Menggeliatkan Jurnalisme Kaum Muda NU
=============================
Dengan mengusung slogan berpijak pada kebaikan lama dan bijak dalam merespon kekinian,
potensi intelektual muda Nahdlatul Ulama memiliki peran strategis bagi
pengembangan khazanah intelektual maupun perubahan sosial.
Dengan kuantitas yang tak perlu diragukan, kaum Nahdliyyin merupakan kapital sosial yang berpartisipasi dalam pembangunan karakter bangsa. Salah satu segmen yang perlu dikembangkan adalah tradisi jurnalistik yang belum maksimal.
Dengan kuantitas yang tak perlu diragukan, kaum Nahdliyyin merupakan kapital sosial yang berpartisipasi dalam pembangunan karakter bangsa. Salah satu segmen yang perlu dikembangkan adalah tradisi jurnalistik yang belum maksimal.
Eksistensi pesantren sampai hari ini tidak bisa dipungkiri karena
adanya peradaban jurnalistik dari para ulama dan imam-imam besar masa
lampau. Kitab-kitab besar seperti Ar-Risalah karya Imam Syafi'i, Ihya'
Ulumuddin karya al-Ghazali, al-Hikam karya Ibn Athaillah as-Sakandari,
al-Fiyyah karya Ibn Malik sampai Matan Ajurumiyyah karya Imam Shonhaji
yang dikaji hampir seluruh pesantren di Nusantara merupakan produk
jurnalistik intelektual islam ketika itu. Di Indonesia, ulama senior
seperti Syekh Zaini Dahlan, Syekh Ahmad Khotib Sambas, Syekh Muhammad
Nawawi Banten, Syekh Mahfud termas dan masih banyak lagi lainnya juga
berdakwah dengan tulisan.
Di masa kolonialisme, KH Wahab Hasbullah telah menginisiasi lahirnya Soeara Nahdlatoel Oelama
dilanjutkan KH Abdul Wahid Hasyim dan KH Syaifudin Zuhri. Sampai hari
ini, telah ada beberapa media transformasi ilmu dan dakwah Islam moderat
seperti penerbit Elkis, Khalista dan LTN NU, Majalah Risalah NU (PBNU),
AULA (PWNU Jatim), Suara NU (PWNU Jateng). PBNU juga telah merambah ke
dunia maya dengan adanya Situs Resmi Nahdlatul Ulama dengan alamat:
www.nu.or.id. Seakan tak mau ketinggalan, PWNU dan banomnya sampai
ranting kini telah banyak yang memiliki website sendiri. Selain itu,
PWNU Jawa Timur juga telah mengembangkan dakwahnya di bidang
broadcasting dengan mendirikan TV9 yang kiranya perlu diapresiasi dan
dicontoh oleh daerah-daerah lain.
Adanya media cetak maupun online yang dewasa ini menjadi tren karena
lebih praktis dan menggauli zaman, perlu direspon dengan bijak oleh
elite-elite NU maupun banomnya untuk mengambil peran dalam hal tersebut.
Selain di gembleng secara intelektualitas dan spiritualitas, kader NU
yang potensial juga perlu dibekali teknik dan skill menulis sebagai juru
bicara dan dakwah jangka panjang. Meminjam istilah Pramoedya Ananta
Toer, menulis adalah bekerja untuk keabadian. Dengan demikian, gagasan,
khazanah sampai tauladan kaum sarungan bisa terdokumentasi dan
ter-transformasi secara baik kepada khalayak luas.
Jurnalisme Sebagai Counter Cultural
Setelah terbukanya kran reformasi pada tahun 1998, kebebasan
berekspresi menimbulkan geliat dan dinamika tersendiri. Media televisi,
internet maupun buku menjadi media yang efektif dalam mempengaruhi opini
publik. Bahkan, Oligopoli media kini menjadi piranti yang efektif dalam
rangka penyebaran gagasan, idealisme sampai pencitraan. Media-media
banyak dikuasai konglomerat, pimpinan parpol dan organisasi untuk
melicinkan kepentingan-kepentingan mereka.
Ditengah ramainya teknologi dengan ditandai cepatnya arus informasi
saat ini, muncul beberapa problem keagamaan baik di tingkat teologis,
konseptual sampai harakah (pergerakan). Yang paling menonjol adalah
adanya paham Neo-Liberalisme dan Trans-Nasional. Dalam pemetaan yang
sederhana, yang pertama bisa disebut Islam kiri dan yang kedua Islam
kanan. Sebagai penganut paham yang moderat, NU berada ditengah-tengahnya
sebagai dinamisator sekaligus melakukan akselerasi agar paham tersebut
dapat terbendung.
Menurut budayawan kondang Emha Ainun Najib, melawan budaya tidak cukup dengan fatwa namun juga perlu adanya counter cultural.
Jika mereka menggunakan film dalam berdakwah, maka kita juga harus bisa
membuat film. Jika mereka menyerang melalui buku, maka kita juga harus
menandingi dengan buku. Kita tetap merespon hal-hal yang perlu direspon
dengan bijak dan dewasa, tidak perlu anarkis apalagi sampai memakan
korban. Dengan demikian, dalil Islam itu rahmatan lil 'alamin tetap relevan dan bisa jadi menarik simpati banyak kalangan untuk mengkaji lebih-lebih masuk dalam janji suci.
Dengan cepatnya arus informasi, hendaknya menjadi salah satu peluang
kader NU dapat mewarnai dunia jurnalistik. Kehidupan modern yang ingin
butuh cepat dalam mencari informasi baik masalah teologi, hukum,
muamalah, ubudiyah maupun tasauf harus direspon. Karena hanya dengan
ponsel, android, tablet maupun ipad, kini setiap orang dapat berselancar
ke seluruh dunia dan mengkaji berbagai disiplin ilmu pengetahuan.
Tentunya, hal ini harus diimbangi dengan pengkaderan masiv di internal
NU itu sendiri, oleh karena secara umum di pesantren tidak ada ilmu
yang instan, harus sambung sanadnya dan kitabnya juga mu'tabar(diakui).
Jika jurnalisme sebagai media publik tidak dikuasai, alih-alih NU
dikenal, untuk menyampaikan gagasanpun akan repot kelimpungan.
Bagaimanapun, dikenal itu menjadi penting. Seperti kita tahu, perbedaan hadits mutawattir dengan hadits hasan
karena faktor antara terkenal dan tidaknya hadits tersebut. Akhirnya,
jika memang kader muda NU benar-benar ingin di-kader secara masiv, ilmu
jurnalistik dan media merupakan salah satu poros penting, selain
kemandirian ekonomi, yang perlu dikembangkan. Jika hal ini dihiraukan,
bukan mustahil apa yang dibangun dan menjadi dinamika hari ini sudah
terlupakan dalam waktu lima sampai sepuluh tahun mendatang.
AHMAD NAUFA** Ketua Pimpinan Cabang Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah
sumber:http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,43552-lang,id-c,kolom-t,Menggeliatkan+Jurnalisme+Kaum+Muda+NU-.phpx
Tidak ada komentar:
Posting Komentar