=======================
Nasihat Sayyidina 'Umar Bin Khotthob RA tentang Budaya Meniru
=======================
Jumat, 30/11/2012 19:24
Madinah merupakan
jantung peradaban Islam ketika itu. Umat Islam relatif masih
mempertahankan gaya hidup sederhana yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.
Namun jauh di luar kota Madinah, keadaannya sedikit berbeda. Banyak
kota-kota yang telah mengenal kebudayaan imperium Romawi atau Persia
memiliki kebiasaan menempatkan para pemimpin mereka di gedung-gedung
megah, berpakaian mewah serta kebiasaan-kebiasaan aristokrat lainnya.
Sebagai khalifah Umar merasa khawatir para penguasa akan terjangkiti penyakit individualistik (tak perduli terhadap kondisi umat), materialistik (menumpuk kekayaan pribadi) dan hedonisitik (memburu kesenangan sesaat) sebagaimana para penguasa Persia dan Romawi.
Ia khawatir kebudayaan asing yang negatif tersebut dapat menggerus nilai-nilai bersahaja agama Islam yang telah dibangun oleh Rasulullah. Untuk itu Umar merasa perlu untuk mengirimkan sepucuk surat kepada wali kota Azerbaijan, Uthbah bin Farqad.
Dalam hikayat Abu Utsman An Nahdi, Umar pernah mengirim surat kepada Uthbah, sang walikota Azerbaijan. Surat tersebut berisi peringatan Umar yang berbunyi
”Wahai Utbah bin Farqad! Jabatan itu bukan hasil jerih payahmu dan bukan pula jerih payah ayah dan ibumu. Karena itu kenyangkanlah kaum muslimin di negeri mereka dengan apa yang mengenyangkan di rumahmu, hindari bermewah-mewah, hindari memakai pakaian ahli syirik dan hindarilah memakai sutera.”
Teguran Umar ini berdasarkan hadis Rasulullah, "Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum berarti dia bagian dari kaum itu."
Demikianlah umar memaknai peniruan (tasyabuh) atas budaya yang negatif sebagai sesuatu yang berbahaya. Sikap meniru juga menunjukkan lemahnya kepribadian yang menciptakan generasi bunglon yang gampang terombang-ambing dan kerjanya cuma mengekor.
Sementara budaya mengekor ini dibahasakan oleh Rasulullah dalam hadis: “Kamu telah mengikuti sunnah orang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Sehingga jika mereka masuk ke dalam lubang biawak, kamu tetap mengikuti mereka.” (Anam).
sumber:http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,51-id,41068-lang,id-c,hikmah-t,Nasihat+Sayyidina+Umar+tentang+Budaya+Meniru-.phpx
Sebagai khalifah Umar merasa khawatir para penguasa akan terjangkiti penyakit individualistik (tak perduli terhadap kondisi umat), materialistik (menumpuk kekayaan pribadi) dan hedonisitik (memburu kesenangan sesaat) sebagaimana para penguasa Persia dan Romawi.
Ia khawatir kebudayaan asing yang negatif tersebut dapat menggerus nilai-nilai bersahaja agama Islam yang telah dibangun oleh Rasulullah. Untuk itu Umar merasa perlu untuk mengirimkan sepucuk surat kepada wali kota Azerbaijan, Uthbah bin Farqad.
Dalam hikayat Abu Utsman An Nahdi, Umar pernah mengirim surat kepada Uthbah, sang walikota Azerbaijan. Surat tersebut berisi peringatan Umar yang berbunyi
”Wahai Utbah bin Farqad! Jabatan itu bukan hasil jerih payahmu dan bukan pula jerih payah ayah dan ibumu. Karena itu kenyangkanlah kaum muslimin di negeri mereka dengan apa yang mengenyangkan di rumahmu, hindari bermewah-mewah, hindari memakai pakaian ahli syirik dan hindarilah memakai sutera.”
Teguran Umar ini berdasarkan hadis Rasulullah, "Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum berarti dia bagian dari kaum itu."
Demikianlah umar memaknai peniruan (tasyabuh) atas budaya yang negatif sebagai sesuatu yang berbahaya. Sikap meniru juga menunjukkan lemahnya kepribadian yang menciptakan generasi bunglon yang gampang terombang-ambing dan kerjanya cuma mengekor.
Sementara budaya mengekor ini dibahasakan oleh Rasulullah dalam hadis: “Kamu telah mengikuti sunnah orang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Sehingga jika mereka masuk ke dalam lubang biawak, kamu tetap mengikuti mereka.” (Anam).
sumber:http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,51-id,41068-lang,id-c,hikmah-t,Nasihat+Sayyidina+Umar+tentang+Budaya+Meniru-.phpx
Tidak ada komentar:
Posting Komentar