Pembaca yang kami hormati !
Pantaskah Siti Fatimah ra yang mendapat gelar sebagai Sayyidatu Nisa’ Ahlil
Jannah itu mempunyai sifat dendam terhadap orang lain? apalagi terhadap orang
yang sangat berjasa kepada ayahnya?.
Sebab sebagaimana kita ketahui, bahwa Siti Fatimah adalah putri Rasulullah yang
telah mendapat pendidikan langsung dari Rasulullah, sehingga tidak diragukan
lagi bahwa Siti Fatimah telah mewarisi sifat-sifat baik ayahnya, seperti Al
Akhlaqul Karimah (akhlak yang mulia), Al’afwu’indal magdirah
(pemberian maaf disaat ia dapat membalas) dan Husnuddhon (sangka baik) serta
sifat baik Rasulullah yang lain.
Beliau Siti Fatimah dikenal sebagai seorang yang berakhlaq mulia, sopan santun,
tidak sombong tapi rendah hati, walaupun beliau putri seorang Nabi. Beliau ramah
serta lemah lembut dalam bertutur kata. Berjiwa besar, lapang dada serta pemaaf
dan tidak mempunyai rasa ghil (rasa unek-unek tidak senang kepada orang lain).
Sehingga tepat sekali kalau beliau itu mendapat gelar sebagai Sayyidatu Nisa’
Ahlil Jannah. Sebab di antara tanda-tanda penghuni surga adalah bahwa mereka
itu tidak mempunyai rasa Ghil. Karenanya kami tidak dapat menerima kalau ada
yang mengatakan bahwa Siti Fatimah wafat dalam keadaan dendam pada orang lain,
dikarenakan urusan duniawi. Itu adalah satu penghinaan dan tuduhan kepada putri
tersayang Rasulullah saw.
Beliau juga dikenal jujur dan tidak suka berdusta, sebagaimana kesaksian Siti
Aisyah. Dimana Siti Aisyah pernah berkata kepada Rasulullah saw :
“Bertanyalah kepada Fatimah, sebab dia itu tidak suka dusta.” Disamping itu
semua, Siti Fatimah sangat sabar dalam menerima segala ujian serta ridha dan
tawakkal atas takdir yang dialaminya. Walaupun keadaan ekonominya dalam keadaan
serba kekurangan, namun beliau menerimanya dengan senang hati. Padahal beliau
adalah putri seorang pemimpin.
Itulah diantara sifat-sifat mulia putri Rasulullah saw, dan apa yang kami
sampaikan diatas adalah merupakan keyakinan dan kesaksian golongan Ahlussunnah
Waljamaah, oleh karena itu kami tidak bisa menerima tulisan-tulisan ulama Syi’ah
yang berakibat dapat mendiskriditkan Siti Fatimah.
Dengan demikian dapat kita pastikan bahwa Siti Fatimah tidak mungkin mempunyai
sifat dendam, karena sifat dendam itu bukan sifatnya Ahlil Jannah, tetapi yang
pasti beliau mempunyai sifat pemaaf (sifatnya Ahlil Jannah).
Oleh karena itu, kata-kata dendam yang ada dalam cerita Syi’ah tersebut
merupakan suatu penghinaan pada Siti Fatimah ra.
Adapun masalah tanah fadak warisan Rasulullah saw, maka Siti Fatimah dan Imam
Ali serta istri-istri Rasulullah dan pamannya Abbas telah menerima dengan baik
keputusan Khalifah Abu Bakar, karena keputusan tersebut sesuai dengan perintah
Rasulullah saw. Begitu pula keputusan tersebut telah berlaku di zaman Khalifah
Umar dan Khalifah Utsman. Bahkan di zaman Khalifah Ali bi Abi Thalib keputusan
tersebut terus diberlakukan oleh Imam ali.
Andaikata keputusan Khalifah Abu Bakar tersebut oleh Imam Ali dianggap tidak
benar dan melanggar agama, pasti akan dirubahnya dan pasti warisan tersebut akan
diserahkan kepada pemilik-pemiliknya.
Inilah keputusan Khalifah Abu Bakar mengenai warisan Rasulullah saw
Dasar keputusan Khalifah Abu Bakar adalah hadits Nabi yang berbunyi :
نحن معاشر الانبياء لا نورث ، ما تركنا صدقة
( رواه البخارى )
“Kami para Nabi tidak mewariskan, apa yang kami tinggalkan menjadi sodaqoh.”
(HR. Bukhari)
Dalam kitab-kitab hadits disebutkan bahwa diantara yang meriwayatkan hadits
tersebut adalah Imam Ali, Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar, Sayyidina Usman,
Sayyidina Abbas (paman Rasulullah saw) dan beberapa sahabat yang lain serta
istri-istri Rasulullah saw.
Dengan dasar hadits tersebut, maka peninggalan Rasulullah yang berupa sebidang
tanah perkebunan di Fadak dikuasai dan dikelola oleh pemerintah (Khalifah).
Selanjutnya oleh Khalifah Abu Bakar hasil dari kebun tersebut digunakan untuk
keperluan keluarga Rasulullah dan sebagian diberikan kepada fakir miskin.
Hal mana sesuai dengan apa yang dilakukan oleh Rasulullah semasa hidupnya. Oleh
karenanya Siti Fatimah dan Imam Ali serta yang lain menerima keputusan Khalifah
Abu Bakar tersebut.
Yang mengherankan dan menjadi tanda Tanya, mengapa dalam masalah Fadak tersebut,
ulama-ulama Syi’ah itu selalu menjadikan Siti Fatimah sebagai pelaku dalam
masalah Fadak, padahal bukan hanya beliau saja yang berkepentingan. Mengapa
tidak Sayyidina Abbas (paman Rasulullah) atau mengapa tidak istri-istri
Rasulullah?. Katanya mereka itu mencintai Siti Fatimah, mengapa justru Siti
Fatimah yang dijadikan obyek?
Mengapa dalam cerita-cerita yang dibuat oleh ulama-ulama syiah mereka tega
memberi sifat kepada Siti Fatimah dengan kata-kata dendam, bermusuhan,
berselisih, mengancam orang lain, menuntut warisan, menuntut kekhalifahan, tidak
mau dilihat bila meninggal, tidak mau dishalati bila meninggal dan lain-lain.
Tidakkah mereka itu membaca keterangan dan kesaksian para sahabat yang banyak
tertera dalam kitab-kitab Ahlus-sunnah bahwa Siti Ffatimah itu berakhlak mulia,
tutur katanya lembut, pemaaf, dermawan, dan tidak mempunyai ambisi untuk mencari
kekayaan apalagi kedudukan. Justru beliau minta kapada Allah agar digolongkan
bersama orang-orang miskin, sebagaimana ayahnya Rosulullah saw. Beliau
benar-benar mewarisi sifat-sifat mulia Rosulullah saw.
Oleh karena itu beliau Siti Fatimah sangat dicintai dan dihormati oleh para
sahabat, sebagaimana yang pernah diucapkan oleh Khafilah Abu Bakar, bahwa
keluarga Rasulullah saw itu lebih ia cintai daripada keluarganya.
Perlu diketahui, bahwa pemberian-pemberian Khalifah Abu Bakar kepada Ahlul Bait,
jauh lebih besar dari hasil kebun Fadak tersebut. Karenanya hubungan antara
Khafilah Abu Bakar dengan Ahlul Bait sangat baik. Bahkan hubungan Siti Fatimah
dengan istri Khalifah Abu Bakar (Asma’ binti Umais) bagaikan kakak beradik.
Sehingga sewaktu Siti Fatimah wafat, maka yang memandikan adalah Asma’ binti
Umais atas dasar wasiat beliau.
Disamping kata-kata dendam diatas, sebenarnya ulama-ulama Syi’ah itu secara
tidak langsung sering menghina Siti Fatimah, dimana mereka sering membuat
cerita-cerita yang isinya menggambarkan bahwa Siti Fatimah mempunyai rasa
sentiment atau rasa permusuhan terhadap para Sahabat, khususnya terhadap
Khafilah Abu Bakar. Atau dalam bahasa Al-Qur’an disebut mempunyai rasa Ghil
(Unek-unek terhadap orang lain).
Misalkan mereka mengatakan :
- Siti Fatimah sakit hati terhadap para sahabat, karena mereka mengangkat Abu
Bakar sebagai Khalifah dan tidak memilih suaminya (Sayyidina Ali bin Abi
Thalib).
- Setelah Sayyidina Abu Bakar terpilih sebagai Khalifah, Siti Fatimah keliling
menemui pemimpin-pemimpin suku guna mencari dukungan bagi suaminya (Imam Ali).
- Siti Fatimah tidak mau baiat pada Khalifah Abu Bakar, karena dianggap merampas
kekhalifahan suaminya.
- Kematian Siti Fatimah dikarenakan memikirkan hartanya yang dirampas oleh
Khalifah Abu Bakar
Apa yang mereka tuduhkan tersebut, merupakan satu kekurang-ajaran mereka
terhadap Siti Fatimah dan merupakan fitnah yang sangat besar, yang harus ditebus
oleh penuduhnya dengan membaca syahadat lagi (tajdiid) dan harus banyak baca
istighfar.
Hal mana karena apa yang mereka tuduhkan tersebut, sangat bertentangan dengan
sifat putri Rasulullah yang sangat lemah lembut dan pemaaf serta penuh kasih
sayang terhadap sesama muslimnya. Terutama terhadap orang-orang yang lebih
dahulu dalam beriman kepada Allah dan RasulNya. Sehingga sesuai dengan do’a yang
diajarkan oleh Allah dalam Al Qur’an yang berbunyi :
ربنا اغفرلنا ولاخواننا الذين
سبقونا بالايمان ولا تجعل فى قلوبنا غلا
للذين امنوا ربنا انك
رؤف رحيم
( الحشر :١٠ )
“ Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman
lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati
kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha
Penyantun lagi Maha Penyayang.”
(QS. Al Hasyr : 10)
Demikianlah sedikit mengenai cerita-cerita Syi’ah yang apabila kita amati
benar-benar justru mendiskriditkan Siti Fatimah.
Ap
Apa
wasiat Siti Fatimah kepada Asma Binti Umais ?
Asma binti Umais adalah istri Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq dan dari perkawinan
tersebut Allah mengaruniai seorang putra dengan nama Muhammad bin Abu Bakar.
Perkawinan tersebut atas perintah Rasululah saw, setelah suaminya yang pertama
yaitu Ja’far bin Abi Thalib (saudara Imam Ali) meninggal dalam peperangan.
Beliau Asma’ termasuk orang-orang yang masuk Islam pada awal permulaan Islam di
Mekkah sebelum Muslimin berkumpul di Darul Argom dan beliau kemudian bersama
suaminnya Ja’far bin Abi Thalib hijrah ke Habasyah.
Setelah Khalifah Abu Bakar wafat, Asma’ binti Umais kawin dengan Imam Ali kw dan
dikaruniai oleh Allah dua putra yaitu Yahya dan Muhammad Al Ashhor. Ummul
Mu’minin Maimunah istri Rasulullah saw adalah saudara seibu dengan Asma’ binti
Umais. Oleh karena itu hubungan Asma binti Umais dengan keluarga Rasulullah saw
sangat dekat sekali. Beliau sering membantu keluarga Rasulullah saw.
Asma’ binti Umais adalah orang yang selalu membantu Siti Fatimah dan meskipun
beliau istri seorang Khalifah hampir setiap hari Asma’ berkunjung kerumah Siti
Fatimah mereka seperti kakak beradik.
Semoga Alllah membalasnya serta meridhoinya.
Adapun cerita mengenai wasiat Siti Fatimah kepada Asma’ binti Umais, maka dalam
buku-buku sejarah diceritakan sbb.
Setelah Siti Fatimah merasa bahwa ajalnya sudah dekat beliau berkata kepada
Asma’ binti Umais yang hampir setiap hari berkunjung ke rumah Siti Fatimah.
“ Saya kurang senang terhadap apa yang diperbuat terhadap wanita jika mati,
yaitu hanya ditutupi dengan kain. Sehingga bentuk badannya kelihatan.”
Maka berkatalah Asma’ kepada Siti Fatimah : “Apakah engkau mau aku tunjukkan
sesuatu yang pernah aku lihat di Habasyah?” Siti Fatimah menjawab: “Coba
tunjukkan.” Maka dibuatlah oleh Asma’ keranda dari pelepah pohon kurma, kemudian
diatasnya ditaruh kain. Begitu Siti Fatimah melihat keranda tersebut, beliau
sangat gembira dan tertawa seraya berkata : “Alangkah baiknya ini. Semoga Allah
menutupimu sebagaimana engkau menutupiku. Nanti jika aku mati, maka mandikanlah
aku bersama Ali dan jangan ada orang lain yang ikut memandikanku. Setelah itu
buatkanlah untukku seperti ini.”
Selanjutnya, begitu Siti Fatimah wafat, semua wasiatnya dilaksanakan oleh Imam
Ali dan Asma’.
Cerita ini dimuat dalam kitab At Tobaqot, karya Ibnu Saad, Sunan Al Baihaqi,
Sunan Ad Dar Quthni dan lain-lain.
Pembaca yang kami hormati.
Mengenai wasiat Siti Fatimah agar yang memandikan beliau hanya Asma’ binti Umais
dan Imam Ali, serta orang lain tidak boleh ikut memandikan beliau tersebut, oleh
ulama-ulama Syiah dibuatkan beberapa cerita wasiat Siti Fatimah, diantaranya :
-
Apabila beliau wafat, para sahabat dilarang masuk rumah Siti Fatimah, sebab
beliau tidak mau dilihat para sahabat.
-
Siti Fatimah berwasiat agar waktu memakamkannya tidak dilihat atau tidak
diketahui oleh para sahabat.
-
Imam Ali melarang para sahabat menshalati Siti Fatimah, sebab Siti Fatimah tidak
mau dishalati oleh para sahabat, terutama oleh Khalifah Abu Bakar.
Masya Allah, ini adalah suatu tuduhan dan fitnah terhadap Imam Ali dan Siti
Fatimah r.a. sebab mungkinkah Imam Ali melarang seseorang melakukan shalat?.
Khasya, pasti tidak mungkin.
Begitu pula Siti Fatimah yang telah mewarisi sifat-sifat dan akhlak baginda
Rasulullah SAW, pasti beliau tidak akan membuat wasiat seperti yang dituduhkan
oleh orang-orang Syiah itu. Lalu untuk apa beliau minta dibuatkan keranda
tersebut.
Itulah orang-orang Syiah, mereka suka memutar balik fakta dan cerita, dengan
tujuan akan membuat opini bahwa antara Siti Fatimah dengan para sahabat telah
terjadi hubungan yang tidak baik.
Semoga kita diselamatkan oleh Allah dari pemutar balikan sejarah yang dilakukan
oleh ulama-ulama Syiah.
Demikian wasiat Siti Fatimah kepada istri Khalifah Abu Bakar yang sekaligus
membuktikan adanya hubungan baik antara kedua keluarga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar