-------------------------------
PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH, IMAM MALIK, IMAM SYAFI'I, IMAM AHMAD BIN HAMBAL DAN IMAM AL-MUHASIBY TENTANG THORIQOT SUFI
==================
Imam Abu Hanifah RA:
Imam Abu seorang imam mazhab dari empat mazhab terkenal, ternyata juga seorang Mursyid Thariqah Sufi.
Diriwayatkan
oleh seorang Faqih Hanafi al-Hashkafi, menegaskan, bahwa Abu Ali
ad-Daqqaq ra, berkata, “Aku mengambil Thariqah sufi ini dari Abul Qasim
an-Nashr Abadzy, dan Abul Qasim mengambil dari Asy-Syibly, dan
Asy-Syibly mengambil dari Sary as-Saqathy, beliau mengambil dari Ma’ruf
al-Karkhy, dan beliau mengambil dari Dawud ath-Tha’y, dan Dawud
mengambil dari Abu Hanifah Ra.
Abu
Hanifah dikenal sebagai Fuquha ulung, ternyata tetap memadukan antara
syariah dan haqiqah. Dan Abu Hanifah terkenal zuhud, wara’ dan ahlu
dzikir yang begitu dalam, ahli kasyf, dan sangat dekat dengan Allah
Ta’ala, berkah Tasawuf yang diamalkannya.
Jika
ada pertanyaan, kenapa para Mujtahidin itu tidak menulis kitab khusus
mengenai Tasawuf, jika mereka mengikuti aliran Sufi? Imam Asy-Sya’rany,
Mujathid dan Ulama besar mengatakan, “Para Mujtahidun itu tidak
menulis kitab khusus mengenai tasawuf, karena penyakit-penyakit jiwa
kaum muslimin di zamannya masih sedikit. Mereka lebih banyak selamat
dari riya’ dan kemunafikan. Mereka yang tidak selamat jumlahnya kecil.
Hampir-hampir cacat mereka tidak tampak di masa itu. Sehingga mayoritas
Mujtahidin di masa itu lebih konsentrasi pada bidang ilmu dan
mensistematisir pemahaman pengetahuan yang tersebar di kota dan desa,
dengan para Tabi’in dan Tabiit Tabi’in, yang merupakan sumber materi
pengetahuan, sehingga dari mereka dikenal timbangan seluruh hukum,
dibanding berdebat soal amaliyah qalbiyah sebagian orang yang tidak
banyak muncul”.
Imam Malik Ra.
Beliau
mengatakan soal tasawuf ini dengan kata-kata yang sangat popular
hingga saat ini: “Siapa yang bersyariat atau berfiqih tanpa bertasawuf,
benar-benar menjadi fasiq. Dan siapa yang bertasawuf tanpa bersyariat
(berfiqih) benar-benar zindiq. Siapa yang mengintegrasikan Fiqih dan
Tasawuf benar-benar menapaki hakikat kebenaran.”
Imam Syafi’i Ra.
Beliau
berkata: “Aku diberi rasa cinta melebihi dunia kalian semua:
“Meninggalkan hal-hal yang memaksa, bergaul dengan sesama penuh dengan
kelembutan, dan mengikuti thariqat ahli tasawuf.”
Imam Ahmad bin Hambal Ra.
Sebelum
belajar Tasawuf, Imam Ahmad bin Hambal menegaskan kepada putranya,
Abdullah ra. “Hai anakku, hendaknya engkau berpijak pada hadits. Anda
harus hati-hati bersama orang-orang yang menamakan dirinya kaum Sufi.
Karena kadang diantara mereka sangat bodoh dengan agama.” Namun ketika
beliau berguru kepada Abu Hamzah al-Baghdady as-Shufy, dan mengenal
perilaku kaum Sufi, tiba-tiba dia berkata pada putranya “Hai anakku
hendaknya engkau bermajlis dengan para Sufi, karena mereka bisa
memberikan tambahan bekal pada kita, melalui ilmu yang banyak,
muroqobah, rasa takut kepada Allah, zuhud dan himmah yang luhur (Allah)”
Beliau
mengatakan, “Aku tidak pernah melihat suatu kaum yang lebih utama
kdtimbang kaum Sufi.” Lalu Imam Ahmad ditanya, “Bukanlah mereka sering
menikmati sama’ dan ekstase ?” Imam Ahmad menjawab, “Dakwah mereka
adalah bergembira bersama Allah dalam setiap saat…”
Imam Al-Muhasiby RA.
Abu
Abdullah al-Harits Al-Muhasiby, wafat tahun 243 H, diantara karyanya
adalah al-Luma’ dan Kitabul Washaya, yang sangat popular diantara kaum
Sufi. Beliau pernah mengatakan berhubungan dengan perjuangan dirinya
dalam mencapai wushul kepada Allah, melalui jalan Tasawuf dan
tokoh-tokoh Sufi, “Amma Ba’du, sudah ada penjelasan, bahwa ummat ini
terpecah menjadi tujupuluh lebih golongan Diantara golongan itu ada satu
golongan yang selamat, Wallahu A’lam sisanya. Dan sepanjang usia saya,
sering diperlihatkan perbedaan antara ummat. Saya mengikuti metode
yang jelas dan jalan utama. Aku mencari ilmu dan amal. Saya menapak
jalan akhirat melalui petunjuk para Ulama, dan saya memegang ayat
Al-Qur’an melalui penakwilan para fuqoha’, dan aku merenungkan urusan
ummat, dan menganalisa pandangan dan mazhabnya. Saya berfikir mengenai
apa yang mampu, dan betapa banyak perbedaan yang begitu mendalam yang
menenggelamkan banyak orang.
Hanya sekolompok manusia yang selamat. Saya melihat bahwa mereka berpendapat bahwa golongan merekalah yang selamat.
Setelah
menggambarkan berbagai kelompok mazahab dan golongan, Al-Muhasiby
mengatakan: “Kemudian aku sangat mencintai mazhab kaum Sufi dan sangat
banyak mengambil faedah dari mereka, menerima adab-adab mereka karena
ketaatan mereka, yang sangat lurus, dan tak seorang pun melebihi mereka.
Kemudian Allah membukakan padaku bukti-bukti tasawuf, keutamaannya
mencerahkan jiwaku, dan aku berharap agar keselamatan ada pada orang
yang mengakuinya, atau merias dengan perilakunya. Aku sangat yakin
adanya pertolongan besar bagi yang mengamalkannya, dan aku pun melihat
adanya pelencengan pandangan bagi yang menentangnya. Aku juga melihat
adanya kotoran yang mengerak pada hati yang menentang tasawuf, dan
terlihat pula adanya argumentasi yang luhur bagi yang memahaminya.
Bahkan kemudian, aku mewajibkan diriku untuk mengamalkannya. Aku
meyakininya dalam akidah rahasia batinku, dan meliputinya pada kedalaman
rasaku, bahkan kujadikan tasawuf itu sebagai asas agamaku, dimana aku
bangun amal-amalku, lalu di bangunan itu aku mondar-mandir dengan
perilaku hatiku…….”
Imam Abu Hanifah RA:
Imam Abu seorang imam mazhab dari empat mazhab terkenal, ternyata juga seorang Mursyid Thariqah Sufi.
Diriwayatkan
oleh seorang Faqih Hanafi al-Hashkafi, menegaskan, bahwa Abu Ali
ad-Daqqaq ra, berkata, “Aku mengambil Thariqah sufi ini dari Abul Qasim
an-Nashr Abadzy, dan Abul Qasim mengambil dari Asy-Syibly, dan
Asy-Syibly mengambil dari Sary as-Saqathy, beliau mengambil dari Ma’ruf
al-Karkhy, dan beliau mengambil dari Dawud ath-Tha’y, dan Dawud
mengambil dari Abu Hanifah Ra.
Abu
Hanifah dikenal sebagai Fuquha ulung, ternyata tetap memadukan antara
syariah dan haqiqah. Dan Abu Hanifah terkenal zuhud, wara’ dan ahlu
dzikir yang begitu dalam, ahli kasyf, dan sangat dekat dengan Allah
Ta’ala, berkah Tasawuf yang diamalkannya.
Jika
ada pertanyaan, kenapa para Mujtahidin itu tidak menulis kitab khusus
mengenai Tasawuf, jika mereka mengikuti aliran Sufi? Imam Asy-Sya’rany,
Mujathid dan Ulama besar mengatakan, “Para Mujtahidun itu tidak
menulis kitab khusus mengenai tasawuf, karena penyakit-penyakit jiwa
kaum muslimin di zamannya masih sedikit. Mereka lebih banyak selamat
dari riya’ dan kemunafikan. Mereka yang tidak selamat jumlahnya kecil.
Hampir-hampir cacat mereka tidak tampak di masa itu. Sehingga mayoritas
Mujtahidin di masa itu lebih konsentrasi pada bidang ilmu dan
mensistematisir pemahaman pengetahuan yang tersebar di kota dan desa,
dengan para Tabi’in dan Tabiit Tabi’in, yang merupakan sumber materi
pengetahuan, sehingga dari mereka dikenal timbangan seluruh hukum,
dibanding berdebat soal amaliyah qalbiyah sebagian orang yang tidak
banyak muncul”.
Imam Malik Ra.
Beliau
mengatakan soal tasawuf ini dengan kata-kata yang sangat popular
hingga saat ini: “Siapa yang bersyariat atau berfiqih tanpa bertasawuf,
benar-benar menjadi fasiq. Dan siapa yang bertasawuf tanpa bersyariat
(berfiqih) benar-benar zindiq. Siapa yang mengintegrasikan Fiqih dan
Tasawuf benar-benar menapaki hakikat kebenaran.”
Imam Syafi’i Ra.
Beliau
berkata: “Aku diberi rasa cinta melebihi dunia kalian semua:
“Meninggalkan hal-hal yang memaksa, bergaul dengan sesama penuh dengan
kelembutan, dan mengikuti thariqat ahli tasawuf.”
Imam Ahmad bin Hambal Ra.
Sebelum
belajar Tasawuf, Imam Ahmad bin Hambal menegaskan kepada putranya,
Abdullah ra. “Hai anakku, hendaknya engkau berpijak pada hadits. Anda
harus hati-hati bersama orang-orang yang menamakan dirinya kaum Sufi.
Karena kadang diantara mereka sangat bodoh dengan agama.” Namun ketika
beliau berguru kepada Abu Hamzah al-Baghdady as-Shufy, dan mengenal
perilaku kaum Sufi, tiba-tiba dia berkata pada putranya “Hai anakku
hendaknya engkau bermajlis dengan para Sufi, karena mereka bisa
memberikan tambahan bekal pada kita, melalui ilmu yang banyak,
muroqobah, rasa takut kepada Allah, zuhud dan himmah yang luhur (Allah)”
Beliau
mengatakan, “Aku tidak pernah melihat suatu kaum yang lebih utama
ketimbang kaum Sufi.” Lalu Imam Ahmad ditanya, “Bukanlah mereka sering
menikmati sama’ dan ekstase ?” Imam Ahmad menjawab, “Dakwah mereka
adalah bergembira bersama Allah dalam setiap saat…”
Imam Al-Muhasiby RA.
Abu
Abdullah al-Harits Al-Muhasiby, wafat tahun 243 H, diantara karyanya
adalah al-Luma’ dan Kitabul Washaya, yang sangat popular diantara kaum
Sufi. Beliau pernah mengatakan berhubungan dengan perjuangan dirinya
dalam mencapai wushul kepada Allah, melalui jalan Tasawuf dan
tokoh-tokoh Sufi, “Amma Ba’du, sudah ada penjelasan, bahwa ummat ini
terpecah menjadi tujupuluh lebih golongan Diantara golongan itu ada satu
golongan yang selamat, Wallahu A’lam sisanya. Dan sepanjang usia saya,
sering diperlihatkan perbedaan antara ummat. Saya mengikuti metode
yang jelas dan jalan utama. Aku mencari ilmu dan amal. Saya menapak
jalan akhirat melalui petunjuk para Ulama, dan saya memegang ayat
Al-Qur’an melalui penakwilan para fuqoha’, dan aku merenungkan urusan
ummat, dan menganalisa pandangan dan mazhabnya. Saya berfikir mengenai
apa yang mampu, dan betapa banyak perbedaan yang begitu mendalam yang
menenggelamkan banyak orang.
Hanya sekolompok manusia yang selamat. Saya melihat bahwa mereka berpendapat bahwa golongan merekalah yang selamat.
Setelah
menggambarkan berbagai kelompok mazahab dan golongan, Al-Muhasiby
mengatakan: “Kemudian aku sangat mencintai mazhab kaum Sufi dan sangat
banyak mengambil faedah dari mereka, menerima adab-adab mereka karena
ketaatan mereka, yang sangat lurus, dan tak seorang pun melebihi mereka.
Kemudian Allah membukakan padaku bukti-bukti tasawuf, keutamaannya
mencerahkan jiwaku, dan aku berharap agar keselamatan ada pada orang
yang mengakuinya, atau merias dengan perilakunya. Aku sangat yakin
adanya pertolongan besar bagi yang mengamalkannya, dan aku pun melihat
adanya pelencengan pandangan bagi yang menentangnya. Aku juga melihat
adanya kotoran yang mengerak pada hati yang menentang tasawuf, dan
terlihat pula adanya argumentasi yang luhur bagi yang memahaminya.
Bahkan kemudian, aku mewajibkan diriku untuk mengamalkannya. Aku
meyakininya dalam akidah rahasia batinku, dan meliputinya pada kedalaman
rasaku, bahkan kujadikan tasawuf itu sebagai asas agamaku, dimana aku
bangun amal-amalku, lalu di bangunan itu aku mondar-mandir dengan
perilaku hatiku…….”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar