ABDUL HAMID MUDJIB HAMID BERSHOLAWAT

Kamis, 11 April 2013

BIOGRAFI IBNUL ‘AROBI: KEHIDUPAN, KARYA, DAN PENGARUHNYA





===================

IBNUL ‘AROBI: KEHIDUPAN, KARYA, DAN PENGARUHNYA

Abstrak
Tulisan ini diambil dari bab kedua tesis yang sedang saya susun yang bertajuk “Akhlak dalam Perspektif Irfan Ibn ‘Arabi”. Bab II menceritakan riwayat hidup dari Ibn ‘Arabi. Alih-alih, menceritakannya secara historis, tulisan ini lebih menitikberatkan spiritualitas dari Ibn ‘Arabi sendiri. Mohon doa dari pembaca agar tesis saya segera rampung.
DI KALANGAN para sufi ada tradisi membaca manaqib. Tradisi ini sebenarnya sangat berpengaruh dalam perjalanan dan perkembangan spiritual para murid dan salik. Manaqib adalah semacam biografi yang menceritakan tentang jalan hidup seorang guru. Tetapi ia bukan sekadar biografi yang hanya mencatat tentang tempat lahir, tanggal lahir, dan hal-hal yang berelasi dengan guru secara historis. Lebih dari itu, sesungguhnya manaqib adalah catatan kehidupan spiritual seorang guru, yang bisa mempengaruhi murid dalam menghidupkan orientasi spiritual di dalam diri mereka dan meningkatkan aspirasi mereka untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Tujuan membaca manaqib, misalnya, adalah memberi kesadaran kepada para murid bahwa bertemu dengan Allah (liqa’ Allah) adalah satu kenyataan dan semua manusia bisa bertemu dengan Yang Mahatunggal.
Bagaimanapun, ketika penulis membicarakan biografi Ibn ’Arabi di sini, tentu sekali tujuannya bukanlah sekadar untuk menambah informasi tentang beliau. Akan tetapi, biografinya harus mewujudkan satu relasi antara manusia dengan beliau. Biografinya harus menjadi sumber inspirasi kehidupan spiritual seluruh manusia. Apabila manusia ingin mengenal Ibn ‘Arabi hanya melalui aspek biografisnya, penulis merasa kita tidak akan memahami pribadi yang misterius ini sebagaimana yang seharusnya. Lebih jauh, kita juga tidak akan mendapat pencerahan spiritual. Ibn ‘Arabi harus dikenali, terutama, melalui biografi spiritualnya.
2.1. Latar Kehidupan
Bernama lengkap Abu Bakr Muhammad ibn al-‘Arabi al-Hatimi al-Tai,1 sufi asal Murcia, Spanyol ini lahir pada tanggal 17 Ramadhan 560 H bertepatan dengan 28 Juli 1165. Dirinya dijuluki ”Syaikh al-Akbar” (Sang Mahaguru) dan ”Muhyiddin” (”Sang Penghidup Agama”). Kendati tidak mendirikan tarekat populer—atau agama massa menurut istilah Fazlur Rahman—pengaruh Ibn ‘Arabi atas para sufi meluas dengan cepat, melalui murid-murid terdekatnya yang mengulas ajaran-ajaran dengan terminologi intelektual maupun filosofis (Chittick, dalam Nasr (ed.), 2003: 64)
Ayah Ibn ‘Arabi, ‘Ali, adalah pegawai Muhammad ibn Sa’id ibn Mardanisy, penguasa Murcia, Spanyol. Ketika Ibn ’Arabi berusia tujuh tahun, Murcia ditaklukkan oleh Dinasti al-Muwahiddun (al-Mohad) sehingga ’Ali membawa pergi keluarganya ke Sevilla.2 Di tempat itu, sekali lagi dirinya menjadi pegawai pemerintahan. Ia memiliki status sosial yang tinggi. Buktinya, salah satu adik istrinya, Yahya ibn Yughan, menjadi penguasa kota Tlemcen di Algeria. Fakta yang menarik adalah bahwa di kemudian hari, sang paman akhirnya menanggalkan segala bentuk kekuasaan dunia pada pertengahan masa pemerintahannya dan beralih menjadi seorang sufi dan zahid. Ibn ’Arabi pun menyebutkan dua orang pamannya yang menjadi sufi (Addas, 2004: 43-4)
Pada masa mudanya Ibn ‘Arabi bekerja sebagai sekretaris Gubernur Sevilla dan menikahi seorang gadis bernama Maryam, yang berasal dari sebuah keluarga berpengaruh. Pada tahun 590, Ibn ’Arabi meninggalkan Spanyol untuk mengunjungi Tunisia. Tahun 597/1200, sebuah ilham spiritual memerintahkan dirinya untuk pergi ke timur. Dua tahun kemudian, ia melakukan ibadah haji ke Mekkah dan berkenalan dengan seorang syaikh dari Isfahan yang memiliki seorang putri. Pertemuan dengan perempuan ini mengilhami Ibn ’Arabi untuk menyusun Tarjumân al-Asywâq. Di Mekkah pula ia berjumpa dengan Majd al-Din Ishaq, seorang syaikh dari Malatya, yang kelak akan mempunyai seorang putra yang menjadi murid terbesar Ibn ’Arabi, Shadr al-Din al-Qunawi (606-673/1210-1274).
Dalam perjalanan menyertai kepulangan Majd al-Din ke Malatya, Ibn ‘Arabi bermukim sementara waktu di Mosul. Di kota ini, ia ditahbiskan oleh Ibn al-Jami’, seseorang yang memperoleh kekuatan spiritual dari tangan Nabi Khidhr. Selama beberapa tahun Ibn ‘Arabi melancong dari kota ke kota di Turki, Suriah, Mesir, serta kota suci Mekkah dan Madinah. Pada tahun 608/1211-12 M, ia dikirim ke Bagdad oleh Sultan Kay Kaus I (607-616/1210-19) dari Konya dalam misi yuridis kekhalifahan, kemungkinan ditemani oleh Majd al-Din. Ibn ’Arabi memiliki hubungan baik dengan sultan ini dan mengirimnya surat-surat berisi nasihat praktis. Dia pun merupakan sahabat dari penguasa Aleppo, Malik Zhahir (582-615/1186-1218), putra Sultan Saladin (Shalah al-Din) al-Ayyubi.
Pada tahun 620/1233, Ibn ’Arabi menetap secara permanen di Damaskus, tempat sejumlah muridnya, termasuk al-Qunawi, menemaninya sampai akhir hayat. Menurut sejumlah sumber awal, ia menikah dengan janda Majd al-Din, ibu al-Qunawi. Selama periode tersebut, penguasa Damaskus dari Dinasti Ayyubiyah, Muzhaffar al-Din merupakan salah seorang muridnya. Dalam sebuah dokumen berharga yang bertahun 632/1234, Ibn ’Arabi menganugerahinya izin (ijazah) untuk mengajarkan karya-karyanya yang ditengarai berjumlah 290 buah. Ia pun menyebutkan tujuh puluh karya tersendiri dalam keilmuan tertentu, yang menunjukkan ketidaklengkapan informasi tersebut. Dari sumber tadi, jelas bahwa dalam upaya menyempurnakan studi tasawuf yang dilakukannya Ibn ’Arabi menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mempelajari pengetahuan eksoteris seperti tujuh qira’ah al-Quran, tafsir, fikih, dan, terutama, hadis (Chittick dalam Nasr, 66)
Ibn ‘Arabi wafat di Damaskus pada 16 November 1240 bertepatan tanggal 22 Rabiul Akhir 638 pada usia tujuh puluh tahun. Pencapaian spiritualnya yang luar biasa telah menyebar ke hampir seluruh Dunia Islam, dan bahkan Barat, hingga sekarang.
2.1.1. Kehidupan Ibn ‘Arabi: Spiritualitas dalam Totalitas
Hal yang perlu segera disadari bahwa dalam membincangkan biografi seorang sufi, yang paling utama dan semestinya ditekankan adalah biografi spiritualnya bukan sisi historisnya. Ini penting mengingat karena dari biografi spiritual itulah manusia bisa mendapatkan pencerahan spiritual. Dari sini, ia bisa membangun relasi antara dirinya dengan Tuhan. Dalam hal ini, Seyyed Hossein Nasr pernah menulis:
Like other great saints and sages, his greatest “masterpiece” was his own life, a most unusual life in which prayer, invocation, contemplation, and visits to various Sufi saints were combined with the theophanic vision of the spiritual world in which the invisible hierarchy was revealed to him. In studying his life, therefore, we gain a glimpse of the spiritual character and stature of the sage whose intellectual activity is visible in his many metaphysical works.”3
Kata Hossein Nasr, “…His greatest ‘masterpiece’ was his own life”, kehidupan Ibn ‘Arabi sendiri adalah sebuah adikarya (masterpiece)nya, suatu kehidupan yang penuh dengan ibadah, zikir, kontemplasi, dan ziarah serta pertemuan dengan para Sufi. Semuanya ini tergabung dengan musyahadah atau penyaksian tajalli-nya pada alam spiritual. Dalam penyaksian tersebut, seluruh hierarki alam gaib telah tersingkapkan kepadanya.
Nama Ibn ‘Arabi sudah menjadi hampir sinonim dengan doktrin wahdat al-wujud. Benar bahwa doktrin ini mempunyai peran sentral dalam metafisis Ibn ‘Arabi, tetapi agaknya pesan beliau bukan sekadar doktrin tersebut. Seluruh kehidupan Syaikh al-Akbar dan doktrin ajarannya ingin menyatakan bahwa esoterisme adalah Prinsip dan juga Jalan. Dengan kata lain, Prinsip Kebenaran (the Principle of the Truth) dan juga Jalan kepada Kebenaran (the Way to the Truth) adalah esoterisme. Satu-satunya tujuan Ibn ‘Arabi adalah untuk mengenal—dan malah untuk merealisasikan—Realitas.
Semasa remajanya, seperti remaja-remaja lain, ia juga punya waktu untuk bersenang-senang selain dari waktu belajarnya.4 Pada satu masa ketika ia lagi bersenang-senang di Sevilla, dia telah mendengar suara yang memanggilnya beliau, “Hai Muhamad, bukan untuk ini kamu diciptakan.” Ia menjadi gelisah dan penasaran dengan pengalaman ini. Dalam kegelisahan itu, ia melarikan diri dan menyendiri untuk beberapa hari di sebuah tempat pekuburan. Di situlah Ibn ‘Arabi mengalami tiga musyahadah yang mempunyai pengaruh besar dalam perkembangan spiritual masa depannya. Dia telah bertemu Nabi Isa, Musa, dan Muhammad—yang telah memberi instruksi spiritual untuknya.5
Pertemuan spiritual ini bisa dikatakan adalah titik permulaan perjalanan spiritual Ibn ‘Arabi muda. Sejak itu, ia mendapat banyak pengalaman spiritual seperti ini. Malah sepanjang hidupnya penuh dengan pengalaman mukasyafah dan musyahadah. Kehidupan Ibn ‘Arabi adalah satu kehidupan spiritual dan biografinya identik dengan spiritual dan mistis. Bahkan pertemuannya dengan para guru sufi di dalam sepanjang pengembaraan, kesemuanya adalah pertemuan yang terpusat pada spiritualitas.
Pertemuan spiritualnya dengan tiga nabi besar yang mewakili tradisi Ibrahimiyah, mempunyai arti implisit yang sangat fundamental dalam doktrin ‘irfan Ibn ‘Arabi. Tradisi Ibrahimiyah terpusat pada doktrin tauhid. Tauhid dalam perspektif Ibn ‘Arabi tidak lain dan tidak bukan adalah wahdat al-wujud. Doktrin ini adalah prinsip esoterisme dan mengejawantahkan doktrin tersebut adalah jalan esoterisme.
Doktrin ini akan menjadi “akar segala sesuatu” (“the root of all things”). Dan, secara lebih spesifik lagi ia akan mejadi akar metafisikanya. Ketika al-wujud adalah “the one and only Real”, yang lain semuanya akan menjadi relatif atau manifestasi bagi-Nya. Dan sebagai manifestasi, setiap detik seluruh ma siwa Allâh adalah “Dia dan tidak Dia”. Ini adalah apa yang Schuon sering istilahkan sebagai paradoks spiritual (“the spiritual paradox”).
Paradoks inilah yang telah diceritakan begitu indah sekali dalam pertemuan bersejarah antara Ibn ‘Arabi dengan hakim Sevilla, seorang faqih dan filosof yang terkenal yaitu Ibn Rusyd. Hampir semua yang menulis biografi Ibn ‘Arabi akan mengungkapkan pertemuan yang bersejarah ini.
Aku pernah menginap sehari di Kordoba, di rumah Abu al-Walid Ibn Rusyd. Dia telah menyatakan keinginannya untuk bertemu denganku, karena dia pernah dengar beberapa ilham yang aku dapatkan semasa berkhalwah. Dan dia merasa sangat tertarik berkenaan ilham itu. Akhirnya ayahku, salah seorang teman dekatnya, telah membawaku kepadanya dengan alasan ada urusan dagang, agar Ibn Rusyd mendapat kesempatan untuk berkenalan denganku.
Pada masa itu aku adalah seorang remaja tanpa jenggot dan cambang di wajahku. Ketika aku memasuki rumahnya, filosof itu pun menyambutku dengan penuh kemesraan dan keramahan, dan dia terus memelukku. Kemudian dia berkata kepadaku, “Iya.” Dan kelihatan sekali kegembiraan pada wajahnya karena aku paham apa yang dia maksudkan. Aku pula, yang tahu persis kenapa dia begitu gembira, menjawab “Tidak.” Ketika itu, Ibn Rusyd tiba-tiba mundur. Warna wajahnya berubah dan dia kelihatannya meragukan tentang apa yang telah aku katakan. Kemudian dia melontarkan satu pertanyaan, “Solusi apa yang telah kamu ketemui dari hasil kasyaf dan ilhammu?” Apakah ia sejajar dengan hasil pemikiran spekulatif?” Aku jawab, “Iya dan tidak. Di antara iya dan tidak ini, tidak ada arwah akan terbang jauh di atas materi dan leher-leher akan terpisah dari tubuh-tubuhnya.” Ibn Rusyd menjadi pucat, dan aku lihat dia menggeletar ketika dia membisik, “La hawla wa la quwwata illa billah” (tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah). Ini adalah karena dia paham isyaratku.
Setelah itu, dia menanyakan kepada ayahku tentang diriku, supaya dapat membandingkan pendapatnya tentang aku dan ingin mengetahui apakah ia sama dengan pendapat ayahku, atau bertentangan dengan pendapatnya. Tidak ragu lagi Ibn Rusyd adalah seorang ahli pikir dan filsafat. Dia bersyukur kepada Tuhan karena dia telah bertemu dengan seorang yang telah memasuki khalwah, dalam keadaan jahil dan meninggalkannya sebagaimana yang aku lakukan. Dia berkata, “Ini adalah sesuatu yang aku sendiri telah membuktikan kemungkinannya tanpa pertemuan dengan orang yang telah mengalaminya. Subhanallah, aku hidup pada masa adanya ahli pengalaman ini, seorang yang bisa membuka kunci pintu-pintu-Nya. Subhanallah yang telah menganugerahkan aku pertemuan dengan salah seorang dari mereka dengan mataku sendiri.6
Pertemuan ini mempunyai banyak arti implisit tentang pribadi spiritual Ibn ‘Arabi. Umur beliau pada waktu baru sekitar lima belas tahun, tetapi pengalaman spiritualnya tidak bisa ditandingi filsafat Ibn Rusyd.
Dalam pertemuan keduanya pada tempat yang sama Ibn ‘Arabi menceritakan:
Aku ingin bertemu dengan Ibn Rusyd sekali lagi. Rahmat Ilahi membuat dia tampak kepadaku dalam keadaan ekstase hingga di antara dirinya dan diriku ada tirai yang tipis. Aku melihatnya lewat tirai itu tanpa dia melihatku atau menyadari bahwa aku berada di sana. Sebenarnya dia terlalu tenggelam dalam tafakkurnya sehingga tidak sadar terhadapku. Kemudian aku berkata kepada diriku: “Tafakkurnya tidak akan mengarahkannya pada tempat aku berada sekarang.”
“Tirai tipis” ini adalah isyarat pada ketransendentalan (transcendentness) metafisika (baca: ‘irfân atau irfan) atas filsafat. Irfan bisa menembus tirai dan melihat filsafat, sementara filsafat masih buta terhadap irfan, namun ia hanya bisa menyerah secara filosofis di depan irfan.
Salah seorang perempuan sufi yang dihormati Ibn ‘Arabi adalah Fatimah binti Abi Mutsanna dari Asbella [Sevilla]. Ibn ‘Arabi menuturkan:
Aku bertemu dengannya dalam usia sembilan puluhan tahun. Dia hanya memohon makanan yang biasa didapatkan oleh orang-orang miskin. Sangat sedikit makanan yang dia makan. Aku tersipu ketika sempat melihat wajahnya yang anggun dengan kedua pipinya yang lembut kemerah-merahan padahal umurnya sudah sembilan puluhan. Dia terbiasa membaca Surah al-Fatihah. Dia berkata kepadaku, “Faidah al-Fatihah yang aku harapkan adalah untuk menyelesaikan segala urusan apa pun bentuknya.”
Rumah yang ditempatinya terbuat dari pelepah kurma. Dia berkata, “Aku tidak suka sembarang orang datang kepadaku selain si fulan.” Maksudnya aku.
Ketika ditanya apakah sebabnya begini, beliau menjawab, “Kalian semuanya datang dengan sebagian diri kalian, membiarkan sebagian lainnya sibuk dengan urusan lain, sementara Ibn ‘Arabi adalah satu penenang bagiku, karena dia datang dengan keseluruhan dirinya. Ketika dia berdiri, dia berdiri dengan keseluruhan dirinya, ketika dia duduk, dia duduk dengan keseluruhan dirinya, tidak membiarkan apa pun dari dirinya di tempat lain. Inilah yang harus dicapai dalam tarikat.” (Ibnu Arabi, 2003: 162-3)
2.1.2. Ibn ‘Arabi: Titik Balik Tradisi Tasawuf
Tasawuf sebelum Ibn ‘Arabi banyak sekali terfokus pada bimbingan amali atau panduan praktis untuk para murid ataupun berbagai ungkapan sufi yang mengekspresikan al-ahwâl (keadaan-keadaan spiritual) atau al-maqam (pengalaman spiritual) yang telah mereka alami. Tetapi dengan keberadaan Ibn ‘Arabi, tiba-tiba kita berhadapan dengan doktrin ‘irfan, kosmologi, termasuk psikologi dan antropologi yang sangat monumental, hingga menjadi turning point dalam tradisi tasawuf. Ibn ‘Arabi telah mengekspresikan doktrin tasawuf dalam bentuk dan rumusan teoretis. Doktrin tasawuf—yang sebelumnya hanya secara implisit terkandung dalam kata-kata para syaikh sufi—di tangan Ibn ‘Arabi telah diformulasikan secara benderang. Ibn ‘Arabi telah menjadi pemapar par excellence tasawuf Islam. Kata Seyyed Hossein Nasr,
Through him the esoteric dimension of Islam expressed itself openly and brought to light the contours of its spiritual universe in such a manner that in its theoretical aspect, at least, it was open to anyone having sufficient intelligence to contemplate, so that he could in this way be guided toward the Path in which he could come to realize the metaphysical theories in an “operative” manner.”8
Nasr melanjutkan lagi,
The importance of Ibn Arabi consists, therefore, in his formulation of the doctrines of Sufism and in his making them explicit.
Tetapi kemunculan Ibn ‘Arabi sama sekali tidak menandakan satu “kemajuan” dalam tasawuf dengan menjadi lebih teoretis maupun terartikulasikan. Ia juga tidak menandakan kemunduran dari cinta Tuhan kepada satu bentuk panteisme. Malah dengan memformulasikan doktrin-doktrin tasawuf secara eksplisit oleh Ibn ‘Arabi, ia hanya menunjukkan bahwa masyarakat pada masa itu membutuhkan penjelasan dan klarifikasi yang lebih banyak agar bisa memahaminya. Poin yang ingin ditampakkan oleh Hossein Nasr adalah,
…the need for explanation does not increase with one’s knowledge; rather, it becomes necessary to the extent that one is ignorant and has lost the immediate grasp of things through a dimming of the faculty of intuition and insight.
Dengan kata lain, mengeksplisitkan doktrin irfan, hanya menunjukkan bahwa masyarakat pada masa itu sudah hilang akses pada fakultas intuisi dan batin. Maka itu mereka membutuhkan penjelasan yang teoretis yang sangat elaboratif.
Menurut Nasr, keberadaan doktrin irfan yang telah diformulasikan Ibn ‘Arabi bisa memelihara keterjagaan auntentisitas tradisi tasawuf di tengah manusia-manusia yang sering berada dalam bahaya penyimpangan lewat pikiran yang tidak benar dan juga karena mereka sudah kehilangan akses pada intuisi intelektual.
Melalui doktrin irfan Ibn ‘Arabi, tasawuf telah mendominasi kehidupan spiritual dan intelektual Islam sampai sekarang. Sekali lagi, yang ingin ditegaskan di sini, Ibn ‘Arabi telah menjadikan esoterisme sebagai poros dan pusat dimensi fundamental sekaligus esensial dalam Islam.
2.2. Karya-karya Ibn ‘Arabi
Ibn ‘Arabi tidak menulis seperti penulis biasa. Ia pernah berkata,
“Apa yang telah aku tulis, tidak pernah tertulis dengan satu tujuan sebagaimana penulis-penulis yang lain. Cahaya-cahaya dari inspirasi Ilahi sering terpancar kepadaku dan hampir menyelubungiku, hingga aku hanya bisa mengekspresikannya dari pikiranku dan mencatat di kertas apa yang telah ditampakkan untukku. Jika tulisanku tampak berupa sebuah komposisi, itu terjadi tanpa disengaja. Sebagian karyaku, telah kutulis karena perintah dari Tuhan, yang telah disampaikan kepadaku di dalam mimpi atau melalui kasyaf. Kalbuku berpaut di pintu Hadirat Ilahi, menunggu dengan penuh kesadaran apa yang akan datang ketika pintu itu terbuka. Kalbuku fakir dan membutuhkan, kosong dari segala ilmu. Ketika sesuatu mulai tampak kepada kalbu dari balik tirai, kalbu segera menaatinya dan mencatatnya dalam batasan yang sudah ditentukan.”
Karya Ibn ‘Arabi yang terbesar dan ensiklopedis adalah Futuhat al-Makkiyyah. Kitab ini mempunyai 560 bab yang membicarakan prinsip-prinsip metafisik dan berbagai ilmu sakral dan juga tercatat di dalamnya pengalaman-pengalaman spiritual Ibn ‘Arabi. Futuhat, tegas Ibn ‘Arabi, bukanlah satu karya individualis, tetapi,
“Ketahuilah bahwa susunan bab-bab di dalam Futuhat bukanlah hasil dari pilihanku sendiri maupun dari pikiranku. Sebenarnya, Tuhanlah yang telah mendikte kepadaku semua yang telah kutulis lewat malaikat inspirasi.”
Nasr menjelaskan tentang isi Futuhat,
“The Futuhat contains, in addition to the doctrines of Sufism, much about the lives and sayings of the earlier Sufis, cosmological doctrines of Hermetic and Neoplatonic origin integrated into Sufi metaphysics, esoteric sciences like Jafr, alchemical and astrological symbolism, and practically everything else of an esoteric nature which in one way or another has a found a place in the Islamic scheme of things.”
Fushush al-Hikam, menurut Ibn ‘Arabi adalah pemberian dari Nabi sendiri.
“Amma ba’du, aku telah melihat Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam, dalam satu penglihatan batin (“mubasysyirah”) yang telah diperlihatkan kepadaku di sepuluh hari terakhir di bulan Muharam pada tahun 627 di kota Damisyq. Dan di tangan beliau, ada sebuah kitab. Beliau berkata kepadaku: ‘Ini adalah kitab Fushush Al-Hikam. Ambillah ia dan sampaikanlah ia kepada manusia dan manfaatkannya.’ Dan aku berkata: ‘Aku dengar dan aku taat Allah dan Rasul-Nya dan Ulil Amr dari kalangan kami sebagaimana yang telah diperintahkan kepada kami.’”
Jelas dari kalimat Ibn ‘Arabi, kitab Fushush al-Hikam bukanlah karyanya sendiri. Tetapi secara esensial ia adalah kitab dari Sumber Ilahi. Ibn ‘Arabi sekadar menyatakan kitab tersebut dalam bentuk tulisan.
“Maka aku pun mengaktualisasikan pesan tadi, dan mengikhlaskan niat, serta memfokuskan keinginan dan aspirasi untuk menyatakan kitab tersebut sebagaimana yang telah ditentukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa penambahan dan pengurangan.”
Tentang nama kitab ini, Qaysari menafsirkan ketika Ibn ‘Arabi memberitahu, “Ini adalah kitab Fushush al-Hikam”, ada kemungkinan di sini beliau ingin memberitahu bahwa nama kitab tersebut di sisi Allah adalah sebagaimana yang disebutkan, maka itu Nabi menamakan kitab itu sesuai dengan namanya di sisi Allah. Sudah tentu antara “nama” (al-ism) dan “yang dinamakan” (al-musamma) akan ada relasi. Dan namanya menandakan bahwa “yang dinamakan” adalah intisari (quintessence) hikmah-hikmah dan rahasia yang telah diturunkan kepada arwah para nabi yang disebut dalam kitab itu. Al-Fashsh juga berarti tempat terletaknya batu-cincin atau cap-cincin (seal). Karena kalbu insan kamil adalah tempat tertulisnya hikmah Ilahiah, maka itu kalbu diumpamakan sebagai al-fashsh. Dari itu kata Fushush al-Hikam berarti tempat terletaknya batu-cincin yang bernilai atau dengan kata lain, ia adalah kalbu-kalbu insan kamil yang terletak dan terkandung di dalamnya hikmah dan rahasia Ilahiah. Dan insan kamil di sini direpresentasi dengan para nabi, yang kalbu mereka adalah lokus termanifestasinya hikmah Ilahiah.
Metafora tentang tempat yang terletak di dalamnya batu-batu bernilai, mengisyaratkan kepada kemanusiaan seseorang nabi sekadarmana dia adalah penerima) hikmah Ilahiah, namun kata Titus Burckhardt:
“This aspect of symbolism, which corresponds to the human appearance of things, is to be found compensated and as if enlarged by the formula that Ibn ‘Arabi adopts for the titles of the various parts of his book: ‘The setting of the Divine Wisdom in the Word of Adam’, ’The setting of the Wisdom of Divine Inspiration in the Word of Seth’, ‘The setting of the Wisdom of Transcendence in the Word of Noah’ etc. According to these expressions, the setting, that is to say the individual form of the prophet, is in its turn contained in the Word (al-kalimah), which is the essential and Divine Reality of this same prophet; in fact by its ‘active’ identification with the Divine Wisdom, each prophet is an immediate determination of the eternal Word, which is the primordial ‘enunciation’ of God.”9
Menurut kalimat Ibn ‘Arabi, hikmah Ilahiah ditempatkan di dalam al-fashsh atau kalbu nabi. Kemudian dengan kalimat Fashshu Hikmatin Ilahiyyatin fi kalimatin Adamiyyah, mengisyaratkan bahwa seluruh al-fass pula terletak di dalam al-kalimah. Ternyata ada dua ‘tempat’ di sini. Satunya al-fass dan yang satu lagi adalah al-kalimah. Menurut keterangan Titus Burckhardt al-fass adalah bentuk individual nabi (the individual form of the prophet) sementara al-kalimah adalah esensi dan realitas dari nabi yang sama (the essential and Divine reality of the same prophet). Malah dalam identifikasi aktif setiap nabi dengan Hikmah Ilahiah, atau dengan kata lain penyatuan aktif nabi dan Hikmah Ilahiah (secara ilmu hudhuri), setiap nabi adalah determinasi (al-ta’ayyun) Kalimat Ilahiah. Sementara Kalimat Ilahiah adalah zikir primordial Tuhan.
“It is the ‘words’ which contain the ‘settings’, for it is the individual who is contained by the universal and not inversely, in spite of human appearances. Every prophet, as Perfect Man, ‘contains’, then, himself, since he ‘contains’ the Divine Wisdom, and in relation to his interior and ‘supra-individual’ reality he ‘is’ this Wisdom; now, this latter contains the perfect humanity of the Man-God, and it is this aspect of things which corresponds to the ontological reality, without annulling, however, the ‘reality’ which is apparent from the human point of view.”10
Al-kalimah yang sebenarnya mengandungi al-fashsh, karena yang individual yaitu “al-juz’i” yang akan terkandung di dalam yang universal yaitu “al-kulli” dan tidak sebaliknya. Dengan kata lain, manusia dalam derajat individual yang terkandung di dalam manusia derajat universal. Ketika terjadi penyatuan antara manusia individual dengan Hikmah Ilahiah, manusia itu adalah determinasi Kalimat Tuhan. Maka itu setiap nabi sebagai Insan Kamil mengandungi dirinya sendiri yaitu diri individualnya karena ia mengandungi Hikmah Ilahiah. Dan berkaitan dengan diri universal dan esensialnya pula, dia adalah identik dengan Hikmah tersebut. Sekali lagi saya mau menegaskan, secara lahiriah kelihatannya manusia yang mengandungi Hikmah Ilahiah tetapi sebenarnya Hikmah Ilahiah yang mengandungi manusia.
Selain dari dua kitab ini, Ibn ‘Arabi telah menulis banyak sekali risalah-risalah tentang kosmologi seperti:
1. Insha al-Dawair (The Creation of the Spheres)
2. ‘Uqlat al-mustawfiz (The Spell of the Obedient Servant), dan
3. al-Tadbirat al-Ilahiah (The Divine Directions);
Mengenai metode praktis yang harus diikuti para murid dan salik tarikat (thariqah), seperti al-Risalat al-Khalwah (Treatise on the Spiritual Retreat) dan al-Washaya (Spiritual Counsels).
Syaikh al-Akbar juga menulis berbagai aspek al-Quran, termasuk simbolisme huruf-huruf, mengenai asma’ dan sifat Ilahiah, mengenai syariat dan hadis dan hampir semua yang berkaitan dengan urusan religius dan spiritual.
Beliau juga pernah menulis syair sufi seperti Tarjuman al-Asywaq (The Interpreter of Desires) dan juga Diwan.
Secara kronologis, berikut ini adalah daftar karya-karya Ibn ‘Arabi.
  1. Mashahid al-Asrar al-Qudsiyya (Contemplations of the Holy Mysteries) (Written in Andalusia, 590/1194).
  2. Al-Tadbirat al-Ilahiyya (Divine Governance of the Human Kingdom). Written in Andalusia.
  3. Kitab Al-Isrâ’ (The Book of Night Journey). Written in Fez, 594/1198.
  4. Mawaqi al-Nujûm (Settings of the Stars). Writen in Almeria, 595/1199.
  5. ‘Anqa` Mughrib (The Fabulous Gryphon of the West), Written in Andalusia, 595/1199.
  6. Insha’ al-Dawa’ir (The Description of the Encompassing Circles). Written in Tunis, 598/1201.
  7. Mishkat al-Anwâr (The Niche of Lights). Written in Mecca, 599/1202/03.
  8. Hilyat al-Abdal (the Adornment of the Substitutes). Written in Taif, 599/1203.
  9. h al-Quds (The Epistle of the Spirit of Holiness). Written in Mecca, 600/1203.
  10. Taj al-Rasâil (The Crown of Epistles). Written in Mecca, 600/1203.
  11. Kitab al-Alif, Kitab al-Ba’, Kitab al-Ya. Written in Yerusalem, 601/1204.
  12. Tanazzulat al-Mawsiliyyai (Descents of Revelation). Written in Mosul, 601/1205.
  13. Kitab al-Jalal wa al-Jamâl (The Book of Majesty and Beauty). Written in Mosul, 601/1205.
  14. Kitab Kunh ma la budda lil murid minhu (What is essential for the Seeker). Mosul, 601/1205.
  15. Fusûs al-Hikam (Vessels of Wisdom). Damascus, 627/1229.
  16. al-Futûhât al-Makkiyya (Meccan Illuminations). Mecca, 1202-1231 (629)
Menurut Osman Yahia, seorang intelektual Arab yang banyak mengkaji Ibn ‘Arabi, tulisan Ibn ‘Arabi terhitung sebanyak 850 yang dinisbahkan kepadanya, 700 darinya masih ada tetapi sekitar 450 yang benar-benar asli.
Setelah mengembara selama hampir dua puluh tahun, menziarahi tempat-tempat seperti Jerusalem, Baghdad, Konya, Aleppo, Ibn ‘Arabi akhirnya menetap di Damaskus pada tahun 1223. Beliau telah menjadikan kota itu sebagai tempat permukimannya yang terakhir selama 17 tahun terakhir hidupnya.
Ibn ‘Arabi meninggal dunia ini pada tahun 1240 tanggal 10 November, (22 Rabi’u l-Tsani, 630 H), pada umur 76 tahun. Namun wilayah spiritualnya masih hidup dan tersebar luas di dalam hati-hati para murid dan salik yang beraspirasi untuk bertemu dengan yang Maha Pengasih.
“Tuhan telah menyatakan Dirinya kepada batin diriku dan berkata kepadaku: ‘Nyatakanlah kepada hamba-hamba-Ku apa yang telah kamu aktualisasikan tentang Kepemurahanku… kenapa hamba-hamba-Ku harus putus asa dari Rahmat-Ku sedangkan Rahmat-Ku meliputi segala sesuatu.”11
2.3. Pengaruh Tasawuf Ibn ‘Arabi
Tasawuf Ibn ‘Arabi menarik antusiasme para sufi dan salik di Dunia Islam, terutama melalui para muridnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Murid dan pengikutnya telah memberikan analisis, penafsiran, dan ulasan atas karya-karyanya. Di antara murid-muridnya adalah Shadr al-Dîn al-Qunawi (w. 763/1274), Mu`yid al-Dîn al-Jandi (w. 690/1291), ‘Abd al-Razzâq al-Q(K)âsyânî (w. 730/1330), Syaraf al-Dîn Dawûd al-Qaysharî (w. 751/ 1350), Sayyid Haydar Amulî (w. setelah 787/1385), ‘Abd al-Karîm al-Jîlî (w. 826/1421), ‘Abd al-Rahmân al-Jâmî (w. 898/1492), ‘Abd al-Wahhâb al-Sya`rânî (w. 973/1565), ‘Abd al-Ghanî al-Nâbulusî (w. 1114/1731) dan lain-lainnya.
Melalui sufi dari Gujarat, India, Yunasril Ali (2002: 50) mengatakan, Muhammad ibn Fadl Allâh al-Burhanpûrî (w. 1029), ajaran tasawuf Ibn’Arabî menyebar di Asia Selatan. Di sini, tasawuf Ibn al-‘Arabî diulas dan diperkenalkan oleh sejumlah ulama sufi seperti Hamzah Fansûri, Syams al-Dîn al-Sumatrânî, ‘Abd al-Shamad al-Fâlimbânî, Dawûd al-Fathânî, Muhammad Nafîs al-Banjârî, dan yang lainnya.
Rupanya pengaruh Ibn ’Arabi tidak hanya menancap di lingkungan tradisi teologi Sunni, tetapi merembet jauh ke negeri Persia yang mayoritas bermazhab Syi’ah. Salah seorang filosof Iran yang dipengaruhi Ibn ’Arabi adalah Mulla Shadra. Ia membangun suatu mazhab baru. Dalam mazhab yang disebut Shadra sendiri sebagai Hikmah al-Muta’âliyah, terdapat seluruh unsur aliran-aliran pemikiran Islam sebelum yang membentuk sebuah mazhab independen. Karena itu, mereka yang menganggapnya sebagai seorang pengikut filsafat Ibn Sina ataupun pembaharunya, atau filsafatnya sebagai pelengkap filsafat Ibn Sina, terjebak pada pendapat yang keliru. Pendek kata, mereka tidak mengetahui filsafat Mulla Shadra.
Filsafat Shadra merupakan “perpaduan” dari berbagai aliran pemikiran seperti aliran filsafat Ibn Sina, kalam Syi’ah, dan tasawuf Ibn ‘Arabi. Mengenai hal ini, seorang periset Prancis mengatakan,
“If we regard him as a Sinean, we have to add that he is, actually, Illuminationist as well; at the same time, he is full of Ibn ‘Arabi’s thought. Mulla Sadrâ is one of the most important Iranian Muslim Neo-Platonists … and that same time, he is a Shî’î thinker.” (Khamenei: 2000, 194)[]

1 Mengenai nama lengkapnya, Chittick mencatat bahwa nama lengkap Ibn ‘Arabi adalah Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn al-‘Arabi al-Thai al-Hatimi (dalam Nasr (ed.), 2003: 64). Untuk membedakannya dengan Abu Bakar Muhammad ibn al-‘Arabi al-Ma’afiri (w. 543/1148), seorang ahli hadis dan fikih, sepanjang tesis ini nama yang dipakai adalah Ibn ‘Arabi.
2 Pada masa itu, menurut M.M. Sharif, Sevilla, sebagai ibukota Andalusia (Spanyol), merupakan pusat pembelajaran besar dan kota multikultural yang sedang mengalami pertumbuhan pesat. Selama tiga puluh tahun Ibn ’Arabi belajar ke ulama-ulama besar di sana.
3 Seyyed Hossein Nasr. Three Muslim Sages. Delmar NY, Caravan Books, 1975, hal.92. Dalam edisi bahasa Arab buku ini diberi judul Tsalatsah Hukama Muslim, Penerbit Dar al-Nahar, Beirut, 1971.
4 Hal ini sangat mungkin baginya karena Muhyiddin berasal dari keluarga ningrat dan kaya. Pada usia delapan tahun, ia dan keluarganya pindah dari Murcia ke Sevilla, ibukota Andalusia saat itu. Di Sevilla, ayahnya bekerja pada Sultan Abu Ya’qub (Addas, 2004: 50).
5 Rujuk misalnya, Stephen Hirtenstein, Dari Keragaman ke Kesatuan Wujud, hal.67-8.
6 Futuhat. I: 153, sebagaimana dikutip Hirtenstein (2001: 75-6). Menurut Michel Chodkiewicz, dialog antara filosof dan wali muda ini terkait dengan masalah kebangkitan jasmani dengan melihat pasase-pasase awal sebelum kutipan dialog tersebut (Addas, 2004: 64).
8 S.H. Nasr, Three Muslim Sages, hal.90.
9 The Wisdom of the Prophets, Titus Burckhardt, hal 2.
10 Ibid, hal 2
11 Futuhat al-Makkiyyah, Ibn ‘Arabi, jilid 1, hal 709

SUMBER:http://amuli.wordpress.com/2008/04/08/bab-ii-ibn-%E2%80%98arabi-kehidupan-karya-dan-pengaruhnya/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar