Kitab Ta'limul Muta'alim
==================
Etika Santri Menurut al-Jarnuji. Di lingkungan
pesantren tradisional, yang menekankan pemahaman kitab-kitab salaf,
seolah-olah kitab Ta’lim al-Mutaallim Thariq al-Taallum (Mengajar Metode
Belajar kepada Santri) merupakan kitab kedua sesudah al-Qur’an. Studi
seorang santri dianggap belum memenuhi syarat apabila ia belum mengaji
kitab ini. Dan karena isi dan penyajiannya sedemikian rupa, kitab
tersebut sering disebut sebagai “Buku Petunjuk Menjadi Kyai”.
Sedang di kalangan pesantren-pesantren modern yang penekanan pemahaman
terhadap kitab-kitab salaf agak kurang, kitab Ta’lim ini nyaris tidak
populer, bahkan tidak kenal sama sekali. Dan agaknya pengaruh kitab ini
yang sedikit membedakan “penampilan” antara alumnus pesantren
tradisional dengan alumnus pesantren modern.
Di beberapa negara Timur Tengah, khususnya Saudi Arabia kitab ini juga
tidak disebut-sebut. Namun usaha seorang Doktor lulusan Jerman (dulu:
Jerman Barat) yang melakukan edit dan kritik terhadap kitab ini
membuktikan bahwa kitab tersebut masih diperhatikan orang.
Kitab Ta’lim yang beredar di tanah air umumnya dicetak dengan syarah
(komentar)nya yang ditulis Syeikh Ibrahim ibn Isma’il. Sedang kitab
Talim itu sendiri ditulis oleh Syeikh al-Jarnuji. Baik kitab Ta’lim
maupun Syarah-nya tidak menyebut identitas al-Jarnuji. Hal ini cukup
mempersulit kajian kitab tersebut, sehingga dapat diketahui bagaiamana
keadaan pada waktu kitab itu ditulis dan sejauhmana hal itu mempengaruhi
kitabnya.
Dalam al-Munjid nama al-Jarnuji disebut singkat sekali. Yang agak
membantu hal ini adalah keterangan yang terdapat dalam kitab al-A’lam
(Tokoh-tokoh) karangan al-Zarkeli. Ditulis di situ bahwa al-Jarnuji
adalah al-Nu’man ibn Ibrahim ibn Khalil al-Jarnuji, Taj al-Din. Beliau
adalah sastrawan (adib) yang berasal dari Bukhara. Semula berasal dari
Zarnuj, suatu kawasan di negeri-negeri seberang sungai Tigris (ma wara`a
al-nahr). Beliau antara lain menulis kitab al-Muwadhdhah Syarh
al-Maqamat al-Haririyah, dan wafat pada tahun 630 H/ 1242 M.
Al-Zarkeli tidak menuturkan di mana al-Jarnuji tinggal, namun secara
umum al-Jarnuji hidup pada akhir periode Daulah Abbasiyah, sebab
Khalifah Abbasiyah terakhir (al-Mu’tashim) wafat pada tahun 1258 M. Ada
kemungkinan beliau tinggal di kawasan Irak-Iran, sebab beliau juga
mengetahui syair-syair Parsi di samping banyaknya contoh-contoh
peristiwa pada masa Abbasiyah yang beliau tuturkan dalam kitabnya.
Etika Santri
Kitab kecil, yang juga disebut Risalah (surat) ini, oleh pengarangnya
dimaksudkan sebagai buku petunjuk tentang metode belajar bagi santri,
seperti tersembul dari judulnya. Namun apabila dikaji isinya, metode
belajar yang dimaksud sangat sedikit. Di antara 14 bab yang terdapat
kitab ini (istilah kitabnya, fashl) hanya satu bab saja yang membahas
metode belajar. Selebihnya membahas tentang keutamaan ilmu, motivasi
belajar, memilih ilmu, guru, dan kawan, memuliakan ilmu dan ulama, dan
lain-lain. Bahkan membahas hal-hal yang dianggap dapat mempercepat
rizki, karena belajar tak pelak lagi memerlukan hal itu.
Karenanya, kitab ini cenderung lebih tepat disebut sebagai kitab yang
membahas etika santri, khususnya kepada guru-gurunya, dibanding sebagai
kitab tentang metode belajar. Dan agaknya, bagian inilah yang paling
banyak mempunyai dampak.
Di lingkungan pesantren, santri yang tidak sopan terhadap guru, ia akan
segera dicap “tidak pernah mengaji kitab Ta’lim”, tetapi santri yang
bodoh yang boleh jadi belum atau tidak mempraktekan isi kitab tersebut,
cap itu tidak akan disandanganya. Dan karena pengarangnya seorang
santrawan, maka petuah-petuah untuk itu juga banyak diambil dari
syair-syair Arab.
Namun persoalaannya tidak berhenti sampai di situ, al-Jarnuji menyebut
kitabnya sebagai metode belajar, sedangkan kajiannya banyak membahas
etika. Pertanyaannya sekarang adalah, apakah etika itu sendiri merupakan
salah satu metode untuk meraih ilmu? Tampaknya di kalangan pesantren
ada kecenderungan untuk menyebutkan bahwa etika santri, terutama kepada
gurunya, merupakan salah satu perangkat untuk memperoleh ilmu.
Kisah-kisah santri yang pada waktu nyantrinya menjadi khadam (pembantu)
kyai, menjadi tukang ambil air, dan lain-lain, tiba-tiba setelah pulang
muncul sebagai kyai yang alim, adalah cerita yang sangat populer di
kalangan pesantren semata-mata karena keluhuran spiritual seorang kyai
atau pendiri pesantren tersebut. Baginya masalah metode belajar tidak
menjadi soal, yang penting setelah sekian lama menyantri kelak akan
muncul sebagai kyai yang alim, berkat ‘barakah’ dari kyai tersebut.
Kecendungan ini masih sangat berpengaruh di masyarakat. Tak heran kalau
tokoh pesantren seperti H.M. Yusuf Hasyim, Pengasuh Pesantren Tebuireng,
membuat istilah adanya “lembaga Barakah” di pesantren, ketika santri
belajar hanya semata-mata mengharapkan barakah dari kyai atau pendiri
pesantren.
Adanya barakah sebenarnya tidak perlu dipersoalkan, sebab pengertian
barakah adalah kebaikan atau manfaat yang berkembang. Dan dalam hal ini,
hasil doa para kyai dan guru untuk para santrinya dapat disebut
barakah. Hanya harapan santri untuk memperoleh barakah hendaknya tidak
mengurangi usahanya dalam belajar secara lahiriah. Dengan demikian,
santri dalam satu saat harus menyatukan antara usaha (ikhtiar) dan doa.
Salah satu bagian dari petuah-petuah kitab ini —dan ini yang paling
berpengaruh seperti dituturkan di muka— adalah keharusan seorang santri
untuk menghormati gurunya, begitu pula orang-orang yang mempunyai
pertalian darah dengannya, seperti puteranya dan lain-lain. Khusus untuk
menghormati guru, al-Jarnuji menyitir ucapan Sayidina Ali, “ana ‘abdu
man ‘allamani harfan, in sya`a ba’a, wa in sya`a a’taqa wa in sya’a
istaqarra” (Saya adalah hamba orang yang pernah mengajarkan satu huruf
kepada saya, apabila ia mau boleh menjualku, memerdekakanku, atau tetap
memperbudakku). Al-Jarnuji juga menuturkan beberapa cara menghormati
guru, antara lain santri tidak diperkenankan berjalan di hadapan guru,
tidak diperkenankan duduk di tempat duduknya, tidak boleh mendahului
berbicara tanpa izinnya. Tidak boleh banyak berbicara dengannya, tidak
boleh menanyakan hal-hal yang gurunya sudah jenuh, tidak boleh mengetuk
pintunya tetapi mesti menunggu sampai keluar sendiri. Walhasil, santri
harus selalu mencari kerelaan gurunya (tidak menyakiti hatinya) dan
mematuhi segala perintahnya, sepanjang hal itu bukan ma’siat.
Keterangan inilah, agaknya, yang menimbulkan persepsi penyerahan total
seorang santri kepada gurunya. Apalagi bila diingat adanya
bayang-bayang, ilmunya tidak akan bermanfaat apabila ia pernah berbeda
pendapat (I’tiradh) dengan gurunya atau pernah menyakiti hatinya.
Persepsi ini, meski mempunyai nilai positif, namun tak urung menimbulkan
dampak yang kurang diinginkan. Sebab, santri harus bersikap menerima
tanpa berani bersikap kritis.
Al-Jarnuji memang tidak memberikan rincian tentang masalah-masalah apa
yang bisa menyakiti guru itu. Barang kali karena tidak adanya rincian
ini menjadikan hal itu diberlakukan secara umum. Dan anehnya, meskipun
hal itu hanya dibahas dalam rangka belajar, namun implementasinya justru
tampak di luar itu. Persepsi ‘apa kata guru dan murid harus
menerimanya’ sudah melembaga dalam kehidupan masyarakat secara luas.
Keharusan memperoleh kerelaan guru nampak sangar relatif, apalagi bila
hal itu dihubungkan dengan masalah interpretasi. Ternyata al-Jarnuji
tidak menuturkan satu dalil pun petuahnya itu, selain ucapan Sayidina
Ali serta sejumlah syair.
Dalam kaitannya dengan tradisi keilmuan, apabila kita tengok masa-masa
jauh sebelum al-Jarnuji, misalnya periode imam-imam penegak madzhab,
kita dapat memperoleh gambaran bahwa mereka tidak selamanya sependapat
dengan gurunya. Bahkan, di antara mereka ada yang mendirikan madzhab
sendiri, terpisah dari madzhab gurunya. Jauh sebelum itu, Umar ibn
Khathab pernah juga diprotes oleh seorang wanita yang juga sebagai
muridnya. Bila petuah al-Jarnuji di atas menjadi kriteria, sebenarnya
gurulah yang sebenarnya elastis dalam mengkonotasikan kerelaannya.
Sebab, boleh jadi seorang guru merasa tersinggung (tidak rela) apabila
muridnya berbeda pendapat dengannya, sedangkan guru lain justru merasa
bangga, bakan mendorong apabila muridnya berpendapat lain selama hal itu
berdasarkan argumen yang kuat.
Tentang bayangan bahwa ilmu seorang santri tidak akan bermanfaat apabila
ia pernah menyakiti hati gurunya, juga perlu direnungkan kembali.
Apakah batasan manfaat dan dalam hal apa murid tidak diperkenankan sama
sekali menyakiti hati gurunya. Sebab, ternyata banyak murid yang sewaktu
belajar pernah melakukan ‘unjuk rasa’ terhadap gurunya, namun setelah
terjun di masyarakat ia justru menjadi ulama besar.
seperti tersebut di atas umumnya terdapat di kalangan murid atau santri
tingkat Tsanawiyah ke bawah. Mereka yang sudah menginjakkan kakinya di
tingkat Aliyah, apalagi di perguruan tinggi, keadaan di atas memperoleh
bentuk yang lain. Masalahnya bukan karena mereka tidak lagi patuh kepada
gurunya, melainkan pada tingkat tersebut usaha penalaran mulai
dikembangkan. Pada tingat Aliyah, misalnya, murid tidak lagi sekedar
menerima pelajaran yang sudah mapan seperti fiqh dan lain sebagainya,
tetapi dikenalkan pula sumber-sumber atau dalil-dalil pelajaran itu. Di
sini santri mulai mengenal proses terbentuknya fiqh, yang kenal dengan
‘ushul fiqh’. Karena tujuan ushul fiqh adalah mengkaji sumber dan cara
pengambilan hukum, maka secara praktis ia menghendaki agar manusia tidak
bersikap taklid (menerima apa adanya tanpa mengetahui sumbernya).
Disinilah murid mulai berani mempertanyakan keabsahan suatu hukum kepada
gurunya, tanpa meninggalkan penghormatan kepadanya. Umumnya, pada
tingkat ini guru cukup menghargai sikap murid-murid yang demikian.
Biasanya keadaan ini didukung pula oleh sistem pengajian yang individual
(sorogan) atau klasikal.
Karenanya, dapat dimaklumi apabila murid-murid pesantren yang menerapkan
sistem klasikal dan individual ini lebih mencerminkan kelonggaran
berfikir dari pada murid-murid pesantren yang menerapkan sistem
pengajian bandongan (massal). Murid-murid pesantren tipe pertama akan
mengatakan apa kata dalil dan bagaimana memprosesnya menjadi suatu
hukum, sedang murid-murid pesantren tipe kedua lebih cenderung
mengatakan apa kata guru atau apa kata kyai.
Keseimbangan (Tawazun)
Kitan Ta’lim karangan al-Jarnuji ini lebih tepat disebut sebagai kitab
yang membahas etika santri, terutama terhadap gurunya, dari pada sebagai
kitab metode, kecuali apabila kita sependapat bahwa etika itu sendiri
merupakan metode. Namun etika yang dimaksud oleh kitab ini lebih banyak
diwarnai oleh keadaan pada waktu kitab tersebut ditulis, seperti dapat
dilihat dari banyaknya contoh-contoh yang bersifat lokal.
Tanpa mengurangi etika yang hendak ditanamkan oleh al-Jarnuji, sesudah
mengkaji kitab ini seyogyanya murid melanjutkan kajiannya tentang
kitab-kitab ushul fiqh. Dengan demikian murid dapat memiliki kelebihan
ganda, kemampuan berfikir longgar dan etika yang terpuji. Kedua
kelebihan ini perlu diwujudkan secara berimbang (tawazun), sebab sikap
kritis yang tidak diimbangi dengan etika akan merepotkan para guru dan
pengelola pendidikan, sedang keluhuran etika tanpa dibarengi dengan
sikap kritis sering menimbulkan ‘lelucon’. Guru yang didemonstrasi
muridnya merupakan contoh keadaan pertama, dan seorang murid yang
mencium tangan tamu non muslim yang datang ke sekolahnya merupakan
contoh untuk keadaan kedua. (amy) (www.kemenag.go.id),
Penulis : al-Nu’man ibn Ibrahim al-Khalil al-Jarnuji
Penerbit : Dar al-Kutub al-Islamiyyah
Tebal : 96 hlm.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar