Mutiara Terpendam dalam Fushusul Hikam Ibnul Arobi
============
Keberhasilan
Ibn Arabi dari doktrin tasawufnya adalah kemampuannya untuk keluar dari
pemahaman agama yang dogmatis dan literalis. Bagi Ibn Arabi, semua
ajaran agama dalam Alquran maupun Hadis adalah bentuk dari simbol-simbol
kebijaksanaan Tuhan yang harus terus-menerus digali.
Orang mengenalnya sebagai Ibn Arabi. Ia
adalah Abu Bakar Muhammad Ibn Ali Ibn Arabi , digelari Syaikhul Akbar
Muhyiddin Ibn Arabi. Lahir di Mursia, Andalusia, Spanyol, tahun 560
H/1165 M, dan meninggal di Damaskus, Syria, tahun 638 H/1240 M. Ia
adalah sufi yang sangat besar pengaruhnya dalam kajian sufisme hingga
saat ini. Ia telah menulis 289 buku dan risalah. Bahkan menurut
Abdurrahman Jami, ia telah menulis 500 buku dan risalah.
Sedangkan
menurut al-Sya’rani, karya Ibn Arabi berjumlah 400 buah. Pada Tadarus
Ramadan tahun 1427 H ini, Jaringan Islam Liberal mengkaji tiga karya Ibn
Arabi yang paling terkenal, yang tak hentinya-hentinya dikupas orang.
Ketiganya adlah Fushushul Hikam, al-Futuhat al-Makkiyyah dan Turjumanul
Asywaq.
Sesi pertama diskusi diselenggarakan
Selasa, 26 September 2006, lalu, dengan menghadirkan KH Abdurrahman
Wahid (Gus Dur), Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer (penulis disertasi
tentang Ibn Arabi, dosen pascasarjana UIN Jakarta), dan Mohamad Guntur
Romli (aktivis JIL). Berikut liputannya.
Dari sekian judul kitab yang telah
ditulis Ibn Arabi, terdapat kitab yang merupakan intisari ajaran
tasawufnya, yaitu Fushusul Hikam. Kautsar Azhari Noer, salah seorang
ahli Ibn Arabi di Indonesia, menyebut kitab Fushus ditulis pada masa
kematangan intelektual Ibn Arabi, yaitu 627/1230 atau sepuluh tahun
sebelum wafatnya.
Menurut pengakuan Ibn Arabi sendiri,
kitab ini merupakan pemberian nabi Muhammad kepadanya melalui mimpi.
Dalam mimpi tersebut, Nabi mengatakan: “Ini kitab Fushus Al Hikam. Ambil
dan sebarkan kepada umat manusia agar mereka mengambil manfaat
darinya.” Berdasarkan cerita itu, tampak bahwa Ibn Arabi meyakini
sepenuhnya bahwa apa yang ia tuliskan dalam kitab tersebut merupakan
ilham ilahi. Ia hanyalah mesin pencetak bagi kitab Fushus yang diberikan
Nabi.
Meski sulit diverifikasi kebenarannya,
tetapi pengakuan ini telah menyihir ribuan pengikut syaikhul akbar ini
untuk meyakininya. Bahkan kitab yang merupakan intisari ajaran sufisme
Ibn Arabi ini telah memecahkan rekor sebagai kitab paling banyak
mendapatkan komentar (syarah) dari para pengikutnya. Tetapi semua
pembaca karya-karya Ibn Arabi mengakui, hampir seluruh karya Ibn Arabi
sangat sulit dipahami, tidak terkecuali Fushushul Hikam.
Kesulitan paling utama dalam membaca
karya Ibn Arabi adalah memahami simbol-simbol dan terma-terma
paradoksikal yang digunakannya. Simbol-simbol itu terlihat sekali dalam
hampir semua karya-karyanya. Dalam Fushus, ia menyajikan gagasannya
melalui pengungkapan hikmah atau kebijaksanaan 27 orang nabi. Nama
fushus sendiri diambil dari akar kata fasshun yang artinya tatakan atau
wadah batu permata pada cincin. Fushus adalah bentuk plural dari kata
fasshun.
Sementara hikam adalah bentuk jamak dari
hikmah yang berarti kebijaksanaan. Jadi, fushusul hikam adalah wadah
kebijaksanaan. Dengan ukiran nama yang disematkan pada kitab tersebut,
Ibn Arabi berupaya menampilkan simbol-simbol kebijaksanaan dari para
nabi yang hakikatnya merupakan kalimat atau manifestasi sifat Tuhan. Ia
memulai pembahasan kitabnya dengan mengupas mutiara kenabian dari Adam
hingga Muhammad.
Adam, menurut Ibn Arabi adalah citra
kesempurnaan Tuhan. Melalui Adamlah Tuhan memanifestasikan sifat
ketuhananan-Nya. Ibn Arabi menganggap bahwa Tuhan pada mulanya adalah
entitas yang tersembunyi (kanzun makhfiyy). Ia menampakkan diri ketika
menciptakan alam. Tetapi penciptaan alam menurut Ibn Arabi bukanlah
bermula dari sesuatu yang kosong, creatio ex nihilo. Alam mengada begitu
Tuhan ada.
Karena, alam semesta adalah cerminan
Tuhan. Sebagaimana pantulan gambar dalam cermin, maka gambar itu ada
ketika wujud yang hakiki ada. Pandangan Ibn Arabi tentang alam ini
sebenarnya mirip dengan pandangan para filosof yang menganggap alam itu
sebagai sesuatu yang azali.
Sementara ajaran nabi Nuh dimaknai Ibn
Arabi sebagai simbolisasi dari problem dualisme tasybih dan tanzih.
Dalam al-Qur’an disebut bahwa Nuh berdoa: “Qala rabby inny da’autu qaumy
lailan wanaharan” (Surah Nuh:5). Ibn Arabi memaknai lailan dalam ayat
ini dalam maknanya yang esoterik (tanzih), dan naharan dengan makna
eksoterik (tasybih).
Pada akhirnya, Nuh dinilai Ibn Arabi
lebih mengutamakan ajaran tanzih atau penyucian Tuhan dari penyerupaan
Tuhan dengan patung yang dilakukan umatnya kala itu. Sementara ajaran
Isa dalam Kristen lebih cenderung pada penyerupaan atau tasybih.
Dualitas semacam inilah yang dikritik Ibn
Arabi. Menurutnya, Tuhan tidak bisa dilihat secara imanen melalui
tasybih saja atau secara transenden melalui tanzih saja.
Dalam sebuah syair ia katakan:
“Bila engkau nyatakan transenden (murni),
engkau telah membatasi Tuhan. Dan bila engkau nyatakan imanen (murni),
maka engkau telah mendefinisikan Tuhan.”
Dalam bagian lain dari kitab Fushus, Ibn
Arabi juga mentamsilkan hubungan antara Tuhan dan manusia dengan
mengutip kalimah muhaimiyyah dari Ibrahim. Ibrahim adalah simbol
keakraban manusia dengan Tuhan. Melalui firmannya Tuhan mengangkat
Ibrahim sebagai seorang khalil, atau sahabat karib.
Tetapi makna khalil sebenarnya lebih dari
sekadar persahabatan. Sahabat karib, menurut Ibn Arabi, masih
menyiratkan keterpisahan. Sementara al-khall adalah percampuran. Oleh
karenanya hubungan manusia dengan Tuhan juga sudah sangat erat dan telah
bercampur dalam satu esensi. Karena makhluk menurut Ibn Arabi
sesungguhnya adalah al-haqq dan al-khalq sekaligus.
Mohamad Guntur Romli melihat
tamsil-tamsil yang dituliskan Ibn Arabi dalam Fushus sebagai bangunan
inti doktrin Ibn Arabi tentang wahdatul wujud atau manunggaling kawulo
gusti. Guntur menilai Ibn Arabi sebenarnya sedang membangun doktrinnya
dengan meminjam perangkat-perangkat agama yang sudah mapan. Tetapi yang
menjadi ciri khas Ibn Arabi dalam hampir semua karyanya adalah selalu
menampilkan gagasan keagamaan yang tidak lazim. Karenanya, selama
hidupnya tak jarang ia mendapat perlawanan dan kecaman dari berbagai
kalangan, terutama kelompok ahli fikih yang terkenal literalis dan
formalis.
Ajaran-ajaran tentang wahdatul wujud Ibn
Arabi rupanya juga telah terserap atau tampak dalam mistik kaum kejawen
di Indonesia. Ini ditegaskan Gus Dur dalam presentasinya. Konsep
manunggaling kawulo gusti, menurut Gus Dur, adalah konsep yang sama
sejenis dengan wahdatul wujud itu. Seperti halnya Ibn Arabi yang selalu
ditentang kaum formalis, penganut kejawen di Indonesia juga selalu
mengalami ketegangan dengan kaum santri. Kaun santri umumnya adalah para
pemeluk agama yang setia menjalankan syariat yang penuh.
Sementara kaum kejawen lebih menekankan
aspek keyakinan batiniah kepada wujud Tuhan. Meski demikian, mereka juga
mengenal ajaran-ajaran yang sebenarnya menjadi bagian doktrin wahdatul
wujud, misalnya kepercayaan tentang berkah atau weruh sedurunge winarah
yang merupakan esensi dari ajaran kasyaf dalam wahdatul wujud.
Keberhasilan Ibn Arabi dari doktrin
tasawufnya adalah kemampuannya untuk keluar dari pemahaman agama yang
dogmatis dan literalis. Bagi Ibn Arabi, semua ajaran agama dalam Alquran
maupun Hadis adalah bentuk dari simbol-simbol kebijaksanaan Tuhan yang
harus terus-menerus digali. Bahkan menurutnya, kebijaksanaan Tuhan yang
disampaikan melalui wahyu itu tak terputus hingga sekarang. Wahyu bagi
Ibn Arabi bukanlah sekadar proses inzal (turunnya) sebuah ayat dari
Tuhan melalui Jibril. Tapi lebih dari itu, wahyu baginya adalah proses
imajinasi kreatif manusia yang mencari kebenaran Tuhan.
Semangat untuk keluar dari pemahaman
agama yang kaku dan dogmatis inilah yang harus terus dikembangkan dalam
khazanah keilmuan Islam saat ini. Ibn Arabi dengan petualangan
spiritualnya telah memberi contoh yang sangat baik. Artinya, memahami
Ibn Arabi bukanlah berhenti pada pemahaman ajaran-ajarannya yang rumit
itu. Yang jauh lebih penting untuk terus-menerus dikembangkan adalah
semangat perenungan dan petualangannya yang tak pernah berhenti.
Oleh: Umdah Baroroh ( Mutiara Terpendam dalam Fushusul Hikam Ibnu Arabi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar