ABDUL HAMID MUDJIB HAMID BERSHOLAWAT

Senin, 10 Desember 2012

Manaqib Al-Syeikh Al-Imam Al-Syadzali Al-Hasany RA












=======================================================================



Biografi (Manaqib) Asy-Syeikh Al- Imam

Al -Quthb Al-Ghouts Abul Hasan 'Ali  AL- Syadzali RA
سيدي الامام الشيخ سلطان الاولياء
 القطب الغوث ابي الحسن علي الشاذَلي الحسني 
اللهم انفعنا من بركاته وان تَرْزُقنا محبته وادخلنا في سلسلته

يوم لا ينفع مال ولابنون الا من اتى الله بقلب سليم 
 -----------------------------------------------------------------------------------------------------







Sulthonul Awliya' Al-'Arifin Wa Afrodul 'Ulama' Al-'Amilin Quthbu Jami'il Maqom Wal Ghouts Al-A'dzom Sayyiduna Wa Habibuna Wa Maulana Wa Murobby Ruhina Asy-Syeikh Al- Imam Al–Quthb Al-Ghouts Al-A'dzom
Abul Hasan 'Ali Asy-Syadzali Al-Hasany Rodliyallohu ‘Anhu (RA)












سيدي الامام الشيخ سلطان الاولياء
 القطب الغوث ابي الحسن علي الشاذَلي الحسني























--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
























Kelahiran, Nasab dan Masa Kecil Syekh Abil Hasan 'Ali Al- Syadzaly RA
Asy-Syekh al-Imam al Quthub al-Ghouts Sayyidina Asy-Syarif Abul Hasan ‘Ali asy-Syadzily al-Hasani bin Abdulloh bin Abdul Jabbar, terlahir dari rahim sang ibu di sebuah desa bernama Ghomaroh, tidak jauh dari kota Saptah, negeri Maghrib al Aqsho atau Marokko, Afrika Utara bagian ujung paling barat, pada tahun 593 H / 1197 M. Beliau merupakan dzurriyat atau keturunan kedua puluh dua dari junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, dengan urut-urutan sebagai berikut, Sulthonul Awliya' Al-'Arifin Wa Afrodul 'Ulama' Al-'Amilin Quthbu Jami'il Maqom Wal Ghouts Al-A'dzom Sayyidina Asy Syeikh Al- Imam Al -Quthbul_Ghouts Abul Hasan 'Ali Sy Syadzali Al-Hasany RA adalah putra dari :
1. Abdulloh, bin
2. Abdul Jabbar, bin
3. Tamim, bin
4. Hurmuz, bin
5. Khotim, bin
6. Qushoyyi, bin
7. Yusuf, bin
8. Yusa', bin
9. Wardi, bin
10. Abu Baththal, bin
11. Ali, bin
12. Ahmad, bin
13. Muhammad, bin
14. 'Isa, bin
15. Idris al-Mutsanna, bin
16. ‘Umar, bin
17. Idris, bin
18. Abdulloh, bin
19. Hasan al-Mutsanna, bin
20. Sayyidina Hasan, bin
21. Sayyidina ‘Ali bin Abu Tholib wa Sayyidatina Fathimah az-Zahro' Al-Batul binti
22. Sayyidina wa Habibina wa Syafi'ina Wa Qurroti 'A'yunina Sayyidina Wa Maulana Muhammad,   Rosulillaahi Shollolloohu 'alaihi Wa aalihi Wa Shohbihi Wa Baroka Wa Karroma Wa Sallam.

---------------------
Sejak kecil Beliau biasa dipanggil dengan nama: 'ALI, sudah dikenal sebagai orang yang memiliki akhlaq atau budi pekerti yang amat mulia. Tutur katanya sangat fasih, halus, indah dan santun, serta mengandung makna pengertian yang dalam. Di samping memiliki cita-cita yang tinggi dan luhur, Beliau juga tergolong orang yang memiliki kegemaran menuntut ilmu. Di desa tempat kelahirannya ini, Beliau mendapat tempaan pendidikan akhlaq serta cabang ilmu-ilmu agama lainnya langsung di bawah bimbingan ayah-bunda beliau. Beliau tinggal di desa tempat kelahirannya ini sampai usia 6 tahun, yang kemudian pada akhirnya hijrah ke kota Tunis (sekarang ibu kota negara Tunisia, Afrika Utara) yang semata-mata hanya untuk tujuan tholabul 'ilmi di samping untuk menggapai cita-cita luhur Beliau menjadi orang yang memiliki kedekatan dan derajat kemuliaan di sisi Allah SWT.

Beliau sampai di kota Tunis, sebuah kota pelabuhan yang terletak di tepi pantai Laut Tengah, pada tahun 599 H / 1202 M. Di suatu hari Jumat, Beliau pernah ditemui oleh Nabiyyulloh Khidlir 'alaihissalam, yang mengatakan bahwa kedatangannya pada saat itu adalah diutus untuk menyampaikan keputusan Allah SWT at`s diri Beliau yang pada hari itu telah dinyatakan dipilih menjadi kekasih Robbul 'Alamin dan sekaligus diangkat sebagai Wali Agung dikarenakan Beliau memiliki budi luhur dan akhlaq mulia. Segera setelah pertemuan dengan Nabiyyullah Khidir As tersebut, Beliau segera menghadap al-Syekh Abi Said al-Baji, rokhimahullah, salah seorang ulama besar di Tunis pada waktu itu, dengan maksud untuk mengemukakan segala peristiwa yang Beliau alami sepanjang hari itu. Akan tetapi pada saat sudah berada di hadapan al-Syekh Abi Said, sebelum Beliau mengungkapkan apa yang menjadi maksud dan tujuannya menghadap, ternyata Syekh Abi Said al Baji sudah terlebih dahulu dengan jelas dan runtut menguraikan tentang seluruh perjalanan Beliau sejak keberangkatannya dari rumah sampai diangkat dan ditetapkannya Beliau sebagai Wali Agung pada hari itu. Sejak saat itu Beliau tinggal bersama Syekh Abi Said sampai beberapa tahun guna menimba berbagai cabang ilmu agama. Dari Syekh Abi Said Beliau banyak belajar ilmu-ilmu tentang Al-Qur'an, al-hadits, fiqih, akhlaq, tauhid, beserta ilmu-ilmu alat. Selain itu, karena kedekatan Beliau dengan sang guru, Beliau juga berkesempatan mendampingi Syekh Abi Said menunaikan ibadah haji ke Mekkah al-Mukarromah sampai beberapa kali. Namun, setelah sekian tahun menuntut ilmu,Beliau merasa bahwa seluruh ilmu yang dimilikinya, mulai dari ilmu fiqih, tasawwuf, taukhid, sampai ilmu-ilmu tentang al Qur'an dan hadist, semuanya itu Beliau rasakan masih pada tataran syariat atau kulitnya saja. Karena itu Beliau berketetapan hati untuk segera menemukan jalan (thoriqot) itu sekaligus pembimbing (mursyid)-nya dari seorang Wali Quthub yang memiliki kewenangan untuk memandu perjalanan ruhaniyah Beliau menuju ke hadirat Allah SWT? Maka dengan tekad yang kuat Beliau memberanikan diri untuk berpamitan sekaligus memohon doa restu kepada sang guru, al-syekh Abi Said al-Baji, untuk pergi merantau demi mencari seseorang yang berkedudukan sebagai Quthub.

Perantauan Mencari Sang Wali Quthub
Tempat pertama yang dituju oleh Beliau adalah kota Mekkah yang merupakan pusat peradaban Islam dan tempat berhimpunnya para ulama dan sholihin yang berdatangan dari seluruh penjuru dunia untuk memperdalam berbagai cabang ilmu-ilmu agama. Namun setelah berbulan-bulan tinggal di Mekkah, Beliau belum juga berhasil menemukan orang yang dimaksud. Sampai akhirnya pada suatu seat Beliau memperoleh keterangan dari beberapa ulama di Mekkah bahwa Sang Quthub yang Beliau cari itu kemungkinan ada di negeri Iraq yang berjarak ratusan kilo meter dari kota Mekkah.

Sesampainya di Iraq, dengan tidak membuang-buang waktu, segeralah Beliau bertanya ke sana-sini tentang seorang Wali Quthub yang Beliau cari kepada setiap ulama dan masyayikh yang berhasil Beliau temui. Akan tetapi, mereka semua rata-rata menyatakan tidak mengetahui keberadaan seorang Wali Quthub di negeri itu.

Memang sepeninggal Sulthonil Auliya'il Quthbir Robbani wal Ghoutsish Shomadani Sayyidisy Syekh Abu Muhammad Abdul Qodir al-Jilani, rodliyallahu 'anh, kedudukan Wali Quthub yang menggantikan al-Syekh Abdul Qodir Jilani oleh Alloh disamarkan atau tidak dinampakkan dengan jelas. Pada waktu kedatangan Syekh Abil Hasan ke Baghdad itu, Syekh Abdul Qodir Jailani (470 - 561 H./1077 - 1166 M.) sudah wafat sekitar 50 tahun sebelumnya (selisih waktu antara wafatnya al-Syekh Abdul Qodir dan lahirnya al-Syekh Abil Hasan al-Syadzali terpaut sekitar 32 tahun). Di kala hidupnya, asy-Syekh  Abdul Qodir diakui oleh para ulama minash Shiddiqin sebagai seorang yang berkedudukan "Quthbul Ghouts". Akhirnya, Beliau mendengar adanya seorang ulama yang merupakan seorang pemimpin dan khalifah thoriqot Rifa'iyah yaitu asy Syekh ash Sholih Abul Fatah al Wasithi, rodliyAllahu 'anh. Al-Syekh Abul Fatah adalah, yang memiliki pengaruh dan pengikut cukup besar di Iraq pada waktu itu. Segeralah Beliau sowan kepada Syekh Abul Fatah dan mengemukakan bahwa Beliau sedang mencari seorang Wali Quthub yang akan Beliau minta kesediaannya untuk menjadi pembimbing dan pemandu perjalanan ruhani Beliau menuju kehadirat Allah SWT.

Mendengar penuturan beliau, asy-Syekh Abul Fatah sembari tersenyum kemudian mengatakan, "Wahai anak muda, engkau mencari Quthub jauh jauh sampai ke sini, padahal orang yang engkau cari sebenarnya berada di negeri asalmu sendiri. Beliau adalah seorang Quthubuz Zaman nan Agung pada saat ini. Sekarang pulanglah engkau ke Maghrib (Maroko) dari pada bersusah payah berkeliling mencari di negeri ini. Beliau, pada saat ini sedang berada di tempat khalwatnya, di sebuah gua di puncak gunung. Temuilah yang engkau cari di sana...!"

Berguru Kepada Sang Wali Quthub
Beberapa saat setelah mendapat penjelasan dari al-Syekh Abul Fatah al-Wasithi, Beliau segera mohon diri sekaligus minta doa restu agar Beliau bisa segera berhasil menemukan sang Quthub yang sedang dicarinya. Sesampainya di Maroko, Beliau langsung menuju ke desa Ghomaroh, tempat dimana Beliau dilahirkan. Tidak berapa lama kemudian, Beliau segera bertanya-tanya kepada penduduk setempat maupun setiap pendatang dimanakah tinggalnya sang Quthub. Hampir setiap orang yang Beliau temui selalu ditanyai tentang keberadaan sang Quthub. Akhirnya setelah cukup lama mencari didapatlah keterangan bahwa orang yang dimaksud oleh Syekh Abul Fatah tiada lain adalah Sayyidisy Syekh ash- Sholih al-Quthub al-Ghouts asy Syarif Abu Muhammad Abdus Salam bin Masyisy al-Hasani, yang pada saat itu sedang berada di tempat pertapaannya, di suatu gua yang letaknya di puncak sebuah gunung di padang Barbathoh. Demi mendengar keterangan itu, sama seperti yang dijelaskan oleh Syekh Abul Fatah al Wasithi al Iraqi, segera saja Beliau menuju ke tempat yang ditunjukkan itu.

Setelah melakukan perjalanan yang memakan waktu beberapa hari, akhirnya ditemukanlah gunung yang dimaksud. Beliau segera mendaki gunung itu menuju ke puncaknya. Dan, memang benar adanya, di puncak gunung tersebut terdapat sebuah gua. Sebelum Beliau mel`njutkan perjalanannya untuk naik ke gua itu, Beliau berhenti di sebuah mata air yang terdapat di bawah gua tersebut. Selanjutnya Beliau lalu mandi di pancuran mata air itu. Hal ini Beliau lakukan semata-mata demi untuk memberikan penghormatan serta untuk mengagungkan sang Quthub, sebagai salah seorang yang memiliki derajat kemuliaan dan keagungan di sisi Robbul 'alamin, disamping juga sebagai seorang calon guru Beliau. Begitu setelah selesai mandi, Beliau merasakan betapa seluruh ilmu dan amal Beliau seakan luruh berguguran. Dan seketika itu pula Beliau merasakan kini dirinya telah menjadi seorang yang benar-benar faqir dari ilmu dan amal. Kemudian, setelah itu Beliau lalu berwudlu dan mempersiapkan diri untuk naik menuju ke gua tersebut. Dengan penuh rasa tawadhu' dan rendah diri, Beliau mulai mengangkat kaki untuk keluar dari mata air itu.

Namun, entah datang dari arah mana, tiba-tiba datang seseorang yang tampak sudah lanjut usia. Orang tersebut mengenakan pakaian yang amat  sederhana. Bajunya penuh dengan tambalan. Sebagai penutup kepala, orang sepuh itu mengenakan songkok yang terbuat dari anyaman jerami. Dari sinar wajahnya menunjukkan bahwa orang tersebut memiliki derajat kesholihan dan ketaqwaan yang amat luhur. Kendati berpenampilan sederhana, tetapi orang tersebut tampak sangat anggun, arif, dan berwibawa. Kakek tua itu kemudian mendekati Beliau seraya mengucapkan salam, "Assalamu'alaikum”. Beliau, dengan agak sedikit terkejut, serta merta menjawab salam orang itu, "Wa 'alaikumus salam wa rokhmatullohi wa barokatuh."

Belum pula habis rasa keterkejutan beliau, orang tersebut terlebih dahulu menyapa dengan mengatakan, "Marhaban.....! Ya, Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar bin Tamim bin...." dan seterusnya nasab Beliau disebutkan dengan runtut dan jelas sampai akhirnya berujung kepada baginda Rosululloh, shollollohu 'alaihi wa aalihi wa sallam.
Mendengar itu semua, Beliau menyimaknya dengan penuh rasa takjub. Belum sampai Beliau mengeluarkan kata-kata, orang tersebut kemudian melanjutkan, "Ya Ali, engkau datang kepadaku sebagai seorang faqir, baik dari ilmu maupun amal perbuatanmu, maka engkau akan mengambil dari aku kekayaan dunia dan akhirat." Dengan demikian, maka jadi jelas dan yakinlah Beliau kini, bahwa orang yang sedang berada di hadapannya itu adalah benar-benar asy Syekh al Quthub al Ghouts Sayyid Abu Muhammad Abdus Salam bin Masyisy al Hasani, rodhiyAllahu 'anh, orang yang selama ini dicari-carinya. "Wahai anakku, hanya puji syukur alhamdulillah kita haturkan ke hadirat Alloh SWT yang telah mempertemukan kita pada hari ini." Berkata Syekh Abdus Salam lagi, "Ketahuilah, wahai anakku, bahwa sesungguhnya sebelum engkau datang ke sini, Rosululloh SAW telah memberitahukan kepadaku segala hal-ihwal tentang diri¬mu, serta akan kedatanganmu pada hari ini. Selain itu, aku juga mendapat tugas dari Beliau agar memberikan pendidikan dan bimbingan kepada engkau. Oleh karena itu, ketahuilah, bahwa kedatanganku ke sini memang sengaja untuk menyambutmu". Selanjutnya, Beliau tinggal bersama dengan sang guru di situ sampai waktu yang cukup lama. Beliau banyak sekali mereguk ilmu-ilmu tentang hakikat ketuhanan dari al-Syekh Abdus Salam, yang selama ini belum pernah Beliau dapatkan. Tidak sedikit pula wejangan dan nasihat-nasihat yang asy Syekh berikan kepada beliau.

Pada suatu hari dikatakan oleh asy Syekh kepada beliau, "Wahai anakku, hendaknya engkau semua senantiasa melanggengkan thoharoh (mensucikan diri) dari syirik. Maka, setiap engkau berhadats cepat-cepatlah bersuci dari 'kenajisan cinta dunia'. Dan setiap kali engkau condong kepada syahwat, maka perbaikilah apa yang hampir menodai dan menggelincirkan dirimu."

Berkata asy-Syekh Abdul Salam Ibnu Masyisy kepada beliau: "Pertajam pengelihatan imanmu, niscaya engkau akan mendapatkan Allah; Dalam segala sesuatu; Pada sisi segala sesuatu; Bersama segala sesuatu; Atas segala sesuatu; Dekat dari segala sesuatu; Meliputi segala sesuatu; Dengan pendekatan itulah sifatNya; Dengan meliputi itulah bentuk keadaanNya."

Di lain waktu guru beliau, rodhiyallahu 'anh, itu mengatakan, "Semulia-mulia amal adalah empat disusul empat, yaitu:

KECINTAAN demi untuk Allah; RIDLO atas ketentuan Allah; ZUHUD terhadap dunia; dan TAWAKKAL atas Allah. Kemudian disusul pula dengan empat lagi, yakni MENEGAKKAN fardlu-fardlu Allah; MENJAUHI larangan-laranganAllah; BERSABAR terhadap apa-apa yang tidak berarti; dan WARO' menjauhi dosa-dosa kecil berupa segala sesuatu yang melalaikan".
Asy Syekh juga pernah berpesan kepada. beliau, "Wahai anakku, janganlah engkau melangkahkan kaki kecuali untuk Alloh, sesuatu yang dapat mendatangkan kcridloan Alloh, dan jangan pula engkau duduk di suatu majelis kecuali yang aman dari murka Alloh. Janganlah engkau bersahabat kecuali dengan orang yang bisa membantu engkau berlaku taat kepada-Nya. Serta jangan memilih sahabat karib kecuali orang yang bisa menambah keyakinanmu terhadap Alloh”.

Asy-Syekh Abdus Salam sendiri adalah merupakan pribadi yang amat berpegang teguh kepada Kitab Allah dan as Sunnah. Walaupun pada kenyataannya Syekh Abil Hasan adalah muridnya, namun Syekh Abdus Salam juga amat mengagumi akan ilmu yang dimiliki oleh sang murid, terutama tentang Kitabullah dan Sunnah, disamping derajat kesholihan dan kewaliannya, serta kekeramatan Syekh Abul Hasan Al-Syadzali.

Tetapi, dari semua yang Beliau terima dari asy Syekh, hal yang terpenting dan paling bersejarah dalam kehidupan Beliau di kemudian hari ialah diterimanya ijazah dan bai'at sebuah thoriqot dari asy Syekh Abdus Salam yang rantai silsilah thoriqot tersebut sambung-menyambung tiada putus sampai akhirnya berujung kepada Allah SWT. Silsilah thoriqot ini urut-urutannya adalah sebagai berikut :

Beliau (Asy-Syekh al Imam Abil Hasan Ali asy Syadzily) menerima bai'at thoriqot dari :

1. Asy Syekh al Quthub asy Syarif Abu Muhammad Abdus Salam bin Masyisy, Beliau menerima talgin dan bai'at dari

2. Al Quthub asy Syarif Abdurrahman al Aththor az Zayyat al Hasani al Madani, dari

3. Quthbil auliya' Taqiyyuddin al Fuqoyr ash Shufy, dari

4. Sayyidisy Syekh al Quthub Fakhruddin, dari

5. Sayyidisy Syekh al Quthub NuruddinAbil HasanAli, dari

6. Sayyidisy Syekh Muhammad Tajuddin, dari

7. Sayyidisy Syekh Muhammad Syamsuddin, dari

8. Sayyidisy Syekh al Quthub Zainuddin al Qozwiniy, dari

9. Sayyidisy Syekh al Quthub Abi Ishaq Ibrohim al Bashri, dari

10. Sayyidisy Syekh al Quthub Abil Qosim Ahmad al Marwani, dari

11. Sayyidisy Syekh Abu Muhammad Said, dari

12. Sayyidisy Syekh Sa'ad, dari

13. Sayyidisy Syekh al Quthub Abi Muhammad Fatkhus Su'udi, dari

14. Sayyidisy Syekh al Quthub Muhammad Said al Ghozwaniy, dari

15. Sayyidisy Syekh al Quthub Abi Muhammad Jabir, dari

16. Sayyidinasy Syarif al Hasan bin Ali, dari

17. Sayyidina'Ali bin Abi Tholib, karromallahu wajhah, dari

18. Sayyidina wa Habibina wa Syafi'ina wa Maulana Muhammadin, shollollohu 'alaihi wa aalihi wasallam, dari

19. Sayyidina Jibril, 'alaihis salam, dari

20. Robbul 'izzati robbul 'alamin.

---------------------------------------------------
Setelah  menerima ajaran dan baiat thoriqot ini, dari hari ke hari Beliau  merasakan semakin terbukanya mata hati beliau. Beliau banyak menemukan  rahasia-rahasia Ilahiyah yang selama ini belum pernah dialaminya. Sejak  saat itu pula Beliau semakin merasakan dirinya kian dalam menyelam ke dasar samudera hakekat dan ma'rifatulloh. Hal ini, selain berkat dari keagungan ajaran thoriqot itu sendiri, juga tentunya karena kemuliaan barokah yang terpancar dari ketaqwaan sang guru, asy Syekh Abdus Salam bin Masyisy, rodhiyAllohu 'anh.

Thoriqot ini pula, di kemudian hari, yaitu pada waktu Beliau kelak bermukim di negeri Tunisia dan Mesir, Beliau kembangkan dan sebar luaskan ke seluruh penjuru dunia melalui murid-murid beliau. Oleh karena Beliau adalah orang yang pertama kali mendakwahkan dan mengembangkan ajaran thoriqot ini secara luas kepada masyarakat umum, sehingga akhirnya masyhur di mana-mana, maka Beliau pun kemudian dianggap sebagai pendiri thoriqot ini yang pada akhirnya menisbatkan nama thoriqot ini dengan nama besar beliau, dengan sebutan "THORIQOT SYADZALIYYAH atau SYADZILIYYAH".

Banyak para 'ulama' dan pembesar-pembesar agama di seluruh dunia, dari saat itu sampai sekarang, yang mengambil berkah dari mengamalkan thoriqot ini. Sebuah thoriqot yang amat sederhana, tidak terlalu membebani bagi khalifah dan para guru mursyidnya serta para pengamalnya.

Setelah cukup lama Beliau tinggal bersama asy Syekh, maka tibalah saat perpisahan antara guru dan murid. Pada saat perpisahan itu Syekh Abdus Salam membuat pemetaan kehidupan murid tercinta Beliau tentang hari-hari yang akan dilalui oleh Syekh Abil Hasan Al-syadzali dengan mengatakan: "Wahai anakku, setelah usai masa berguru, maka tibalah saatnya kini engkau untuk beriqomah. Sekarang pergilah dari sini, lalu carilah sebuah daerah yang bernama SYADZILAH. Untuk beberapa waktu tinggallah engkau di sana. Kemudian perlu kau jetahui, di sana pula Allah 'Azza wa Jalla akan menganugerahi engkau dengan sebuah nama yang indah, asy-Syadzaly."

"Setelah itu," lanjut asy-Syekh, "Kemudian engkau akan pindah ke negeri Tunisia. Di sana engkau akan mengalami suatu musibah dan ujian yang datangnya dari penguasa negeri itu. Sesudah itu, wahai anakku, engkau akan pindah ke arah timur. Di sana pulalah kelak engkau akan menerima warisan al-Quthubah dan menjadikan engkau seorang Quthub."

Pada waktu akan berpisah, Beliau mengajukan satu permohonan kepada asy Syekh agar memberikan wasiat untuk yang terakhir kalinya, dengan mengatakan, "Wahai Tuan Guru yang mulia, berwasiatlah untukku."  Maka Asy Syekh pun  kemudian berkata, "Wahai Ali, takutlah kepada Allah dan berhati-hatilah terhadap manusia. Sucikanlah lisanmu daripada menyebut akan keburukan mereka, serta sucikanlah hatimu dari kecondongan terhadap mereka. Peliharalah anggota badanmu (dari segala yang maksiat, pen.) dan tunaikanlah setiap yang difardhukan dengan sempurna. Dengan begitu, maka sempurnalah Allah mengasihani dirimu."

Lanjut asy Syekh lagi: "Jangan engkau memperingatkan kepada mereka, tetapi utamakanlah kewajiban yang menjadi hak Allah atas dirimu, maka dengan cara yang demikian akan sempurnalah waro'mu." "Dan berdoalah wahai anakku, 'Ya Allah, rahmatilahlah diriku dari ingatan kepada mereka dan dari segala masalah yang datang dari mereka, dan selamatkanlah daku dari kejahatan mereka, dan cukupkanlah daku dengan kebaikan-kebaikanMu dan bukan dari kebaikan mereka, dan kasihilah diriku dengan beberapa kelebihan dari antara mereka. Ya Allah, sesungguhnya Engkaulah atas segala sesuatu Dzat Yang Maha Berkuasa."'

Selanjutnya, setelah perpisahan itu, asy Syekh Abdus Salam bin Masyisy yang dilahirkan di kota Fes, Maroko, tetap tinggal di negeri kelahirannya itu sampai akhir hayat beliau. Sang Quthub nan agung ini meninggal dunia pada tahun 622 H./1225 M. Makam Beliau sampai saat ini ramai diziyarahi kaum muslimin yang datang dari seluruh penjuru alam dan seantero dunia.

Di Desa Syadzilah
Seusai berpisah dengan asy Syekh Abdus Salam bin Masyisy, Beliau mulai menapaki perjalanan yang pertama sebagai apa yang telah dipetakan oleh sang guru, yaitu mencari sebuah desa bernama Syadzilah.

Setelah  dicari-cari, akhirnya sampailah Beliau di sebuah desa bernama Syadzilah yang terletak di wilayah negeri Tunisia. Pada saat Beliau tiba di desa itu, yang mengherankan, Beliau sudah disambut dan dielu-elukan oleh  segenap penduduk Syadzilah, sedang Beliau sendiri tidak tahu siapa sebenarnya yang memberitakan akan kedatangan beliau. Tapi, itu sebuah kenyataan bahwa mereka dalam memberikan sambutan kepada Beliau tampak sekali terlihat dari raut wajah mereka suatu kegembiraan yang amat dalam, seakan mereka bisa bertemu dengan orang yang sudah lama dinanti-nantikan.

Beliau  tinggal di tengah-tengah desa Syadzilah hanya beberapa hari saja.  Karena, sejak tiba di kota itu, Beliau telah memutuskan untuk tidak berlama-lama berada di tengah keramaian masyarakat. Beliau ingin bermukim di tempat yang tenang dan jauh dari hiruk-pikuknya  orang-orang. Memang, tujuan Beliau datang ke kota itu, sesuai dengan  petunjuk sang guru, semata-mata hanyalah untuk lebih meningkatkan dan menyempurnakan ibadah Beliau dengan cara menjauh dari masyarakat.

Akhirnya,  Beliau memilih tempat di luar kota Syadzilah, yaitu di sebuah bukit yang bernama Zaghwan. Maka, berangkatlah Beliau ke bukit itu dengan diiringi oleh sahabat Beliau bernama Abu Muhammad Abdullah bin Salamah al Habibie. Dia adalah seorang pemuda penduduk asli Syadzilah yang memiliki ketaqwaan dan telah terbuka mata hatinya (mukasyafah).
Di bukit itu, Beliau melakukan latihan-latihan ruhani/ olah bathin dengan menerapkan disiplin diri yang tinggi dam istiqomah. Setiap jengkal waktu, Beliau gunakan untuk  menempa ruhani dengan melakukan riyadhoh, mujahadah dan menjalankan wirid-wirid sebagaimana yang telah diajarkan oleh guru beliau, asy Syekh Abdus Salam.

Di bukit itu, Beliau melakukan uzlah dan suluk dengan cara menggladi nafsu sehingga benar-benar menjadi pribadi yang cemerlang dan istiqomah yang diliputi dengan rasa khidmah dan mahabbah kepada Allah dan Rasul-Nya.

Untuk kehidupannya, Beliau bersama sahabat setianya, al Habibie, hanya mengambil tumbuhan yang ada di sekitar bukit Zaghwan itu saja. Tetapi, sejak Beliau bermukim di bukit itu, Allah SWT telah mengaruniakan sebuah mata air untuk memenuhi keperluan beliau.

Pernah, pada suatu hari, Beliau menyaksikan gusi al Habibie terluka hingga mengeluarkan darah lantaran terkena ranting dari dedaunan yang dimakannya. Melihat hal itu, Leliau menjadi terharu karena sahabat yang setia mengiringinya harus mengalami kesakitan. Segera saja, setelah itu, Beliau mengajak al Habibie turun ke desa Syadzilah untuk mencari makanan yang lunak. Dan sekiranya telah tercukupi, maka Beliau berdua segera naik kembali ke bukit Zaghwan untuk meneruskan "perjalanan".
Memang, semenjak ber’uzlah di bukit itu, kadang-kadang Beliau berdua turun ke desa Syadzilah untuk berbagai keperluan.

Berkaitan dengan pengalaman keruhanian, diceritakan oleh al-Habibi, bahwa pada suatu ketika dia pernah melihat dalam pandangan mata batinnya, nampak segerombolan malaikat, 'alaihimus sholatu was salam, mengerumuni asy-Syekh. Bahkan, lanjut al Habibie, "Sebagian dari malaikat itu ada yang berjalan beriringan bersamaku dan ada pula yang bercakap-cakap dengan aku." Tidak jarang pula dilihat oleh al-Habibi tentang  arwah para waliyulloh yang secara berkelompok maupun sendiri-sendiri, mendatangi dan mengerubuti asy-Syekh.

Para wali-wali itu, rohimahumulloh, dikatakan oleh al Habibi, merasakan memperoleh berkah lantaran kedekatan dan kebersamaan mereka dengan asy-Syekh Al-Imam Al-Syadzali RA.


SYADZILI  atau  SYADZALI ??
Sehubungan dengan nama desa Syadzilah, yang akhirnya bertautan dengan nama beliau, diceritakan oleh beliau, bahwa Beliau pada suatu ketika dalam fana'nya, pernah mengemukakan sebuah pertanyaan/ permohonan kepada Alloh SWT: "Ya Robb, mengapa nama Syadzilah Engkau kaitkan dengan namaku?"  Maka, dikatakan dan dijawab kepadaku: "Ya Ali, Aku tidak menamakan engkau dengan nama asy-Syadzily, tetapi asy-Syaadz-ly (penekanan kata pada "dz") yang artinya:` jarang (langka), yaitu karena keistimewaanmu dalam menyatu untuk berkhidmat, mengabdi dan beribadah demi hanya semata untuk-Ku dan demi hanya cinta kepada-Ku (Alloh)."  Oleh karena itu, beliau ini bisa disebut Al-Syadzili bila dinisbatkan ke desanya yang bernama Syadzilah, tetapi bisa juga disebut Al-Syadzali bila dinisbahkan pada jawaban dari Robb/ Tuhannya dengan kata : asy-Syaadz-ly atau Anta Al-Syaadz-Ly. Sehingga kita akhirnya mendengar juga di masyarakat kita bahwa ada yang menyebutnya Al-Syadzili dan ada juga yang menyebutnya Al-Syadzali.

Beliau  tinggal di bukit Zaghwan itu sampai bertahun-tahun, sampai pada suatu hari, Beliau mendapatkan perintah dari Allah SWT agar turun dari bukit dan keluar dari tempat khalwatnya untuk segera mendatangi masyarakat.

Diceritakan oleh beliau, begini, "Pada waktu itu telah dikatakan kepadaku, 'Hai Ali, turun dan datangilah manusia-manusia, agar mereka memperoleh manfaat dari padamu !' Lalu, akupun mengatakan, 'Ya Allah, selamatkanlah diriku dari manusia banyak, karena aku tidak berkemampuan untuk bergaul dengan mereka'. Lalu dikatakan kepadaku, 'Turunlah, wahai Ali ! Aku akan mendampingimu dengan keselamatan dan akan Aku singkirkan engkau dari marabahaya'. Aku katakan pula, 'Ya Allah, Engkau serahkan diriku kepada manusia-manusia, termasuk apa yang aku makan dan harta yang aku pakai ?' Maka, dikatakan kepadaku, 'Hendaklah engkau menafkahkan dan Aku-lah yang mengisi, pilihlah dari jurusan tunai ataukah jurusan ghaib."'

Setelah selesai menjalani seperti apa yang telah dipetakan oleh asy Syekh Abdus Salam dan setel`h mendapat perintah untuk keluar dari tempat uzlahnya guna mendatangi masyarakat, maka Beliau segera melanjutkan perjalanannya sesuai dengan pemetaan berikutnya, yaitu menuju ke kota Tunis.

Di Kota Tunis
Bagi  beliau, kota Tunis tentu sudah tidak asing lagi. Karena sejak usia anak-anak hingga remaja Beliau bemukim di kota ini sampai  bertahun-tahun. Namun, seperti apa yang Beliau saksikan pada saat kedatangan Beliau kali ini, ternyata negeri ini tidak mengalami banyak perubahan dan kemajuan. Masih tetap seperti dulu.

Penduduk negeri ini tetap miskin dan sering dilanda kelaparan. Namun demikian, sejak kedatangannya, Beliau juga masih tetap berusaha untuk meringankan penderitaan penduduk dalam menghadapi kelaparan. Al-kisah, dalam usaha  Beliau memberikan pertolongan kepada mereka, Beliau sering didatangi  nabiyulloh Khidlir, 'alaihissalam, guna membantu Beliau sekaligus untuk  menyelamatkan Beliau dari kesulitan-kesulitan yang dihadapinya. Hal ini  terjadi karena berkat kebesaran jiwa dan kesantunan beliau.

Pada  saat itu, negeri Tunisia berada di bawah kekuasaan pemerintahan seorang  sultan atau raja yang bernama Sultan Abu Zakariyya al-Hafsi. Dalam  pemerintahan Sultan Abu Zakariyya, di antara jajaran para menterinya  ada seorang kadi (hakim agama) yang bernama Ibnul Baro'. Dia adalah  seorang faqih, namun di sisi lain dia juga memiliki hati yang buruk.

Keserakahan untuk memiliki kedudukan, pengaruh, dan kekuasaan itulah  yang membuat nafsu iri dengkinya tumbuh subur di dalam hati Ibnul  Baro'. Dendam kesumat dan keinginan menjatuhkan orang lain pun semakin  membara dalam dadanya. Pikiran dan hatinya siang malam hanya tertuju  bagaimana cara mempertahankan dan memperkuat pengaruh dan jabatannya.

Asy-Syekh Abil Hasan Al-Syzdzali datang ke Tunis selain untuk menapaki seperti apa yang  telah dipetakan oleh guru beliau, juga karena memang mendapat perintah  untuk berdakwah. Setelah beberapa bulan Beliau melakukan dakwah di kota  Tunis itu, maka kelihatanlah semakin banyak orang-orang berkerumun  mendatangi beliau. Selain masyarakat kebanyakan yang hadir dalam  majelis-majelis pengajiannya, juga tidak sedikit orang-orang alim,  sholih dan ahli karomah yang turut serta mendengarkan dan menyimak  nasehat-nasehat beliau. Di antara mereka tampak, antara lain: asy Syekh  Abul Hasan Ali bin Makhluf asy Syadzily, Abu Abdullah ash Shobuni, Abu  Muhammad Abdul Aziz az Zaituni, Abu Abdullah al Bajja'i al Khayyath, dan Abu Abdullah al Jarihi. Mereka semua merasakan kesejukan siraman  rohani yang luar biasa yang keluar dari kecemerlangan hati dan lisan  nan suci asy Syekh. Padahal, pada waktu itu Beliau masih berumur  sekitar 25 tahun.

Fenomena  tersebut ditangkap oleh Ibnul Baro' sebagai sebuah pemandangan yang  amat tidak mengenakkan perasaannya. Keberadaan asy Syekh di kota Tunis  ini dianggap sebagai kerikil yang mengganggu bagi dirinya. Setiap  berita yang berkaitan dengan asy Syekh ditangkap oleh telinga Ibnul Baro' lalu menyusup masuk ke relung hatinya yang telah terbakar bara  kebencian dan rasa iri dengki yang mendalam. Demi  melihat kenyataan masyarakat semakin condong dan berebut mengerumuni  asy Syekh, seketika itu pula pudarlah khayalan-khayalan Ibnul Baro'.

Timbul prasangka buruk bahwa Syekh Abil Hasan telah merampas haknya,  bahkan besar kemungkinan kalau pada akhirnya nanti akan menumbangkan kedudukannya serta mengambil alih jabatan yang amat dicintainya itu.

Oleh karena itu, dengan menepuk dada disertai sikap angkuhnya Ibnul  Baro' mengumumkan pernyataan secara terang-terangan, bahwa dia telah  memaklumkan "perang" melawan asy Syekh Abil Hasan Ali asy Syadzily,  rodhiyallahu 'anh.

Namun  demikian meski bertahun-tahun mengalami serangan dan fitnahan dari  orang yang dengki kepad` Beliau, tetapi yang namanya intan adalah tetap intan. Beliau adalah seorang kekasih Allah yang memiliki derajat  kemuliaan yang tinggi. Dan apabila seorang kekasih-Nya dianiaya oleh orang lain, maka Allah sendirilah yang akan membalasnya. Itulah yang  terjadi, sehingga akhirnya seluruh negeri mengetahui kemulian asy Syekh Abil Hasan Syadzily, rodhiyallahu 'anh.

Setelah  itu, terbersit dalam hati asy Syekh untuk kembali menunaikan ibadah haji. Beliau lalu menyerukan  kepada para murid dan pengikutnya agar  mereka, untuk sementara waktu, hijrah atau berpindah ke negeri sebelah timur, sambil menunggu datangnya musim haji yang pada waktu itu masih  kurang beberapa bulan lagi. Maka, segera bersiap-siaplah Beliau dengan  para pengikutnya untuk melakukan perj alanan jauh menuju ke negeri Mesir.
 
Dalam perjalan ke Mesir tersebut masih tidak lepas dari rekayasa fitnah Ibnul  Baro' sehingga Sultan mempermasalahkan kehadiran Beliau di negeri  Mesir. Tetapi Allah tetap memberikan perlindungan-Nya, menujukkan bahwa  asy Syekh adalah kekasihnya dan dengan kebesaran hati dan kehalusan  budi pekerti beliaulah, akhirnya Beliau bersedia memaafkan dan  mendo'akan Sultan hingga mereka semua menganggap pertemuan mereka dengan asy Syekh adalah merupakan anugerah Tuhan yang tiada terkira bagi mereka.

Namun,  sebagaimana yang telah direncanakan, asy Syekh tinggal di Mesir hanya  untuk beberapa bulan saja, sampai datangnya waktu musim haji. Setelah  tiba pada saatnya asy Syekh pun mohon diri kepada Sultan untuk  melanjutkan perjalanan menuju ke tanah suci Mekkah.

Ringkas cerita, di  sana Beliau mengerjakan ibadah haji sampai secukupnya, lalu Beliau  melanjutkan perjalanan ke tanah suci Madinah guna untuk berziarah ke  makam Rasulullah SAW. Setelah semuanya itu selesai, maka kembalilah  Beliau beserta rombongan ke negeri Tunisia.

Sewaktu  asy Syekh kembali dari tanah suci, Sultan Abu Zakariyya al Hafsi  beserta penduduk Tunis tampak bersukacita menyambut kedatangan beliau. Rasa gembira sulit mereka sembunyikan, karena asy Syekh yang mereka  cintai dan mereka hormati kini telah kembali berkumpul bersama mereka lagi.

Namun, suasana gembira ini tidak berlaku bagi Ibnul Baro'. Bagi  dia, kembalinya asy Syekh berarti merupakan sebuah "malapetaka" dan pertanda dimulainya lagi sebuah "pertempuran". Tetap seperti dulu.

Dengan berbagai cara dia selalu berusaha agar asy Syekh, yang merupakan musuh bebuyutannya itu, secepatnya lenyap dari muka bumi ini. Namun,  alhamdulillah, semua upaya jahat itu selalu menemui kegagalan. Kemudian,  setelah beberapa hari sejak kedatangan dari tanah suci, asy Syekh lalu  melanjutkan tugasnya untuk mengajar dan berdakwah. Zawiyah atau pondok  pesulukan, sebagai bengkel rohani yang Beliau dirikan juga kian diminati para 'pejalan'.

Dalam catatan sejarah, zawiyah pertama yang  asy Syekh dirikan di Tunisia adalah pads tahun 625 H./1228 M., ketika Beliau berusia sekitar 32 tahun. Di hari-hari berikutnya semakin banyak orang-orang yang mendatangi beliau, baik penduduk setempat maupun  orang-orang yang datang dari luar negeri Tunisia.
Diantara murid-murid asy-Syekh yang datang dari luar negeri Tunisia;  terdapat seorang pemuda yang berasal dari daerah Marsiyyah (Mursiyyah), negeri  Marokko, tidak jauh dari daerah tempat kelahiran asy-Syekh sendiri,  dimana pemuda tersebut bernama Abul ‘Abbas Al-Marsy (al-Mursy). Pertemuan asy-Syekh dengan pemuda ini  tampak benar-benar merupakan sebuah pertemuan y`ng amat istimewa,  sampai-sampai pada suatu hari asy-Syekh pernah berkata: "Aku tentu tidak akan  ditakdirkan kembali ke negeri Tunisia, kecuali karena pemuda ini.  Dialah yang akan menjadi pendampingku dan dia pulalah yang kelak akan menjadi kholifah penggantiku."

Menurut sebuah catatan, bahwa pemuda al-Marsi  (al Mursi) ini ketika masih berada di Maroko, pernah pula, walaupun tidak terlalu lama, berguru secara langsung kepada asy-Syekh ‘Abdus Salam Bin Masisy sampai meninggalnya Beliau tahun 622 H./ 1225 M.

Kembalinya  asy-Syekh ke Tunis dari perjalanan hajinya kali ini hanyalah  semata-mata untuk melanjutkan tugas mengajar dan berdakwah, seperti  yang telah diperintahkan pada saat Beliau di gunung Barbathoh dan di  bukit Zaghwan. Semuanya itu Beliau jalani sambil menanti datangnya "perintah" selanjutnya untuk menapaki seperti apa yang telah dipetakan  oleh asy Syekh Abdus Salam bin Masyisy.

Pada saat pemetaan, guru Beliau  itu mengatakan bahwa setelah bermukim di negeri Tunisia ini, yaitu  setelah "dihajar" oleh penguasa negeri itu, maka Beliau kemudian harus  melanjutkan perjalanannya menuju ke arah timur.

Dalam  hari-hari penantiannya itu, pada suatu malam asy-Syekh bermimpi bertemu  Rasululloh SAW. Waktu itu, Rasululloh bersabda: "Ya Ali, sudah saatnya kini engkau meninggalkan negeri ini. Sekarang pergilah engkau ke negeri  Mesir.'' Kemudian Rosululloh melanjutkan sabdanya: "Dan ketahuilah, wahai Ali,  selama dalam perjalananmu menuju ke Mesir, Alloh akan menganugerahkan  kepadamu tujuh puluh macam karomah.  Selain itu, disana pula kelak&nbs; engkau akan mendidik empat puluh orang dari golongan shiddiqin."

Jadi, apabila dicermati, ketika turunnya asy-Syekh dari puncak gunung di padang Barbathoh, Maroko, yang merupakan 'langkah pertama', adalah  karena atas perintah guru beliau, asy-Syekh Abdus Salam Bin Masisy.
Kemudian, pada  waktu turunnya Beliau dari bukit Zaghwan di Syadzilah, sebagai 'langkah  ke dua', adalah karena perintah Alloh SWT. Sedangkan, pada kali ini, keluarnya asy-Syekh dari Tunisia menuju Mesir, sebagai 'langkah ketiga' atau langkah yang terakhir, merupakan perintah Rasululloh SAW.
Bermukim di Mesir Dan  Mmenggantikan asy-Syekh Abul Hajjaj al-Agshory Yang Wali Quthub
Beberapa  hari asy-Syekh dan rombongan melakukan perjalanan, kini tibalah asy-Syekh di negeri Mesir. Beliau langsung menuju ke kota Iskandaria, kota indah  yang selalu Beliau singgahi setiap perjalanan haji beliau.

Al-kisah,  pada saat asy-Syekh menginjakkan kaki di negeri Mesir, saat itu  bertepatan tanggal 15 Sya'ban (Nishfu Sya'ban). Dan, karena takdir Alloh jualah, hari itu bersamaan dengan wafatnya asy- Syekh Abul Hajjaj al-Aqshory, rodhiyAllahu 'anh, yang dikenal sebagai Quthubuz Zaman pada  waktu itu. Sehingga, di kemudian hari, oleh para ‘ulama’ minash shiddiqin Mesir, asy-Syekh Abul Hasan Ali asy-Syadzily diyakini sejak hari itu juga telah ditetapkan oleh Alloh SWT sebagai Wali Quthub menggantikan asy-Syekh Abul Hajjaj al Agshory.

Kedatangan Beliau di kota Iskandaria ini mendapatkan sambutan hangat dari Sultan  Mesir maupun penduduk yang sudah banyak mengenal dan mendengar nama  beliau. Tidak hanya orang-orang dari kalangan biasa, tapi juga segenap  ulama, para sholihin dan shiddiqin, para ahli hadits, ahli fiqih, dan  manusia-manusia yang sudah mencapai tingkat kemuliaan lainnya. Mereka  semua, dengan senyum kebahagiaan membuka tangan seraya mengucapkan: "Marhaban, ahlan wa sahlan ! " Pertemuan mereka dengan asy-Syekh tampak  begitu akrab dan hangatnya, seakan-akan perjumpaan sebuah keluarga yang  telah lama terpisah. Sebagaimana negeri Iraq, negeri Mesir juga  merupakan gudangnya para ulama besar minash sholihin di wilayah itu.

Oleh  Sultan Mesir, Beliau diberi hadiah sebuah tempat tinggal yang cukup  luas bernama Buruj as- Sur. Tempat itu berada di kota Iskandaria, sebuah kota yang terletak di pesisir Laut Tengah. Kota Iskandaria (Alexandria) terkenal sebagai kota yang amat indah, menyenangkan, dan penuh  keberkahan. Di komplek pemukiman Beliau itu terdapat tempat penyimpanan air dan kandang-kandang hewan. Di tengah-tengah komplek terdapat sebuah  masjid besar, dan di sebelahnya ada pula petak-petak kamar sebagai  zawiyah (tempat tinggal para murid thoriqot untuk ‘uzlah atau suluk).

Di  tempat itu pula asy-Syekh melaksanakan pernikahan dan membangun bahtera rumah tangga beliau. Dari pernikahan asy-Syekh, lahirlah beberapa putra  dan keturunan beliau, di antaranya: asy-Syekh Syahabuddin Ahmad, Abul  Hasan Ali, Abu Abdullah Muhammad Syarafuddin, Zainab, dan 'Arifatul  Khair.

Sebagian putra-putri Beliau itu setelah menikah kemudian menetap  di kota Damanhur, tidak jauh dari Iskandaria. Sedangkan sebagian lagi  tetap tinggal di Iskandaria menemani asy Syekh bersama ibunda mereka.

Seperti  apa yang telah Beliau lakukan selama di Tunisia, di "negeri para ‘Ulama’"  ini pun asy-Syekh juga tetap berdakwah dan mengajar. Asy-Syekh  menjadikan kota Iskandaria yang penuh keberkahan ini sebagai pusat dakwah dan pengembangan thoriqot Beliau pada tahun 642 H./ 1244 M.
Beliau kemudian membangun sebuah masjid dengan menara-menara besar yang  menjulang tinggi ke angkasa. Di salah satu menara itu asy Syekh menjalankan tugas sebagai seorang guru mursyid, yaitu sebagai tempat  untuk membai'at murid-murid beliau. Sedangkan di bagian menara yang  lain, Beliau pergunakan sebagai tempat untuk "menyalurkan hobby" Beliau selama ini, yaitu kholwat.
Selain di Iskandaria, di kota Kairo pun,  sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Mesir, Beliau juga memiliki aktifitas ruthn mengajar.
Dalam waktu yang tidak terlalu lama, majelis-majelis pengajian Beliau dibanjiri pengunjung, baik dari kalangan masyarakat awam, keluarga dan  petinggi kerajaan, maupun para ulama besar dan terkemuka. Para orang-orang alim dan sholeh yang bertemu dan mengikuti penguraian dan  pengajian-pengajian beliau, yang datang dari barat maupun timur, mereka  semua merasa kagum dengan apa yang disampaikan oleh asy Syekh. Bahkan,  tidak sampai berhenti di situ saja. Mereka kemudian juga berbai'at  kepada asy Syekh sekaligus menyatakan diri sebagai murid beliau.

Dari  deretan para ‘ulama’ itu, terdapat nama-nama ‘Ulama’ Agung, seperti: Sulthonul  'Ulama’ al-Sayyid asy-Syekh 'Izzuddin bin Abdus Salam, asy-Syaikhul Islami bi Mishral Makhrusah, asy-Syekh al- Muhadditsiin al-Hafidz Taqiyyuddin  bin Daqiiqil 'led, asy-Syekh al-Muhadditsiin al-Hafidz Abdul 'Adzim al-Mundziri, asy-Syekh Ibnush Sholah, asy-Syekh Ibnul Haajib, asy-Syekh  Jamaluddin Ushfur, asy-Syekh Nabihuddin bin 'Auf, asy-Syekh Muhyiddin  bin Suroqoh, dan al-Alam Ibnu Yasin (salah satu murid terkemuka al-Imamul Akbar Sayyidisy Syekh Muhyiddin Ibnul Arabi, rodhiyAllahu 'anh, wafat tahun 638 H./1240 M.), serta masih banyak lagi Para ‘Ulama’ yang lainnya.

Mereka semua hadir serta mengikuti dengan tekun dan seksama majelis  pengajian yang sudah ditentukan secara berkala oleh asy Syekh, baik di Iskandaria maupun Kairo. Di Kairo, tempat yang biasa dipergunakan asy Syekh untuk berdakwah adalah di perguruan "Al-Kamilah".

Selain  dakwah dan syi'ar Beliau melalui majelis-majelis pengajian, khususnya  dalam bidang ilmu tasawuf, semakin berkembang dan mengalami kemajuan  pesat, thoriqot yang Beliau dakwahkan pun semakin berkibar. Orang-orang  yang datang untuk berbaiat dan mengambil barokah thoriqot Beliau datang dari segala penjuru dan memiliki latar belakang beraneka warna. Mulai  dari masyarakat umum hingga para ulama, para pejabat hingga rakyat jelata. Sedangkan Zawiyah (pondok pesulukan), sebagai wadah penempaan ruhani, yang Beliau dirikan pun kian hari semakin dipadati oleh santri-santri beliau.

Thoriqot yang asy-Syekh terima dari guru beliau, asy-Syekh Abdus Salam bin Masyisy, Beliau dakwahkan secara luas dan terbuka. Sebuah thoriqot xang mempunyai karakter tasawuf ala Maghribiy, yaitu lebih memiliki  kecenderungan dengan warna syukur, sehingga bagi para pengikutnya  merasakan dalam pengamalannya tidak terlalu memberatkan. Dalam  pandangan thoriqot ini, segala yang terhampar di permukaan bumi ini,  baik itu yang terlihat, terdengar, terasa, menyenangkan, maupun tidak  menyenangkan, semuanya itu merupakan media yang bisa digunakan untuk "lari" kepada Alloh SWT.

Selain itu, thoriqot yang Beliau populerkan ini juga dikenal sebagai thoriqot yang termudah dalam hal ilmu dan ‘amal, ihwal dan maqom, ilham dan maqol, serta dengan cepat bisa menghantarkan para pengamalnya sampai kehadirat Alloh SWT. Disamping itu, thoriqot ini juga terkenal dengan keluasan, keindahan, dan kehalusan do'a dan hizib-hizibnya.

Disamping hal lain, yaitu adany` kiprah Beliau dalam syi’ar dan dakwah serta pembinaan ruhani bagi para murid-muridnya, asy-Syekh juga turut secara langsung terjun dan terlibat dalarn perjuangan di medan peperangan. Ketika itu, raja Perancis Louis IX yang memimpin tentara salib bermaksud hendak membasmi kaum muslimin dari muka bumi sekaligus menumbangkan Islam dan menaklukkan seluruh jazirah Arab. Maka Asy-Syekh Al-Imam Al-Syadzali, yang kala itu sudah  berusia 60 tahun lebih dan dalam keadaan sudah hilang pengelihatan(sudah tidak bisa melihat)meninggalkan rumah dan keluarga berangkat ke kota Al-Manshuroh. Beliau bersama para pengikutnya bergabung bersama para mujahidin dan tentara Mesir. Sedangkan pada waktu itu pasukan musuh sudah berhasil menduduki  kota pelabuhan Dimyath (Demyaath) dan akan dilanjutkan dengan penyerbuan mereka ke kota Al Manshuroh.

Selain  Al-syekh Abul Hasan Al-Syadzali, tidak sedikit para ‘ulama’ Mesir yang turut berjuang  dalam peristiwa itu, antara lain: al-Imam al-syekh Izzuddin bin Abdus  Salam, al-syekh Majduddin bin Taqiyyuddin Ali bin Wahhab al-Qusyairi, al-syekh Muhyiddin bin Suroqoh, dan al-syekh Majduddin al-Ikhmimi. Para  sholihin dan ‘ulama’ minash shiddiqin itu, di waktu siang hari berpeluh  bahkan berdarah-darah di medan pertempuran bersama para pejuang lainnya  demi tetap tegaknya panji-panji Islam. Sedangkan, apabila malam telah  tiba, mereka semua berkumpul di dalam kemah untuk bertawajjuh,  menghadapkan diri kepada Alloh SWT, dengan melakukan sholat dan  menengadahkan tangan untuk berdo'a dan bermunajat kepada "Sang Penguasa"  agar kaum muslimin memperoleh kemenangan. Setelah selesai mereka  beristighotsah di tengah kepekatan malam, mereka kemudian mengkaji, membaca, mentela’ah dan  mendaros kitab-kitab, terutama yang dinilai ada hubungannya dengan situasi pada saat itu. Kitab-kitab itu antara lain: Ihya' Ulumiddin,  Qutul Qulub, dan ar-Risalah.

Dan,  al-Hamdulillah, karena anugerah dan berkat rahmat Alloh jualah, akhirnya PEPERANGAN itu  DIMENANGKAN oleh KAUM MUSLIMIN. Sedangkan Raja Louis IX beserta para panglima dan  bala tentara perangnya berhasil ditangkap dan ditawan.

Perlu diketahui, bahwa sebelum berakhirnya peperangan itu, pada suatu malam asy-Syekh Al-Syadzali, dalam  mimpi beliau, bertemu dengan Rasululloh SAW. Pada waktu itu, Rasululloh  SAW berpesan kepada Beliau supaya memperingatkan Sultan agar tidak  mengangkat pejabat-pejabat yang lalim dan korup. Dan Rasululloh SAW  menyampaikan bahwa pertempuran akan segera berakhir dengan kemenangan di pihak kaum muslimin. Maka, pada pagi harinya asy-Syekh Al-Syadzali pun  mengabarkan berita gembira yang didapat dari Rosululloh tersebut kepada teman-teman seperjuangan beliau.  Dan pada kenyataan dan bukti konkritnya, bahwa setelah pejabat-pejabat tersebut diganti, maka  kemenangan pun datang menjelang dan terbukti nyata. Bahwa Peristiwa berjayanya kejayaan kaum muslimi itu terjadi pada bulan Dzul Hijjah tahun 655 H./1257 M. Kemudian setelah usai peperangan dengan kemenagan di pihak kaum muslimin itu, lalu  asy-Syekh Al-syadzali  kembali ke Iskandariah. Subhanalloh alangkah hebatnya kepedulian beliau kepada agama islam, ummat islam dan kaum muslimin, dimana ancaman raja Perancis Louis IX dikala itu bermaksud : membasmi kaum muslimin dari muka bumi sekaligus menumbangkan Islam dan menaklukkan seluruh jazirah Arab ……!!!!!!!!

Wafatnya Asy Syekh Abil Hasan ‘Ali Asy Syadzily Ra
Asy -Syekh Al-Imam Al-Syadzali RA menjalankan dakwah dan mensyiarkan thoriqotnya di negeri Mesir  itu sampai pada bulan Syawal 656 H./1258 M. Pada awal bulan Dzul Qo'dah tahun itu juga, terbetik di hati asy Syekh untuk kembali menjalankan  ibadah haji ke Baitullah. Keinginan itu begitu kuat mendorong hati  beliau. Maka, kemudian diserukanlah kepada seluruh keluarga Beliau dan  sebagian murid asy-Syekh untuk turut menyertai beliau. Ketika itu asy -Syekh juga memerintahkan agar rombongan membawa pula seperangkat alat  untuk menggali. Memang suatu perintah yang dirasa agak aneh bagi para  pengikut beliau. Pada saat ada seseorang yang menanyakan tentang hal  itu, asy- Syekh pun menjawab, "Ya, siapa tahu di antara kita ada yang  meninggal di tengah perjalanan nanti."

Pada  hari yang sudah ditentukan, berangkatlah rombongan dalam jumlah besar  itu meninggalkan negeri Mesir menuju kota Makkah al-Mukarromah. Pada  saat perjalanan sampai di gurun 'Idzaab, sebuah daerah di tepi pantai  Laut Merah, tepatnya di desa Khumaitsaroh, yaitu antara Gana dan  Quseir, asy-Syekh Al-Syadzali memberi aba-aba agar rombongan menghentikan  perjalanan untuk beristirahat. Setelah mereka semua berhenti, lalu  didirikanlah tenda-tenda untuk tempat peristirahatan. Kemudian, setelah  mereka sejenak melepas penatnya, lalu asy-Syekh meminta agar mereka  semua berkumpul di tenda asy-Syekh Al-Imam Al-Syadzali RA.

Setelah  para keluarga dan murid Beliau berkumpul, lalu asy-Syekh memberikan  beberapa wejangan, nasihat dan wasiat-wasiat Beliau kepada mereka. Di antara  wasiat yang Beliau sampaikan, bahwa asy-Syekh mengatakan: "Wahai anak-anakku,  perintahkan kepada putra-putramu agar mereka menghafalkan HIZIB BAHRI. Karena, ketahuilah bahwa di dalam hizib itu terkandung Ismulloh al- a'dzom, yaitu nama-nama Alloh Yang Maha Agung."

Kemudian,  setelah asy-Syekh menyampaikan pesan-pesan Beliau itu, lalu asy-Syekh  bersama dengan murid terkemuka beliau, asy-Syekh Abul Abbas al-Marsi (Al-Mursy),  meninggalkan mereka ke suatu tempat yang tidak jauh dari tenda-tenda itu. Tapi dalam waktu yang tidak terlalu lama, sepasang insan mulia itu sudah kembali masuk ke tenda semula, dimana pada waktu itu seluruh  keluarga dan para murid Beliau masih menunggunya.
Setelah asy-Syekh Al-Imam Al-syadzali RA kembali duduk bersama mereka lagi, kemudian Beliau berkata: "Wahai  putera-puteraku dan sahabat-sahabatku, apabila sewaktu-waktu aku  meninggalkan kalian nanti, maka hendaklah kalian memilih Abul ‘Abbas al-Marsi(Al-Mursy) sebagai kholifah penggantiku. Karena, ketahuilah bahwa dengan kehendak dan  ridlo Alloh SWT, telah aku tetapkan dia untuk menjadi kholifah yang  menggantikan aku setelah aku tiada nanti. Dia adalah penghuni maqom  yang tertinggi di antara kalian dan dia merupakan pintu gerbang bagi  siapa saja yang menuju kepada Alloh SWT."

Pada waktu terjadi diantara maghrib dan 'isya’, Beliau tiba-tiba berkehendak dan ingin untuk  mengerjakan wudlu'. Kemudian Beliau memanggil asy-Syekh Abu Abdullah  Muhammad Syarofuddin, rodliyAllahu 'anh, salah satu putera beliau: "Hai  Muhammad, tempat itu (asy-Syekh menunjuk ke sebuah timba) agar engkau  isi dengan air sumur itu."

Di luar tenda memang terdapat sebuah sumur  yang biasa diambil airnya oleh para kafilah yang melintas di daerah  itu. Air sumur itu rasanya asin karena tempatnya memang tidak terlalu jauh dari tepi laut atau pantai.

Mengetahui  air sumur itu asin, maka putra Beliau itu pun memberanikan diri untuk  matur dengan mengatakan: "Wahai guru, air sumur itu asin, sedangkan  yang hamba bawa ini air tawar." Al-Syekh Syarofuddin yang juga putranya menawarkan kepada  Beliau air tawar yang sudah disiapkan dan memang sengaja dibawa sebagai  bekal di perjalanan. Kemudian asy-Syekh mengatakan dan menjawab: "Iya, aku mengerti.  Tapi, ambilkan air sumur itu. Apa yang aku inginkan tidak seperti yang  ada dalam pikiran kalian." Selanjutnya oleh putera Beliau itu, lalu  diambilkan air sumur sebagaimana yang asy-Syekh kehendaki dan inginkan.

Setelah  Al-Syeikh selesai berwudlu', kemudian asy-Syekh berkumur dengan air sumur yang  asin itu lalu menumpahkan ke dalam timba kembali. Setelah itu Beliau  memerintahkan agar air bekas kumuran tersebut dituangkan kembali ke dalam sumur. Sejak saat itu pulalah, dengan idzin Alloh Yang Maha Agung, air  sumur yang memang rasanya asin itu, seketika itu pula berubah menjadi tawar dan sumbernya pun semakin  membesar. Dan Sumur itu hingga sekarang masih terpelihara dengan baik.

Setelah  itu kemudian asy-Syekh mengerjakan sholat 'isya lalu diteruskan dengan  sholat-sholat sunnat. Tidak berapa lama kemudian asy-Syekh lalu  berbaring dan menghadapkan wajah Beliau kepada Alloh SWT (tawajjuh) seraya berdzikir sehingga, kadang-kadang, mengeluarkan suara yang  nyaring, sampai-sampai terdengar oleh para murid dan sahabat-sahabat beliau.

Pada malam itu tiada henti-hentinya asy Syekh memanggil-manggil  Tuhannya dengan mengucapkan: "Ilaahiy, ilaahiy, " (Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku, ......!!!!!.). Dan kadang-kadang pula Beliau lanjutkan dengan  mengucapkan: "Allohumma mataa yakuunul liqo' ?" ("Ya Alloh, kapan  kiranya hamba bisa bertemu?"). Sepanjang malam itu, keluarga dan murid  asy-Syekh dengan penuh rasa tawadlu', saling bergantian menunggui,  merawat, dan mendampingi beliau.

Ketika  waktu sudah sampai di penghujung malam, yaitu menjelang terbitnya  fajar, setelah asy-Syekh sudah beberapa saat terdiam dan tidak  mengeluarkan suara, maka mereka pun mengira bahwa asy- Syekh sudah nyenyak tertidur pulas. Maka Asy-Syekh Syarofuddin pun perlahan-lahan mendekati  beliau.

Kemudian, dengan cara yang amat halus, putera Beliau itu,  lalu  menggerak-gerakkan tubuh asy- Syekh. Sedijit terkejut dan tertegun al-syekh  Syarofuddin mendapatinya, karena asy-Syekh al-Imam al-Quthub Al-Ghouuts, rodhiyallahu 'anh, ternyata sudah berpulang ke rohmatullah. Inna lillahi wa inna ilaihi roji 'un. Ketika itu Beliau berusia 63 tahun, sama dengan usia Rasululloh SAW.

Lalu, setelah (Bakda) sholat subuh pada pagi hari itu, jasad asy-Syekh nan suci dan penuh berkah itupun segera dimandikan dan dikafani oleh keluarga dan para murid beliau. Sedang  ketika matahari mulai tinggi, semakin banyak pula para ‘ulama’, shiddiqin, dan auliya'ulloh agung berduyun-duyun berdatangan untuk berta'ziyah dan turut mensholati jenazah beliau yang penuh berkah ini.
Hadir pula di antara mereka para pangeran dan pejabat kerajaan.  Kehadiran para insan mulia dan pembesar-pembesar negara di tempat itu dan para pembesar-pembesar di sisih Alloh dan Rosul-Nya,  selain mereka untuk memberikan penghormatan kepada Al-Syeikh sang Al-Imam yang Agung ini, mereka juga mengharapkan mendapat barokah beliau dengan penuh mendapat ridlo Alloh SWT dan Rosul-Nya SAW.
Semoga kita beserta para leluhur, anak cucu, para sahabat dan para murid kita berserta semua ummat Sayyiidina Muhammad wal Muslimin  senantiasa diberi panjang ‘umur fissihhah wal ‘afiyah wa ‘alal barokah wa husnul khotimah dan selalu dapat menjalankan thoriqot beliau dan senantiasa mendapat barokat, nafahat, rohamat, asror, amdad, ‘ulum, mustajab da’awat, fuyudlot, istiqomat, karomat dan ridlo Beliau beserta ridlo Alloh SWT Wa Rosulihi SAW dan dipungkasi hayat kita dengan husnul khotimah Bi Qouli La Ilaha Illalloh Sayyiduna Muhammad Rosululloh SAW, Amiiin Bijahi Sayyidina Wa Habibina wa Syafi’ina Wa qurroti a’yunina Muhammad Al-Shodiqil Amin…!!!!!
اللهم انفعنا من بركاته وان تَرْزُقنا محبته وادخلنا في سلسلته

يوم لا ينفع مال ولابنون الا من اتى الله بقلب سليم

======================
بسم الله الرحمن الرحيم

الفاتحة بالنية لرضاء الله تعالى ولرضاء رسول الله صلى الله عليه وسلم الفاتحة ...
الفاتحة الى حضرة النبي المصطفى محمد صلى الله عليه وسلم واهل بيته وازواجه واولاده وذرياته واله وجميع اخوانه من الانبياء والمرسلين واولي العزم من الرسل وجميع الملائكة المقربين صلوات الله وسلامه عليهم اجمعين, ثم الى جميع اصحابه وخصوصا أهل بدر واهل احد واهل بيعة الرضوان من المهاجرين والانصار وجميع الخلفاء الراشدين سيدنا ابي بكر الصديق وسيدنا عمر ابن الخطاب وسيدنا عثمان ابن عفان وسيدنا علي ابن ابي طالب وسيدتنا فاطمة الزهراء البتول بنت سيدنا الرسول وسيدنا الحسن والحسين وجميع اصحاب النبي صلى الله عليه وسلم والتابعين لهم باحسان الى يوم الدين وجميع العلماء والاولياء اينما كانوا من مشارق الارض الى مغاربها برها وبحرها وخصوصا سيدنا الخضر بلياابن ملكان والياس رضي الله تعالى عنهم اجمعين وجميع الاولياء والعلماء والامراء في بلدنا وفي سائر بلاد المسلمين وجميع اهل القبور من المسلمين والمسلمات والمؤمنين والمؤمنات خصوصا سيدي الحبيب الامام الشيخ سلطان الاولياء
 القطب الغوث ابي الحسن علي الشاذَلي الحسني وسيدي الشيخ قطب الاقطاب ابي العباس  احمد المُرْسي
 و  سيدي الشيخ القطب الغوث عبدالسلام بن مشيش واصولهم وفروعهم وازواجهم ومشايخهم ومريديهم ومحبيهم  الفاتحة ...
 اللهم انفعنا من بركاتهم وان تَرْزُقنا محبتهم وادخلنا في سلسلتهم
يوم لا ينفع مال ولابنون الا من اتى الله بقلب سليم 


Disarikan Oleh Pecinta Beliau Dan Thoriqohnya:
Sulthonul Awliya' Al-'Arifin Wa Afrodul 'Ulama' Al-'Amilin Quthbu Jami'il Maqom Wal Ghouts Al-A'dzom Sayyiduna Asy-Syeikh Al- Imam Al–Quthb Al-Ghouts 

Abul Hasan 'Ali Al-Syadzali  Al-Hasany Rodiyallohu ‘Anhu (RA)




Abdul Hamid Mudjib Hamid Al-Ishaqy ‘Azmatkhan

 Min Dzurriyyah Al-Syeikh Ahmad Al-Hajar Al-Ishaqy

Tidak ada komentar:

Posting Komentar