---------------------
Imam Ba'uddin An-Naqsyabandi RA
===============
Hingga pada suatu malam saat berziarah di makam Syekh Muhammad Wasi’, beliau melihat lampunya kurang terang padahal minyaknya masih banyak dan sumbunya juga masih panjang. Tak lama kemudian ada isyarat untuk pindah berziarah ke makam Syekh Ahmad al Ahfar Buli, tetapi disini lampunya juga seperti tadi. Terus Syekh Bahauddin diajak oleh dua orang ke makam Syekh Muzdakhin, disini lampunya juga sama seperti tadi, sampai tak terasa hati Syekh Bahauddin berkata, “Isyarat apakah ini ?”
Kemudian Syekh Bahauddin, duduk menghadap kiblat sambil bertawajuh dan tanpa sadar beliau melihat pagar tembok terkuak secara perlahan-lahan, mulailah terlihat sebuah kursi yang cukup tinggi sedang diduduki oleh seseorang yang sangat berwibawa dimana wajahnya terpancar nur yang berkilau. Disamping kanan dan kirinya terdapat beberapa jamaah termasuk guru beliau yang telah wafat, Syekh Muhammad Baba.
Salah satu dari mereka berkata, “Orang mulia ini adalah Syekh Muhammad Abdul Kholiq al Ghojdawaniy dan yang lain adalah kholifahnya. Lalu ada yang menunjuk, ini Syekh Ahmad Shodiq, Syekh Auliya’ Kabir, ini Syekh Mahmud al Anjir dan ini Syekh Muhammad Baba yang ketika kamu hidup telah menjadi gurumu. Kemudian Syekh Muhammad Abdul Kholiq al Ghojdawaniy memberikan penjelasan mengenai hal-hal yang dialami Syekh Muhammad Bahauddin, “Sesunguhnya lampu yang kamu lihat tadi merupakan perlambang bahwa keadaanmu itu sebetulnya terlihat kuat untuk menerima thoriqoh ini, akan tetapi masih membutuhkan dan harus menambah kesungguhan sehingga betul-betul siap. Untuk itu kamu harus betul-betul menjalankan 3 perkara :
1. Istiqomah mengukuhkan syariat.
2. Beramar Ma’ruf Nahi mungkar.
3. Menetapi azimah (kesungguhan) dengan arti menjalankan agama dengan mantap tanpa memilih yang ringan-ringan apalagi yang bid’ah dan berpedoman pada perilaku Rasulullah Saw. dan para sahabat Ra.
Kemudian untuk membuktikan kebenaran pertemuan kasyaf ini, besok pagi berangkatlah kamu untuk sowan ke Syekh Maulana Syamsudin al An-Yakutiy, di sana nanti haturkanlah kejadian pertemuan ini. Kemudian besoknya lagi, berangkatlah lagi ke Sayyid Amir Kilal di desa Nasaf dan bawalah kopiah wasiat al Azizan dan letakkanlah dihadapan beliau dan kamu tidak perlu berkata apa-apa, nanti beliau sudah tahu sendiri”.
Syekh Bahauddin setelah bertemu dengan Sayyid Amir Kilal segera meletakkan “kopiah wasiat al Azizan” pemberian dari gurunya. Saat melihat kopiah wasiat al Azizan, Sayyid Amir Kilal mengetahui bahwa orang yang ada didepannya adalah syekh Bahauddin yang telah diwasiatkan oleh Syekh Muhammad Baba sebelum wafat untuk meneruskan mendidiknya.
Syekh Bahauddiin di didik pertama kali oleh Sayyid Amir Kilal dengan kholwat selama sepuluh hari, selanjutnya dzikir nafi itsbat dengan sirri. Setelah semua dijalankan dengan kesungguhan dan berhasil, kemudian beliau disuruh memantapkannnya lagi dengan tambahan pelajaran beberapa ilmu seperti, ilmu syariat, hadist-hadist dan akhlaqnya Rasulullah Saw. dan para sahabat. Setelah semua perintah dari Syekh Abdul Kholiq di dalam alam kasyaf itu benar–benar dijalankan dengan kesungguhan oleh Syekh Bahauddin mulai jelas itu adalah hal yang nyata dan semua sukses bahkan beliau mengalami kemajuan yang sangat pesat.
Jadi toriqoh An Naqsyabandiy itu jalur ke atas dari Syekh Muhammad Abdul Kholiq al Ghojdawaniy ke atasnya lagi dari Syekh Yusuf al Hamadaniy seorang Wali Qutub masyhur sebelum Syekh Abdul Qodir al Jailaniy. Syekh Yusuf al Hamadaniy ini kalau berkata mati kepada seseorang maka mati seketika, berkata hidup ya langsung hidup kembali, lalu naiknya lagi melalui Syekh Abu Yazid al Busthomi naik sampai sahabat Abu Bakar Shiddiq Ra. Adapun dzikir sirri itu asalnya dari Syekh Muhammad Abdul Kholiq al ghojdawaniy yang mengaji tafsir di hadapan Syekh Sodruddin. Pada saat sampai ayat, “Berdo’alah kepada Tuhanmu dengan cara tadhorru’ dan menyamarkan diri”…
Lalu beliau berkata bagaimana haqiqatnya dzikir khofiy /dzikir sirri dan kaifiyahnya itu ? jawab sang guru : o, itu ilmu laduni dan insya Allah kamu akan diajari dzikir khofiy. Akhirnya yang memberi pelajaran langsung adalah nabi Khidhir as.
Pada suatu hari Syekh Muhammad Bahauddin Ra. bersama salah seorang sahabat karib yang bernama Muhammad Zahid pergi ke Padang pasir dengan membawa cangkul. Kemudian ada hal yang mengharuskannya untuk membuang cangkul tersebut. Lalu berbicara tentang ma’rifat sampai datang dalam pembicaraan tentang ubudiyah “Lha kalau sekarang pembicaraan kita sampai begini kan berarti sudah sampai derajat yang kalau mengatakan kepada teman, matilah, maka akan mati seketika”. Lalu tanpa sengaja Syekh Muhammad Bahauddin berkata kepada Muhammad Zahid, “matilah kamu!, Seketika itu Muhammad Zahid mati dari pagi sampai waktu dhuhur.
Melihat hal tersebut Syekh Muhammad Bahauddin Ra. menjadi kebingungan, apalagi melihat mayat temannya yang telah berubah terkena panasnya matahari. Tiba-tiba ada ilham “He, Muhammad, berkatalah ahyi (hiduplah kamu). Kemudian Syekh Muhammad Bahauddin Ra. berkata ahyi sebanyak 3 kali, saat itulah terlihat mayat Muhammad Zahid mulai bergerak sedikit demi sedikit hingga kembali seperti semula. Ini adalah pengalaman pertama kali Syekh Muhammad Bahauddin Ra. dan yang menunjukkan bahwa beliau adalah seorang Wali yang sangat mustajab do’anya.
Syekh Tajuddin salah satu santri Syekh Muhammad Bahauddin Ra berkata, “Ketika aku disuruh guruku, dari Qoshrul ‘Arifan menuju Bukhara yang jaraknya hanya satu pos aku jalankan dengan sangat cepat, karena aku berjalan sambil terbang di udara. Suatu ketika saat aku terbang ke Bukhara, dalam perjalanan terbang tersebut aku bertemu dengan guruku. Semenjak itu kekuatanku untuk terbang di cabut oleh Syekh Muhammad Bahauddin Ra, dan seketika itu aku tidak bisa terbang sampai saat ini”.
Berkata Afif ad Dikaroniy, “Pada suatu hari aku berziarah ke Syekh Muhammad Bahauddin Ra. Lalu ada orang yang menjelek-jelekkan beliau. Aku peringatkan, kamu jangan berkata jelek terhadap Syekh Muhammad Bahauddin Ra. dan jangan kurang tata kramanya kepada kekasih Allah. Dia tidak mau tunduk dengan peringatanku, lalu seketika itu ada serangga datang dan menyengat dia terus menerus. Dia meratap kesakitan lalu bertaubat, kemudian sembuh dengan seketika.
SYECH MUHAMMAD BAHAU’UDDIN NAQSYABANDI DENGAN TAREKATNYA
Peletak dasar Thoriqoh Naqsyabandiyah ini adalah Al-Arif Billah Asy Syaikh Muhammad bin Muhammad Bahauddin Syah Naqsyabandi Al-Uwaisi Al- Bukhori radliyallahu anhu (717-865 H) .
Dijelaskan oleh Syaikh Abdul Majid bin Muhammad Al Khaniy dalam bukunya Al-Hada’iq Al-Wardiyyah , bahwa thoriqoh Naqsabandiyyah ini adalah thoriqohnya para sahabat yang mulia radlallahu anhum sesuai aslinya, tidak menambah dan tidak mengurangi. Ini merupakan untaian ungkapan dari langgengnya (terus menerus) ibadah lahir bathin dengan kesempurnaan mengikuti sunnah yang utama dan ‘azimah yang agung serta kesempurnaan dalam menjauhi bid’ah dan rukhshah dalam segala keadaan gerak dan diam, serta langgengnya rasa khudlur bersama Allah Subhanahu wa ta'ala, mengikuti Nabi Muhammad Shollallahu 'alaihi wa sallam dengan segala yang beliau sabdakan dan memperbanyak dzikir qalbi .
Dzikirnya para guru Naqsyabandiyah adalah qalbiyah (menggunakan Hati), dengan membaca lafadz “Alloh..Alloh” pada 7 tempat lathaif. Dengan itu mereka bertujuan hanya kepada Allah Subhanahu wa ta'ala semata dengan tanpa riya’ , dan mereka tidak mengatakan suatu perkataan dan tidak membaca suatu wirid kecuali dengan dalil atau sanad dari kitab Allah Subhanahu wa ta'ala atau sunnah Nabi Muhammad Shollallahu 'alaihi wa sallam. Adapun 7 macam lathaif tersebut adalah :
Lathifah al-qalb ada di bawah dada kiri, dua jari di bawah payudara … warnanya adalah kuning, dan dia adalah tempat kekuasaan Nabi Adam as, dan asalnya adalah air, udara dan tanah.
Lathifah al-ruh bertempat di sisi bawah susu kanan, berjarak sekitar dua jari, warnanya adalah merah, dan merupakan tempat kewenangan Nabi Ibrahhim dan Nuh, dan asalnya adalah api.
Lathifah al-sirr bertempat di atas susu kiri berjarak sekitar dua jari, warnanya adalah putih, tempat kekuasaan Nabi Musa dan asalnya adalah air.
Lathifah al-khafi bertempat di atas susu kanan, berjarak sekitar dua jari, warnanya adalah hitam, tempat kekuasaan Nabi Isa, dan asalnya adalah udara.
Lathifah al-akhfa bertempat di tengah dada, warnanya hijau, tempat kekuasaan Nabi Muhammad saw., asalnya adalah tanah.
Lathifatul al-Nafsi bertempat di anatara kedua mata kepala
Lathifatul Qolab (Jasad) bertempat di seluruh dan sekujur anggota badan, mulai rambut kepala sampai kaki
Dalam tarekat Naqsyabandi ini telah di ajarkan 11 asas dasar ajaran, yakni :
1). “Huwasy Dardam” , yaitu pemeliharaan keluar masuknya nafas, supaya hati tidak lupa kepada Allah SWT atau tetap hadirnya Allah SWT pada waktu masuk dan keluarnya nafas. Setiap murid atau salik menarikkan dan menghembuskan nafasnya, hendaklah selalu ingat atau hadir bersama Allah di dalam hati sanubarinya. Ingat kepada Allah setiap keluar masuknya nafas, berarti memudahkan jalan untuk dekat kepada Allah SWT, dan sebaliknya lalai atau lupa mengingat Allah, berarti menghambat jalan menuju kepada- Nya.
2). “Nazhar Bar qadlam” yaitu setiap murid atau salik dalam iktikaf/suluk bila berjalan harus menundukkan kepala, melihat ke arah kaki dan apabila dia duduk dia melihat pada kedua tangannya. Dia tidak boleh memperluas pandangannya ke kiri atau ke kanan, karena dikhawatirkan dapat membuat hatinya bimbang atau terhambat untuk berzikir atau mengingat Allah SWT. Nazhar Barqadlam ini lebih ditekankan lagi bagi pengamal tarikat yang baru suluk, karena yang bersangkutan belum mampu memelihara hatinya.
3). “Safar Dar wathan” yaitu perpindahan dari sifat kemanusiaan yang kotor dan rendah, kepada sifat-sifat kemalaikatan yang bersih dan suci lagi utama. Karena itu wajiblah bagi si murid atau salik mengontrol hatinya, agar dalam hatinya tidak ada rasa cinta kepada makhluk.
4). “Khalwat Dar jaman” yaitu setiap murid atau salik harus selalu menghadirkan hati kepada Allah SWT dalam segala keadaan, baik waktu sunyi maupun di tempat orang banyak. Dalam Tarikat Naqsyabandiyah ada dua bentuk khalwat :
a. Berkhalwat lahir , yaitu orang yang melaksanakan suluk dengan mengasingkan diri di tempat yang sunyi dari masyarakat ramai.
b. Khalwat batin , yaitu hati sanubari si murid atau salik senantiasa musyahadah, menyaksikan rahasia- rahasia kebesaran Allah walaupun berada di tengah- tengah orang ramai.
5). “Ya Dakrad” yaitu selalu berkekalan zikir kepada Allah SWT, baik zikir ismus zat (menyebut Allah, Allah,.), zikir nafi isbat (menyebut la ilaha ilallah), sampai yang disebut dalam zikir itu hadir.
6). “Bar Kasyat” yaitu orang yang berzikir nafi isbat setelah melepaskan nafasnya, kembali munajat kepada Allah dengan mengucapkan kalimat yang mullia
“Wahai Tuhan Allah, Engkaulah yang aku maksud (dalam perjalanan rohaniku ini) dan keridlaan-Mulah yang aku tuntut” . Sehingga terasa dalam kalbunya rahasia tauhid yang hakiki, dan semua makhluk ini lenyap dari pemandangannya.
7).“Nakah Dasyat” yaitu setiap murid atau salik harus memelihara hatinya dari kemasukan sesuatu yang dapat menggoda dan mengganggunya, walaupun hanya sebentar. Karena godaan yang mengganggu itu adalah masalah yang besar, yang tidak boleh terjadi dalam ajaran dasar tarikat ini.
Syekh Abu Bakar Al Kattani berkata, “Saya menjaga pintu hatiku selama 40 (empat puluh) tahun, aku tiada membukakannya selain kepada Allah SWT, sehingga menjadilah hatiku itu tidak mengenal seseorang pun selain daripada Allah SWT.”
Sebagian ulama tasawuf berkata “Aku menjaga hatiku 10 (sepuluh) malam, maka dengan itu hatiku menjaga aku selama 20 (duapuluh) tahun.”
8).“Bad Dasyat” yaitu tawajuh atau pemusatan perhatian sepenuhnya pada musyahadah, menyaksikan keindahan, kebesaran, dan kemuliaan Allah SWT terhadap Nur Zat Ahadiyah (Cahaya Yang Maha Esa) tanpa disertai dengan kata- kata. Keadaan “Bad Dasyat” ini baru dapat dicapai oleh seorang murid atau salik, setelah dia mengalami fana dan baka yang sempurna. Adapun tiga ajaran dasar yang berasal dari Bahauddin Naqsyabandi adalah,
9).“Wuquf Zamani” yaitu kontrol yang dilakukan oleh seorang murid atau salik tentang ingat atau tidaknya ia kepada Allah SWT setiap dua atau tiga jam. Jika ternyata dia berada dalam keadaan ingat kepada Allah SWT pada waktu tersebut, ia harus bersyukur dan jika ternyata tidak, ia harus meminta ampun kepada Allah SWT dan kembali mengingat- Nya.
10).“Wuquf ‘Adadi” yaitu memelihara bilangan ganjil dalam menyelesaikan zikir nafi isbat, sehingga setiap zikir nafi isbat tidak diakhiri dengan bilangan genap. Bilangan ganjil itu, dapat saja 3 (tiga) atau 5 (lima) sampai dengan 21 (duapuluh satu), dan seterusnya.
11).“Wuquf Qalbi” yaitu sebagaimana yang dikatakan oleh Syekh Ubaidullah Al- Ahrar, “Keadaan hati seorang murid atau salik yang selalu hadir bersama Allah SWT”. Pikiran yang ada terlebih dahulu dihilangkan dari segala perasaan, kemudian dikumpulkan segenap tenaga dan panca indera untuk melakukan tawajuh dengan mata hati yang hakiki, untuk menyelami makrifat Tuhannya, sehingga tidak ada peluang sedikitpun dalam hati yang ditujukan kepada selain Allah SWT, dan terlepas dari pengertian zikir.
Selain itu, dalam tarekat ini juga dikenalkan akan tehnik muroqobah, sebanyak 20 macam muroqobah
Demikian kisah keramatnya Syekh Muhammad Bahauddin Ra dan ajaran-ajarannya. Rodiyallah ‘anhu wa a’aada a‘lainaa min barokaatihi wa anwaarihi wa asroorihii wa ‘uluumihii wa akhlaaqihi allahuma amiin.
====================
Syekh Muhammad Bahauddin An
Naqsabandiy Ra. Adalah seorang Wali Qutub yang masyhur hidup pada tahun
717-791 H di desa Qoshrul ‘Arifan, Bukhara, Rusia. Beliau adalah
pendiri Thoriqoh Naqsyabandiyah sebuah thoriqoh yang sangat terkenal
dengan pengikut sampai jutaan jama’ah dan tersebar sampai ke Indonesia
hingga saat ini.
Nama lengkap beliau adalah Syaikh Bahauddin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Asy Syarif Al Husaini Al Hasani Al Uwaisi Al Bukhari QS (Syech Naqsyabandy) Dilahirkan di Qashrul ‘Arifan, Bukhara, Uzbekistan tanggal 15 Muharram tahun tahun 717 H atau tahun 1317 M. Syekh Naqsyabandi lahir dari lingkungan keluarga sosial yang baik dan kelahirannya disertai oleh kejadian yang aneh. Menurut satu riwayat, jauh sebelum tiba waktu kelahirannya sudah ada tanda- tanda aneh yaitu bau harum semerbak di desa kelahirannya itu. Bau harum itu tercium ketika rombongan Syekh Muhammad Baba As Samasi q.s. (silsilah ke- 13), seorang wali besar dari Sammas (sekitar 4 km dari Bukharah), bersama pengikutnya melewati desa tersebut. Ketika itu As Samasi berkata, “Bau harum yang kita cium sekarang ini datang dari seorang laki- laki yang akan lahir di desa ini”. Sekitar tiga hari sebelum Naqsyabandi lahir, wali besar ini kembali menegaskan bahwa bau harum itu semakin semerbak.
Dari awal, ia memiliki kaitan erat dengan Khwajagan, yaitu para guru dalam mata rantai Tariqat Naqsyabandi. Sejak masih bayi, ia diadopsi sebagai anak spiritual oleh salah seorang dari mereka, yaitu Baba Muhammad Sammasi. Sammasi merupakan pemandu pertamanya dalam jalur ini, dan yang lebih penting lagi adalah hubungannya dengan penerus (khalifah) Sammasi, yaitu Amir Kulal, yang merupakan rantai terakhir dalam silsilah sebelum Baha-ud-Din. Baha-ud-Din mendapat latihan dasar dalam jalur ini dari Amir Kulal, yang juga merupakan sahabat dekatnya selama bertahun-tahun.
Pada suatu saat, Baha-ud-Din mendapat instruksi secara "ruhani" oleh Abdul Khaliq Gajadwani (yang telah meninggal secara jasmani) untuk melakukan dzikir secara hening (tanpa suara). Meskipun Amir Kulal adalah keturunan spiritual dari Abdul Khaliq, Amir Kulal mempraktekkan dzikir yang dilakukan dengan bersuara. Setelah mendapat petunjuk mengenai dzikir diam tersebut, Baha-ud-Din lantas absen dari kelompok ketika mereka mengadakan dzikir bersuara.
Setelah Naqsyabandi lahir, dia segera dibawa oleh ayahnya kepada Syekh Muhammad Baba As Samasi yang menerimanya dengan gembira. As Samasi berkata, “Ini adalah anakku, dan menjadi saksilah kamu bahwa aku menerimanya”. Naqsyabandi rajin menuntut ilmu dan dengan senang hati menekuni tasawuf. Dia belajar tasawuf kepada Muhammad Baba as Samasi ketika beliau berusia 18 tahun. Untuk itu beliau bermukim di Sammas dan belajar di situ sampai gurunya (Syekh As Samasi) wafat. Sebelum Syekh As Samasi wafat, beliau mengangkat Naqsyabandi sebagai khalifahnya. Setelah gurunya wafat, dia pergi ke Samarkand, kemudian pulang ke Bukhara, setelah itu pulang ke desa tempat kelahirannya. Setelah belajar dengan Syekh Baba As Samasi (silsilah ke 13), Naqsyabandi belajar ilmu tarikat kepada seorang wali quthub di Nasyaf, yaitu Syekh As Sayyid Amir Kulal q.s. (silsilah ke- 14).
Syekh Naqsyabandi pernah bertemu secara rohani dengan Syekh Abdul Khaliq Fadjuani dan di ajarkan zikir khafi serta suluk, Sejak masa Syaikh Arif Ar Riwikari sampai Syekh Amir Kulal zikir/tawajuh bersama dilakukan secara zahar akan tetapi kalau zikir sendiri secara khafi, Syekh Naqsyabandi tidak pernah ikut ertawajuh dengan Syekh Amir Kullal yang zikir bersama secara zahar, hal ini menimbulkan prasangka buruk pada murid murid gurunya yang tidak mengerti duduk persoalan. Akan tetapi Syekh Amir Kullal justru bertambah sayang dan cinta kepada Syekh Naqsyabandi. Suatu hari Syekh Bahauddin di panggil oleh Gurunya dan berkata, “ Duuh putraku Bahauddin, kebetulan sekali pada waktu ini saudara saudara kita terutama para Khalifahku sedang berkumpul, aku akan berkata kepadamu, supaya disaksikan oleh para hadirin: Bahauddin! Supaya engkau tahu, bersamaan hidmahmu disini, Alhamdulillah aku telah melaksanakan wasiat guruku alhmarhum Syekh Muhammad Baba (lalu Syekh Amir Kullal memberi isyarat pada susunya), dan berkata kepadanya: Engkau telah meneteki susu pendidikanku ini sampai kering, tetapi wadahmu terlalu besar dan persiapanmu sangat kuat, maka itu aku telah mengizinkan kepadamu supaya meninggalkan tempat ini untuk mencari beberapa guru supaya kamu menambah beberapa faedah yang perlu dari mereka dan faidan nur (Keluberan Nur Ilahi) yang selaras dengan cita citamu yang agung itu. Aku hanya bisa memberi ancar ancar carilah guru dari tanah Tajik dan dari tanah Turki”.
Setelah meminta izin dari Syekh Amir Kulal selanjutnya Syekh Naqsyabandi berguru kepada Syekh ‘Arifuddin Karoni selama tujuh tahun, kemudian berguru kepada Maulana Qatsam selama dua tahun terkahir kepada Syekh Darwisy Khalil dari Turki selama dua belas tahun. Syekh Naqsyabandi telah melaksanakan titah gurunya (Syekh Amir Khulal) demikian juga fatwa-fatwa dari Syekh Abdul Khaliq Fadjuani untuk memperdalam ilmu-ilmu syariat secara mendalam sehingga sempurnalah ilmu yang Beliau peroleh. Syekh Bahauddin pernah menyanjung ilmu tarekatnya dengan ucapan “Permulaan pelajaran Tarikatku akhir dari pelajaran semua tarekat”. Pisahnya Baha-ud-Din dari kelompok Amir Kulal ini mungkin bisa dianggap sebagai penanda terwujudnya tariqat Naqsyabandi, yang ajarannya didapat dari Abdul Khaliq, yang ujungnya berasal dari Khalifah Abu Bakar diperoleh dari Nabi Muhammad.
Al Qutub, Auliya Allah, Penasehat Utama Sultan Khalil di Samarqan, fatwa-fatwanya menjadi rujukan Hakim-Hakim Agung dalam memutuskan perkara. Karena kebesaran namanya, Tarekat yang di pimpinnya tersebar dengan cepat dan termashur serta memiliki pengikut yang sangat banyak dan tersebar ke seluruh dunia.
Beliau meletakkan dasar-dasar zikir qalbi yang sirri, zikir batin qalbi yang tidak berbunyi dan tidak bergerak, dan beliau meletakkan kemurnian ibadat semata-mata lillahi ta’ala, tergambar dalam do’a beliau yang diajarkan kepada murid-muridnya “Ilahi anta makshuudi waridlaaka mathluubi”. secara murni meneruskan ibadat Tratiwatus Sirriyah zaman Rasulullah, Thariqatul Ubudiyyah zaman Abu Bakar Siddiq dan Thariqatus Siddiqiyah zaman Salman al-Farisi. Beliau amat masyhur dengan keramat-keramatnya dan makmur dengan kekayaannya, lagi terkenal sebagai wali akbar dan wali quthub yang afdal, yang amat tinggi hakikat dan marifatnya. Dari murid-muridnya dahulu sampai dengan sekarang, banyak melahirkan wali-wali besar di Timur maupun di Barat, sehingga ajarannya meluas ke seluruh pelosok dunia. Beliau pulalah yang mengatur pelaksanaan iktikaf atau suluk dari 40 (empat puluh) hari menjadi 10 (sepuluh) hari, yang dilaksanakan secara efisien dan efektif, dengan disiplin dan ada suluk yang teguh. Syekh Naqsyabandy wafat pada malam Senin Tanggal 3 Rabi’ul Awal tahun 791 H dalam usia 74 tahun.
Syekh Naqsyabandi meninggalkan banyak penerus, yang paling terhormat di antara mereka adalah Syekh Muhammad bin Muhammad Alauddin al-Khwarazmi al-Bukhari al-Attar q.s dan Syaikh Muhammad bin Muhammad bin Mahmoud al-Hafizi q.s, yang dikenal sebagai Muhammad Parsa, penulis Risalah Qudsiyyah. Kepada yang pertamalah Syekh Naqsyabdi meneruskan Ilmunya dan menjadi Ahli Silsilah ke-16
Syekh Muhammmad Baba as Samasiy adalah guru pertama kali dari Syekh Muhammad Bahauddin Ra. yang telah mengetahui sebelumnya tentang akan lahirnya seseorang yang akan menjadi orang besar, yang mulia dan agung baik disisi Allah Swt. maupun dihadapan sesama manusia di desa Qoshrul Arifan yang tidak lain adalah Syekh Bahauddin.
Di dalam asuhan, didikan dan gemblengan dari Syekh Muhammad Baba inilah Syekh Muhammad Bahauddin mencapai keberhasilan di dalam mendekatkan diri kepada Allah Swt. sampai Syekh Muhammad Baba menganugerahinya sebuah “kopiah wasiat al Azizan” yang membuat cita-citanya untuk lebih dekat dan wusul kepada Allah Swt. semakin meningkat dan bertambah kuat. Hingga pada suatu saat, Syekh Muhammad Bahauddin Ra. melaksanakan sholat lail di Masjid. Dalam salah satu sujudnya hati beliau bergetar dengan getaran yang sangat menyejukkan sampai terasa hadir dihadapan Allah (tadhoru’). Saat itu beliau berdo’a, “Ya Allah berilah aku kekuatan untuk menerima bala’ dan cobaanya mahabbbah (cinta kepada Allah)”.
Setelah subuh, Syekh Muhammad Baba yang memang seorang waliyullah yang kasyaf (mengetahui yang ghoib dan yang akan terjadi) berkata kepada Syekh Bahauddin, “Sebaiknya kamu dalam berdo’a begini, “Ya Allah berilah aku apa saja yang Engkau ridloi”. Karena Allah tidak ridlo jika hamba-Nya terkena bala’ dan kalau memberi cobaan, maka juga memberi kekuatan dan memberikan kepahaman terhadap hikmahnya”. Sejak saat itu Syekh Bahauddin seringkali berdo’a sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Syekh Muhammad baba.
Untuk lebih berhasil dalam pendekatan diri kepada Sang Kholiq, Syekh Bahauddin seringkali berkholwat menyepikan hatinya dari keramaian dan kesibukan dunia. Ketika beliau berkholwat dengan beberapa sahabatnya, waktu itu ada keinginan yang cukup kuat dalam diri Syekh Bahauddin untuk bercakap-cakap. Saat itulah secara tiba-tiba ada suara yang tertuju pada beliau, “He, sekarang kamu sudah waktunya untuk berpaling dari sesuatu selain Aku (Allah)”. Setelah mendengar suara tersebut, hati Syekh Bahauddin langsung bergetar dengan kencangnya, tubuhnya menggigil, perasaannya tidak menentu hingga beliau berjalan kesana kemari seperti orang bingung. Setelah merasa cukup tenang, Syekh Bahauddin menyiram tubuhnya lalu wudlu dan mengerjakan sholat sunah dua rokaat. Dalam sholat inilah beliau merasakan kekhusukan yang luar biasa, seolah-olah beliau berkomunikasi langsung dengan Allah Swt.
Saat Syekh Bahauddin mengalami jadzab1 yang pertama kali beliau mendengar suara, “Mengapa kamu menjalankan thoriq yang seperti itu ? “Biar tercapai tujuanku’, jawab Syekh Muhammad Bahauddin. Terdengar lagi suara, “Jika demikian maka semua perintah-Ku harus dijalankan. Syekh Muhammad Bahauddin berkata “Ya Allah, aku akan melaksanakan semampuku dan ternyata sampai 15 hari lamanya beliau masih merasa keberatan. Terus terdengar lagi suara, “Ya sudah, sekarang apa yang ingin kamu tuju ? Syekh Bahauddin menjawab, “Aku ingin thoriqoh yang setiap orang bisa menjalankan dan bisa mudah wushul ilallah”.
Nama lengkap beliau adalah Syaikh Bahauddin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Asy Syarif Al Husaini Al Hasani Al Uwaisi Al Bukhari QS (Syech Naqsyabandy) Dilahirkan di Qashrul ‘Arifan, Bukhara, Uzbekistan tanggal 15 Muharram tahun tahun 717 H atau tahun 1317 M. Syekh Naqsyabandi lahir dari lingkungan keluarga sosial yang baik dan kelahirannya disertai oleh kejadian yang aneh. Menurut satu riwayat, jauh sebelum tiba waktu kelahirannya sudah ada tanda- tanda aneh yaitu bau harum semerbak di desa kelahirannya itu. Bau harum itu tercium ketika rombongan Syekh Muhammad Baba As Samasi q.s. (silsilah ke- 13), seorang wali besar dari Sammas (sekitar 4 km dari Bukharah), bersama pengikutnya melewati desa tersebut. Ketika itu As Samasi berkata, “Bau harum yang kita cium sekarang ini datang dari seorang laki- laki yang akan lahir di desa ini”. Sekitar tiga hari sebelum Naqsyabandi lahir, wali besar ini kembali menegaskan bahwa bau harum itu semakin semerbak.
Dari awal, ia memiliki kaitan erat dengan Khwajagan, yaitu para guru dalam mata rantai Tariqat Naqsyabandi. Sejak masih bayi, ia diadopsi sebagai anak spiritual oleh salah seorang dari mereka, yaitu Baba Muhammad Sammasi. Sammasi merupakan pemandu pertamanya dalam jalur ini, dan yang lebih penting lagi adalah hubungannya dengan penerus (khalifah) Sammasi, yaitu Amir Kulal, yang merupakan rantai terakhir dalam silsilah sebelum Baha-ud-Din. Baha-ud-Din mendapat latihan dasar dalam jalur ini dari Amir Kulal, yang juga merupakan sahabat dekatnya selama bertahun-tahun.
Pada suatu saat, Baha-ud-Din mendapat instruksi secara "ruhani" oleh Abdul Khaliq Gajadwani (yang telah meninggal secara jasmani) untuk melakukan dzikir secara hening (tanpa suara). Meskipun Amir Kulal adalah keturunan spiritual dari Abdul Khaliq, Amir Kulal mempraktekkan dzikir yang dilakukan dengan bersuara. Setelah mendapat petunjuk mengenai dzikir diam tersebut, Baha-ud-Din lantas absen dari kelompok ketika mereka mengadakan dzikir bersuara.
Setelah Naqsyabandi lahir, dia segera dibawa oleh ayahnya kepada Syekh Muhammad Baba As Samasi yang menerimanya dengan gembira. As Samasi berkata, “Ini adalah anakku, dan menjadi saksilah kamu bahwa aku menerimanya”. Naqsyabandi rajin menuntut ilmu dan dengan senang hati menekuni tasawuf. Dia belajar tasawuf kepada Muhammad Baba as Samasi ketika beliau berusia 18 tahun. Untuk itu beliau bermukim di Sammas dan belajar di situ sampai gurunya (Syekh As Samasi) wafat. Sebelum Syekh As Samasi wafat, beliau mengangkat Naqsyabandi sebagai khalifahnya. Setelah gurunya wafat, dia pergi ke Samarkand, kemudian pulang ke Bukhara, setelah itu pulang ke desa tempat kelahirannya. Setelah belajar dengan Syekh Baba As Samasi (silsilah ke 13), Naqsyabandi belajar ilmu tarikat kepada seorang wali quthub di Nasyaf, yaitu Syekh As Sayyid Amir Kulal q.s. (silsilah ke- 14).
Syekh Naqsyabandi pernah bertemu secara rohani dengan Syekh Abdul Khaliq Fadjuani dan di ajarkan zikir khafi serta suluk, Sejak masa Syaikh Arif Ar Riwikari sampai Syekh Amir Kulal zikir/tawajuh bersama dilakukan secara zahar akan tetapi kalau zikir sendiri secara khafi, Syekh Naqsyabandi tidak pernah ikut ertawajuh dengan Syekh Amir Kullal yang zikir bersama secara zahar, hal ini menimbulkan prasangka buruk pada murid murid gurunya yang tidak mengerti duduk persoalan. Akan tetapi Syekh Amir Kullal justru bertambah sayang dan cinta kepada Syekh Naqsyabandi. Suatu hari Syekh Bahauddin di panggil oleh Gurunya dan berkata, “ Duuh putraku Bahauddin, kebetulan sekali pada waktu ini saudara saudara kita terutama para Khalifahku sedang berkumpul, aku akan berkata kepadamu, supaya disaksikan oleh para hadirin: Bahauddin! Supaya engkau tahu, bersamaan hidmahmu disini, Alhamdulillah aku telah melaksanakan wasiat guruku alhmarhum Syekh Muhammad Baba (lalu Syekh Amir Kullal memberi isyarat pada susunya), dan berkata kepadanya: Engkau telah meneteki susu pendidikanku ini sampai kering, tetapi wadahmu terlalu besar dan persiapanmu sangat kuat, maka itu aku telah mengizinkan kepadamu supaya meninggalkan tempat ini untuk mencari beberapa guru supaya kamu menambah beberapa faedah yang perlu dari mereka dan faidan nur (Keluberan Nur Ilahi) yang selaras dengan cita citamu yang agung itu. Aku hanya bisa memberi ancar ancar carilah guru dari tanah Tajik dan dari tanah Turki”.
Setelah meminta izin dari Syekh Amir Kulal selanjutnya Syekh Naqsyabandi berguru kepada Syekh ‘Arifuddin Karoni selama tujuh tahun, kemudian berguru kepada Maulana Qatsam selama dua tahun terkahir kepada Syekh Darwisy Khalil dari Turki selama dua belas tahun. Syekh Naqsyabandi telah melaksanakan titah gurunya (Syekh Amir Khulal) demikian juga fatwa-fatwa dari Syekh Abdul Khaliq Fadjuani untuk memperdalam ilmu-ilmu syariat secara mendalam sehingga sempurnalah ilmu yang Beliau peroleh. Syekh Bahauddin pernah menyanjung ilmu tarekatnya dengan ucapan “Permulaan pelajaran Tarikatku akhir dari pelajaran semua tarekat”. Pisahnya Baha-ud-Din dari kelompok Amir Kulal ini mungkin bisa dianggap sebagai penanda terwujudnya tariqat Naqsyabandi, yang ajarannya didapat dari Abdul Khaliq, yang ujungnya berasal dari Khalifah Abu Bakar diperoleh dari Nabi Muhammad.
Al Qutub, Auliya Allah, Penasehat Utama Sultan Khalil di Samarqan, fatwa-fatwanya menjadi rujukan Hakim-Hakim Agung dalam memutuskan perkara. Karena kebesaran namanya, Tarekat yang di pimpinnya tersebar dengan cepat dan termashur serta memiliki pengikut yang sangat banyak dan tersebar ke seluruh dunia.
Beliau meletakkan dasar-dasar zikir qalbi yang sirri, zikir batin qalbi yang tidak berbunyi dan tidak bergerak, dan beliau meletakkan kemurnian ibadat semata-mata lillahi ta’ala, tergambar dalam do’a beliau yang diajarkan kepada murid-muridnya “Ilahi anta makshuudi waridlaaka mathluubi”. secara murni meneruskan ibadat Tratiwatus Sirriyah zaman Rasulullah, Thariqatul Ubudiyyah zaman Abu Bakar Siddiq dan Thariqatus Siddiqiyah zaman Salman al-Farisi. Beliau amat masyhur dengan keramat-keramatnya dan makmur dengan kekayaannya, lagi terkenal sebagai wali akbar dan wali quthub yang afdal, yang amat tinggi hakikat dan marifatnya. Dari murid-muridnya dahulu sampai dengan sekarang, banyak melahirkan wali-wali besar di Timur maupun di Barat, sehingga ajarannya meluas ke seluruh pelosok dunia. Beliau pulalah yang mengatur pelaksanaan iktikaf atau suluk dari 40 (empat puluh) hari menjadi 10 (sepuluh) hari, yang dilaksanakan secara efisien dan efektif, dengan disiplin dan ada suluk yang teguh. Syekh Naqsyabandy wafat pada malam Senin Tanggal 3 Rabi’ul Awal tahun 791 H dalam usia 74 tahun.
Syekh Naqsyabandi meninggalkan banyak penerus, yang paling terhormat di antara mereka adalah Syekh Muhammad bin Muhammad Alauddin al-Khwarazmi al-Bukhari al-Attar q.s dan Syaikh Muhammad bin Muhammad bin Mahmoud al-Hafizi q.s, yang dikenal sebagai Muhammad Parsa, penulis Risalah Qudsiyyah. Kepada yang pertamalah Syekh Naqsyabdi meneruskan Ilmunya dan menjadi Ahli Silsilah ke-16
Syekh Muhammmad Baba as Samasiy adalah guru pertama kali dari Syekh Muhammad Bahauddin Ra. yang telah mengetahui sebelumnya tentang akan lahirnya seseorang yang akan menjadi orang besar, yang mulia dan agung baik disisi Allah Swt. maupun dihadapan sesama manusia di desa Qoshrul Arifan yang tidak lain adalah Syekh Bahauddin.
Di dalam asuhan, didikan dan gemblengan dari Syekh Muhammad Baba inilah Syekh Muhammad Bahauddin mencapai keberhasilan di dalam mendekatkan diri kepada Allah Swt. sampai Syekh Muhammad Baba menganugerahinya sebuah “kopiah wasiat al Azizan” yang membuat cita-citanya untuk lebih dekat dan wusul kepada Allah Swt. semakin meningkat dan bertambah kuat. Hingga pada suatu saat, Syekh Muhammad Bahauddin Ra. melaksanakan sholat lail di Masjid. Dalam salah satu sujudnya hati beliau bergetar dengan getaran yang sangat menyejukkan sampai terasa hadir dihadapan Allah (tadhoru’). Saat itu beliau berdo’a, “Ya Allah berilah aku kekuatan untuk menerima bala’ dan cobaanya mahabbbah (cinta kepada Allah)”.
Setelah subuh, Syekh Muhammad Baba yang memang seorang waliyullah yang kasyaf (mengetahui yang ghoib dan yang akan terjadi) berkata kepada Syekh Bahauddin, “Sebaiknya kamu dalam berdo’a begini, “Ya Allah berilah aku apa saja yang Engkau ridloi”. Karena Allah tidak ridlo jika hamba-Nya terkena bala’ dan kalau memberi cobaan, maka juga memberi kekuatan dan memberikan kepahaman terhadap hikmahnya”. Sejak saat itu Syekh Bahauddin seringkali berdo’a sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Syekh Muhammad baba.
Untuk lebih berhasil dalam pendekatan diri kepada Sang Kholiq, Syekh Bahauddin seringkali berkholwat menyepikan hatinya dari keramaian dan kesibukan dunia. Ketika beliau berkholwat dengan beberapa sahabatnya, waktu itu ada keinginan yang cukup kuat dalam diri Syekh Bahauddin untuk bercakap-cakap. Saat itulah secara tiba-tiba ada suara yang tertuju pada beliau, “He, sekarang kamu sudah waktunya untuk berpaling dari sesuatu selain Aku (Allah)”. Setelah mendengar suara tersebut, hati Syekh Bahauddin langsung bergetar dengan kencangnya, tubuhnya menggigil, perasaannya tidak menentu hingga beliau berjalan kesana kemari seperti orang bingung. Setelah merasa cukup tenang, Syekh Bahauddin menyiram tubuhnya lalu wudlu dan mengerjakan sholat sunah dua rokaat. Dalam sholat inilah beliau merasakan kekhusukan yang luar biasa, seolah-olah beliau berkomunikasi langsung dengan Allah Swt.
Saat Syekh Bahauddin mengalami jadzab1 yang pertama kali beliau mendengar suara, “Mengapa kamu menjalankan thoriq yang seperti itu ? “Biar tercapai tujuanku’, jawab Syekh Muhammad Bahauddin. Terdengar lagi suara, “Jika demikian maka semua perintah-Ku harus dijalankan. Syekh Muhammad Bahauddin berkata “Ya Allah, aku akan melaksanakan semampuku dan ternyata sampai 15 hari lamanya beliau masih merasa keberatan. Terus terdengar lagi suara, “Ya sudah, sekarang apa yang ingin kamu tuju ? Syekh Bahauddin menjawab, “Aku ingin thoriqoh yang setiap orang bisa menjalankan dan bisa mudah wushul ilallah”.
Hingga pada suatu malam saat berziarah di makam Syekh Muhammad Wasi’, beliau melihat lampunya kurang terang padahal minyaknya masih banyak dan sumbunya juga masih panjang. Tak lama kemudian ada isyarat untuk pindah berziarah ke makam Syekh Ahmad al Ahfar Buli, tetapi disini lampunya juga seperti tadi. Terus Syekh Bahauddin diajak oleh dua orang ke makam Syekh Muzdakhin, disini lampunya juga sama seperti tadi, sampai tak terasa hati Syekh Bahauddin berkata, “Isyarat apakah ini ?”
Kemudian Syekh Bahauddin, duduk menghadap kiblat sambil bertawajuh dan tanpa sadar beliau melihat pagar tembok terkuak secara perlahan-lahan, mulailah terlihat sebuah kursi yang cukup tinggi sedang diduduki oleh seseorang yang sangat berwibawa dimana wajahnya terpancar nur yang berkilau. Disamping kanan dan kirinya terdapat beberapa jamaah termasuk guru beliau yang telah wafat, Syekh Muhammad Baba.
Salah satu dari mereka berkata, “Orang mulia ini adalah Syekh Muhammad Abdul Kholiq al Ghojdawaniy dan yang lain adalah kholifahnya. Lalu ada yang menunjuk, ini Syekh Ahmad Shodiq, Syekh Auliya’ Kabir, ini Syekh Mahmud al Anjir dan ini Syekh Muhammad Baba yang ketika kamu hidup telah menjadi gurumu. Kemudian Syekh Muhammad Abdul Kholiq al Ghojdawaniy memberikan penjelasan mengenai hal-hal yang dialami Syekh Muhammad Bahauddin, “Sesunguhnya lampu yang kamu lihat tadi merupakan perlambang bahwa keadaanmu itu sebetulnya terlihat kuat untuk menerima thoriqoh ini, akan tetapi masih membutuhkan dan harus menambah kesungguhan sehingga betul-betul siap. Untuk itu kamu harus betul-betul menjalankan 3 perkara :
1. Istiqomah mengukuhkan syariat.
2. Beramar Ma’ruf Nahi mungkar.
3. Menetapi azimah (kesungguhan) dengan arti menjalankan agama dengan mantap tanpa memilih yang ringan-ringan apalagi yang bid’ah dan berpedoman pada perilaku Rasulullah Saw. dan para sahabat Ra.
Kemudian untuk membuktikan kebenaran pertemuan kasyaf ini, besok pagi berangkatlah kamu untuk sowan ke Syekh Maulana Syamsudin al An-Yakutiy, di sana nanti haturkanlah kejadian pertemuan ini. Kemudian besoknya lagi, berangkatlah lagi ke Sayyid Amir Kilal di desa Nasaf dan bawalah kopiah wasiat al Azizan dan letakkanlah dihadapan beliau dan kamu tidak perlu berkata apa-apa, nanti beliau sudah tahu sendiri”.
Syekh Bahauddin setelah bertemu dengan Sayyid Amir Kilal segera meletakkan “kopiah wasiat al Azizan” pemberian dari gurunya. Saat melihat kopiah wasiat al Azizan, Sayyid Amir Kilal mengetahui bahwa orang yang ada didepannya adalah syekh Bahauddin yang telah diwasiatkan oleh Syekh Muhammad Baba sebelum wafat untuk meneruskan mendidiknya.
Syekh Bahauddiin di didik pertama kali oleh Sayyid Amir Kilal dengan kholwat selama sepuluh hari, selanjutnya dzikir nafi itsbat dengan sirri. Setelah semua dijalankan dengan kesungguhan dan berhasil, kemudian beliau disuruh memantapkannnya lagi dengan tambahan pelajaran beberapa ilmu seperti, ilmu syariat, hadist-hadist dan akhlaqnya Rasulullah Saw. dan para sahabat. Setelah semua perintah dari Syekh Abdul Kholiq di dalam alam kasyaf itu benar–benar dijalankan dengan kesungguhan oleh Syekh Bahauddin mulai jelas itu adalah hal yang nyata dan semua sukses bahkan beliau mengalami kemajuan yang sangat pesat.
Jadi toriqoh An Naqsyabandiy itu jalur ke atas dari Syekh Muhammad Abdul Kholiq al Ghojdawaniy ke atasnya lagi dari Syekh Yusuf al Hamadaniy seorang Wali Qutub masyhur sebelum Syekh Abdul Qodir al Jailaniy. Syekh Yusuf al Hamadaniy ini kalau berkata mati kepada seseorang maka mati seketika, berkata hidup ya langsung hidup kembali, lalu naiknya lagi melalui Syekh Abu Yazid al Busthomi naik sampai sahabat Abu Bakar Shiddiq Ra. Adapun dzikir sirri itu asalnya dari Syekh Muhammad Abdul Kholiq al ghojdawaniy yang mengaji tafsir di hadapan Syekh Sodruddin. Pada saat sampai ayat, “Berdo’alah kepada Tuhanmu dengan cara tadhorru’ dan menyamarkan diri”…
Lalu beliau berkata bagaimana haqiqatnya dzikir khofiy /dzikir sirri dan kaifiyahnya itu ? jawab sang guru : o, itu ilmu laduni dan insya Allah kamu akan diajari dzikir khofiy. Akhirnya yang memberi pelajaran langsung adalah nabi Khidhir as.
Pada suatu hari Syekh Muhammad Bahauddin Ra. bersama salah seorang sahabat karib yang bernama Muhammad Zahid pergi ke Padang pasir dengan membawa cangkul. Kemudian ada hal yang mengharuskannya untuk membuang cangkul tersebut. Lalu berbicara tentang ma’rifat sampai datang dalam pembicaraan tentang ubudiyah “Lha kalau sekarang pembicaraan kita sampai begini kan berarti sudah sampai derajat yang kalau mengatakan kepada teman, matilah, maka akan mati seketika”. Lalu tanpa sengaja Syekh Muhammad Bahauddin berkata kepada Muhammad Zahid, “matilah kamu!, Seketika itu Muhammad Zahid mati dari pagi sampai waktu dhuhur.
Melihat hal tersebut Syekh Muhammad Bahauddin Ra. menjadi kebingungan, apalagi melihat mayat temannya yang telah berubah terkena panasnya matahari. Tiba-tiba ada ilham “He, Muhammad, berkatalah ahyi (hiduplah kamu). Kemudian Syekh Muhammad Bahauddin Ra. berkata ahyi sebanyak 3 kali, saat itulah terlihat mayat Muhammad Zahid mulai bergerak sedikit demi sedikit hingga kembali seperti semula. Ini adalah pengalaman pertama kali Syekh Muhammad Bahauddin Ra. dan yang menunjukkan bahwa beliau adalah seorang Wali yang sangat mustajab do’anya.
Syekh Tajuddin salah satu santri Syekh Muhammad Bahauddin Ra berkata, “Ketika aku disuruh guruku, dari Qoshrul ‘Arifan menuju Bukhara yang jaraknya hanya satu pos aku jalankan dengan sangat cepat, karena aku berjalan sambil terbang di udara. Suatu ketika saat aku terbang ke Bukhara, dalam perjalanan terbang tersebut aku bertemu dengan guruku. Semenjak itu kekuatanku untuk terbang di cabut oleh Syekh Muhammad Bahauddin Ra, dan seketika itu aku tidak bisa terbang sampai saat ini”.
Berkata Afif ad Dikaroniy, “Pada suatu hari aku berziarah ke Syekh Muhammad Bahauddin Ra. Lalu ada orang yang menjelek-jelekkan beliau. Aku peringatkan, kamu jangan berkata jelek terhadap Syekh Muhammad Bahauddin Ra. dan jangan kurang tata kramanya kepada kekasih Allah. Dia tidak mau tunduk dengan peringatanku, lalu seketika itu ada serangga datang dan menyengat dia terus menerus. Dia meratap kesakitan lalu bertaubat, kemudian sembuh dengan seketika.
SYECH MUHAMMAD BAHAU’UDDIN NAQSYABANDI DENGAN TAREKATNYA
Peletak dasar Thoriqoh Naqsyabandiyah ini adalah Al-Arif Billah Asy Syaikh Muhammad bin Muhammad Bahauddin Syah Naqsyabandi Al-Uwaisi Al- Bukhori radliyallahu anhu (717-865 H) .
Dijelaskan oleh Syaikh Abdul Majid bin Muhammad Al Khaniy dalam bukunya Al-Hada’iq Al-Wardiyyah , bahwa thoriqoh Naqsabandiyyah ini adalah thoriqohnya para sahabat yang mulia radlallahu anhum sesuai aslinya, tidak menambah dan tidak mengurangi. Ini merupakan untaian ungkapan dari langgengnya (terus menerus) ibadah lahir bathin dengan kesempurnaan mengikuti sunnah yang utama dan ‘azimah yang agung serta kesempurnaan dalam menjauhi bid’ah dan rukhshah dalam segala keadaan gerak dan diam, serta langgengnya rasa khudlur bersama Allah Subhanahu wa ta'ala, mengikuti Nabi Muhammad Shollallahu 'alaihi wa sallam dengan segala yang beliau sabdakan dan memperbanyak dzikir qalbi .
Dzikirnya para guru Naqsyabandiyah adalah qalbiyah (menggunakan Hati), dengan membaca lafadz “Alloh..Alloh” pada 7 tempat lathaif. Dengan itu mereka bertujuan hanya kepada Allah Subhanahu wa ta'ala semata dengan tanpa riya’ , dan mereka tidak mengatakan suatu perkataan dan tidak membaca suatu wirid kecuali dengan dalil atau sanad dari kitab Allah Subhanahu wa ta'ala atau sunnah Nabi Muhammad Shollallahu 'alaihi wa sallam. Adapun 7 macam lathaif tersebut adalah :
Lathifah al-qalb ada di bawah dada kiri, dua jari di bawah payudara … warnanya adalah kuning, dan dia adalah tempat kekuasaan Nabi Adam as, dan asalnya adalah air, udara dan tanah.
Lathifah al-ruh bertempat di sisi bawah susu kanan, berjarak sekitar dua jari, warnanya adalah merah, dan merupakan tempat kewenangan Nabi Ibrahhim dan Nuh, dan asalnya adalah api.
Lathifah al-sirr bertempat di atas susu kiri berjarak sekitar dua jari, warnanya adalah putih, tempat kekuasaan Nabi Musa dan asalnya adalah air.
Lathifah al-khafi bertempat di atas susu kanan, berjarak sekitar dua jari, warnanya adalah hitam, tempat kekuasaan Nabi Isa, dan asalnya adalah udara.
Lathifah al-akhfa bertempat di tengah dada, warnanya hijau, tempat kekuasaan Nabi Muhammad saw., asalnya adalah tanah.
Lathifatul al-Nafsi bertempat di anatara kedua mata kepala
Lathifatul Qolab (Jasad) bertempat di seluruh dan sekujur anggota badan, mulai rambut kepala sampai kaki
Dalam tarekat Naqsyabandi ini telah di ajarkan 11 asas dasar ajaran, yakni :
1). “Huwasy Dardam” , yaitu pemeliharaan keluar masuknya nafas, supaya hati tidak lupa kepada Allah SWT atau tetap hadirnya Allah SWT pada waktu masuk dan keluarnya nafas. Setiap murid atau salik menarikkan dan menghembuskan nafasnya, hendaklah selalu ingat atau hadir bersama Allah di dalam hati sanubarinya. Ingat kepada Allah setiap keluar masuknya nafas, berarti memudahkan jalan untuk dekat kepada Allah SWT, dan sebaliknya lalai atau lupa mengingat Allah, berarti menghambat jalan menuju kepada- Nya.
2). “Nazhar Bar qadlam” yaitu setiap murid atau salik dalam iktikaf/suluk bila berjalan harus menundukkan kepala, melihat ke arah kaki dan apabila dia duduk dia melihat pada kedua tangannya. Dia tidak boleh memperluas pandangannya ke kiri atau ke kanan, karena dikhawatirkan dapat membuat hatinya bimbang atau terhambat untuk berzikir atau mengingat Allah SWT. Nazhar Barqadlam ini lebih ditekankan lagi bagi pengamal tarikat yang baru suluk, karena yang bersangkutan belum mampu memelihara hatinya.
3). “Safar Dar wathan” yaitu perpindahan dari sifat kemanusiaan yang kotor dan rendah, kepada sifat-sifat kemalaikatan yang bersih dan suci lagi utama. Karena itu wajiblah bagi si murid atau salik mengontrol hatinya, agar dalam hatinya tidak ada rasa cinta kepada makhluk.
4). “Khalwat Dar jaman” yaitu setiap murid atau salik harus selalu menghadirkan hati kepada Allah SWT dalam segala keadaan, baik waktu sunyi maupun di tempat orang banyak. Dalam Tarikat Naqsyabandiyah ada dua bentuk khalwat :
a. Berkhalwat lahir , yaitu orang yang melaksanakan suluk dengan mengasingkan diri di tempat yang sunyi dari masyarakat ramai.
b. Khalwat batin , yaitu hati sanubari si murid atau salik senantiasa musyahadah, menyaksikan rahasia- rahasia kebesaran Allah walaupun berada di tengah- tengah orang ramai.
5). “Ya Dakrad” yaitu selalu berkekalan zikir kepada Allah SWT, baik zikir ismus zat (menyebut Allah, Allah,.), zikir nafi isbat (menyebut la ilaha ilallah), sampai yang disebut dalam zikir itu hadir.
6). “Bar Kasyat” yaitu orang yang berzikir nafi isbat setelah melepaskan nafasnya, kembali munajat kepada Allah dengan mengucapkan kalimat yang mullia
“Wahai Tuhan Allah, Engkaulah yang aku maksud (dalam perjalanan rohaniku ini) dan keridlaan-Mulah yang aku tuntut” . Sehingga terasa dalam kalbunya rahasia tauhid yang hakiki, dan semua makhluk ini lenyap dari pemandangannya.
7).“Nakah Dasyat” yaitu setiap murid atau salik harus memelihara hatinya dari kemasukan sesuatu yang dapat menggoda dan mengganggunya, walaupun hanya sebentar. Karena godaan yang mengganggu itu adalah masalah yang besar, yang tidak boleh terjadi dalam ajaran dasar tarikat ini.
Syekh Abu Bakar Al Kattani berkata, “Saya menjaga pintu hatiku selama 40 (empat puluh) tahun, aku tiada membukakannya selain kepada Allah SWT, sehingga menjadilah hatiku itu tidak mengenal seseorang pun selain daripada Allah SWT.”
Sebagian ulama tasawuf berkata “Aku menjaga hatiku 10 (sepuluh) malam, maka dengan itu hatiku menjaga aku selama 20 (duapuluh) tahun.”
8).“Bad Dasyat” yaitu tawajuh atau pemusatan perhatian sepenuhnya pada musyahadah, menyaksikan keindahan, kebesaran, dan kemuliaan Allah SWT terhadap Nur Zat Ahadiyah (Cahaya Yang Maha Esa) tanpa disertai dengan kata- kata. Keadaan “Bad Dasyat” ini baru dapat dicapai oleh seorang murid atau salik, setelah dia mengalami fana dan baka yang sempurna. Adapun tiga ajaran dasar yang berasal dari Bahauddin Naqsyabandi adalah,
9).“Wuquf Zamani” yaitu kontrol yang dilakukan oleh seorang murid atau salik tentang ingat atau tidaknya ia kepada Allah SWT setiap dua atau tiga jam. Jika ternyata dia berada dalam keadaan ingat kepada Allah SWT pada waktu tersebut, ia harus bersyukur dan jika ternyata tidak, ia harus meminta ampun kepada Allah SWT dan kembali mengingat- Nya.
10).“Wuquf ‘Adadi” yaitu memelihara bilangan ganjil dalam menyelesaikan zikir nafi isbat, sehingga setiap zikir nafi isbat tidak diakhiri dengan bilangan genap. Bilangan ganjil itu, dapat saja 3 (tiga) atau 5 (lima) sampai dengan 21 (duapuluh satu), dan seterusnya.
11).“Wuquf Qalbi” yaitu sebagaimana yang dikatakan oleh Syekh Ubaidullah Al- Ahrar, “Keadaan hati seorang murid atau salik yang selalu hadir bersama Allah SWT”. Pikiran yang ada terlebih dahulu dihilangkan dari segala perasaan, kemudian dikumpulkan segenap tenaga dan panca indera untuk melakukan tawajuh dengan mata hati yang hakiki, untuk menyelami makrifat Tuhannya, sehingga tidak ada peluang sedikitpun dalam hati yang ditujukan kepada selain Allah SWT, dan terlepas dari pengertian zikir.
Selain itu, dalam tarekat ini juga dikenalkan akan tehnik muroqobah, sebanyak 20 macam muroqobah
Demikian kisah keramatnya Syekh Muhammad Bahauddin Ra dan ajaran-ajarannya. Rodiyallah ‘anhu wa a’aada a‘lainaa min barokaatihi wa anwaarihi wa asroorihii wa ‘uluumihii wa akhlaaqihi allahuma amiin.
====================
Thoriqot Naqsyabandiyyah bermula dari Kholifah – pengganti – RasulullohSAW yang pertama iaitu, Sayyiduna Abu Bakar As-Shiddiq RA, sahabat yang paling rapat
dan pengikut paling setia Rasululloh SAW. Pewaris kepada beliau pula
ialah Salman al-Farsi, dari Persia. Salman al-Farisi merupakan seorang
sahabat yang sejak dai mudanya semasa di Persia, sentiasa mencari para
ulama dan para‘ariffin’ (mereka yang arif tentang ilmu ketuhanan),
lelaki mahupun wanita untuk menuntut ilmu daripada mereka, sehinggalah
akhirnya beliau bertemu dengan orang yang dicari-carinya iaitu, Nabi dan
Rasu pada zamannya, Muhammad sallallahu ‘alaihi wasalam. Pewaris kepada
beliau pula ialah, Qassim bin Muhammad bin Abu Bakr, cucunda kepada Abu
Bakr Siddiq, yang telah disebut diatas tadi. Seterusnya, rahsia amalan
kesufian tariqat Naqshbandi ini pula diwarisi oleh Imam besar, Imam para
‘Ariffin’ dan Penunjuk Jalan Ketuhanan pada zamannya iaitu Jaf’ar
as-Sadiq, orang yang Dipercayai. ! Beliau diakui sebagai Imam besar
jalan ketuhanan oleh orang Islam yang berfahaman Sunni (ahlussunnah wal
jama’ah) dan juga yang berfahaman Shi’a, Yahudi dan juga Kristian.
Beliau merupakan generasi kelima keturunan Rasulullah (s.a.w) dan beliau
mewarisi rahsia ilmu kesufian/ketuhanan ini daripada keluarga bondanya
yang merupakan keturunan Abu Bakar dan juga daripada keluarga bapanya
yang merupakan keturunan Nabi Muhammad melalui anak kesayangan baginda
(s.a.w), Fatimah.
Bayazid al Bistami pula merupakan pewaris as-Sadiq didalam silsilah
tariqat yang kaya dengan rahsia ilmu ketuhanan/kesufian ini. Datuk
kepada Bayazid merupakan seorang majusi (penyembah api). Kehidupan zuhud
yang menjadi amalan Bayazid tidak dapat ditandingi. Beliau merupakan
ahli Sufi yang pertama yang mengutarakan konsep fana’un fillah
(binasanya makhluk – sesungguhnya Allah jua yang wujud dan yang kekal).
Perkataan Naqshband, yang menjadi nama bagi tariqat ini bererti,
‘mengukir nama Allah didalam hati’. Sebab itulah, Imam tariqat ini
dikenali sebagai Sultan Para Pengukir, yang masyhur bukan sahaja kerana
merasai dan mengalami rasa dekatnya Allah dengan hambanya tapi juga
kerana benar-benar dapat mengukir perkataan ‘Allah’pada dada nya. Ukiran
perkataan ‘Allah’ dijumpai apabila beliau telah meninggal dunia, iaitu
semasa pegurusan jenazah beliau. Karamah ini berlaku kerana beliau
sentiasa berada didalam keadaan mengingati dan membasahkan lidah mereka
dengan menyebut nama Tuhan yang Agung ‘Allah’. Kisah mengenai karamah
beliau, rahmat tuhan kepadanya dan juga kata-kata puji-pujinya dan
cintanya terhadap Tuhan, Keesaan Allah dan bekal untuk menyelami jalan
menuju ke hadrat Allah s.w.t. banyak diperkatakan.
Salasilah Tarekat ini, mengandungi 40 imam-imam besar, yang bermula
daripada Rasulullah (s.a.w) - kerana amalan, dzikir dan segala rahsia
ketuhanan/kesufian tariqat ini diajari oleh Rasulullah (s.a.w) yang
diwarisi turun temurun oleh imam-imam seterusnya. Pada setiap zaman
terdapat satu imam yang merupakan Qutub dan Ghawth pada zaman tersebut.
Imam-imam ini, mempunyai daya tarikan yang begitu kuat didalam
'mengajak' murid-muridnya ke hadrat Allah s.w.t. sehinggakan mereka akan
datang dari jarak jauh hanya untuk berada dekat dengan imam-imam ini.
Keupayaan ini untuk menggunakan kuasa kerohanian mereka tanpa sekatan
masa dan ruang, merupakan penyebab berjuta-juta manusia mendekatkan diri
mereka ke hadrat Allah s.w.t. - malah mungkin antara jutaan manusia itu
tidak pun pernah bersua muka dengan Imam tadi.
1. Adab karimah terhadap Allah S.W.T yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi, mengharuskan murid untuk menyempurnakan ibadahnya baik secara eksternal maupun internal, menjauhi semua larangan-Nya dan menjalankan segala apa yang telah diperintahkan-Nya dan meninggalkan segala sesuatu selain Allah S.W.T.
Thariqat Naqshbandi mempunyai sejarah yang panjang iaitu silsilah
pemimpin ataupun imam-imam besar bagi tariqat ini dapat dikesan sehingga
ke Sayyidina Abu Bakar as-Siddiq, Khalifah Ar-Rasyidun yang pertama.Abu
Bakar as-Siddiq menjadi pengganti pertama kepada Rasulullah (s.a.w)
untuk memimpin Ummat Islam pada masa itu dan mengukuhkan rohani dan iman
mereka. Firman Allah didalam Al-quran yang mulia
"...sedang dia salah seorang dari 2 orang ketika keduanya berada dalam
gua,di waktu dia berkata kepada temannya,Janganlah kamu berdukacita
sesungguhnya Allah beserta kita." (Al-Quran, 9:40)
Rasulullah (s.a.w) pernah memuji Abu Bakar as-Siddiq dengan
sabdanya,"Dikala terbit atau terbenamnya matahari, sinarnya yang
memancar itu, tidak pernah menyinar pada seorang yang lebih baik selain
Abu Bakar melainkan para Nabi dan Rasul." (Tarikh al-Khulafa) Baginda
(s.a.w) juga pernah bersabda,"Abu Bakar lebih utama daripada kamu bukan
kerana banyaknya solat atau puasa beliau melainkan kerana sesuatu rahsia
yang berakar umbi di dalam hatinya."(Manaqib as-Sahaba Imam Ahmad).
Rasulullah (s.a.w) pernah bersabda," Jika aku di kehendaki memilih teman
yang kucintai,aku memilih Abu Bakr sebagai teman yang kucintai;tetapi
dia adalah saudara dan sahabatku."(Sahih Muslim)
Tariqat Naqshbandi terbina asas dan rukunnya oleh 5 bintang yang
bersinar diatas jalan Rasulullah (s.a.w) ini dan inilah yang merupakan
ciri yang unik bagi tariqat ini yang membezakannya daripada tariqat
lain. Lima bintang yang bersinar itu ialah Abu Bakr as-Siddiq,Salman
Al-Farisi,Bayazid al-Bistami,Abdul Khaliq al-Ghujdawani dan Muhammad
Bahauddin Uwaysi a-Bukhari yang lebih dikenali sebagai Shah Naqshband -
Imam yang utama didalam tariqat ini.
Perkataan Naqshband berasal daripada dua cetusan idea : naqsh yang
bermaksud "ukiran" dan ini diertikan sebagai mengukir nama Tuhan pada
hati dan band pula bermaksud "ikatan" yang menunjukkan ikatan antara
insan dan Penciptanya. Oleh itu ini bermakna Tariqat Naqshbandi mengajak
murid-muridnya lelaki ataupun perempuan, agar melakukan solat dan
menunaikan perkara yang wajib mengikut Al-Quran dan As-sunnah Rasulullah
(s.a.w) dan kehidupan para sahabat berserta dengan sifat Ihsan. Agar
terus bermujahadah dan dapat merasakan kehadiran Allah dan perasaan
cinta kepada Allah didalam hati murid-murid tadi dan seterusnya
terjalinlah ikatan antara murid dengan Penciptanya.
Salman al-Farisi
Selain daripada Sayyidina Abu Bakar as-Siddiq siapakah lagi bintang yang
bersinar di dalam tariqat warisan Rasulullah (s.a.w) ini? Salah seorang
daripada mereka ialah Salman al-Farisi.Beliau berasal daripada Ispahan,
sebuah bandar di Persia. Didalam sejarah, beliau adalah sahabat yang
bertanggungjawab memberikan cadangan pembinaan parit kepada ummat Islam
ketika menghadapi para Musyrikin semasa peperangan Ahzab.Cadangan ini
telah dapat mengelakkan korban jiwa yang banyak dan seterusnya membawa
kepada perdamaian dalam waktu yang singkat. Setelah baginda Rasulullah
(s.a.w) wafat, beliau berpindah ke al-Madain, ibu negara Persia ketika
itu. Ia diangakat menjadi Putera dan gabenor kota tersebut. Beliau terus
menetap di kota tersebut hingga ke mangkatannya.
Bayazid Tayfur al-Bistami (q)
Seorang lagi bintang yang menyinari tariqat ini ialah Bayazid Tayfur
al-Bistami. Datuk beliau merupakan seorang penganut agama Majusi.
Bayazid mendalami 'ilmu shariah dan mengamalkan kehidupan yang amat
zuhud. Sepanjang hidupnya dia amat tekun dan bersungguh-sungguh didalam
mengamalkan segala suruhan agama. Dia mengajar murid-muridnya agar
menyerahkan segala usaha mereka, di dalam tangan Allah. Dia juga
menggalakkan murid-muridnya untuk mengamalkan ajaran Tauhid yang benar
dan suci dengan penuh keikhlasan.
Doktrin Ketauhidan Bayazid al Bistami
Lima elemen utama terkandung di dalam doktrin ini iaitu: tetap
melaksanakan kewajiban-kewajiban didalam agama berlandaskan wahyu
(Al-quran) dan As-sunnah Nabi Muhammad (s.a.w)[hadith dan cara hidup
baginda], sentiasa berkata benar, jauhi hati daripada menyimpan perasaan
benci, menjauhi makanan yang membahayakan diri dan menjauhi bida'ah.
Bayazid berkata, matlamat utama para Sufi ialah untuk melihat Allah di
alam akhirat kelak.Dia pernah berkata: " Terdapat hamba-hamba Allah yang
istimewa disisiNya, akan memilih dan meminta untuk dikeluarkan daripada
syurga dengan segera sebagaimana penghuni neraka meminta untuk
disegerakan keluar daripada neraka, sekiranya pandangan mereka ditutup
daripada berpeluang untuk memandang Allah di syurga."
Abdul Khaliq al-Ghujduvani (q)
Seorang lagi bintang yang bersinar, didalam tariqat warisan Rasulullah
(s.a.w) ini, ialah Abdul Khaliq al-Ghujduvani. Beliau dilahirkan di
sebuah kampung bernama Ghujduvani, berdekatan dengan Bukhara - sekarang
dikenali sebagai Uzbekistan dan disinilah beliau dibesarkan dan
dikebumikan. Beliau mempelajari 'Ilmu Wahyu, 'Ilmu Tafsir, Usul Fiqh dan
'Ilmu Hadith daripada Shaykh Sadruddin. Setelah menguasai 'Ilmu
Ketuhanan (Shari'ah) dia meneruskan pula pengajiannya kepada Jihaddun
Nafs iaitu memerangi nafsu yang ada didalam diri setiap insan. Beliau
berusaha bersungguh-sungguh memerangi nafsu diri yang rendah sehinggalah
beliau berada dan sampai kepada maqam kesucian dan keikhlasan. Beliau
kemudian bermusafir ke Damascus dan membuka sekolah yang telah
melahirkan ramai anak-anak murid yang meneruskan perjuangan menyebarkan
ajaran Islam yang sebenar ke kawasan Asia Tengah dan juga Timur Tengah.
Abdul Khaliq menyambung kajian dan ajaran pemimpin tariqat sebelum
beliau dengan mengumpulkan kaedah dzikr menurut sunnah Rasulullah
(s.a.w).Didalam surat-suratnya beliau telah menulis tentang adab-adab
yang perlu dipatuhi oleh setiap murid tariqat Naqshbandiyya. Antara
kata-katanya," Wahai anakku, aku menyeru kamu supaya menuntut 'ilmu dan
melakukan amalan saleh dan takutlah kamu kepada Allah. Ikutilah jejak
orang-orang yang saleh dan bertaqwa yang datang sebelum kamu pada jalan
kerohanian, berpeganglah pada jalan dan cara hidup Rasulullah (s.a.w),
bersahabatlah dengan mukmin yang ikhlas dan jujur.Bacalah kitab-kitab
Hukum Syari'ah dan Usul Fiqh, pelajarilah 'ilmu hadith,'ilmu tafsir,
jauhilah mereka yang menipu didalam agama dan tetaplah solat berjamaah.
Berhati-hati terhadap bahaya kemasyhuran. Duduklah bersama-sama
orang-orang biasa dan janganlah kamu meminta-minta jabatan."
Shah Naqshband Muhammad Bahauddin Uways al-Bukhari (q)
Muhammad Bahauddin Uways al-Bukhari dikenali sebagai Shah Naqshband,
Imam Tariqat Naqshbandi yang tiada tandingannya. Dilahirkan pada tahun
1317 masihi di sebuah kampung yang bernama Qasr al-Arifin terletak dekat
dengan Bukhara. Dalam usia muda 18 tahun beliau telah mahir dan
mempunyai pemahaman yang mendalam tentang 'Ilmu Shariah. Seterusnya
beliau sentiasa bersama Shaykh Muhammad Baba as-Samasi, yang merupakan
Imam al-Muhaddithin (ilmu hadith) di Asia Tengah pada zaman itu. Selepas
kemangkatan beliau, Shah Naqshband bersama pula dengan Shaykh Amir
Kulal. Shaykh Amir Kulal meneruskan dan menyempurnakan pendidikan Shah
Naqshband didalam 'Ilmu al-Quran dan 'Ilmu adz-dzikr yang diwarisinya
daripada Nabi Muhammad (s.a.w), Abu Bakr as-Siddiq, Salman al-Farisi
sehinggalah ke zamannya.
Anak-anak murid Shaykh Amir Kulal biasa berdzikir dengan suara yang kuat
semasa berdzikir beramai-ramai. Apabila berseorangan mereka berdzikir
secara senyap. Shah Naqshband pernah berkata,
"Ada dua kaedah berdzikir iaitu yang kuat dan yang senyap. Saya memilih
yang senyap kerana ia mempunyai kesan yang lebih mendalam." Kerana
inilah, kaedah dzikir secara senyap merupakan ciri yang khusus bagi
Tariqat Naqshbandiyya yang membezakannya daripada lain-lain tariqat.
Walaupun Abu Bakr as-Siddiq dan Shah Naqshband memilih dan cenderung
kepada kaedah dzikir secara senyap, mereka tidak pernah mengkritik
kaedah dzikir secara kuat.
Shah Naqshband telah menunaikan fardhu haji sebanyak 3 kali. Selepas itu
beliau menetap di Merv dan Bukhara. Di penghujung hidupnya dia kembali
ke tempat kelahirannya, kota Qasr al-Arifin. Ajarannya menjadi buah
mulut orang ramai dan dan namanya meniti dari bibir ke bibir. Pelawat
daripada jauh datang untuk menziarahi dan belajar dan mendapatkan
nasihat daripada beliau. Murid-muridnya menimba ilmu didalam madrasah
dan masjid yang dapat memuatkan 5000 orang dalam satu-satu masa yang
dibina oleh beliau. Madrasah ini merupakan pusat pengajian Islam yang
terbesar di Asia Tengah. Bangunan ini terus berdiri tegak hingga
sekarang walaupun telah melalui zaman pemerintahan Komunis selama 70
tahun. Sekarang kerajaan tempatan mula memperbaiki dan menjaga bangunan
tersebut.
Ajaran Shah Naqshband telah memberi cahaya kedalam hati-hati
murid-muridnya yang selama ini berada di dalam kegelapan. Beliau
mengajar anak muridnya mengenai Keesaan Allah yang mana bidang ini
menjadi bidang kepakaran Imam-imam Tariqat ini yang datang sebelum
beliau. Beliau menekankan kepada anak muridnya tentang peri pentingnya
untuk merealisasikan maqam al-Ihsan berdasarkan kepada hadith Rasulullah
(s.a.w), "Ihsan ialah menyembah Allah seperti kita dapat melihatNya..."
Semasa beliau sakit di saat-saat penghujung hidupnya, beliau mengunci
dirinya didalam sebuah bilik. Murid-muridnya datang menziarahi beliau
tanpa henti-hentinya dan beliau memberi kepada mereka apa yang mereka
perlukan. Pada satu ketika beliau telah menyuruh anak-anak muridnya
membaca surah Yaasin. Setelah mereka selesai membacanya, beliau
mengangkat tangan dan terus berdoa.Seterusnya beliau mengangkat jarinya
sambil membaca kalimah syahadah. Setelah selesai membaca kalimah
tersebut, ruh beliau pergi meninggalkan jasad untuk kembali ke hadrat
ilahi,pada malam Isnin tahun 1388 masihi. Beliau dikebumikan didalam
tamannya, seperti yang beliau wasiatkan. Raja-raja yang memerintah
Bukahara selepas itu, menjaga serta membesarkan madrasah dan masjid yang
telah beliau bina dan menambahkan jumlah wang waqaf bagi pemeliharaan
dan kegunaan madrasah tersebut.
Shaykh-shaykh Tariqat Naqshbandi yang datang selepas Shah Naqshband
telah banyak menulis tentang riwayat hidup beliau. Antaranya ialah
Masoud al-Bukhari dan Sharif al-Jurjani yang menulis Risala Bahaiyya
yang menerangkan secara terperinci mengenai kehidupan dan ajaran serta
fatwa-fatwa yang telah di keluarkan oleh Shah Naqshband. Shaykh Muhammad
Parsa yang meniggal di Madinah pada tahun 1419 menulis Risala Qudsiyya.
Karya ini menceritakan mengenai kelebihan dan kesolehan serta
ajaran-ajaran Shah Naqshband.
Banyak karya-karya yang telah ditinggalkan oleh Shah Naqsband untuk
generasi selepas beliau. Antaranya termasuklah, al-Awrad al-Bahaiyya,
Amalan-amalan Shah Naqshband, Tanbih al-Ghafilin Maslakul Anwar dan
Hadiyyatus Salikin wa Tuhfat at-Talibeen. Dia juga telah menulis
puji-pujian buat Rasulullah (s.a.w) dan mengeluarkan banyak fatwa pada
zamannya. Antara pendapat beliau ialah, kesemua amalan dan kaedah
penyembahan, samaada yang wajib ataupaun yang sunat, adalah dibenarkan
untuk dilakukan bagi mencari dan mencapai haqiqat. Solat, puasa, zakat
dan sedekah,berdzikir dan mnyebut nama-nama Allah, memerangi nafsu
(mujahadatunnafs)dan jehidupan zuhud, merupakan kaedah-kaedah yang
diutamakan agar seseorang murid itu, dapat sampai ke hadrat Ilahi.
(Lihat 11 rukun Tariqat Nashbandi).
[Image] Shaykh Nazim al-Haqqani, Pemimpin Tariqat Naqshbandi pada masa
ini, semasa menziarahi makam Shah Naqsband. Mufti Uzbekistan sedang
memberi beliau segelas air daripada telaga air Shah Naqshband.
Shah Naqshband telah membina madrasah beliau untuk memperbaharui dan
mengembalikan obor Islam bagi ummat Islam dizamannya untuk menghayati
ajaran Islam sebagai cara hidup mereka. Beliau menekankan tentang
pentingnya berpegang teguh kepada Al-Quran dan As-sunnah Rasulullah
(s.a.w). Anak muridnya pernah bertanya kepada beliau,
"Apakah yang kami perlukan untuk mengikuti jalan Tuan?" Beliau menjawab,
"Mematuhi dan menghayati jalan dan cara hidup Rasulullah (s.a.w) dengan
penuh kecintaan."
Beliau menyambung lagi, "Jalan kita merupakan jalan yang jarang ditemui,
kerana ia berpegang kepada Al-Urwatul Wuthqa, iaitu ikatan yang tidak
boleh diputuskan. Jalan ini,tariqat ini hanya menghendaki pengikutnya,
memegang pada jalan yang telah dilalui oleh Rasulullah (s.a.w) - jalan
yang suci lagi terpelihara - dan jalan yang dilalui oleh pengikut dan
para sahabat baginda (s.a.w) di dalam perjuangan kita untuk menuju ke
hadrat ilahi - mengenal hakihat ketuhanan."
Kehidupan Shah Naqshband amatlah zuhud. Beliau amat mementingkan
kehalalan makan yang beliau makan. Beliau memakan roti daripada barli
yang beliau tanam dan tuai sendiri. Beliau amat mencintai para fakir
miskin dan selalu memasak dan melayan mereka serta menziarahi mereka
apabila mereka sakit. Sebenarnya beliau seorang yang kaya dan suka
membelanjakan hartanya semata-mata pada jalan Allah, bukan untuk diri
atau keluarga. Sifat beliau yang pemurah itulah yang menyebabkan beliau
amat dicintai dan sifat kedermawanannya sentiasa menjadi buah mulut
orang ramai.
Shah Naqsband pernah berkata:
"Tariqat Naqshbandi ini, merupakan jalan yang paling mudah dan senang
bagi seorang murid untuk memahami tentang Tauhid.Ia bebas daripada
bida'ah ataupun sebarang peyimpangan dan perbuatan yang ekstrim
(shaathiyyat) ataupun tarian dan sebutan yang sukar untuk difahami
(sama'a). Ia tidak meminta muridnya untuk sentiasa berlapar ataupun
berjaga sepanjang malam.Oleh kerana sifat-sifat inilah, Tariqat
Naqshbandiyya tetap bebas daripada mereka yang jahil ataupun penipuan
(mushawazeen). Kesimpulannya, kita pula mengatakan bahawa tariqat kita
ini merupakan ibu bagi tariqat-tariqat lain dan penjaga amanah
kerohanian. Jalan ini adalah jalan yang paling selamat, berhikmah, dan
jelas. Ia umpama telaga air yang daripadanya dapat diminum air yang suci
dan amat bersih. Sehingga kini Tariqat Naqshbandiyya bebas daripada
ancaman ataupun serangan daripada mana-mana pihak keran ia berpegang
teguh pada As-sunnah Rasulullah SAW- jalan yang terpelihara lagi
diridloi.
-----------------
Beliau
dilahirkan di bulan Muharram pada tahun 717 H/1317 M, di desa Qasr
al-`Arifan, dekat Bukhara. Allah swt. menganugerahkannya
kekuatan-kekuatan ajaib di masa kecilnya. Beliau telah diajari rahsia
tarekat ini oleh guru pertamanya, Sayyid Muhammad Baba As-Samasi q.s.
Kemudian beliau diberikan rahsia dan kemampuan dari tarekat ini oleh
Syaikhnya, Sayyid Amir al-Kulal q.s. Beliau juga merupakan Uwaysi dalam
hubungannya dengan Rasulullah saw., kerana beliau dibesarkan dalam
hadirat spiritual Abdul Khaliq al-Ghujdawani q.s., yang telah
mendahuluinya selama 200 tahun.
Awal Mula dari Bimbingannya dan Bimbingan dari Awal Mulanya
Syah
Naqsyband q.s. berumur 18 tahun ketika beliau dikirim kakaknya ke
kampung Samas untuk melayani syekh tarekat, Muhammad Baba as-Samasi
q.s., yang telah memintanya. Dari awal persahabatannya dengan syekh
tersebut, beliau melihat anugerah yang tak terhitung di dalam dirinya,
dan kebutuhan yang amat sangat akan kesucian dan ibadah. Dari masa
mudanya, beliau bercerita,
Aku
akan bangun lebih awal, 3 jam sebelum solat Fajar, berwudhu, dan
setelah melaksanakan solat sunnah, aku akan bersujud, memohon pada Tuhan
dengan doa berikut, “Wahai Tuhanku, berilah hamba kekuatan untuk
menjalankan kesulitan-kesulitan dan rasa sakit dari cinta-Mu.” Lalu aku
akan solat Fajar bersama dengan syekh.
Ketika
beliau keluar, suatu hari beliau melihat ke arahku dan berkata,
seolah-olah beliau telah bersamaku ketika aku berdoa tadi, “Wahai
anakku, kau harus mengubah cara berdoamu. Daripada berkata, ;Ya Allah
swt! Anugerahkanlah redha-Mu pada hamba yang lemah ini.; Tuhan tidak senang hamba-Nya berada dalam kesulitan. Walau
Tuhan dalam kearifan-Nya mungkin memberikan kesulitan pada hamba-Nya
untuk mengujinya, sang hamba tak boleh meminta untuk berada dalam
kesulitan. Hal ini bererti tidak menghormati Tuhanmu.”
Ketika
Syekh Muhammad Baba as-Samasi q.s. wafat, kakekku membawaku ke Bukhara
dan aku menikah di sana. Aku tinggal di Qasr al-Arifan, yang merupakan
pemeliharaan yang khusus dari Allah swt. bagiku, kerana aku menjadi
dekat dengan Sayyid Amir Kulal q.s. Aku tinggal dan melayaninya, dan
beliau mengatakan padaku bahawa Syekh Muhammad Baba as-Samasi q.s. telah
berkata jauh hari sebelumnya bahawa “Aku tak akan senang denganmu bila
engkau tidak memeliharanya dengan baik.”
Suatu
hari, Aku duduk bersama seorang teman, dalam pengasingan (khalwat),
tiba-tiba langit terbuka dan suatu pemandangan yang agung datang padaku
dan Aku mendengar sebuah suara yang berkata, “Tidakkah cukup bagimu
meninggalkan setiap orang dan datang ke Hadirat Kami sendirian saja?”
Suara ini membuatku gementar dan lari dari rumah itu. Aku berlari ke
sebuah sungai di mana aku lalu menyeburkan diri. Aku mencuci pakaianku
lalu solat 2 rakaat dengan cara yang belum pernah aku lakukan
sebelumnya, aku merasa seolah-olah sedang solat dalam Hadirat-Nya. Segalanya
begitu terbuka ke dalam hatiku dalam bentuk tanpa sekat (kasyf).
Seluruh semesta lenyap dan aku tak menghiraukan segala hal kecuali
berdoa ke Hadirat-Nya.
Di
awal keadaan ketertarikanku, Aku pernah ditanya, “Mengapa engkau ingin
memasuki jalan ini?” Aku menjawab, “Agar segala yang aku katakan dan aku
kehendaki akan terjadi.” Aku dijawab, “Itu mustahil. Segala yang Kami
katakan dan segala yang Kami kehendaki, itulah yang akan terjadi.” Dan
aku berkata, “Aku tak boleh melakukan hal itu. Aku harus diizinkan untuk
berkata dan untuk melakukan segala yang aku suka, atau, aku tak
menginginkan jalan ini. Lalu aku menerima jawabannya, “Tidak boleh.
Segala yang Kami kehendaki untuk dikatakan dan apapun yang Kami
kehendaki untuk terjadi pastilah terucapkan dan terjadi.” Lalu Aku
berkata lagi, “Segala yang aku katakan dan segala yang aku kerjakan
itulah yang pasti terjadi.” Kemudian aku pun ditinggalkan sendirian
selama 15 hari, hingga aku menderita depresi yang luar biasa. Kemudian
aku mendengar sebuah suara, “Wahai Baha-uddin, segala yang kau inginkan,
akan Kami kabulkan.” Aku amat bergembira. Aku berkata, “Aku ingin
diberi sebuah tarekat yang akan memimpin semua orang yang berjalan di
atasnya akan langsung menuju ke Hadirat Ilahi.” Dan Aku melihat suatu
pemandangan yang agung dan sebuah suara berkata, “Yang kau minta telah
dikabulkan.”
Kemajuan dan Perjuangannya dalam Tarekat
Syah Naqsyband menyatakan,
Suatu
saat Aku sedang mengalami ekstase dan tanpa akal fikiran (tidak sedar),
berpindah dari sini ke sana, tak menyedari apa yang tengah kulakukan.
Kakiku robek dan berdarah kerana duri pada saat gelap. Aku merasa diriku
ditarik ke rumah Syaikhku, Sayyid Amir Kulal. Saat itu malam sungguh
gelap tanpa bulan dan bintang. Udara amat dingin dan Aku tak memiliki
apapun kecuali sebuat jubah kulit yang sudah usang. Ketika Aku tiba di
rumahnya, Aku menemukan beliau sedang duduk bersama para sahabatnya.
Ketika beliau melihatku, beliau berkata kepada para pengikutnya, Bawa
dia keluar, Aku tak menginginkan dia berada di rumahku. Mereka lalu
mengeluarkan aku dan Aku merasakan ego berusaha menguasaiku, mencuba
meracuni kepercayaanku kepada Syaikhku. Pada saat itu hanya Perlindungan
Allah dan Rahmat-Nya-lah 1 - 1nya pendukungku
dalam menerima penghinaan ini Demi Allah S.W.T dan Demi Syaikhku. Lalu
Aku berkata pada egoku, Aku tak memperkenankanmu untuk meracuni
kepercayaanku terhadap Syaikhku. Aku begitu lelah dan tertekan sehingga
Aku merendahkan hati di depan pintu kesombongan, meletakkan kepalaku di
bawah pintu rumah guruku, dan bersumpah dengan Nama Allah bahawa
Aku tak akan pindah sampai beliau menerimaku kembali. Salju mulai turun
dan udara yang begitu dingin menembus tulangku, membuatku gementar
dalam gelapnya malam. Bahkan cahaya rembulan pun tak ada untuk sedikit
membuatku merasa nyaman. Aku ingat keadaan tersebut, hingga Aku membeku.
Namun cinta akan pintu Ilahi Syaikhku yang ada dalam hatiku, membuatku
tetap hangat. Subuh pun datang dan Syaikhku keluar dari pintu tanpa
melihatku secara fizik. Beliau menginjak kepalaku, yang masih berada di
bawah pintunya. Merasakan adanya kepalaku, dengan segera beliau menarik
kakinya, membawaku ke dalam rumahnya dan berkata kepadaku, Wahai anakku,
kau telah dihiasi dengan pakaian kebahagiaan. Kau telah dihiasi dengan
pakaian Cinta Ilahi. Kau telah dihiasi dengan pakaian yang tidak pernah
Aku dan Syaikhku kenakan. Allah senang denganmu,
Rasulullah s.a.w senang denganmu, semua Syaikh dari Matarantai Emas
senang denganmu. Kemudian dengan telaten dan sangat hati-hati beliau
mencabuti duri-duri dari kakiku dan membasuh lukaku. Pada saat yang sama
beliau menuangkan ilmu pada hatiku yang tak pernah Aku alami
sebelumnya. Hal ini membukakan suatu pandangan di mana Aku melihat
diriku memasuki rahsia Muhammadun Rasul-Allah e. Aku melihat diriku
memasuki rahsia ayat yang merupakan Haqiqa Muhammadiyya (Realiti
Muhammad s.a.w). Hal ini mengantarkan aku untuk memasuki rahsia dari LA
ILAHA ILLALLAH yang merupakan rahsia dari wahdaniyyah (Keunikan Allah
S.W.T). Hal ini lalu mengantar aku untuk memasuki rahsia Asma’
Allah S.W.T dan Atribut-Nya yang dinyatakan dengan rahsia ahadiyya
(Ke-Esa-an Allah ). Keadaan-keadaan tersebut tak dapat dilukiskan dengan
kata-kata, hanya dapat diketahui lewat rasa di dalam hati.
Di
awal perjalananku di thariqat ini, Aku biasa berkeliaran di malam hari
dari 1 tempat ke tempat lainnya di pinggiran kota Bukhara. Sendirian di
gelapnya malam, khususnya di lusim dingin, Aku mengunjungi pemakaman
untuk memetik pelajaran dari yang telah meninggal. Suatu malam Aku
dibimbing untuk mengunjungi nisan Syaikh Ahmad al-Ajgharawa k dan
membacakan al-Fatihah baginya. Ketika Aku tiba, Aku menemukan 2 orang
yang belum pernah kutemui sebelumnya. Mereka menungguku dengan seekor
kuda. Mereka menaikkan aku ke atas kuda dan mengikatkan 2 bilah pedang
di sabukku. Mereka mengarahkan kudanya ke nisan Syaikh Mazdakhin .
Ketika kami tiba, kami semua turun dan memasuki makam dan masjid Syaikh
tersebut. Aku duduk menghadap qiblat, tafakur, dan menghubungkan hatiku
dengan hati Syaikh itu. Selama proses meditasi tersebut sebuah pandangan
terbuka padaku dan Aku melihat dinding yang menghadap qiblat tiba-tiba
runtuh. Sebuah singgasana raksasa muncul. Seseorang yang tinggi besar
dan tak dapat dilukiskan dengan kata-kata sedang duduk di singgasana
itu. Aku merasa mengenalnya. Kemanapun Aku palingkan wajah di semesta
ini yang kulihat adalah orang itu. Di sekelilingnya terdapat kerumunan
besar yang terdiri dari Syaikh-Syaikhku, Syaikh Muhammad Baba as-Samasi dan
Sayyid Amir Kulal . Kemudian Aku merasa takut dengan orang yang tinggi
besar itu sementara pada saat yang bersamaan Aku juga merasakan cinta
terhadapnya. Aku memiliki ketakutan akan kehadirannya yang makin
membesar dan cinta kasih akan kecantikan dan pengaruhnya. Aku berkata
pada diriku sendiri, Siapa gerangan manusia agung ini? Aku mendengar
sebuah suara di antara orang-orang di kerumunan itu berkata, Orang agung
yang membesarkanmu di jalan spiritualmu ini adalah Syaikhmu. Dia
melihat jiwamu manakala masih berupa atom di Hadirat Ilahi. Kau telah
berada dalam pelatihannya selama ini. Dialah Syaikh Abdul Khaliq
al-Ghujdawani dan kerumunan yang sedang kau lihat
itu adalah khalifah yang membawa rahsia agungnya, rahsia Matarantai
Emas. Kemudian Syaikh tersebut mulai menunjuk kepada masing-masing
Syaikh seraya berkata, Yang ini Syaikh Ahmad , ini Kabir al-Awliya , ini
Arif Riwakri , ini Syaikh Ali Ramitani , yang ini Syaikhmu, Muhammad
Baba as-Samasi , yang semasa hidupnya memberikan jubahnya untukmu.
Apakah kau mengenalnya?Ya, kataku.
Kemudian
beliau berkata kepadaku, Jubah itu, yang dia berikan kepadamu beberapa
saat silam sekarang masih ada di rumahmu, dan dengan berkat Allah telah
menyembuhkan banyak penderitaan dalam hidupmu. Lalu suara lain datang
dan berkata, Syaikh yang berada di singgasana itu akan mengajarimu
sesuatu yang kau perlukan selama berjalan lewat jalan ini. Aku bertanya
apakah mereka akan mengizinkan Aku untuk bersalaman dengannya. Mereka
mengizinkannya dan membuka hijab-nya (sekat) dan Aku pun mengambil
tangannya. Kemudian beliau mulai menceritakan tentang suluk
(perjalanan), awal, pertengahan dan akhirnya. Beliau berkata, Kau harus
membenahi sumbu yang ada dalam dirimu sehingga cahaya dari yang tak
terlihat dapat dikuatkan dalam dirimu dan rahsia-rahsianya dapat
terlihat. Kau harus memperlihatkan ketetapanmu dan kau harus kukuh dalam
syari’ah Rasulullah s.a.w dalam setiap keadaanmu. Kau harus menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah kepada yang mungkar (QS 3:110, 114) dan tetap pada standard tertinggi dari syari’ah dan meninggalkan kemudahan-kemudahan, dan menyingkirkan penemuan baru dalam segala bentuknya (bid’ah),
dan buatlah al-Hadis sebagai qiblatmu. Kau harus menyelidiki
kehidupannya (sirah) dan sirah para sahabatnya, dan membuat orang untuk
mengikuti dan membaca al-Quran baik siang maupun malam, serta
melaksanakan solat dengan segala ibadah tambahannya (nawafil). Jangan
abaikan hal sekecil apapun dari kebaikan dan perbuatan-perbuatan mulia
yang telah ditunjukkan oleh Rasulullah s.a.w.
Begitu
Abdul Khaliq k selesai, khalifahnya berkata padaku, Agar yakin akan
kebenaran pandangan ini, beliau mengirimkan suatu tanda begimu. Besok,
pergi dan kunjungilah Maulana Syamsuddun al-Ambikuti, yang akan
menghakimi dua orang. Katakan padanya bahawa si Turkilah yang benar dan
si Saqqa-lah yang salah. Katakan
padanya, Kau mencoba membantu si Saqqa, namun kau salah. Perbaikilah
dirimu dan bantulah si Turki. Bila si Saqqa menyangkal apa yang kau
katakan, dan si hakim terus membela si Saqqa, katakan padanya, Aku
memiliki dua bukti. Yang pertama harus bilang pada si Saqqa, Wahai
Saqqa, engkau sedang dahaga. Dia akan mengerti apa erti dahaga itu.
Sebagai bukti ke2, kau harus bilang kepada si Saqqa, Kau telah meniduri
seorang wanita dan dia menjadi hamil, dan kau telah memiliki bayi yang
telah digugurkan, dan kau kuburkan bayi itu di bawah pohon pinus. Dalam
perjalananmu menuju Maulana Syamsuddin k, bawalah 3 butir kismis dan
lewati Syaikhmu, Sayyid Amir al-Kulal. Dalam perjalananmu menuju beliau
kau akan bertemu dengan seorang Syaikh yang akan memberimt sebantal
roti. Ambillah
rotinya dan jangan bicara sepatah kata pun dengan Syaikh tersebut.
Lanjutkan hingga kau menemukan sebuah karavan. Seorang petarung akan
mendekatimu. Nasihati dan dekati dia kembali. Dia akan menyesal dan akan
menjadi salah seorang pengikutmu. Kenakanlah topimu dan bawa jubah
Azizan kepada Sayyid Amir Kulal.
Setelah
itu mereka memindahkan aku dan pandangan itu pun berakhir. Aku kembali
pada diriku sendiri. Hari berikutnya Aku pulang ke rumahku dan bertanya
kepada keluargaku tentang jubah yang telah disebutkan dalam pandangan
itu. Mereka membawanya ke hadapanku dan berkata, Ini telah ada di sana
sejak lama sekali. Ketika Aku melihat jubah itu keharuan yang mendalam
melandaku. Aku mengambil jubah itu dan pergi ke desa Ambikata, di
pinggiran Bukhara, menuju masjid Maulana Syamsuddin. Aku solat Fajar
bersamanya dan kemudian Aku menyampaikan tanda yang sangat membuatnya
terkejut. Si
Saqqa itu ada dan dia menyangkal bahawa si Turki itu yang benar. Lalu
Aku menyampaikan bukti - bukti itu kepada beliau. Dia menerima yang
pertama namun menyangkal yang ke2. Lalu Aku mengajak orang-orang yang
berada di masjid itu untuk pergi ke pohon pinus yang ada di dekat
masjid. Mereka
menurut dan menemukan seorang anak yang terkubur di sana. Si Saqqa lalu
datang dan menangis serta memohon maaf atas apa yang telah dia perbuat,
namun semuanya telah berakhir. Maulana Syamsuddin k dan orang lain yang
berada di masjid itu benar - benar terkejut.
Aku
bersiap untuk melakukan perjalanan keesokan harinya ke kota Naskh dan
telah memegang ketiga kismis kering. Maulana Syamsuddin k mencoba
menahanku dengan berkata, Aku sedang melihat dalam dirimu ada penyakit
kerana merindukan kami dan hasrat yang membara untuk menggapai Ilahi.
Penyembuhmu berada di tangan kami. Aku menjawabnya, Wahai Syaikhku, Aku
adalah anak dari orang lain dan Aku adalah pengikutnya. Bahkan bila kau
tawarkan untuk merawatku dengan susu dari maqam yang lebih tinggi, Aku
tak dapat menerimanya, kecuali dari seseorang yang kepadanya Aku berikan
hidupku dan daripadanya Aku mengambil bai’ah. Kemudian beliau terdiam
dan mengizinkan aku untuk melanjutkan perjalanan. Aku bergerak seperti
yang telah diperintahkan hingga Aku bertemu dengan Syaikh itu dan dia
memberiku sebantal roti. Aku tidak bicara dengannya. Aku mengambil
rotinya seperti yang telah diperintahkan. Kemudian Aku menemukan sebuah
karavan. Mereka bertanya dari mana Aku berasal. Aku bilang, Ambikata!
Mereka bertanya kapan Aku berangkat. Aku bilang, Pada saat matahari
terbit. Mereka terkejut dan berkata, Desa itu berbatu - batu jauhnya dan
akan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk menempuh jarak itu. Kami
meninggalkan desa itu tadi malam dan kau di saat matahari terbit, namun
kau telah menyusul kami. Aku melanjutkan (perjalanan) hingga Aku bertemu
dengan seorang tukang kuda. Dia menyapaku, Siapa kau? Aku takut
kepadamu! Aku bilang, Di tangankulah kau akan bertobat. Dia lalu turun
dari kudanya, menunjukkan seluruh kerendahannya di hadapanku dan
bertaubat dan melemparkan seluruh botol anggur yang dibawanya. Dia
menemaniku menemui Syaikhku, Sayyid Amir Kulal. Ketika Aku menemuinya,
Aku menyerahkan jubah kepadanya.
Beliau
terdiam untuk beberapa saat dan kemudian beliau berkata, Ini adalah
jubah Azizan. Aku diberi tahu tadi malam bahawa kau akan membawanya
kepadaku dan Aku telah diperintahkan untuk menyimpannya dalam 10 lapisan
penutup. Lalu beliau menyuruhku untuk memasuki ruangan peribadinya.
Beliau mengajariku dan menempatkan zikir khafa di dalam hatiku. Beliau
memerintahkan Aku untuk memelihara zikir itu siang dan malam.
Sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Syaikh Abdul Khaliq
al-Ghujdawani k dalam pandangan itu untuk berketetapan pada cara yang
sulit, maka Aku memelihara zikir khafi yang merupakan bentuk zikir
tertinggi. Sebagai tambahan, Aku biasa menghadiri kumpulan murid-murid
luar untuk belajar ilmu syari’ah
dan al-Hadis, dan belajar mengenai sifat-sifat Rasulullah s.a.w dan
para Sahabatnya. Aku melakukannya kerana pandangan itu menyuruhku
demikian, dan hal ini menyebabkan perubahan besar dalam kehidupanku.
Semua yang diajarkan Syaikh Abdul Khaliq al-Ghujdawani k dalam pandangan
itu melahirkan buah yang diberkati dalam kehidupanku. Ruhnya selalu
menemani dan mengajariku.
Tentang Zikir Jahar dan Zikir Khofi
Disebutkan
dalam Kitab al-Bahjat as-Saniyya bahawa dari masa Mahmud al-Faghnawi k
hingga masa Sayyid Amir al-Kulal k mereka terbiasa melakukan zikir zahar
(dengan suara keras) pada saat berkumpul dan zikir khafi (dalam hati)
bila sedang menyendiri. Namun ketika Syah Baha’uddin
Naqsyband k menerima rahsianya, beliau hanya menjalankan zikir khafi.
Walaupun pada saat berasosiasi dengan Sayyid Amir Kulal, bila mereka
mulai berzikir jahar, beliau biasanya beranjak dan pergi ke kamarnya
untuk mengerjakan zikir khafi. Hal ini membuat beberapa murid agak
kecewa, meski Syaikhnya melakukan zikir zahar, beliau tetap melakukan
zikir khafi. Namun beliau tetap melayani Syaikhnya sepanjang usianya.
Suatu hari, saat Syah Baha’uddin
dan semua pengikut Sayyid Amir Kulal sedang beristirahat dari pekerjaan
membangun sebuah masjid yang baru, Sayyid Amir Kulal berkata, Barang siapa yang memiliki prasangka buruk tentang anakku Baha’uddin,
dia adalah salah. Allah S.W.T telah menganugerahinya suatu rahsia yang
belum pernah diberikan kepada siapapun sebelumnya. Bahkan Aku pun tak
mampu untuk mengetahuinya. Beliau lalu berkata padanya,
Wahai
anakku, Aku telah memenuhi wasiat dan nasihat Syaikh Muhammad Baba
as-Samasi ketika beliau menyuruhku untuk membesarkanmu dan merawatmu
dalam jalan latihanku hingga engkau menjadi lebih baik daripadaku. Hal
ini telah kukerjakan, dan engkau telah memiliki kapasiti untuk
melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi dan tinggi lagi. Jadi, anakku
tercinta, saat ini Aku sepenuhnya mengizinkan engkau untuk pergi ke mana
pun yang engkau kehendaki dan untuk mendapatkan ilmu dari siapa pun
yang engkau temui.
Tentang Syaikh-Syaikh Berikutnya
Suatu saat Aku mengikuti Maulana Arif ad-Dik Karrani selama 7 tahun. Kemudian Aku mengikuti Maulana Kuthum Syaikh selama
beberapa tahun lamanya. Suatu malam Aku tertidur di hadapan Syaikhku
dan Aku menemui Syaikh al-Hakim Attar , salah seorang Syaikh yang
termasyhur dari Turki, menyampaikan sesuatu kepada seorang sufi yang
bernama Khalil Ghirani. Ketika Aku terbangun, gambaran sufi itu masih
melekat di benakku. Aku mempunyai seorang nenek yang solehah,
kepadanyalah Aku menyampaikan mimpiku itu. Nenekku berkata, Wahai
anakku, engkau akan mengikuti banyak Syaikh berkebangsaan Turki. Jadi
dalam perjalananku, Aku menyinggahi Syaikh-Syaikh dari Turki dan Aku tak
pernah melupakan gambaran sufi yang satu itu. Lalu suatu hari di
kampung halamanku sendiri di Bukhara, Aku melihat seorang sufi dan Aku
mengenalinya sebagai orang yang Aku temui dalam mimpi itu. Aku
menanyakan namanya kepada beliau, dan beliau menjawab, Aku adalah Kahlil
Ghirani. Aku harus meninggalkannya, namun begitu berat rasanya. Pada
saat Maghrib seseorang mengetuk pintuku. Aku menjawab dan seorang tak
dikenal berkata, Sufi Kahlil Ghirani sedang menantimu. Aku begitu
terperanjat. Bagaimana orang itu telah menemukanku? Aku membawa sebuah
hadiah, dan pergi bersamanya. Ketika Aku sudah berada di hadapannya, Aku
lalu menceritakan mimpi itu. Beliau berkata, Tak perlu kau ceritakan
mimpi itu kerana Aku sudah tahu. Hal ini lebih melekatkan hatiku kepada
beliau. Bersamanya, beberapa pengetahuan ghaib yang baru, dibukakan ke
dalam hatiku. Beliau selalu merawatku, memujiku, dan mengangkatku.
Penduduk Transoxiana menempatkan beliau sebagai raja mereka. Aku terus
menemani beliau, walau dalam masa kesultanannya. Hatiku tumbuh dalam
cinta kepada beliau lebih dan lebih lagi dan hatinya telah mengangkatku
ke pengetahuan yang lebih tinggi lagi. Beliau mengajariku bagaimana
caranya untuk melayani seorang Syaikh. Aku bersamanya selama 6 tahun.
Baik di hadapannya mahupun dalam do’a, Aku selalu menjaga hubungan dengan beliau.
Di
awal perjalananku di thariqat ini, Aku bertemu dengan seorang Sufi, dan
dia berkata, Sepertinya kau berasal dari kami Aku berkata kepadanya,
Aku berharap kau berasal dari kami dan Aku berharap dapat menjadi
temanmu. Suatu saat dia bertanya padaku, Bagaimana kau memperlakukan
dirimu sendiri? Aku menjawab, Bila Aku menemukan sesuatu Aku bersyukur
kepada Allah S.W.T, dan bila tidak, Aku bersabar. Dia tersenyum dan
berkata, Itu mudah. Caranya bagimu adalah dengan membebani egomu dan
mengujinya. Bila dia kehilangan makanan selama seminggu, kau harus mampu
untuk menjaganya agar tetap mematuhimu. Aku amat berbahagia dengan
jawabannya dan Aku meminta dukungannya. Dia menyuruhku untuk membantu
yang memerlukan dan untuk melayani yang lemah dan untuk membesarkan hati
orang yang putus asa. Dia menyuruhku untuk menjaga kerendahan,
ke-tawadhu-an dan tenggang rasa. Aku menjaga perintah-perintahnya dan
Aku habiskan berhari-hari dalam hidupku dengan cara seperti itu.
Kemudian dia memerintahkan aku untuk merawat binatang, menyembuhkan
penyakitnya, membasuh luka-lukanya, dan membantu mereka untuk menemukan
persediaan makanan dan minumannya. Aku menjalankannya hingga Aku
mencapai suatu keadaan di mana bila Aku bertemu binatang di jalanan,
maka Aku akan berhenti, dan memberikan mereka jalan.
Kemudian
dia menyuruhku untuk memelihara anjing-anjing melalui Penyatuan Fikiran
dengan penuh Kejujuran dan Kerendahan, dan meminta bantuan mereka. Dia
mengatakan, Kerana pelayananmu terhadap salah 1 dari mereka, maka engkau
akan mencapai kebahagiaan yang sangat. Aku terima perintah tersebut
dengan harapan bahawa Aku akan menemukan 1 anjing dan melalui pelayanan
terhadapnya, Aku akan menemukan kebahagiaan itu. Suatu hari fikiranku
menyatu dengan salah 1 dari mereka dan Aku merasakan kebahagiaan yang
amat sangat. Aku mulai menangis di hadapannya hingga dia telentang dan
menengadahkan kaki depannya ke langit. Aku mendengar sebuah suara yang
amat sedih yang berasal darinya lalu Aku pun menengadahkan tangan, berdo’a dan mulai mengatakan amin mendukung do’anya
hingga akhirnya dia tak bersuara lagi. Yang kemudian terbuka padaku
adalah suatu pandangan yang membawaku pada suatu keadaan di mana Aku
merasa menjadi bahagian dari setiap manusia dan juga bagian dari setiap
makhluk di muka bumi ini.
Setelah Mengenakan Jubah
Suatu
hari Aku sedang berada di kebunku di Qasr al-Arifan, mengenakan jubah
Azizan dan di sekitarku terdapat para pengikutku. Tiba-tiba Aku merasa
terbius dan merasakan Rahmat Syurgawi, dan Aku merasa disandangkan dan
dihiasi dengan Atribut-Nya. Belum pernah Aku segementar ini sebelumnya,
dan Aku tak kuat lagi berdiri. Aku berdiri menghadap qiblat dan Aku
memasuki pandangan agung. Aku melihat diriku melebur (fana’)
sepenuhnya dan Aku tak lagi melihat wujud lain melainkan Tuhanku. Lalu
Aku melihat diriku keluar dari Hadirat-Nya, memantul lewat cermin
Muhammadun Rasul-Allah e, dalam bentuk sebuah bintang di tengah Samudera
Cahaya tanpa awal dan akhir. Kehidupan eksternalku berakhir dan Aku
hanya melihat makna dari LA ILAHA ILLALLAH MUHAMMADUN RASUL-ALLAH S.A.W.
Ini membawaku kepada makna dari inti sari Nama Allah yang membawaku
kepada Yang Maha Ghaib, yakni inti sari dari Asma Huwa (Dia). Ketika Aku
memasuki samudera itu, jantungku berhenti berdetak dan seluruh hidupku
pun berakhir, mengantarku kepada keadaan kematian. Ruhku meninggalkan
jasadku, dan semua yang ada di sekelilingku saat itu berfikir bahawa Aku
telah meninggal, dan mereka pun menangis. Kemudian setelah 6 jam, Aku
diperintahkan untuk kembali kepada jasadku. Aku merasakan ruhku perlahan
memasuki jasadku kembali dan pandangan itu pun berakhir.
Untuk
menyangkal keberadaanmu dan untuk mengacuhkan dan mengabaikan egomu
adalah yang berlaku dalam thariqat ini. Dalam keadaan ini Aku memasuki
setiap tingkat keberadaan, yang membuatku menjadi bahagian dari semua
makhluk dan yang mengembangkan keyakinan dalam diriku bahawa setiap
orang lebih baik daripada aku sendiri. Aku melihat bahawa setiap orang
menyediakan suatu manfaat dan hanya Akulah yang tak memberikannya. Suatu
hari sebuah keadaan yang amat mencengangkan terjadi padaku. Aku
mendengarkan Suara Ilahi berkata, Mintalah apapun yang kau suka dari
Kami. Lalu Aku memohon, Ya Allah S.W.T, anugerahilah aku dengan setitis
dari Samudera Rahmat dan Berkat-Mu. Dan jawabannya datang, Kau hanya
meminta setitis dari Ke-Maha Pemurahan Kami? Hal ini laksana jutaan
tamparan keras di wajahku dan sengatannya tersisa di pipiku selama
berhari-hari. Kemudian suatu hari Aku berkata, Ya, Allah S.W.T
anugerahilah hamba dari Samudera Rahmat dan Berkat-Mu, Kekuatan untuk
membawanya. Pada saat itu sebuah penglihatan terbuka padaku di mana Aku
didudukkan di atas sebuah singgasana di atas suatu Samudera Rahmat. Dan
sebuah suara berkata kepadaku, Samudera Rahmat ini adalah untukmu.
Berikanlah dia kepada hamba-hamba-Ku.
Aku
menerima rahsia dari berbagai sisi, khususnya dari Uwais al-Qarani ,
yang amat mempengaruhi aku untuk meninggalkan hal-hal duniawi dan untuk
melekatkan diri hanya pada hal-hal ruhaniah. Aku menjalankannya dengan
tetap berpegang teguh pada syari’ah
dan perintah Rasulullah s.a.w, hingga Aku mulai menyebarkan Pengetahuan
Ghaib dan rahsia-rahsia yang dianugerahkan dari Yang Maha Esa yang
belum pernah diberikan oleh siapa pun sebelumnya.
Keajaiban dari Perkataan-Perkataannya serta Perkataan-perkataan tentang Keajaibannya.
Tentang Perbezaan Di antara Imam-Imam
Dalam
suatu majelis ulama-ulama besar di Baghdad beliau ditanya tentang
perbezaan-perbezaan dalam perkataan keempat khalifah Rasulullah s.a.w.
Beliau berkata,
Suatu ketika ash-Shiddiq berkata, Aku tak pernah melihat sesuatu pun, kecuali Allah S.W.T berada di depannya, dan Umar al-Faruq berkata, Aku tak pernah melihat sesuatu pun, melainkan Allah S.W.T selalu berada di belakangnya. Dan Utsman berkata, Aku tidak pernah melihat sesuatu pun, melainkan Allah S.W.T berada di sampingnya, dan Ali berkata,
Aku tidak pernah melihat sesuatu pun melainkan Allah S.W.T berada di
dalamnya. Beliau mengomentari bahawa, perbedaan dalam
perkataan-perkataan ini didasarkan pada perbezaan situasi pada saat
mereka berkata-kata, dan bukannya perbezaan dalam kepercayaan dan
pemahaman.
Tentang Berjalan dalam Jalur ini
Apakah
di balik cerita Rasulullah s.a.w, Sebagian dari iman adalah memindahkan
apa-apa yang membahayakan dari Jalan? Yang Beliau maksud dengan yang
membahayakan itu adalah ego, dan yang Beliau maksud dengan Jalan adalah
Jalan Menuju Allah S.W.T, sebagaimana Dia berfirman kepada Bayazid
al-Bistami, Tinggalkan egomu dan datanglah pada Kami.
Suatu
ketika beliau ditanya, Apa yang dimaksud dengan Berjalan dalam Jalur?
Beliau berkata, Detailnya dalam pengetahuan spiritual. Mereka bertanya,
Apakah detail dalam pengetahuan spiritual itu? Beliau menjawab,
Orang
yang mengetahui dan menerima apa yang dia ketahui akan diangkat dari
keadaan bukti nyata kepada keadaan penglihatan. Barang siapa yang
meminta untuk berada di Jalan Allah S.W.T maka dia telah meminta jalan
penderitaan. Diriwayatkan oleh Rasulullah s.a.w, Barang siapa yang
mencintaiku maka aku akan membebaninya. Seseorang datang kepada
Rasulullah s.a.w dan berkata, Wahai Nabi S.A.W, Aku mencintaimu, dan
Nabi S.A.W berkata, Maka bersiaplah untuk menjadi miskin. Lain waktu
orang lain lagi datang kepada Rasulullah s.a.w dan berkata, Ya,
Rasulullah s.a.w, Aku mencintai Allah S.W.T, dan Rasulullah s.a.w berkata, Maka siapkanlah dirimu untuk penderitaan.
Beliau membaca sebuah ayat,
Setiap orang mendambakan kebaikan,
Namun tak seorang pun telah meraih kenaikan, Melainkan dengan mencintai
Sang Pencipta kebaikan.
Namun tak seorang pun telah meraih kenaikan, Melainkan dengan mencintai
Sang Pencipta kebaikan.
Beliau
berkata, Barang siapa yang mencintai dirinya sendiri, harus menyangkal
dirinya, dan barang siapa yang menginginkan yang lain selain dirinya
sendiri, sesungguhnya yang diinginkannya hanyalah dirinya sendiri.
Tentang Pelatihan Spiritual
Ada 3 jalan di mana para murid meraih pengetahuannya:
1. Muraqaba-Perenungan (kontemplasi)
2. Musyahada-Penglihatan
3. Muhasaba-Penghitungan
2. Musyahada-Penglihatan
3. Muhasaba-Penghitungan
Dalam keadaan perenungan, si pencari melupakan mahkluk dan hanya mengingat Sang Khaliq saja.
Dalam
keadaan penglihatan, ilham dari Yang Ghaib mendatangi hati si pencari
dengan disertai 2 keadaan: pengecutan dan pengembangan.
Pada
keadaan pengecutan, penglihatan adalah tentang Ke-MahaKuasa-an, dan
pada keadaan pengembangan pengelihatan adalah tentang Ke-Maha-Indahan.
Pada
keadaan penghitungan, si Pencari mengevaluasi setiap jam yang telah
lewat: apakah dia berada seluruhnya bersama Allah S.W.T ataukah berada
seluruhnya bersama dunia?
Si
pencari dalam thariqat ini pastilah amat sibuk menolak bisikan Setan
dan godaan egonya. Dia mungkin menolaknya bahkan sebelum mereka
mencapainya; atau dia mungkin menolaknya setelah mereka mencapainya
namun sebelum mereka memegang kendali atasnya. Pencari lain, mungkin
saja tidak menolaknya hingga mereka mencapainya dan mengendalikannya.
Dia tak akan mendapatkan buahnya, kerana pada saat seperti itu adalah
mustahil untuk mengeluarkan bisikan-bisikan itu dari hatinya.
Tentang Maqam Spiritual
Bagaimanakah
hamba-hamba Allah S.W.T melihat perbuatan yang tersembunyi dan
bisikan-bisikan hati? Beliau menjawab, Dengan cahaya penglihatan yang
dianugerahkan Allah S.W.T pada mereka, seperti yang tertera dalam Hadis
suci, Waspadalah dengan penglihatan orang-orang yang beriman, kerana dia
melihat dengan Cahaya Allah S.W.T.
Beliau diminta untuk memperlihatkan kekuatan ajaibnya. Beliau berkata,
Keajaiban
apakah yang lebih dahsyat yang ingin kau lihat daripada kenyataan
bahawa kita masih berjalan di muka bumi ini dengan semua dosa di atas
dan sekeliling kita.
Beliau
ditanya, Siapakah para pembaca dan siapakah gerangan sang Sufi yang
dimaksud oleh Junayd, Putuskanlah dirimu dari para pembaca kitab-kitab
dan bergabunglah dengan para Sufi?
Beliau
berkata, Para pembaca adalah orang yang sibuk dengan kata-kata dan
nama-nama, dan Sufi adalah seseorang yang sibuk dengan inti sari dari
nama-nama tersebut.
Beliau
memperingatkan, Bila seorang murid, seorang Syaikh atau siapa pun
bicara tentang suatu keadaan yang belum didapatkannya, Allah S.W.T akan
mencegahnya dari mencapai keadaan tersebut. Beliau berkata, Cermin dari
setiap Syaikh memiliki 2 arah. Namun cermin kita memiliki 6 arah.
Apa
yang dimaksudkan dengan al-Hadis, Aku beserta orang-orang yang
mengingat-Ku, merupakan bukti nyata yang mendukung orang-orang yang di
dalam hatinya senantiasa mengingat-Nya. Dan sabda Nabi S.A.W yang
lainnya berbicara atas Nama Allah S.W.T, Puasa itu adalah bagi-Ku
merupakan suatu pernyataan bahawa sebenar-benarnya puasa adalah puasa
dari segala sesuatu selain Allah S.W.T.
Tentang Kemiskinan Spiritual
Beliau ditanya, Mengapa mereka disebut al-fuqara (orang yang miskin)? Beliau menjawab,
Kerana
mereka miskin, namun mereka tak perlu memohon. Seperti halnya Nabi
Ibrahim , ketika beliau dilemparkan ke dalam api dan Jibril datang dan
bertanya Apakah kau perlu pertolongan?, dijawabnya, Aju tak perlu
meminta sesuatu, Dia Maha Tahu keadaanku.
Kemiskinan merupakan pertanda penghancuran dan penghapusan atribut-atribut kebendaan.
Beliau
pernah ditanya, Siapakah si miskin itu? Tak seorang pun menjawabnya.
Beliau berkata, Si miskin adalah orang yang di dalamnya selalu berjuang
dan di luarnya selalu berada dalam ketenangan.
Tentang Adab terhadap Syaikh Seseorang
Amatlah
penting bagi para pengikut, bila dia merasa bingung terhadap apa yang
diucapkan atau dilakukan Syaikhnya dan tak dapat memahami alasannya,
untuk bersabar dan menjalankannya, dan tak menjadi curiga. Bila dia
seorang pemula, dia mungkin bertanya; namun bila dia seorang murid, dia
tak punya alasan untuk bertanya dan harus tetap bersabar dengan apa yang
belum dia pahami.
Adalah tak mungkin untuk meraih cinta dari hamba-hamba Allah S.W.T hingga engkau keluar dari dirimu sendiri.
Dalam Thariqat kita, terdapat 3 kategori adab:
1. Adab karimah terhadap Allah S.W.T yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi, mengharuskan murid untuk menyempurnakan ibadahnya baik secara eksternal maupun internal, menjauhi semua larangan-Nya dan menjalankan segala apa yang telah diperintahkan-Nya dan meninggalkan segala sesuatu selain Allah S.W.T.
2.
Adab karimah terhadap Nabi Muhammad s.a.w, mengharuskan murid untuk
membumbung tinggi pada keadaan yang disebutkan dalam ayat in kuntum
tuhibbun Allah fattabi’unii
(bila kamu ingin mencintai Allah S.W.T, maka ikutilah aku) [3:31]. Dia
harus mengikuti semua keadaan Rasulullah s.a.w. Dia harus tahu bahawa
Rasulullah s.a.w adalah jembatan antara Allah S.W.T dengan mahkluk-Nya
dan bahawa segala sesuatu di bumi ini berada di bawah perintahnya yang
mulia.
3.
Adab karimah terhadap para Syaikh merupakan suatu keharusan bagi setiap
pencari. Para Syaikh merupakan penyebab dan alat untuk mengikuti jejak
Rasulullah s.a.w. Adalah suatu kewajiban bagi para pencari, baik dalam
kehadiran mereka maupun dalam ketidakhadirannya, untuk menjalankan
perintah-perintah dari Syaikh tersebut.
Suatu
saat salah 1 pengikutku memberiku salam. Aku tidak menjawabnya,
meskipun merupakan keharusan dalam Sunnah untuk membalas salam. Hal ini
membuat pengikutku tersebut kecewa. Aku mengirim seseorang kepadanya
untuk meminta maaf, berkata kepadanya, Pada saat itu, ketika engkau
memberiku salam, fikiranku, hatiku, jiwaku, ragaku, ruhku sedang hilang
sepenuhnya dalam Hadirat Ilahi, mendengarkan apa yang dikatakan Allah
S.W.T kepadaku. Hal ini membuatku begitu terpenuhi dalam Firman Allah
S.W.T sehingga Aku tak mampu membalas siapapun.
Tentang Niat
Sangatlah
penting untuk meluruskan niat, kerana niat itu dari dunia ghaib, bukan
dari dunia materi. Untuk alasan tersebut, Ibnu Sirin (penulis buku tabir
mimpi) tidak berdo’a pada solat jenazah Hasan al-Basri. Beliau berkata, Bagaimana Aku dapat berdo’a
ketika niatku belum mencapaiku dan menghubungkanku dengan yang ghaib?
Niat (niyyah) sangat penting, kerana dia terdiri atas 3 huruf, iaitu:
Nun, yang melambangkan nur Allah, Cahaya Allah S.W.T; ya, yang
melambangkan yad Allah, Tangan Allah S.W.T; dan ha, yang melambangkan
hidayat Allah, Bimbingan Allah S.W.T. Niat adalah hembusan jiwa.
Tentang Tugas-Tugas Para Awliya
Allah
S.W.T menciptakan aku untuk menghancurkan kehidupan materialistik,
tetapi orang-orang menginginkan aku untuk membangun kehidupan
materialistik mereka.
Hamba-hamba
Allah S.W.T menanggung beban penciptaan agar semua ciptaan belajar
darinya. Allah S.W.T melihat pada hati Awliya-Nya dengan
cahaya-cahaya-Nya, dan siapa pun yang berada di sekeliling wali itu dia
akan mendapat berkat dari cahaya tersebut.
Syaikh
harus mengetahui tingkatan muridnya dalam 3 kategori, iaitu: di masa
lalu, masa kini dan masa depan agar dia dapat menaikkan (maqam)-nya.
Siapa
pun yang melakukan bai’ah dengan kita dan mengikuti kita dan mencintai
kita, apakah dia dekat atau jauh, di mana pun dia berada, bahkan jika
dia berada di Timur dan kami di Barat, kami memeliharanya dengan aliran
cinta dan memberinya cahaya dalam kehidupan sehari-harinya.
Tentang Zikir Keras (Jahar) dan Zikir Dalam Hati (Khofi)
Dari kehadiran al-Azizan ada dua metode zikir, iaitu zikir khafi (dalam hati) dan zikir jahar (keras). Aku menyukai zikir dalam hati kerana dia lebih kuat dan lebih bijaksana.
Izin
untuk melakukan zikir harus diberikan oleh orang yang sempurna, agar
boleh mempengaruhi orang yang menggunakannya, sebagaimana halnya panah
dari seorang yang ahli memanah lebih baik daripada panah yang dilepaskan
dari busur orang biasa.
Beliau menambahkan 3 Prinsip ke dalam 8 Prinsip Syaikh Abdul Khaliq:
9. Kesedaran akan Waktu (wuquf zamani)
Kesedaran
akan waktu bererti memperhatikan ketenangan seseorang dan mengecek
kecenderungan seseorang kepada kelalaian. Para pencari harus mengetahui
berapa banyak waktu yang dihabiskan untuk bergerak menuju kematangan
spiritual dan harus mengenal di tempat apa dia telah sampai dalam
perjalannya menuju Hadirat Ilahi. Para pencari harus membuat kemajuan
dengan segala usahanya. Dia harus menghabiskan seluruh waktunya untuk
satu tujuan iaitu sampai di maqam Cinta Ilahi dan Hadirat Ilahi. Dia
harus menjadi sedar bahawa dalam segala usahanya dan dalam segala
tindakannya Allah S.W.T menyaksikan sampai sedetail-detailnya. Para
pencari harus membuat catatan mengenai tindakan dan niatnya setiap hari
dan setiap malam dan menganalisa tindakannya setiap jam, setiap detik,
dan setiap saat. Jika semuanya baik, dia bersyukur kepada Allah S.W.T
atas nikmat tersebut. Jika tindakannya buruk, dia harus bertaubat dan
memohon ampun kepada Allah S.W.T.
Ya'qub al-Charki k berkata bahawa Syaikhnya, Ala'uddin al-Attar k berkata,
Dalam
keadaan depresi, engkau harus banyak beristighfar (memohon ampunan
Allah S.W.T), dan dalam keadaan bergembira, harus banyak bersyukur
kepada Allah S.W.T.
Sebagai pertimbangan kedua keadaan ini, kontraksi (menciut) dan ekspansi (mengembang), adalah erti dari wuquf zamani.
Syah Naqsyband k menerangkan keadaan tersebut dengan berkata,
Engkau harus menjadi awas akan dirimu. Jika engkau mengikuti syari’ah maka engkau harus bersyukur kepada Allah S.W.T, bila tidak, maka engkau harus memohon ampun.
Yang
penting bagi seorang pencari dalam keadaan ini adalah menjaga periode
waktu terkecil agar tetap aman. Dia harus menjaga dirinya dan menilai
apakah dia dalam Hadirat Allah S.W.T atau dalam hadirat egonya, setiap
saat dalam hidupnya. Syah Naqsyband k berkata, Engkau harus mengevaluasi
bagaimana engkau menghabiskan waktumu: dalam Kehadiran atau dalam
Kelalaian.
10. Kesedaran akan Jumlah (wuquf `adadi)
Kesedaran
akan jumlah bererti para pencari yang sedang berzikir harus
memperhatikan bilangan zikir yang tepat yang diperlukan dalam zikir
khafi. Menjaga hitungan zikir ini bukan untuk perhitungan itu sendiri
tetapi demi menjaga hati agar tetap aman dari fikiran buruk dan untuk
meningkatkan konsentrasi dalam usaha mencapai jumlah pengulangan yang
telah ditetapkan oleh Syaikh secepat mungkin. Pilar zikir melalui
perhitungan adalah untuk membawa hati kepada Hadirat Ilahi yang
disebutkan dalam zikir tersebut dan tetap menghitung, satu demi satu,
untuk membawa perhatian seseorang kepada realitas bahawa setiap orang
membutuhkan Dia Yang Maha Esa yang tanda-tanda (Kebesaran)-Nya tampak
pada setiap makhluk.
Syah Naqsyband berkata,
Memperhatikan jumlah zikir adalah langkah pertama dalam tahap
mendapatkan Pengetahuan Surgawi (`ilm ul-ladunni). Ini bererti
perhitungan itu mengantarkan seseorang untuk mengenali bahawa hanya 1
yang diperlukan dalam hidup. Semua persamaan matematik memerlukan nombor
1. Semua makhluk memerlukan Zat Yang Maha Esa.
11. Kesedaran akan Hati (wuquf qalbi)
Kesedaran
akan hati bererti mengarahkan hati para pencari menuju Hadirat Ilahi,
di mana dia tidak akan melihat yang lain kecuali Yang Paling
Dicintainya. Hal itu bererti untuk mengalami manifestasi-Nya (tajjali)
dalam semua keadaan. Ubayd Allah al-Ahrar k berkata, Tingkat Kesedaran
Hati adalah tingkatan untuk hadir dalam Hadirat Ilahi sedemikian rupa
sehingga engkau tidak boleh melihat yang lain selain Dia. Dalam situasi
demikian seseorang memusatkan tempat zikirnya dalam hati sebab inilah
pusat kekuatan. Semua fikiran dan inspirasi, baik maupun buruk, jatuh
dan muncul 1 demi 1, berputar dan mengalir, bergerak di antara terang
dan gelap, dalam perputaran yang konstan, di dalam hati. Zikir
diperlukan untuk mengawal dan mengurangi gejolak dalam hati.
Makna dari Ummat Muhammad s.a.w
Syah Naqsyband k berkata,
Ketika Rasulullah s.a.w bersabda, Porsi ummatku yang ditakdirkan untuk api neraka adalah seperti porsi Ibrahim yang
ditakdirkan untuk api Namrud, beliau memberi khabar gembira tentang
penyelamatan bagi ummatnya sebagaimana Allah S.W.T telah menggariskan
penyelamatan untuk Ibrahim, Ya naru kunii bardan wa salaman ‘ala
Ibrahiim ('Wahai api, jadilah dingin dan jadilah keselamatan bagi
Ibrahim) [21:69]. Ini dikeranakan Rasulullah s.a.w bersabda, 'Ummatku
tidak akan setuju dengan suatu kesalahan, menegaskan bahawa Ummat tidak
akan menerima perbuatan yang salah, dan dengan demikian Allah S.W.T akan
menyelamatkan ummat Muhammad s.a.w dari api neraka."
Syaikh Ahmad Faruqi mengatakan bahawa Syah Naqsyband berkata,
Ummat Muhammad s.a.w meliputi semua orang yang muncul setelah Rasulullah s.a.w. Dia terdiri atas 3 macam ummat, iaitu:
1. Ummatu-d-Da’wah: iaitu setiap orang yang benar-benar muncul setelah Rasulullah s.a.w dan mendengar pesannya. Dari berbagai ayat dalam al-Quran, sudah jelas bahawa Rasulullah s.a.w datang kepada semua manusia tanpa kecuali, lebih jauh lagi ummatnya cukup menjadi saksi bagi ummat-ummat yang lain, dan Rasulullah s.a.w adalah orang yang menjadi saksi bagi setiap orang, termasuk ummat-ummat yang lain dan saksi-saksi yang mewakili mereka masing-masing.
2. Ummatu-l-Ijaba: iaitu orang-orang yang menerima pesannya.
3. Ummatu-l-Mutaba’a: iaitu orang-orang yang menerima pesan dan mengikuti jejak Rasulullah s.a.w.
1. Ummatu-d-Da’wah: iaitu setiap orang yang benar-benar muncul setelah Rasulullah s.a.w dan mendengar pesannya. Dari berbagai ayat dalam al-Quran, sudah jelas bahawa Rasulullah s.a.w datang kepada semua manusia tanpa kecuali, lebih jauh lagi ummatnya cukup menjadi saksi bagi ummat-ummat yang lain, dan Rasulullah s.a.w adalah orang yang menjadi saksi bagi setiap orang, termasuk ummat-ummat yang lain dan saksi-saksi yang mewakili mereka masing-masing.
2. Ummatu-l-Ijaba: iaitu orang-orang yang menerima pesannya.
3. Ummatu-l-Mutaba’a: iaitu orang-orang yang menerima pesan dan mengikuti jejak Rasulullah s.a.w.
Semua
golongan ummat Rasulullah s.a.w tersebut akan selamat. Jika mereka
tidak diselamatkan melalui amalnya, mereka akan diselamatkan melalui
Perantaraan Rasulullah s.a.w, menurut sabdanya, Perantaraanku adalah
untuk para pendosa besar di antara Ummatku.
Dalam Mencapai Hadirat Ilahi
Beliau berkata,
Apa yang dimaksud dengan hadis Rasulullah s.a.w, as-solatu mi’raj ul-mu'min (Solat adalah mi’raj
bagi orang yang beriman), adalah indikasi yang jelas mengenai tingkatan
Solat yang sejati, di mana orang-orang yang solat naik ke Hadirat Ilahi
dan padanya terdapat manifestasi rasa hormat yang mendalam, kepatuhan
dan kerendahan hati, di mana hatinya mencapai keadaan kontemplasi
melalui solatnya. Ini akan mengantarkannya kepada suatu panorama dari
Rahsia Ilahi. Itu adalah deskripsi mengenai solatnya Rasulullah s.a.w
dalam sirah (sejarah hidupnya). Dikatakan bahawa ketika Rasulullah s.a.w
mencapai keadaan tersebut, orang-orang di luar kota pun dapat mendengar
suara yang berasal dari dadanya yang menyerupai dengungan lebah.
Salah
satu ulama di Bukhara bertanya kepada beliau, Bagaimana seorang hamba
mencapai Hadirat Ilahi dalam solatnya? Beliau menjawab,
Dengan
memakan dari hasil jerih payahmu dan dengan mengingat Allah S.W.T dalam
solat dan di luar solatmu, dalam setiap penyucian diri dan dalam setiap
peristiwa hidupmu.
Tentang Politheisme Tersembunyi - Syirik
Syaikh Salah, seorang pelayannya melaporkan,
Suatu
ketika Syah Naqsyband berkata kepada para pengikutnya, Suatu hubungan
antara hatimu dengan sesuatu selain Allah S.W.T adalah hijab terbesar
bagi seorang pencari, setelah itu beliau membaca bait puisi berikut:
Hubungan dengan selain Allah S.W.T,
Adalah hijab (sekat) terkuat,
Dan meninggalkannxa,
Adalah Jalan Pembuka bagi suatu Pencapaian.
Adalah hijab (sekat) terkuat,
Dan meninggalkannxa,
Adalah Jalan Pembuka bagi suatu Pencapaian.
Segera
setelah beliau membacakan bait tersebut, terlintas dalam benakku bahawa
beliau merujuk pada hubungan antara Iman dan penyerahan diri pada
Kehendak Ilahi. Beliau menoleh kepadaku, tertawa dan berkata, Apakah
engkau tidak mendengar apa yang dikatakan oleh Hallaj? Aku menolak agama
Allah S.W.T, dan penolakan itu adalah wajib bagiku meskipun tampak
menyeramkan bagi kebanyakan Muslim. Wahai Syaikh Salah, apa yang terlintas dalam benakmu bahawa hubungan itu adalah dengan Iman dan Islam bukanlah
hal yang penting. Yang penting adalah Iman Sejati, dan Iman Sejati bagi
Orang yang Benar adalah membuat hatinya menyangkal apapun selain Allah
S.W.T. Itulah yang membuat Hallaj berkata, Aku menyangkal agama-Mu dan
penyangkalan itu adalah wajib bagiku, meskipun tampak menyeramkan bagi
Muslim. Hatinya tidak menginginkan yang lain kecuali Allah S.W.T.
Tentu
saja Hallaj tidak menyangkal Imannya dalam Islam, tetapi beliau
menekankan bahawa hatinya hanya terkait kepada Allah S.W.T saja. Jika
Hallaj tidak menerima segala sesuatu selain Allah S.W.T, bagaimana
mungkin orang mengatakan bahawa sebenarnya beliau menyangkal agama Allah
S.W.T? Pernyataannya tentang realiti Kesaksiannya mencakup segalanya
dan membuat kesaksian Muslim yang awam menjadi mainan anak-anak.
Syaikh Salah melanjutkan,
Syah
Naqsyband berkata, Hamba-hamba Allah S.W.T tidak bangga dengan apa yang
mereka lakukan, mereka melakukannya kerana cinta kepada Allah S.W.T.
Rabi’a al-‘Adawiyya berkata,
Ya Allah S.W.T, Aku tidak beribadah untuk mencari balasan Syurga-Mu,
tidak pula kerana takut akan seksa-Mu, tetapi Aku menyembah-Mu hanya
untuk Cinta-Mu. Jika ibadahmu untuk menyelamatkan dirimu sendiri atau
untuk mendapat balasan tertentu bagi dirimu sendiri, maka itu adalah
syirik yang tersembunyi, kerana engkau telah menyekutukan Allah S.W.T
baik dengan pahala maupun azab. Inilah yang dimaksud oleh Hallaj.
Syaikh Arslan ad-Dimasyqi berkata sebagaimana yang diceritakan oleh Syah Naqsyband,
Ya
Allah S.W.T, agama-Mu bukanlah apa-apa, melainkan syirik yang
tersembunyi dan untuk tidak beriman kepadanya adalah wajib bagi seluruh
hamba yang benar. Orang-orang yang beragama tidak menyembah-Mu, mereka
hanya beribadah untuk mendapat Syurga atau agar selamat dari Neraka.
Mereka menyembah keduanya sebagai berhala dan itulah seburuk-buruknya
kemusyrikan. Engkau telah berkata, man yakfur bi-t-taghuti wa yu'min
billahi faqad istamsaka bil-‘urwati-l-wutsqa
(Barangsiapa yang ingkar terhadap Taghut (berhala) dan beriman kepada
Allah S.W.T, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada Pegangan (Tali)
yang Kukuh) [2:256]. Untuk engkar kepada berhala-berhala ini dan
beriman kepada-Mu adalah wajib bagi orang-orang yang benar.
Syaikh
Abul-Hasan asy-Syadzili, salah seorang Syaikh Sufi agung pernah ditanya
oleh Syaikhnya, Wahai anakku, dengan apa engkau akan bertemu Tuhanmu?
Beliau berkata, Aku datang kepada-Nya dengan kemiskinanku. Syaikhnya
menjawab,
Wahai
anakku, jangan kau ulangi lagi hal ini. Ini adalah berhala terbesar,
kerana engkau masih mendatangi-Nya dengan sesuatu. Bebaskan dirimu
terhadap segala sesuatu baru kemudian engkau datang kepada-Nya. Para
fuqaha’ (ahli hukum) dan pemegang ilmu eksternal memegang teguh pada
perbuatan mereka dan dengan dasar tersebut mereka mengembangkan konsep
pahala dan azab. Jika mereka baik, mereka akan mendapat kebaikan dan
bila mereka buruk mereka menemukan keburukan, apa yang bermanfaat bagi
seorang hamba adalah perbuatannya dan apa yang menyakitinya adalah
perbuatannya juga. Bagi penganut thariqat, hal ini adalah syirik
tersembunyi, kerana seseorang menyekutukan sesuatu dengan Allah S.W.T.
Meskipun untuk melakukan (perbuatan baik) adalah suatu kewajiban, tetap
saja hati tidak boleh terikat dengan perbuatan tersebut. Perbuatan itu
hanya dilakukan kerana Allah S.W.T dan untuk Cinta-Nya, tanpa pamrih apa
pun.
Tentang Thariqoh Naqsybandiyyah
Syah Naqsyband berkata,
Thariqat kita sangat langka dan sangat berharga. Ini adalah ‘urwati-l-wutsqa
(Memegang Teguh), jalan untuk memegang jejak Rasulullah s.a.w dan para
Sahabatnya dengan teguh dan kokoh. Mereka membawaku ke jalan ini dari
pintu Nikmat, kerana pada awal dan akhirnya, Aku tidak melihat apapun
kecuali Nikmat Allah S.W.T. Di jalan ini pintu-pintu besar dari
Pengetahuan Surgawi akan dibukakan bagi para pencari yang mengikuti
jejak Rasulullah s.a.w.
Untuk mengikuti Sunnah Rasulullah s.a.w adalah jalan terpenting yang akan membukakan pintu kepadamu.
Barangsiapa yang tidak datang ke jalan kita, maka agamanya berada dalam bahaya.
Beliau pernah ditanya, Bagaimana seseorang datang ke jalanmu? Beliau menjawab, Dengan mengikuti Sunnah Rasulullah s.a.w.
Kami telah membawa penghinaan dalam Jalan ini, dan sebagai balasannya Allah S.W.T memberkati kita dengan Kemuliaan-Nya.
Beberapa
orang berkata tentang beliau bahawa kadang-kadang beliau terlihat
sombong. Beliau berkata, Kami bangga kerana Dia, kerana Dia adalah Tuhan
kami, yang memberi kami Dukungan-Nya!
Beliau berkata, Untuk mencapai Rahsia Ke-Esaan kadang-kadang mungkin, tetapi untuk meraih Rahsia Pengetahuan Spiritual (ma’rifat) adalah sangat sulit sekali.
Pengetahuan
Spiritual bagaikan air, dia mengambil warna dan bentuk cangkirnya.
Pengetahuan Allah S.W.T begitu luar biasa, sehingga berapa pun yang kita
ambil, itu hanya seperti sebuah tetes dalam Samudera yang Mahaluas. Dia
bagaikan taman yang sangat luas, berapa pun yang kita pangkas,
seolah-olah kita hanya memangkas sekuntum bunga saja.
Pandangannya terhadap Makanan.
Syah
Naqsyband k, semoga Allah S.W.T mensucikan jiwanya, berada dalam
tingkatan tertinggi dalam menolak keinginan terhadap dunia ini. Beliau
mengikuti jalan yang shaleh, terutama dalam hal tata cara makannya.
Beliau mengambil segala jenis pencegahan sehubungan dengan makanannya.
Beliau hanya mahu makan dari barli yang ditanamnya sendiri. Beliau akan
memanennya, menggilingnya, membuat adonan, menanak dan memanggangnya
sendiri. Semua ulama dan para pencari di masanya membuat jalan mereka
menuju rumahnya, agar boleh makan di mejanya dan mendapatkan berkat dari
makanannya.
Beliau
mencapai suatu kesempurnaan dalam hal penghematan; di musim dingin,
beliau hanya meletakkan selembar karpet tua di lantai rumahnya dan ini
tidak memberi perlindungan dari udara dingin yang menusuk. Di musim
panas beliau meletakkan tikar yang sangat tipis di lantai. Beliau
mencintai orang yang miskin dan membutuhkan. Beliau mendorong para
pengikutnya untuk mencari nafkah dengan cara yang halal, iaitu dengan
membanting tulang. Beliau mendorong mereka untuk membahagikan wangnya
kepada fakir miskin. Beliau memasak untuk fakir miskin dan mengundang
mereka untuk makan bersama. Beliau melayani mereka dengan tangannya
sendiri yang suci dan mendorong mereka agar tetap berada di Hadrat Allah
S.W.T. Jika salah seorang di antara mereka memasukkan makanan ke dalam
mulutnya dengan cara yang tidak baik, beliau akan menegurnya, melalui
pandangan spiritualnya terhadap apa yang telah mereka lakukan dan
mendorong mereka untuk tetap ingat kepada Allah S.W.T ketika sedang
makan.
Beliau mengajarkan bahawa,
Salah
1 pintu yang paling penting menuju ke Hadrat Allah S.W.T adalah makan
dengan Kesedaran. Makanan memberikan kekuatan bagi tubuh, dan makan
dengan kesedaran memberikan kesucian bagi tubuh.
Suatu
saat beliau diundang ke sebuah kota bernama Ghaziat di mana salah
seorang muridnya telah menyiapkan makanan baginya. Ketika mereka duduk
untuk makan, beliau tidak menyentuh makanannya. Tuan rumah menjadi
terkejut. Syah Naqsyband berkata, Wahai anakku, Aku ingin tahu bagaimana
engkau menyiapkan makanan ini. Sejak engkau membuat adunan dan
memasaknya sampai engkau menyajikannya, engkau berada dalam keadaan
marah. Makanan in bercampur dengan kemarahan itu. Jika kita memakan
makanan itu, Setan akan menemukan jalan untuk masuk melaluinya dan
menyebarkan seluruh sifat buruknya ke seluruh tubuh kita.
Di
waktu yang lain beliau diundang ke kota Herat oleh rajanya, Raja
Hussain. Raja Hussain sangat senang dengan kunjungan Syah Naqsyband k
dan memberikan pesta besar baginya. Raja mengundang semua mentrinya,
Syaikh-Syaikh dari kerajaannya dan seluruh tokoh terhormat. Beliau
berkata, Makanlah makanan ini. Ini adalah makanan yang murni, yang
dibuat dari wang yang halal yang kudapat dari warisan ayahku. Semua
orang makan kecuali Syah Naqsyband, hal ini mendorong Syaikh ul-Islam
pada saat itu, Qutb ad-din, untuk bertanya, Wahai Syaikh kami, mengapa
engkau tidak makan? Syah Naqsyband berkata, Aku mempunyai seorang hakim
tempat Aku berkonsultasi. Aku bertanya kepadanya dan hakim itu berkata
kepadaku, Wahai anakku, mengenai makanan ini terdapat 2 kemungkinan.
Jika makanan ini tidak halal dan engkau tidak makan, bila engkau ditanya
engkau dapat mengatakan Aku datang ke meja seorang raja tetapi Aku
tidak makan. Maka engkau akan selamat kerana engkau tidak makan. Tetapi
bila engkau makan dan engkau ditanya, maka apa yang akan kau katakan?
Maka engkau tidak akan selamat. Pada sa`t itu, Qutb ad-Din begitu
terkesan dengan kata-kata ini dan tubuhnya mulai bergetar. Beliau harus
meminta izin kepada raja untuk menghentikan makannya. Raja sangat hairan
dan bertanya, Apa yang harus kita lakukan dengan semua makanan ini?
Syah Naqsyband berkata, Jika ada keraguan mengenai kesucian makanan ini,
lebih baik berikan kepada fakir miskin. Kebutuhan mereka (akan makanan)
akan membuatnya halal bagi mereka. Jika seperti yang engkau katakan,
makanan ini halal, maka akan lebih banyak lagi berkat dalam pemberian
makanan ini sebagai sedekah kepada mereka yang membutuhkan daripada
menjamu orang-orang yang tidak (benar-benar memerlukannya).
Sebagian
besar hari-harinya dijalani dengan berpuasa. Jika seorang tetamu
mendatanginya dan beliau mempunyai sesuatu yang boleh ditawarkan
kepadanya, maka beliau akan duduk menemaninya, membatalkan puasanya dan
makan bersamanya. Beliau berkata kepada para pengikutnya bahawa para
Sahabat Rasulullah s.a.w biasa melakukan hal yang sama.
Syaikh Abul
Hasan al-Kharqani berkata dalam bukunya, Prinsip-Prinsip Thariqat dan Prinsip - Prinsip dalam Meraih Makrifat,
Jagalah
keharmonisan dengan para sahabat, tetapi tidak dalam berbuat dosa. Ini
bererti bahawa jika engkau sedang berpuasa, lalu ada seseorang yang
berkunjung sebagai teman, maka engkau harus duduk bersamanya dan makan
bersamanya demi menjaga adab dalam berteman dengannya. Salah 1 prinsip
dalam puasa atau ibadah lainnya adalah menyembunyikan apa yang dilakukan
oleh seseorang. Jika seseorang membukanya, misalnya dengan berkata
kepada tetamunya bahawa dia sedang berpuasa, maka kebanggaan boleh masuk
ke dalam dirinya sehingga menghancurkan puasanya. Inilah alasan di
balik prinsip tersebut.
Suatu
hari beliau diberikan seekor ikan yang telah dimasak sebagai hadiah. Di
sekitarnya terdapat banyak orang miskin, di antara mereka terdapat
seorang anak yang sangat soleh dan sedang berpuasa. Syah Naqsyband memberikan
ikan itu kepada orang-orang miskin dan mengatakan kepada mereka,
Silakan duduk dan makan, demikian pula kepada anak yang sedang berpuasa
itu, Duduk dan makanlah. Anak itu menolak. Beliau berkata lagi, Batalkan
puasamu dan makanlah, lagi-lagi anak itu menolak. Beliau bertanya
kepadanya, Bagaimana jika Aku memberimu salah satu di antara hari -
hariku di bulan Ramadhan? Maukah engkau duduk dan makan? Sekali lagi dia
menolak. Beliau berkata kepadanya, Bagaimana jika Aku memberimu seluruh
Ramadhanku? Namun masih saja dia menolak. Beliau berkata, Bayazid
al-Bistami pernah suatu kali dibebani orang sepertimu. Sejak saat itu
anak itu terlihat berpaling untuk mengejar kehidupan duniawi. Dia tidak
pernah berpuasa dan tidak pernah beribadah lagi.
Insiden yang dirujuk oleh Syah Naqsyband terjadi ketika Syaikh Abu Turab an-Naqsybandi mengunjungi Bayazid al-Bistami. Pelayan beliau menawarkan makanan. Abu Turab berkata
kepada pelayan itu, Datanglah ke sini, duduk dan makan bersamaku.
Pelayan itu menolak, Tidak, Aku sedang berpuasa. Beliau berkata,
Makanlah, dan Allah S.W.T akan memberimu pahala puasa selama satu tahun.
Dia tetap menolak. Beliau berkata lagi, Ayuh makan, Aku akan berdo’a
kepada Allah S.W.T agar Dia memberimu pahala dua tahun puasa. Kemudian
Hadrat Bayazid berkata, Tinggalkan dia. Allah S.W.T tidak lagi
memeliharanya. Hari-hari berikutnya kehidupannya semakin buruk dan dia
menjadi seorang pencuri.
Keajaiban-Keajaiban dan Karomahnya'
Keadaan
Syah Naqsyband berada di luar jangkauan untuk dilukiskan dan tingkat
pengetahuannya pun tidak dapat dilukiskan. Salah satu keajaiban
terbesarnya adalah eksistensinya itu sendiri. Beliau sering
menyembunyikan tindakannya dengan tidak memperlihatkan kekuatan
ajaibnya. Namun demikian banyak keajaibannya yang tercatat.
Syah Naqsyband, semoga Allah S.W.T memberkati jiwanya, berkata,
Suatu
hari Aku pergi bersama Muhammad Zahid ke gurun. Beliau adalah seorang
murid yang dapat dipercaya dan kami memiliki sebuah kapak beliung
(pickaxe) yang kami gunakan untuk menggali. Ketika kami sedang bekerja
dengan beliung itu, kami berdiskusi tentang tingkat pengetahuan yang
dalam seperti itu di mana kami melempar beliung dan masuk lebih dalam ke
dalam pengetahuan spiritual. Kami bergerak semakin dalam sampai
pembicaraan kami mengantarkan kami pada asal penyembahan (ibadah). Dia
bertanya kepadaku, Wahai Syaikhku, sampai batas mana yang boleh dicapai
oleh ibadah? Aku berkata, Ibadah mencapai tingkat kesempurnaan di mana
orang yang beribadah dapat berkata kepada seseorang meninggal dan orang
itu akan meninggal. Tanpa sedar Aku menunjuk pada Muhammad Zahid. Dengan
segera dia meninggal. Dia berada dalam keadaan meninggal sejak matahari
terbit hingga tengah hari. Hari itu sangat panas. Aku merasa cemas
kerana tubuhnya menjadi rosak akibat panas yang berlebihan. Aku
menariknya ke bawah bayangan pohon dan Aku duduk di sana merenungkan
persoalan ini. Ketika Aku merenung sebuah inspirasi dari Hadrat Ilahi
masuk ke dalam hatiku dan mengatakan kepadaku agar berkata kepadanya,
Wahai Muhammad, hiduplah!' Aku mengucapkannya 3 kali. Hasilnya, jiwanya
mulai memasuki tubuhnya, dan kehidupan mulai kembali lagi padanya.
Secara perlahan dia kembali ke keadaan semula. Aku pergi ke Syaikhku dan
menceritakan apa yang terjadi. Beliau berkata, Wahai anakku, Allah
S.W.T memberimu suatu rahsia yang belum pernah diberikan kepada orang
lain.
Syaikh Alauddin al-'Attar berkata,
Suatu
ketika raja Transoxiana, Sultan Abdullah Kazgan, datang ke Bukhara.
Beliau memutuskan untuk berburu di sekitar Bukhara dan banyak orang yang
menemaninya. Syah Baha'uddan Naqsyband berada di desa sekitar. Ketika
orang pergi berburu, Syah Naqsyband pergi ke puncak bukit dan duduk di
sana. Ketika beliau sedang duduk di sana, dalam benaknya terlintas
fikiran bahawa Allah S.W.T memberikan kemuliaan yang berlimpah kepada
para awliya. Kerana kemuliaan itu, semua raja di dunia ini akan
membongkuk kepada mereka. Belum lagi fikiran itu hilang dari hatinya,
seorang penunggang kuda dengan mahkota di kepalanya seperti seorang
raja, datang ke hadiratnya dan turun dari kudanya. Dengan rendah hati
dia menyalami Syah Naqsyband dan berdiri di hadratnya ddngan sangat
sopan. Dia membungkuk di hadapan Syaikh tetapi Syaikh tidak menoleh
kepadanya. Beliau membiarkannya berdiri selama 1 jam. Akhirnya, Syah
Naqsyband melihatnya dan berkata, Apa yang engkau lakukan di sini? Dia
berkata, Aku seorang raja, Sultan Kazgan. Aku sedang pergi berburu, dan
Aku mencium aroma yang sangat indah. Aku mengikutinya ke sini dan Aku
menemukan engkau duduk di tengah cahaya yang sangat kuat. Fikirannya
yang tadi, Semua raja di dunia ini akan membongkuk kepada para awliya’ langsung menjadi kenyataan. Itulah bagaimana Allah S.W.T memuliakan fikiran para awliya-Nya.
Salah 1 pengikutnya yang melayaninya di kota Merv melaporkan,
Suatu
hari Aku ingin menemui keluargaku di Bukhara setelah mendengar bahawa
saudaraku Syamsuddin meninggal. Aku memerlukan izin dari Syaikhku untuk
pergi. Aku berbicara dengan Amir Hussain, Pengeran dari Heart, untuk
memintakan izin kepada Syah Naqsyband atas
namaku. Dalam perjalanan sepulang solat Jumaat, Amir Hussain mengatakan
kepadanya tentang kematian saudaraku dan bahawa Aku meminta izin untuk
pergi menemui keluargaku. Beliau berkata, Tidak, hal itu tidak mungkin.
Bagaimana mungkin engkau berkata bahawa dia telah meninggal kerana Aku
melihatnya masih hidup. Lebih dari itu, Aku bahkan dapat mencium wangi
tubuhnya. Aku akan membawanya ke sini sekarang. Beliau baru saja
mengakiri ucapannya ketika saudaraku muncul. Dia mendekati Syaikh,
mencium tangannya dan menyalami Amir Hussain. Aku memeluk saudaraku dan
itu adalah kebahagaiaan yang sangat besar di antara kami.
Syaikh Alauddin Attar berkata,
Syaikh
Syah Naqsyband suatu kali duduk di sebuah asosiasi yang besar di
Bukhara dan berbicara mengenai pembukaan tabir pandangan spiritual.
Beliau berkata, Sahabat terbaikku, Mawla 'Arif, yang berada di Khwarazm,
(400 batu dari Bukhara) telah meninggalkan Khwarazm untuk gedung
pemerintah, dan beliau sampai di stasiun kereta berkuda. Ketika beliau
sampai di stasiun tersebut beliau tinggal di sana untuk beberapa saat
dan sekarang kembali lagi ke rumahnya di Khwarazm. Beliau tidak
melanjutkan perjalanannya ke Saray. Inilah bagaimana seorang wali dapat
melihat dalam maqam pengetahuannya spiritualnya. Setiap orang terkejut
mendengar cerita ini tetapi kami semua tahu bahawa beliau adalah seorang
wali besar, maka kami mencatat waktu dan harinya. Suatu hari Mawla
'Arif datang dari Khwarazm ke Bukhara dan kami memberitahu dia mengenai
kejadian itu. Dia sangat terkejut dan berkata, Sebenarnya, itulah
kejadian yang sesungguhnya.
Beberapa ulama dari Bukhara bepergian ke Iraq bersama beberapa murid Syah Naqsyband ketika
mereka tiba di kota Simnan. Mereka mendengar bahawa ada individu yang
diberkati yang bernama Sayyid Mahmoud, yang merupakan murid Syaikh.
Mereka pergi mengunjungi rumahnya dan bertanya kepadanya, Bagaimana
engkau boleh berhubungan dengan Syaikh? Beliau berkata,
Suatu
ketika Aku melihat Rasulullah s.a.w dalam sebuah mimpi, duduk di sebuah
tempat yang sangat baik, dan di sampingnya duduk seorang dengan
penampilan yang sangat elok. Aku berkata kepada Rasulullah s.a.w dengan
penuh hormat dan rendah hati, Ya Rasulullah s.a.w, Aku tidak diberi
kemuliaan untuk menjadi sahabatmu semasa hidupmu. Apa yang dapat
kulakukan dalam hidupku agar boleh mendekati kemuliaan itu? Beliau
berkata, Wahai anakku jika engkau ingin dimuliakan dengan menjadi
sahabat kami dan duduk bersama kami dan diberkati, engkau harus
mengikuti anakku, Syah Baha’uddin Naqsyband. Aku lalu bertanya, Siapakah Syah Baha’uddin
Naqsyband? Beliau menjawab kepadaku, Apakah engaku lihat orang yang
duduk di sebelahku? Inilah orangnya. Jagalah kebersamaanmu dengannya.
Aku belum pernah melihatnya sebelumnya. Ketika Aku bangun, Aku menulis
namanya dan deskripsinya dalam sebuah buku yang kumiliki di
perpustakaanku. Hari-hari pun berlalu setelah mimpi itu, sampai suatu
hari, ketika Aku sedang berdiri di sebuah toko, Aku melihat seseorang
dengan penampilan yang anggun dan bercahaya mendatangi toko dan duduk di
sebuah kursi. Ketika Aku melihatnya, Aku ingat mimpi itu dan apa yang
terjadi di dalamnya. Dengan segera Aku menghampirinya dan bertanya
kepadanya apakah beliau berkenan mengunjungi rumahku dan tinggal
bersamaku. Beliau menerimanya dan mulai berjalan di depanku sementara
itu Aku mengikutinya. Aku malu untuk berjalan di depannya, bahkan untuk
menunjukkan jalan menuju rumahku. Beliau tidak menoleh sekali pun
kepadaku, tetapi langsung mengambil jalan menuju rumahku. Aku baru saja
ingin mengatakan, Inilah rumahku, ketika beliau berkata, Ini rumahmu.
Beliau berjalan ke dalam dan langsung menuju ruangan istimewaku. Beliau
berkata, Ini kamarmu. Beliau pergi ke almari dan mengambil sebuah buku
di antara ratusan buku. Beliau memberikan buku itu dan bertanya padaku,
Apa yang engkau tulis di sini? Apa yang telah kutulis adalah apa yang
kulihat dalam mimpi. Dengan segera suatu keadaan tidak sedar menguasaiku
dan Aku merasa pusing dengan cahaya yang masuk ke dalam hatiku. Ketika
Aku bangun, Aku bertanya kepadanya apakah beliau akan menerimanya.
Beliau adalah Syah Baha'uddin Naqsyband.
Syaikh Muhammad Zahid berkata,
Di
awal perjalananku dalam Thariqat ini, Aku duduk di sampingnya suatu
hari di musim semi. Sebuah keinginan akan semangka masuk ke dalam
hatiku. Beliau melihatku dan berkata, Muhammad Zahid, pergilah ke sungai
di dekat kita itu dan bawakan kepada kita apa yang engkau lihat dan
kita akan memakannya. Dengan segera Aku pergi ke sungai itu. Airnya
sangat dingin. Aku menyelam ke dalamnya dan menemukan sebuah semangka di
bawah air, sangat segar, seolah-olah baru saja dipotong dari dahannya.
Aku sangat bergembira dan Aku mengambilnya dan berkata, Wahai Syaikhku
terimalah aku.
Salah satumuridnya melaporkan hal berikut mengenai kunjungannya menemui beliau.
Sebelum
kunjungan itu beliau menanyakan Syaikh Syadi, salah seorang murid
senior, untuk menasihatinya, Beliau berkata kepadaku, Wahai saudaraku,
bila engkau pergi mengunjungi Syaikh atau ketika engkau duduk di tengah
kehadiran Syaikh, berhati-hatilah agar jangan meletakkan kakimu
sedemikian rupa sehingga kakimu menghadap ke arahnya. Segera setelah Aku
meninggalkan Ghaziut dalam perjalananku ke Qasr al-'Arifan, Aku
menemukan sebuah pohon dan berbaring di bawahnya dengan kaki
berselonjor. Sayangnya seekor binatang datang dan menggigit kakiku.
Kemudian aku tertidur lagi dengan rasa nyeri, dan ketika aku tertidur
seekor binatang menggigitku lagi. Tiba-tiba aku sedar bahawa Aku telah
membuat suatu kesalahan besar, Aku telah menghadapkan kakiku ke arah
Syaikhku. Dengan segera Aku bertaubat dan binatang yang menggigitku itu
pun pergi.
Suatu
saat beliau didesak untuk memperlihatkan kekuatan ajaibnya untuk
mempertahankan salah satu penerusnya di Bukhara, Syaikh Muhammad Parsa.
Hal ini terjadi ketika Syaikh Muhammad Syamsuddin al-Jazari datang ke
Samarkand, di masa Raja Mirza Aleg Beg, untuk menentukan pembenaran atas
mat` rantai transmisi dalam Narasi Hadis. Beberapa ulama korup yang iri
mengeluh bahawa Syaikh Muhammad Parsa telah memberikan narasi-narasi
hadis yang rantai transmisinya tidak dikenal. Mereka berkata kepada
Syamsuddin, �Jika
engkau mencoba memperbaiki masalah itu, Allah S.W.T akan memberimu
pahala yang besar. Syaikh Muhammad Syamsuddin meminta Sultan untuk
memerintahkan Syaikh Muhammad Parsa k agar muncul. Syaikh ul-Islam di
Bukhara, Husamuddin an-Nahawi, berada di sana, bersama dengan sejumlah
ulama dan imam dari daerah itu.
Syah
Naqsyband k datang bersama Muhammad Parsa k ke pertemuan itu. Lalu
Syaikh Husamuddin menanyakan Muhammad Parsa k mengenai sebuah hadis.
Muhammad Parsa k menarasikan hadis itu bersama dengan mata rantai
transmisinya. Syaikh Muhammad al-Jazari berkata, Tidak ada yang salah
dalam hadisnya, tetapi mata rantainya tidak benar. Ketika mendengar ini
para ulama yang iri merasa gembira. Mereka meminta Muhammad Parsa k
memberi mata rantai yang lain untuk hadis tersebut. Beliau melakukannya,
tetapi tetap saja dikatakan bahawa itu tidak benar. Mereka meminta mata
rantai yang lain, beliau memberikannya dan tetap saja mereka menemukan
kesalahan di dalamnya.
Syah
Naqsyband turun tangan, kerana beliau tahu bahawa apa pun mata rantai
yang diberikan, mereka akan mengatakan bahawa itu salah. Beliau memberi
inspirasi kepada Muhammad Parsa untuk bertanya langsung kepada Syaikh
Husamuddin dan berkata kepadanya, Engkau adalah Syaikh ul-Islam dan
seorang mufti. Dari apa yang telah engkau pelajari mengenai pengetahuan
eksternal dan syari’ah
serta pengetahuan mengenai hadis, apa yang engkau katakan mengenai
narator-narator tersebut? Syaikh Husamuddin berkata, Kami menerima orang
itu dan kami mendasarkan banyak pengetahuan mengenai hadis pada narasi
mereka, dan buku-buku mereka kami terima, dan silsilahnya diterima oleh
semua ulama, dan tidak ada beda pendapat mengenai hal itu. Muhammad
Parsa k berkata, Buku orang itu, yang engkau terima ada di rumahmu di
perpustakaanmu, di antara buku ini dan ini. Dia terdiri atas 500 halaman
dan warnanya adalah ini dan ini, dan sampulnya terlihat seperti ini dan
ini, dan hadis yang engkau tolak oleh orang tersebut ada di halaman ini
dan ini.
Syaikh
Husamuddin merasa bingung dan keraguan mendatangi hatinya, kerana dia
tidak ingat pernah melihat buku seperti itu di perpustakaannya. Semua
orang terkejut bahawa Syaikh mengetahui buku itu tetapi pemiliknya tidak
mengetahuinya. Tidak ada alternatif lain kecuali untuk mengutus
seseorang untuk mengecek. Hadis tersebut ditemukan sebagaimana yang
disebutkan oleh Muhammad Parsa. Ketika raja mendengar kisah ini, para
ulama yang membawa masalah ini dihinakan sementara Syah Naqsyband dan Muhammad Parsa mendapat kemuliaan.
Keadaannya ketika Meninggal Dunia ini.
Syaikh
Ali Damman, salah seorang pelayan dari Syaikh berkata, Syaikh
menyuruhku untuk menggali makamnya. Ketika aku menyelesaikannya, aku
bertanya dalam hati, Siapa yang akan menjadi penerusnya? Beliau bangkit
dari bantalnya dan berkata kepadaku, Oh anakku, jangan melupakan apa
yang kukatakan kepadamu ketika kita dalam perjalanan ke Hijaz. Siapa pun
yang ingin mengikutiku dia harus mengikuti Syaikh Muhammad Parsa dan Syaikh Alauddin Attar.
Di
hari-hari terakhirnya, beliau tinggal di kamarnya. Orang-orang
berziarah mengunjunginya dan beliau memberi nasihat kepada mereka.
Ketika beliau memasuki sakitnya yang terakhir beliau mengunci dirinya di
dalam kamar. Bergelombang-gelombang pengikutnya mulai berdatangan
mengunjunginya dan beliau masing-masing memberi nasihat yang mereka
butuhkan. Pada suatu saat beliau memerintahkan mereka membaca surat Yaa Sin. Kemudian ketika mereka menyelesaikannya, beliau berdo’a
kepada Allah S.W.T lalu mengangkat jari telunjuk kanannya untuk
mengucapkan syahadah. Segera setelah beliau mengucapkannya, jiwanya
kembali kepada Allah S.W.T.
Beliau
meninggal pada hari Minggu malam, 3 Rabi'ul-Awwal, 791 H (1388 M).
beliau dimakamkan di halaman rumahnya sebagaimana permintaan beliau.
Penerus Raja Bukhara menjaga madrasah dan masjidnya, memperluas dan
meningkatkan waqafnya.
Abdul
Wahhab asy-Sya'arani , seorang Kutub Spiritual di masanya mengatakan,
Ketika Syaikh dikuburkan di makamnya, sebuah pintu surga terbuka
baginya, menjadikan makamnya sebagai taman dari Surga. 2 makhluk
spiritual yang indah mendatanginya dan memberinya salam dan berkata
kepadanya, Sejak Allah S.W.T menciptakan kami sampai sekarang, kami
telah menunggu saat ini untuk melayani engkau. Beliau berkta kepada ke2
makhluk spiritual ini, Aku tidak berpaling kepada yang lainnya kecuali
kepada-Nya. Aku tidak membutuhkan kalian tetapi Aku membutuhkan Tuhanku.
Syah
Naqsyband meninggalkan banyak penerus, yang paling terhormat di antara
mereka adalah Syaikh Muhammad bin Muhammad Alauddin al-Khwarazmi
al-Bukhari al-Attar dan Syaikh Muhammad bin Muhammad bin Mahmoud
al-Hafizi, yang dikenal sebagai Muhammad Parsa, penulis Risala Qudsiyya.
Kepada yang pertamalah Syah Naqsybandi meneruskan rahsia dari Mata Rantai Emas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar