-------------------------------------
Pada masa jayanya (1568-1813)
wilayahnya meliputi daerah yang sekarang dikenal dengan daerah Serang,
Pandeglang, Lebak, dan Tangerang. Sejak abad ke-16 sampai abad ke-19,
Banten mempunyai arti dan peranan yang penting dalam penyebaran dan
pengembangan Islam di Nusantara, khususnya di daerah Jawa Barat,
Jakarta, Lampung, dan Sumatera Selatan. Kota Banten terletak di pesisir
Selat Sunda dan merupakan pintu gerbang lintas Sumatra dan Jawa. Posisi
Banten yang sangat strategis ini menarik perhatian penguasa di Demak
untuk menguasainya. Pada tahun 1525-1526 Syarif Hidayatullah atau Sunan
Gunung Jati berhasil menguasai Banten.
Sebelum berwujud sebagai suatu
kesultanan, wilayah Banten termasuk bagian dari Kerajaan Sunda
Pajajaran. Agama resmi kerajaan ketika itu adalah agama Hindu. Pada awal
abad ke-16, yang berkuasa di Banten adalah Prabu Pucuk Umum dengan
pusat pemerintahan Kabupaten di Banten Girang (Banten Hulu). Surosowan
(Banten Lor) hanya berfungsi sebagai kota pelabuhan. Menurut berita
Joade Barros (1516), salah seorang pelaut Portugis, di antara
pelabuhan-pelabuhan yang tersebar di wilayah Pajajaran, pelabuhan Sunda
Kelapa dan Banten merupakan pelabuhan yang besar dan ramai dikunjungi
pedagang-pedagang dalam dan luar negeri. Dari sanalah sebagian besar
lada dan hasil negeri lainnya diekspor. Oleh karena itu, Banten pada
masa lalu adalah potret sebuah kota metropolitan dan menjadi pusat
perkembangan pemerintah Kesultanan Banten yang sempat mengalami masa
keemasan selama kurang lebih tiga abad.
Menurut Babad Pajajaran, proses awal
masuknya Islam di Banten mulai ketika Prabu Siliwangi, salah seorang
raja Pajajaran, sering melihat cahaya yang menyala-nyala di langit.
Untuk mencari keterangan tentang cahaya itu, ia mengutus Prabu Kian
Santang, sampai ke Mekah. Di sana ia memperoleh berita, cahaya yang
dimaksud adalah nur Islam dan cahaya kenabian. Ia kemudian memeluk agama
Islam dan kembali ke Pajajaran untuk mengislamkan masyarakat. Upaya
yang dilakukan Kian Santang hanya berhasil mengislamkan sebagian
masyarakat, sedangkan yang lainnya menyingkirkan diri. Akibatnya,
Pajajaran menjadi berantakan. Legenda yang dituturkan dalam Babad
Pajajaran ini merupakan sebuah refleksi adanya pergeseran kekuasaan dari
raja pra-Islam kepada penguasa baru Islam.
Sumber lain menyebutkan ketika Raden
Trenggono dinobatkan sebagai sultan Demak yang ketiga (1524), ia makin
gigih berupaya menghancurkan Portugis di Nusantara. Di lain pihak,
Pajajaran justru menjalin perjanjian persahabatan dengan Portugis
sehingga mendorong hasrat Sultan Trenggona menghancurkan Pajajaran.
Untuk itu, ia menugaskan Fatahillah, panglima perang Demak menyerbu,
Banten (bagian dari wilayah Pajajaran) bersama dua ribu pasukannya.
Dalam perjalanan menuju Banten, mereka singgah untuk menemui mertuanya,
Syarif Hidayatullah di Cirebon. Pasukan Demak dan pasukan Cirebon
bergabung menuju Banten di bawah pimpinim Syarif Hidayatullah,
Fatahillah, Dipati Keling, dan Dipati Cangkuang. Sementara itu, di bawah
pimpinan Maulana Hasanuddin melawan penguasa Pajajaran.
Gabungan pasukan Demak dan Cirebon
bersama dengan laskar-marinir Maulana Hasanuddin tidak banyak mengalami
kesulitan dalam menguasai Banten. Pada tahun 1526, mereka berhasil
merebut Banten dari Pajajaran. Pusat pemerintahan yang semula
berkedudukan di Banten Girang dipindahkan ke Surosowan. Dilihat dari
sudut ekonomi dan politik, pemindahan pusat pemerintahan ini dimaksudkan
memudahkan hubungan antara pesisir Sumatra sebelah barat melalui Selat
Sunda dan Selat Malaka. Situasi ini berkaitan pula dengan situasi dan
kondisi politik di Asia Tenggara. Pada masa itu, Malaka jatuh di bawah
kekuasaan Portugis sehingga pedagang-pedagang yang enggan berhubungan
dengan Portugis mengalihkan jalur perdagangannya ke Selat Sunda. Sejak
saat itulah semakin ramai kapal-kapal dagang mengunjungi Banten. Kota
Surosowan (Banten Lor) didirikan sebagai ibu kota Kesultanan Banten atas
petunjuk Syarif Hidayatullah kepada putranya, Maulana Hasanuddin, kelak
jadi sultan banten pertama.
Atas penunjukan sultan Demak, pada tahun
1526 Maulana Hasanuddin diangkat sebagai bupati Kadipaten Banten. Pada
tahun 1552 Kadipaten Banten diubah menjadi negara bagian Demak dengan
tetap mempertahankan Maulana Hasanuddin sebagai sultannya. Ketika
kesultanan Demak runtuh dan diganti Pajang (1568), Maulana Hasanuddin
memproklamasikan Banten menjadi nefara merdeka, lepas dari pengaruh
Demak. Sultan Maulana Hasanuddin memerintah Banten selama 18 tahun
(1552-1570). Ia telah memberikan andil terbesarnya dalam meletakkan
fondasi Islam di Nusantara, dibuktikan dengan kehadiran bangunan
peribadatan berupa masjid dan sarana pendidikan Islam, seperti pesantren
dan mengirim mubalig ke berbagai daerah yang dikuasainya.
Pada masa Sultan Ageng Tirtayasa, Banten
mengalami kehancuran akibat ulah anak kandungnya sendiri, Sultan Haji
yang bekerja sama dengan kompeni. Ketika itu Sultan Haji diserahi amanah
sebagai Sultan Muda yang berkedudukan di Surosowan. Akibat kerjasama
tersebut, terjadi perang dahsyat antara Banten dan kompeni Belanda yang
berakhir dengan hancurnya Keraton Surosowan yang pertama.
Meskipun keraton ini dibangun kembali
oleh Sultan Haji melalui seorang arsitek belanda dengan megahnya, namun
pemberontakan-pemberontakan dari rakyat Banten tidak pernah surut.
Sultan Ageng Tirtayasa memimpin perang gerilya bersama anaknya, Pangeran
Purbaya, dan Syekh Yusuf, seorang ulama dari Makasar dan sekaligus
menantunya. Sejak itu, kesultanan Banten tidak pernah sepi dari
peperangan dan pemberontakan melawan kompeni hingga akhimya Keraton
Surosowan hancur untuk yang ke dua kalinya pada masa Sultan Aliuddin II
(1803-1808). Ketika itu ia melawan Herman Willem Daendels.
Keberadaan dan kejayaan Kesultanan
Banten pada masa lalu dilihat dari peninggalan sejarah, seperti Masjid
Agung Banten yang didirikan Hasanuddin, seperti masjid-masjid lainnya,
bangungan masjid ini pun berdenah segi empat, namun kelihatan antik dan
unik. Bila diamati secara jelas, arsitekturnya merupakan perpaduan
antara arsitektur asing dan Jawa. Hal itu dapat dilihat dari: tiang
penyangga bangunan yang jumlahnya empat buah di bagian tengah; mimbar
kuno yang berukir indah; atap masjid yang terbuatd ari genteng tanah
liat, melingkar berbentuk bujur sangkar yang disebut kubah berupa atap
tumpang bertingkat lima. Di dalam serambi kiri yang terletak di sebelah
utara masjid terdapat makam beberapa sultan Banten beserta keluarga dan
kerabatnya.
Di halaman selatan masjid terdapat
bangunan Tiamah, merupakan bangunan tambahan yang didirikan oleh Hendrik
Lucasz Cardeel, seorang arsitek berkebangsaan yang berkebangsaan
Belanda yang memeluk agama Islam dengan gelar Pangeran Wiraguna. Dahulu
gedung Tiamah ini digunakan sebagai majelis taklim serta tempat para
ulama dan umara Banten mendiskusikan soal-soal agama. Sekarang gedung
itu digunakan sebagai tempat penyimpanan benda-benda purbakala. Selain
itu, di Kasunyatan terdapat pula Masjid Kasunyatan yang umurnya lebih
tua dari Masjid Agung. Di masjid inilah tinggal dan mengajar Kiai Dukuh
yang kemudian bergelar Pangeran Kasunyatan, guru Maulana Yusuf, sultan
Banten yang kedua.
Bangunan lain yang tersisa adalah bekas
Keraton Surosowan atau Gedung Kedaton Pakuwan. Letaknya berdekatan
dengan Masjid Agung Banten. Keraton Surosowan yang hanya tinggal
puing-puing yang hanya dikelilingi oleh tembok benteng yang tebal,
luasnya kurang lebih 4 ha, berbentuk empat persegi panjang. Benteng
tersebut sekarang masih tegak berdiri, disamping beberapa bagian kecil
yang telah runtuh. Dalam situs (lahan) kepurbakalaan Banten masih ada
beberapa unsur, antara lain: Menara Banten, Masjid Pacinan Tinggi,
Benteng Speelwijk, Meriam Kiamuk, Watu Gilang, dan Pelabuhan perahu
Karanggantu.
sumber:http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/81/Banten-Kesultanan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar