi barat, tepatnya di hari Selasa,
bulan zulqaedah Minggu ke2, TAHUN 309. Ia dicambuk sekitar 1,000 kali
cambukan, lalu kedua kakinya dipotong, menyusul kedua tangannya, lalu
lehernya ditebas. Lalu tubuhnya dibakar dengan api.
Kepalanya
yang dipenggal itu diangkat, ditunjukkan kepada awam dalam jeriji besi,
sementara kedua tangan dan kakinya diletakkan di sisi kepalanya. Ketika
Al-Hallaj mendekati saat-saat penyaliban, ia membisikkan kata-kata,
“Wahai yang menolong kefanaan padaku…tolonglah diriku dalam
kefanaan….Tuhanku, Engkau mengasihi orang yang menyakitiMu, maka
bagaimana engkau tidak mengasihi orang yang lara dalam DiriMu…Cukuplah
yang satu menunggalkan yang satu bagiNya….”. Lalu ia membaca sebuah
ayat, “
Sebelum
meninggal dengan hukuman tragik itu, Al-Hallaj mengalami hidup dari 1
tahanan ke tahanan lainnya, akibat iri dan kedengkian para Fuqaha’ dan
para Ulama yang merasa tersaingi oleh pengaruh Al-Hallaj yang mulai
meluas. Boleh jadi penguasa sangat terpengaruh pula oleh bahaya massa
Al-Hallaj. Kalau Al-Hallaj harus dihukum mati dengan disalib,
sebagaimana pernah ia ramalkan sendiri, adalah kerana ia harus
menghadapi ketidakberdayaan kekuasaan. Tetapi sekali lagi, Al-Hallaj
adalah penganut amaliyah Syariat yang sangat patuh, yang digambarkan,
sebagai susuk yang hafiz Al-Qur’an, tekun solat sepanjang malam, puasa
sepanjang siang dan melakukan ibadah haji berulang kali. Hukuman mati
baginya, sama sekali tidak ada kaitannya dengan legitimasi bahawa
dirinya salah dan benar.
Rasanya
Tragedi Al-Hallaj menjadi hikmah yang luar biasa dalam perkembangan
Tasauf. Mereka akan mehamami substansi Al-Hallaj, manakala mereka juga
menjalankan dan merasakan apa yang dialami oleh Al-Hallaj. Sekadar
menuduh Al-Hallaj begini dan begitu, tanpa pernah menghayati substansi
terdalam dalam praktik Sufisme, siapa pun akan selalu gagal memahaminya.
Ada
ungkapan Sufi yang sangat arif boleh jadi renungan kita bersama untuk
sekadar merasakan sedikit dari rasa Al-Hallaj. “Orang yang sedang
tenggelam di lautan, tidak akan pernah boleh bicara, bercerita,
berkata-kata, tentang tenggelam itu sendiri. Ketika ia sudah timbul dari
tenggelam dan sedar, baru ia bicara tentang kisah rahsia tenggelam
tadi. Ketika ia bicara tentang tenggelam itu, kedudukannya bukan lagi
sebagai amaliyah tenggelam, tetapi sekadar ilmu tentang tenggelam.
Bezakan
antara amal dan ilmu. Sebab banyak salah faham orang yang menghayati
tenggelam, tidak dari amalnya, tetapi dari ilmunya. Maka muncullah salah
faham dalam memahami tenggelam itu sendiri.”
Diantara Ucapan-ucapan Al-Hallaj :
Diantara Ucapan-ucapan Al-Hallaj :
- Allah menghijab mereka dengan Nama, lantas mereka pun menjadi hidup. Seandainya Dia menampakkan Ilmu Qudrat pada mereka, mereka akan hangus. Seandainya hijab haqiqat itu disingkapkan nescaya mereka mati semua.
- Tuhanku, Engkau tahu kelemahanku jauh dari rasa bersyukur kepadaMu, kerana itu bersykurlah pada DiriMu bukan dariku, karena itulah sesungguhnya Syukur, bukan yang lain.
- Siapa yang mengandalkan amalnya ia akan tertutupi dari yang menerima amal. Siapa yang mengandalkan Allah yang menerima amal, maka ia akan tertutupi dari amal.
- Asma' - asma' Allah Ta’ala dari segi pemahaman adalah Nama ansich, tapi dari segi kebenaran adalah haqiqat.
- Bisikan Allah adalah bisikan yang sama sekali tidak mengandung kontra.
- Suatu ketika Al-Hallaj ditanya tentang al-Murid, “Ia adalah orang yang dilemparkan menuju kepada Allah dan tidak akan berhenti naik sampai ketika ia sampai.”
- Sama sekali tidak diperbolehkan orang yang mengenal Allah Yang Maha Tunggal atau mengingat Yang Maha Tunggal, lalu ia mengatakan, “Aku mengenal Al-Ahad” padahal ia masih melihat individu - individu lainnya.
- Siapa yang dimabukkan oleh cahaya - cahaya Tauhid, ia akan tertupi dari ungkapan - ungkapan Tajrid (menyendiri bersama Allah). Bahkan, siapa yang dimabukkan oleh cahaya - cahaya Tajrid, ia akan bicara dengan haqiqat Tauhid, kerena kemabukan itulah yang bicara dengan segala hal yang tersembunyi.
- Siapa yang menempuh kebenaran dengan cahaya Iman, maka ia seperti pencari matahari dengan cahaya bintang gemilang.
- Ketika Allah mewujudkan jasad tanpa sebab, demikian pula Allah mewujudkan sifat jasad itu tanpa sebab, sebagaimana hamba tidak memiliki asal usul pekerjaannya, maka, hamba itu pun tidak memiliki pekerjaannya.
- Sesungguhnya Allah Ta’ala, Maha Pemberi Berkat dan Maha Luhur, serta Maha Terpuji, adalah Zat Yang Esa, Berdiri dengan DiriNya Sendiri, Sendiri dari yang lain dengan Sifat QidamNya, tersendiri dari yang lainNya dengan KetuhananNya, tidak dicampuri oleh apa pun dan tidak didampingi apa pun, tidak diliputi tempat, tidak pula di temukan waktu, tidak mampu difikirkan dan tidak boleh tercetus dalam imaginasi, tidak pula boleh dilihat pandangan, tidak boleh darusi kesenjangan.
- Akulah Al-Haq, dan Al-Haq (Allah) Benar, Mengenakan ZatNya, di sana tak ada lagi perbezaan.
- Ketika ditanya tentang Tauhid,ia menjawab, “Memisahkan yang baru dengan Yang Maha Dahulu, lalu berpaling dari yang baru dan menghadap kepada Yang Maha Dahulu dan itulah hamparan Tauhid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar