======================================================================= |
Biografi
(Manaqib) Asy-Syeikh Al- Imam
Al
-Quthb Al-Ghouts Abul Hasan 'Ali AL- Syadzali RA
سيدي الامام الشيخ سلطان الاولياء
القطب الغوث ابي الحسن علي الشاذَلي الحسني
سيدي الامام الشيخ سلطان الاولياء
القطب الغوث ابي الحسن علي الشاذَلي الحسني
اللهم انفعنا من بركاته وان تَرْزُقنا محبته وادخلنا في سلسلته
يوم لا ينفع مال
ولابنون الا من اتى الله بقلب سليم
----------------------------------------------------------------------------------------------------- |
|||||||||||||||||||||||
Sulthonul Awliya' Al-'Arifin Wa
Afrodul 'Ulama' Al-'Amilin Quthbu Jami'il Maqom Wal Ghouts Al-A'dzom Sayyiduna
Wa Habibuna Wa Maulana Wa Murobby Ruhina Asy-Syeikh Al- Imam Al–Quthb Al-Ghouts Al-A'dzom
Abul Hasan 'Ali Asy-Syadzali Al-Hasany Rodliyallohu
‘Anhu (RA)
|
|||||||||||||||||||||||
سيدي الامام الشيخ سلطان الاولياء القطب الغوث ابي الحسن علي الشاذَلي الحسني |
|||||||||||||||||||||||
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------- |
Kelahiran, Nasab dan Masa
Kecil Syekh Abil Hasan 'Ali Al- Syadzaly RA
Asy-Syekh al-Imam al Quthub al-Ghouts Sayyidina Asy-Syarif Abul
Hasan ‘Ali asy-Syadzily al-Hasani bin Abdulloh bin Abdul Jabbar, terlahir dari
rahim sang ibu di sebuah desa bernama Ghomaroh, tidak jauh dari kota Saptah,
negeri Maghrib al Aqsho atau Marokko, Afrika Utara bagian ujung paling barat,
pada tahun 593 H / 1197 M. Beliau merupakan dzurriyat atau keturunan kedua
puluh dua dari junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, dengan urut-urutan
sebagai berikut, Sulthonul Awliya' Al-'Arifin Wa Afrodul 'Ulama'
Al-'Amilin Quthbu Jami'il Maqom Wal Ghouts Al-A'dzom Sayyidina Asy Syeikh Al-
Imam Al -Quthbul_Ghouts Abul Hasan 'Ali Sy Syadzali Al-Hasany RA adalah
putra dari :
1. Abdulloh, bin
2. Abdul Jabbar, bin
3. Tamim, bin
4. Hurmuz, bin
5. Khotim, bin
6. Qushoyyi, bin
7. Yusuf, bin
8. Yusa', bin
9. Wardi, bin
10. Abu Baththal, bin
11. Ali, bin
12. Ahmad, bin
13. Muhammad, bin
14. 'Isa, bin
15. Idris al-Mutsanna, bin
16. ‘Umar, bin
17. Idris, bin
18. Abdulloh, bin
19. Hasan al-Mutsanna, bin
20. Sayyidina Hasan, bin
21. Sayyidina ‘Ali bin Abu Tholib wa Sayyidatina Fathimah az-Zahro'
Al-Batul binti
22. Sayyidina wa Habibina wa Syafi'ina Wa Qurroti 'A'yunina Sayyidina
Wa Maulana Muhammad, Rosulillaahi
Shollolloohu 'alaihi Wa aalihi Wa Shohbihi Wa Baroka Wa Karroma Wa Sallam.
---------------------
Sejak kecil Beliau biasa dipanggil dengan nama: 'ALI, sudah
dikenal sebagai orang yang memiliki akhlaq atau budi pekerti yang amat mulia.
Tutur katanya sangat fasih, halus, indah dan santun, serta mengandung makna pengertian
yang dalam. Di samping memiliki cita-cita yang tinggi dan luhur, Beliau juga
tergolong orang yang memiliki kegemaran menuntut ilmu. Di desa tempat
kelahirannya ini, Beliau mendapat tempaan pendidikan akhlaq serta cabang
ilmu-ilmu agama lainnya langsung di bawah bimbingan ayah-bunda beliau. Beliau
tinggal di desa tempat kelahirannya ini sampai usia 6 tahun, yang kemudian pada
akhirnya hijrah ke kota Tunis (sekarang ibu kota negara Tunisia, Afrika Utara)
yang semata-mata hanya untuk tujuan tholabul 'ilmi di samping untuk menggapai
cita-cita luhur Beliau menjadi orang yang memiliki kedekatan dan derajat
kemuliaan di sisi Allah SWT.
Beliau sampai di kota Tunis, sebuah kota pelabuhan yang terletak
di tepi pantai Laut Tengah, pada tahun 599 H / 1202 M. Di suatu hari Jumat,
Beliau pernah ditemui oleh Nabiyyulloh Khidlir 'alaihissalam, yang mengatakan
bahwa kedatangannya pada saat itu adalah diutus untuk menyampaikan keputusan
Allah SWT at`s diri Beliau yang pada hari itu telah dinyatakan dipilih menjadi
kekasih Robbul 'Alamin dan sekaligus diangkat sebagai Wali Agung dikarenakan
Beliau memiliki budi luhur dan akhlaq mulia. Segera setelah pertemuan dengan
Nabiyyullah Khidir As tersebut, Beliau segera menghadap al-Syekh Abi Said al-Baji,
rokhimahullah, salah seorang ulama besar di Tunis pada waktu itu, dengan maksud
untuk mengemukakan segala peristiwa yang Beliau alami sepanjang hari itu. Akan
tetapi pada saat sudah berada di hadapan al-Syekh Abi Said, sebelum Beliau
mengungkapkan apa yang menjadi maksud dan tujuannya menghadap, ternyata Syekh
Abi Said al Baji sudah terlebih dahulu dengan jelas dan runtut menguraikan
tentang seluruh perjalanan Beliau sejak keberangkatannya dari rumah sampai
diangkat dan ditetapkannya Beliau sebagai Wali Agung pada hari itu. Sejak saat
itu Beliau tinggal bersama Syekh Abi Said sampai beberapa tahun guna menimba
berbagai cabang ilmu agama. Dari Syekh Abi Said Beliau banyak belajar ilmu-ilmu
tentang Al-Qur'an, al-hadits, fiqih, akhlaq, tauhid, beserta ilmu-ilmu alat.
Selain itu, karena kedekatan Beliau dengan sang guru, Beliau juga berkesempatan
mendampingi Syekh Abi Said menunaikan ibadah haji ke Mekkah al-Mukarromah
sampai beberapa kali. Namun, setelah sekian tahun menuntut ilmu,Beliau merasa
bahwa seluruh ilmu yang dimilikinya, mulai dari ilmu fiqih, tasawwuf, taukhid,
sampai ilmu-ilmu tentang al Qur'an dan hadist, semuanya itu Beliau rasakan
masih pada tataran syariat atau kulitnya saja. Karena itu Beliau berketetapan
hati untuk segera menemukan jalan (thoriqot) itu sekaligus pembimbing
(mursyid)-nya dari seorang Wali Quthub yang memiliki kewenangan untuk memandu
perjalanan ruhaniyah Beliau menuju ke hadirat Allah SWT? Maka dengan tekad yang
kuat Beliau memberanikan diri untuk berpamitan sekaligus memohon doa restu
kepada sang guru, al-syekh Abi Said al-Baji, untuk pergi merantau demi mencari
seseorang yang berkedudukan sebagai Quthub.
Perantauan Mencari Sang Wali
Quthub
Tempat pertama yang dituju oleh Beliau adalah kota Mekkah yang
merupakan pusat peradaban Islam dan tempat berhimpunnya para ulama dan sholihin
yang berdatangan dari seluruh penjuru dunia untuk memperdalam berbagai cabang
ilmu-ilmu agama. Namun setelah berbulan-bulan tinggal di Mekkah, Beliau belum
juga berhasil menemukan orang yang dimaksud. Sampai akhirnya pada suatu seat
Beliau memperoleh keterangan dari beberapa ulama di Mekkah bahwa Sang Quthub
yang Beliau cari itu kemungkinan ada di negeri Iraq yang berjarak ratusan kilo
meter dari kota Mekkah.
Sesampainya di Iraq, dengan tidak membuang-buang waktu, segeralah
Beliau bertanya ke sana-sini tentang seorang Wali Quthub yang Beliau cari
kepada setiap ulama dan masyayikh yang berhasil Beliau temui. Akan tetapi,
mereka semua rata-rata menyatakan tidak mengetahui keberadaan seorang Wali Quthub
di negeri itu.
Memang sepeninggal Sulthonil Auliya'il Quthbir Robbani wal
Ghoutsish Shomadani Sayyidisy Syekh Abu Muhammad Abdul Qodir al-Jilani,
rodliyallahu 'anh, kedudukan Wali Quthub yang menggantikan al-Syekh Abdul Qodir
Jilani oleh Alloh disamarkan atau tidak dinampakkan dengan jelas. Pada waktu
kedatangan Syekh Abil Hasan ke Baghdad itu, Syekh Abdul Qodir Jailani (470 -
561 H./1077 - 1166 M.) sudah wafat sekitar 50 tahun sebelumnya (selisih waktu
antara wafatnya al-Syekh Abdul Qodir dan lahirnya al-Syekh Abil Hasan al-Syadzali
terpaut sekitar 32 tahun). Di kala hidupnya, asy-Syekh Abdul Qodir diakui
oleh para ulama minash Shiddiqin sebagai seorang yang berkedudukan
"Quthbul Ghouts". Akhirnya, Beliau mendengar adanya seorang ulama
yang merupakan seorang pemimpin dan khalifah thoriqot Rifa'iyah yaitu asy Syekh
ash Sholih Abul Fatah al Wasithi, rodliyAllahu 'anh. Al-Syekh Abul Fatah
adalah, yang memiliki pengaruh dan pengikut cukup besar di Iraq pada waktu itu.
Segeralah Beliau sowan kepada Syekh Abul Fatah dan mengemukakan bahwa Beliau
sedang mencari seorang Wali Quthub yang akan Beliau minta kesediaannya untuk
menjadi pembimbing dan pemandu perjalanan ruhani Beliau menuju kehadirat Allah
SWT.
Mendengar penuturan beliau, asy-Syekh Abul Fatah sembari tersenyum
kemudian mengatakan, "Wahai anak muda, engkau mencari Quthub jauh jauh
sampai ke sini, padahal orang yang engkau cari sebenarnya berada di negeri
asalmu sendiri. Beliau adalah seorang Quthubuz Zaman nan Agung pada saat ini.
Sekarang pulanglah engkau ke Maghrib (Maroko) dari pada bersusah payah
berkeliling mencari di negeri ini. Beliau, pada saat ini sedang berada di
tempat khalwatnya, di sebuah gua di puncak gunung. Temuilah yang engkau cari di
sana...!"
Berguru Kepada Sang Wali Quthub
Beberapa saat setelah mendapat penjelasan dari al-Syekh Abul Fatah
al-Wasithi, Beliau segera mohon diri sekaligus minta doa restu agar Beliau bisa
segera berhasil menemukan sang Quthub yang sedang dicarinya. Sesampainya di
Maroko, Beliau langsung menuju ke desa Ghomaroh, tempat dimana Beliau
dilahirkan. Tidak berapa lama kemudian, Beliau segera bertanya-tanya kepada
penduduk setempat maupun setiap pendatang dimanakah tinggalnya sang Quthub.
Hampir setiap orang yang Beliau temui selalu ditanyai tentang keberadaan sang
Quthub. Akhirnya setelah cukup lama mencari didapatlah keterangan bahwa orang
yang dimaksud oleh Syekh Abul Fatah tiada lain adalah Sayyidisy Syekh ash-
Sholih al-Quthub al-Ghouts asy Syarif Abu Muhammad Abdus Salam bin Masyisy al-Hasani,
yang pada saat itu sedang berada di tempat pertapaannya, di suatu gua yang
letaknya di puncak sebuah gunung di padang Barbathoh. Demi mendengar keterangan
itu, sama seperti yang dijelaskan oleh Syekh Abul Fatah al Wasithi al Iraqi,
segera saja Beliau menuju ke tempat yang ditunjukkan itu.
Setelah melakukan perjalanan yang memakan waktu beberapa hari,
akhirnya ditemukanlah gunung yang dimaksud. Beliau segera mendaki gunung itu
menuju ke puncaknya. Dan, memang benar adanya, di puncak gunung tersebut
terdapat sebuah gua. Sebelum Beliau mel`njutkan perjalanannya untuk naik ke gua
itu, Beliau berhenti di sebuah mata air yang terdapat di bawah gua tersebut.
Selanjutnya Beliau lalu mandi di pancuran mata air itu. Hal ini Beliau lakukan
semata-mata demi untuk memberikan penghormatan serta untuk mengagungkan sang
Quthub, sebagai salah seorang yang memiliki derajat kemuliaan dan keagungan di
sisi Robbul 'alamin, disamping juga sebagai seorang calon guru Beliau. Begitu
setelah selesai mandi, Beliau merasakan betapa seluruh ilmu dan amal Beliau
seakan luruh berguguran. Dan seketika itu pula Beliau merasakan kini dirinya
telah menjadi seorang yang benar-benar faqir dari ilmu dan amal. Kemudian,
setelah itu Beliau lalu berwudlu dan mempersiapkan diri untuk naik menuju ke gua
tersebut. Dengan penuh rasa tawadhu' dan rendah diri, Beliau mulai mengangkat
kaki untuk keluar dari mata air itu.
Namun, entah datang dari arah mana, tiba-tiba datang seseorang
yang tampak sudah lanjut usia. Orang tersebut mengenakan pakaian yang
amat sederhana. Bajunya penuh dengan tambalan. Sebagai penutup kepala,
orang sepuh itu mengenakan songkok yang terbuat dari anyaman jerami. Dari sinar
wajahnya menunjukkan bahwa orang tersebut memiliki derajat kesholihan dan
ketaqwaan yang amat luhur. Kendati berpenampilan sederhana, tetapi orang
tersebut tampak sangat anggun, arif, dan berwibawa. Kakek tua itu kemudian
mendekati Beliau seraya mengucapkan salam, "Assalamu'alaikum”. Beliau,
dengan agak sedikit terkejut, serta merta menjawab salam orang itu, "Wa 'alaikumus
salam wa rokhmatullohi wa barokatuh."
Belum pula habis rasa keterkejutan beliau, orang tersebut terlebih dahulu menyapa dengan mengatakan, "Marhaban.....! Ya, Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar bin Tamim bin...." dan seterusnya nasab Beliau disebutkan dengan runtut dan jelas sampai akhirnya berujung kepada baginda Rosululloh, shollollohu 'alaihi wa aalihi wa sallam.
Mendengar itu semua, Beliau menyimaknya dengan penuh rasa takjub.
Belum sampai Beliau mengeluarkan kata-kata, orang tersebut kemudian
melanjutkan, "Ya Ali, engkau datang kepadaku sebagai seorang faqir, baik
dari ilmu maupun amal perbuatanmu, maka engkau akan mengambil dari aku kekayaan
dunia dan akhirat." Dengan demikian, maka jadi jelas dan yakinlah Beliau
kini, bahwa orang yang sedang berada di hadapannya itu adalah benar-benar asy
Syekh al Quthub al Ghouts Sayyid Abu Muhammad Abdus Salam bin Masyisy al
Hasani, rodhiyAllahu 'anh, orang yang selama ini dicari-carinya. "Wahai
anakku, hanya puji syukur alhamdulillah kita haturkan ke hadirat Alloh SWT yang
telah mempertemukan kita pada hari ini." Berkata Syekh Abdus Salam lagi,
"Ketahuilah, wahai anakku, bahwa sesungguhnya sebelum engkau datang ke
sini, Rosululloh SAW telah memberitahukan kepadaku segala hal-ihwal tentang
diri¬mu, serta akan kedatanganmu pada hari ini. Selain itu, aku juga mendapat
tugas dari Beliau agar memberikan pendidikan dan bimbingan kepada engkau. Oleh
karena itu, ketahuilah, bahwa kedatanganku ke sini memang sengaja untuk
menyambutmu". Selanjutnya, Beliau tinggal bersama dengan sang guru di situ
sampai waktu yang cukup lama. Beliau banyak sekali mereguk ilmu-ilmu tentang
hakikat ketuhanan dari al-Syekh Abdus Salam, yang selama ini belum pernah
Beliau dapatkan. Tidak sedikit pula wejangan dan nasihat-nasihat yang asy Syekh
berikan kepada beliau.
Pada suatu hari dikatakan oleh asy Syekh kepada beliau,
"Wahai anakku, hendaknya engkau semua senantiasa melanggengkan thoharoh
(mensucikan diri) dari syirik. Maka, setiap engkau berhadats cepat-cepatlah
bersuci dari 'kenajisan cinta dunia'. Dan setiap kali engkau condong kepada
syahwat, maka perbaikilah apa yang hampir menodai dan menggelincirkan
dirimu."
Berkata asy-Syekh Abdul Salam Ibnu Masyisy kepada beliau:
"Pertajam pengelihatan imanmu, niscaya engkau akan mendapatkan Allah;
Dalam segala sesuatu; Pada sisi segala sesuatu; Bersama segala sesuatu; Atas
segala sesuatu; Dekat dari segala sesuatu; Meliputi segala sesuatu; Dengan
pendekatan itulah sifatNya; Dengan meliputi itulah bentuk keadaanNya."
Di lain waktu guru beliau, rodhiyallahu 'anh, itu mengatakan,
"Semulia-mulia amal adalah empat disusul empat, yaitu:
KECINTAAN demi untuk Allah; RIDLO atas ketentuan Allah; ZUHUD terhadap dunia; dan TAWAKKAL atas Allah. Kemudian disusul
pula dengan empat lagi, yakni MENEGAKKAN
fardlu-fardlu Allah; MENJAUHI larangan-laranganAllah;
BERSABAR terhadap apa-apa yang tidak
berarti; dan WARO' menjauhi
dosa-dosa kecil berupa segala sesuatu yang melalaikan".
Asy Syekh juga pernah berpesan kepada. beliau, "Wahai anakku,
janganlah engkau melangkahkan kaki kecuali untuk Alloh, sesuatu yang dapat
mendatangkan kcridloan Alloh, dan jangan pula engkau duduk di suatu majelis
kecuali yang aman dari murka Alloh. Janganlah engkau bersahabat kecuali dengan
orang yang bisa membantu engkau berlaku taat kepada-Nya. Serta jangan memilih
sahabat karib kecuali orang yang bisa menambah keyakinanmu terhadap Alloh”.
Asy-Syekh Abdus Salam sendiri adalah merupakan pribadi yang amat berpegang
teguh kepada Kitab Allah dan as Sunnah. Walaupun pada kenyataannya Syekh Abil
Hasan adalah muridnya, namun Syekh Abdus Salam juga amat mengagumi akan ilmu
yang dimiliki oleh sang murid, terutama tentang Kitabullah dan Sunnah,
disamping derajat kesholihan dan kewaliannya, serta kekeramatan Syekh Abul
Hasan Al-Syadzali.
Tetapi, dari semua yang Beliau terima dari asy Syekh, hal yang
terpenting dan paling bersejarah dalam kehidupan Beliau di kemudian hari
ialah diterimanya ijazah dan bai'at sebuah thoriqot dari asy Syekh Abdus Salam
yang rantai silsilah thoriqot tersebut sambung-menyambung tiada putus sampai
akhirnya berujung kepada Allah SWT. Silsilah thoriqot ini urut-urutannya adalah
sebagai berikut :
Beliau (Asy-Syekh al Imam
Abil Hasan Ali asy Syadzily) menerima bai'at thoriqot dari :
1. Asy Syekh al Quthub asy
Syarif Abu Muhammad Abdus Salam bin Masyisy, Beliau menerima talgin dan bai'at
dari
2. Al Quthub asy Syarif
Abdurrahman al Aththor az Zayyat al Hasani al Madani, dari
3. Quthbil auliya' Taqiyyuddin
al Fuqoyr ash Shufy, dari
4. Sayyidisy Syekh al
Quthub Fakhruddin, dari
5. Sayyidisy Syekh al
Quthub NuruddinAbil HasanAli, dari
6. Sayyidisy Syekh Muhammad
Tajuddin, dari
7. Sayyidisy Syekh Muhammad
Syamsuddin, dari
8. Sayyidisy Syekh al Quthub
Zainuddin al Qozwiniy, dari
9. Sayyidisy Syekh al
Quthub Abi Ishaq Ibrohim al Bashri, dari
10. Sayyidisy Syekh al
Quthub Abil Qosim Ahmad al Marwani, dari
11. Sayyidisy Syekh Abu
Muhammad Said, dari
12. Sayyidisy Syekh Sa'ad,
dari
13. Sayyidisy Syekh al Quthub
Abi Muhammad Fatkhus Su'udi, dari
14. Sayyidisy Syekh al
Quthub Muhammad Said al Ghozwaniy, dari
15. Sayyidisy Syekh al
Quthub Abi Muhammad Jabir, dari
16. Sayyidinasy Syarif al
Hasan bin Ali, dari
17. Sayyidina'Ali bin Abi
Tholib, karromallahu wajhah, dari
18. Sayyidina wa Habibina
wa Syafi'ina wa Maulana Muhammadin, shollollohu 'alaihi wa aalihi wasallam,
dari
19. Sayyidina Jibril,
'alaihis salam, dari
20. Robbul 'izzati robbul
'alamin.
---------------------------------------------------
Setelah menerima ajaran dan baiat thoriqot ini, dari hari ke
hari Beliau merasakan semakin terbukanya mata hati beliau. Beliau banyak
menemukan rahasia-rahasia Ilahiyah yang selama ini belum pernah
dialaminya. Sejak saat itu pula Beliau semakin merasakan dirinya kian
dalam menyelam ke dasar samudera hakekat dan ma'rifatulloh. Hal ini, selain
berkat dari keagungan ajaran thoriqot itu sendiri, juga tentunya karena
kemuliaan barokah yang terpancar dari ketaqwaan sang guru, asy Syekh Abdus
Salam bin Masyisy, rodhiyAllohu 'anh.
Thoriqot ini pula, di kemudian hari, yaitu pada waktu Beliau kelak
bermukim di negeri Tunisia dan Mesir, Beliau kembangkan dan sebar luaskan ke
seluruh penjuru dunia melalui murid-murid beliau. Oleh karena Beliau adalah
orang yang pertama kali mendakwahkan dan mengembangkan ajaran thoriqot ini
secara luas kepada masyarakat umum, sehingga akhirnya masyhur di mana-mana,
maka Beliau pun kemudian dianggap sebagai pendiri thoriqot ini yang pada
akhirnya menisbatkan nama thoriqot ini dengan nama besar beliau, dengan sebutan
"THORIQOT SYADZALIYYAH atau SYADZILIYYAH".
Banyak para 'ulama' dan pembesar-pembesar agama di seluruh dunia, dari saat itu sampai sekarang, yang mengambil berkah dari mengamalkan thoriqot ini. Sebuah thoriqot yang amat sederhana, tidak terlalu membebani bagi khalifah dan para guru mursyidnya serta para pengamalnya.
Setelah cukup lama Beliau tinggal bersama asy Syekh, maka tibalah
saat perpisahan antara guru dan murid. Pada saat perpisahan itu Syekh Abdus
Salam membuat pemetaan kehidupan murid tercinta Beliau tentang hari-hari yang
akan dilalui oleh Syekh Abil Hasan Al-syadzali dengan mengatakan: "Wahai
anakku, setelah usai masa berguru, maka tibalah saatnya kini engkau untuk
beriqomah. Sekarang pergilah dari sini, lalu carilah sebuah daerah yang bernama
SYADZILAH. Untuk beberapa waktu tinggallah engkau di sana. Kemudian perlu kau
jetahui, di sana pula Allah 'Azza wa Jalla akan menganugerahi engkau dengan
sebuah nama yang indah, asy-Syadzaly."
"Setelah itu," lanjut asy-Syekh, "Kemudian engkau
akan pindah ke negeri Tunisia. Di sana engkau akan mengalami suatu musibah dan
ujian yang datangnya dari penguasa negeri itu. Sesudah itu, wahai anakku,
engkau akan pindah ke arah timur. Di sana pulalah kelak engkau akan menerima
warisan al-Quthubah dan menjadikan engkau seorang Quthub."
Pada waktu akan berpisah, Beliau mengajukan satu permohonan kepada
asy Syekh agar memberikan wasiat untuk yang terakhir kalinya, dengan
mengatakan, "Wahai Tuan Guru yang mulia, berwasiatlah untukku."
Maka Asy Syekh pun kemudian berkata, "Wahai Ali, takutlah kepada
Allah dan berhati-hatilah terhadap manusia. Sucikanlah lisanmu daripada
menyebut akan keburukan mereka, serta sucikanlah hatimu dari kecondongan
terhadap mereka. Peliharalah anggota badanmu (dari segala yang maksiat, pen.)
dan tunaikanlah setiap yang difardhukan dengan sempurna. Dengan begitu, maka
sempurnalah Allah mengasihani dirimu."
Lanjut asy Syekh lagi: "Jangan engkau memperingatkan kepada
mereka, tetapi utamakanlah kewajiban yang menjadi hak Allah atas dirimu, maka
dengan cara yang demikian akan sempurnalah waro'mu." "Dan berdoalah
wahai anakku, 'Ya Allah, rahmatilahlah diriku dari ingatan kepada mereka dan
dari segala masalah yang datang dari mereka, dan selamatkanlah daku dari kejahatan
mereka, dan cukupkanlah daku dengan kebaikan-kebaikanMu dan bukan dari kebaikan
mereka, dan kasihilah diriku dengan beberapa kelebihan dari antara mereka. Ya
Allah, sesungguhnya Engkaulah atas segala sesuatu Dzat Yang Maha
Berkuasa."'
Selanjutnya, setelah perpisahan itu, asy Syekh Abdus Salam bin
Masyisy yang dilahirkan di kota Fes, Maroko, tetap tinggal di negeri
kelahirannya itu sampai akhir hayat beliau. Sang Quthub nan agung ini meninggal
dunia pada tahun 622 H./1225 M. Makam Beliau sampai saat ini ramai diziyarahi
kaum muslimin yang datang dari seluruh penjuru alam dan seantero dunia.
Di Desa Syadzilah
Seusai berpisah dengan asy Syekh Abdus Salam bin Masyisy, Beliau
mulai menapaki perjalanan yang pertama sebagai apa yang telah dipetakan oleh
sang guru, yaitu mencari sebuah desa bernama Syadzilah.
Setelah dicari-cari, akhirnya sampailah Beliau di sebuah desa bernama Syadzilah yang terletak di wilayah negeri Tunisia. Pada saat Beliau tiba di desa itu, yang mengherankan, Beliau sudah disambut dan dielu-elukan oleh segenap penduduk Syadzilah, sedang Beliau sendiri tidak tahu siapa sebenarnya yang memberitakan akan kedatangan beliau. Tapi, itu sebuah kenyataan bahwa mereka dalam memberikan sambutan kepada Beliau tampak sekali terlihat dari raut wajah mereka suatu kegembiraan yang amat dalam, seakan mereka bisa bertemu dengan orang yang sudah lama dinanti-nantikan.
Setelah dicari-cari, akhirnya sampailah Beliau di sebuah desa bernama Syadzilah yang terletak di wilayah negeri Tunisia. Pada saat Beliau tiba di desa itu, yang mengherankan, Beliau sudah disambut dan dielu-elukan oleh segenap penduduk Syadzilah, sedang Beliau sendiri tidak tahu siapa sebenarnya yang memberitakan akan kedatangan beliau. Tapi, itu sebuah kenyataan bahwa mereka dalam memberikan sambutan kepada Beliau tampak sekali terlihat dari raut wajah mereka suatu kegembiraan yang amat dalam, seakan mereka bisa bertemu dengan orang yang sudah lama dinanti-nantikan.
Beliau tinggal di tengah-tengah desa Syadzilah hanya
beberapa hari saja. Karena, sejak tiba di kota itu, Beliau telah
memutuskan untuk tidak berlama-lama berada di tengah keramaian masyarakat.
Beliau ingin bermukim di tempat yang tenang dan jauh dari hiruk-pikuknya
orang-orang. Memang, tujuan Beliau datang ke kota itu, sesuai dengan
petunjuk sang guru, semata-mata hanyalah untuk lebih meningkatkan dan
menyempurnakan ibadah Beliau dengan cara menjauh dari masyarakat.
Akhirnya, Beliau memilih tempat di luar kota Syadzilah,
yaitu di sebuah bukit yang bernama Zaghwan. Maka, berangkatlah Beliau ke bukit
itu dengan diiringi oleh sahabat Beliau bernama Abu Muhammad Abdullah bin
Salamah al Habibie. Dia adalah seorang pemuda penduduk asli Syadzilah yang
memiliki ketaqwaan dan telah terbuka mata hatinya (mukasyafah).
Di bukit itu, Beliau melakukan latihan-latihan ruhani/ olah bathin
dengan menerapkan disiplin diri yang tinggi dam istiqomah. Setiap jengkal
waktu, Beliau gunakan untuk menempa ruhani dengan melakukan riyadhoh,
mujahadah dan menjalankan wirid-wirid sebagaimana yang telah diajarkan oleh
guru beliau, asy Syekh Abdus Salam.
Di bukit itu, Beliau melakukan uzlah dan suluk dengan cara menggladi nafsu sehingga benar-benar menjadi pribadi yang cemerlang dan istiqomah yang diliputi dengan rasa khidmah dan mahabbah kepada Allah dan Rasul-Nya.
Untuk kehidupannya, Beliau bersama sahabat setianya, al Habibie,
hanya mengambil tumbuhan yang ada di sekitar bukit Zaghwan itu saja. Tetapi,
sejak Beliau bermukim di bukit itu, Allah SWT telah mengaruniakan sebuah mata
air untuk memenuhi keperluan beliau.
Pernah, pada suatu hari, Beliau menyaksikan gusi al Habibie
terluka hingga mengeluarkan darah lantaran terkena ranting dari dedaunan yang
dimakannya. Melihat hal itu, Leliau menjadi terharu karena sahabat yang setia
mengiringinya harus mengalami kesakitan. Segera saja, setelah itu, Beliau
mengajak al Habibie turun ke desa Syadzilah untuk mencari makanan yang lunak.
Dan sekiranya telah tercukupi, maka Beliau berdua segera naik kembali ke bukit
Zaghwan untuk meneruskan "perjalanan".
Memang, semenjak ber’uzlah di bukit itu, kadang-kadang Beliau berdua turun ke desa Syadzilah untuk berbagai keperluan.
Memang, semenjak ber’uzlah di bukit itu, kadang-kadang Beliau berdua turun ke desa Syadzilah untuk berbagai keperluan.
Berkaitan dengan pengalaman keruhanian, diceritakan oleh al-Habibi, bahwa pada suatu ketika dia pernah melihat dalam pandangan mata batinnya, nampak segerombolan malaikat, 'alaihimus sholatu was salam, mengerumuni asy-Syekh. Bahkan, lanjut al Habibie, "Sebagian dari malaikat itu ada yang berjalan beriringan bersamaku dan ada pula yang bercakap-cakap dengan aku." Tidak jarang pula dilihat oleh al-Habibi tentang arwah para waliyulloh yang secara berkelompok maupun sendiri-sendiri, mendatangi dan mengerubuti asy-Syekh.
Para wali-wali itu, rohimahumulloh, dikatakan oleh al Habibi, merasakan memperoleh berkah lantaran kedekatan dan kebersamaan mereka dengan asy-Syekh Al-Imam Al-Syadzali RA.
SYADZILI atau SYADZALI ??
Sehubungan dengan nama desa Syadzilah, yang akhirnya bertautan
dengan nama beliau, diceritakan oleh beliau, bahwa Beliau pada suatu ketika
dalam fana'nya, pernah mengemukakan sebuah pertanyaan/ permohonan kepada Alloh
SWT: "Ya Robb, mengapa nama Syadzilah Engkau kaitkan dengan namaku?" Maka, dikatakan dan dijawab kepadaku: "Ya
Ali, Aku tidak menamakan engkau dengan nama asy-Syadzily, tetapi asy-Syaadz-ly
(penekanan kata pada "dz") yang artinya:` jarang (langka), yaitu karena keistimewaanmu dalam menyatu untuk
berkhidmat, mengabdi dan beribadah demi hanya semata untuk-Ku dan demi hanya cinta
kepada-Ku (Alloh)." Oleh karena
itu, beliau ini bisa disebut Al-Syadzili
bila dinisbatkan ke desanya yang bernama Syadzilah, tetapi bisa juga disebut Al-Syadzali bila dinisbahkan pada
jawaban dari Robb/ Tuhannya dengan kata : asy-Syaadz-ly
atau Anta Al-Syaadz-Ly. Sehingga
kita akhirnya mendengar juga di masyarakat kita bahwa ada yang menyebutnya Al-Syadzili dan ada juga yang
menyebutnya Al-Syadzali.
Beliau tinggal di bukit Zaghwan itu sampai bertahun-tahun,
sampai pada suatu hari, Beliau mendapatkan perintah dari Allah SWT agar turun
dari bukit dan keluar dari tempat khalwatnya untuk segera mendatangi
masyarakat.
Diceritakan oleh beliau, begini, "Pada waktu itu telah dikatakan
kepadaku, 'Hai Ali, turun dan datangilah manusia-manusia, agar mereka
memperoleh manfaat dari padamu !' Lalu, akupun mengatakan, 'Ya Allah,
selamatkanlah diriku dari manusia banyak, karena aku tidak berkemampuan untuk
bergaul dengan mereka'. Lalu dikatakan kepadaku, 'Turunlah, wahai Ali ! Aku
akan mendampingimu dengan keselamatan dan akan Aku singkirkan engkau dari
marabahaya'. Aku katakan pula, 'Ya Allah, Engkau serahkan diriku kepada
manusia-manusia, termasuk apa yang aku makan dan harta yang aku pakai ?' Maka,
dikatakan kepadaku, 'Hendaklah engkau menafkahkan dan Aku-lah yang mengisi,
pilihlah dari jurusan tunai ataukah jurusan ghaib."'
Setelah selesai menjalani seperti apa yang telah dipetakan oleh
asy Syekh Abdus Salam dan setel`h mendapat perintah untuk keluar dari tempat
uzlahnya guna mendatangi masyarakat, maka Beliau segera melanjutkan
perjalanannya sesuai dengan pemetaan berikutnya, yaitu menuju ke kota Tunis.
Di Kota Tunis
Bagi beliau, kota Tunis tentu sudah tidak asing lagi. Karena
sejak usia anak-anak hingga remaja Beliau bemukim di kota ini sampai
bertahun-tahun. Namun, seperti apa yang Beliau saksikan pada saat kedatangan
Beliau kali ini, ternyata negeri ini tidak mengalami banyak perubahan dan
kemajuan. Masih tetap seperti dulu.
Penduduk negeri ini tetap miskin dan sering dilanda kelaparan. Namun demikian, sejak kedatangannya, Beliau juga masih tetap berusaha untuk meringankan penderitaan penduduk dalam menghadapi kelaparan. Al-kisah, dalam usaha Beliau memberikan pertolongan kepada mereka, Beliau sering didatangi nabiyulloh Khidlir, 'alaihissalam, guna membantu Beliau sekaligus untuk menyelamatkan Beliau dari kesulitan-kesulitan yang dihadapinya. Hal ini terjadi karena berkat kebesaran jiwa dan kesantunan beliau.
Pada saat itu, negeri Tunisia berada di bawah kekuasaan
pemerintahan seorang sultan atau raja yang bernama Sultan Abu Zakariyya
al-Hafsi. Dalam pemerintahan Sultan Abu Zakariyya, di antara jajaran para
menterinya ada seorang kadi (hakim agama) yang bernama Ibnul Baro'. Dia
adalah seorang faqih, namun di sisi lain dia juga memiliki hati yang
buruk.
Keserakahan untuk memiliki kedudukan, pengaruh, dan kekuasaan itulah yang membuat nafsu iri dengkinya tumbuh subur di dalam hati Ibnul Baro'. Dendam kesumat dan keinginan menjatuhkan orang lain pun semakin membara dalam dadanya. Pikiran dan hatinya siang malam hanya tertuju bagaimana cara mempertahankan dan memperkuat pengaruh dan jabatannya.
Asy-Syekh Abil Hasan Al-Syzdzali datang ke Tunis selain untuk
menapaki seperti apa yang telah dipetakan oleh guru beliau, juga karena
memang mendapat perintah untuk berdakwah. Setelah beberapa bulan Beliau
melakukan dakwah di kota Tunis itu, maka kelihatanlah semakin banyak
orang-orang berkerumun mendatangi beliau. Selain masyarakat kebanyakan
yang hadir dalam majelis-majelis pengajiannya, juga tidak sedikit
orang-orang alim, sholih dan ahli karomah yang turut serta mendengarkan
dan menyimak nasehat-nasehat beliau. Di antara mereka tampak, antara
lain: asy Syekh Abul Hasan Ali bin Makhluf asy Syadzily, Abu Abdullah ash
Shobuni, Abu Muhammad Abdul Aziz az Zaituni, Abu Abdullah al Bajja'i al
Khayyath, dan Abu Abdullah al Jarihi. Mereka semua merasakan kesejukan
siraman rohani yang luar biasa yang keluar dari kecemerlangan hati dan
lisan nan suci asy Syekh. Padahal, pada waktu itu Beliau masih
berumur sekitar 25 tahun.
Fenomena tersebut ditangkap oleh Ibnul Baro' sebagai sebuah
pemandangan yang amat tidak mengenakkan perasaannya. Keberadaan asy Syekh
di kota Tunis ini dianggap sebagai kerikil yang mengganggu bagi dirinya.
Setiap berita yang berkaitan dengan asy Syekh ditangkap oleh telinga
Ibnul Baro' lalu menyusup masuk ke relung hatinya yang telah terbakar
bara kebencian dan rasa iri dengki yang mendalam. Demi melihat
kenyataan masyarakat semakin condong dan berebut mengerumuni asy Syekh,
seketika itu pula pudarlah khayalan-khayalan Ibnul Baro'.
Timbul prasangka buruk bahwa Syekh Abil Hasan telah merampas haknya, bahkan besar kemungkinan kalau pada akhirnya nanti akan menumbangkan kedudukannya serta mengambil alih jabatan yang amat dicintainya itu.
Oleh karena itu, dengan menepuk dada disertai sikap angkuhnya Ibnul Baro' mengumumkan pernyataan secara terang-terangan, bahwa dia telah memaklumkan "perang" melawan asy Syekh Abil Hasan Ali asy Syadzily, rodhiyallahu 'anh.
Namun demikian meski bertahun-tahun mengalami serangan dan
fitnahan dari orang yang dengki kepad` Beliau, tetapi yang namanya intan
adalah tetap intan. Beliau adalah seorang kekasih Allah yang memiliki
derajat kemuliaan yang tinggi. Dan apabila seorang kekasih-Nya dianiaya
oleh orang lain, maka Allah sendirilah yang akan membalasnya. Itulah yang
terjadi, sehingga akhirnya seluruh negeri mengetahui kemulian asy Syekh Abil
Hasan Syadzily, rodhiyallahu 'anh.
Setelah itu, terbersit dalam hati asy Syekh untuk kembali
menunaikan ibadah haji. Beliau lalu menyerukan kepada para murid dan
pengikutnya agar mereka, untuk sementara waktu, hijrah atau berpindah ke
negeri sebelah timur, sambil menunggu datangnya musim haji yang pada waktu itu
masih kurang beberapa bulan lagi. Maka, segera bersiap-siaplah Beliau
dengan para pengikutnya untuk melakukan perj alanan jauh menuju ke negeri
Mesir.
Dalam perjalan ke Mesir tersebut masih tidak lepas dari rekayasa
fitnah Ibnul Baro' sehingga Sultan mempermasalahkan kehadiran Beliau di
negeri Mesir. Tetapi Allah tetap memberikan perlindungan-Nya, menujukkan
bahwa asy Syekh adalah kekasihnya dan dengan kebesaran hati dan
kehalusan budi pekerti beliaulah, akhirnya Beliau bersedia memaafkan
dan mendo'akan Sultan hingga mereka semua menganggap pertemuan mereka
dengan asy Syekh adalah merupakan anugerah Tuhan yang tiada terkira bagi
mereka.
Namun, sebagaimana yang telah direncanakan, asy Syekh
tinggal di Mesir hanya untuk beberapa bulan saja, sampai datangnya waktu
musim haji. Setelah tiba pada saatnya asy Syekh pun mohon diri kepada
Sultan untuk melanjutkan perjalanan menuju ke tanah suci Mekkah.
Ringkas cerita, di sana Beliau mengerjakan ibadah haji sampai secukupnya, lalu Beliau melanjutkan perjalanan ke tanah suci Madinah guna untuk berziarah ke makam Rasulullah SAW. Setelah semuanya itu selesai, maka kembalilah Beliau beserta rombongan ke negeri Tunisia.
Sewaktu asy Syekh kembali dari tanah suci, Sultan Abu
Zakariyya al Hafsi beserta penduduk Tunis tampak bersukacita menyambut
kedatangan beliau. Rasa gembira sulit mereka sembunyikan, karena asy Syekh yang
mereka cintai dan mereka hormati kini telah kembali berkumpul bersama
mereka lagi.
Namun, suasana gembira ini tidak berlaku bagi Ibnul Baro'. Bagi dia, kembalinya asy Syekh berarti merupakan sebuah "malapetaka" dan pertanda dimulainya lagi sebuah "pertempuran". Tetap seperti dulu.
Dengan berbagai cara dia selalu berusaha agar asy Syekh, yang merupakan musuh bebuyutannya itu, secepatnya lenyap dari muka bumi ini. Namun, alhamdulillah, semua upaya jahat itu selalu menemui kegagalan. Kemudian, setelah beberapa hari sejak kedatangan dari tanah suci, asy Syekh lalu melanjutkan tugasnya untuk mengajar dan berdakwah. Zawiyah atau pondok pesulukan, sebagai bengkel rohani yang Beliau dirikan juga kian diminati para 'pejalan'.
Namun, suasana gembira ini tidak berlaku bagi Ibnul Baro'. Bagi dia, kembalinya asy Syekh berarti merupakan sebuah "malapetaka" dan pertanda dimulainya lagi sebuah "pertempuran". Tetap seperti dulu.
Dengan berbagai cara dia selalu berusaha agar asy Syekh, yang merupakan musuh bebuyutannya itu, secepatnya lenyap dari muka bumi ini. Namun, alhamdulillah, semua upaya jahat itu selalu menemui kegagalan. Kemudian, setelah beberapa hari sejak kedatangan dari tanah suci, asy Syekh lalu melanjutkan tugasnya untuk mengajar dan berdakwah. Zawiyah atau pondok pesulukan, sebagai bengkel rohani yang Beliau dirikan juga kian diminati para 'pejalan'.
Dalam catatan sejarah, zawiyah pertama yang asy Syekh dirikan di Tunisia adalah pads tahun 625 H./1228 M., ketika Beliau berusia sekitar 32 tahun. Di hari-hari berikutnya semakin banyak orang-orang yang mendatangi beliau, baik penduduk setempat maupun orang-orang yang datang dari luar negeri Tunisia.
Diantara murid-murid asy-Syekh yang datang dari luar negeri
Tunisia; terdapat seorang pemuda yang berasal dari daerah Marsiyyah
(Mursiyyah), negeri Marokko, tidak jauh dari daerah tempat kelahiran asy-Syekh
sendiri, dimana pemuda tersebut bernama Abul ‘Abbas Al-Marsy (al-Mursy). Pertemuan asy-Syekh dengan pemuda
ini tampak benar-benar merupakan sebuah pertemuan y`ng amat
istimewa, sampai-sampai pada suatu hari asy-Syekh pernah berkata: "Aku tentu tidak akan
ditakdirkan kembali ke negeri Tunisia, kecuali karena pemuda ini. Dialah
yang akan menjadi pendampingku dan dia pulalah yang kelak akan menjadi kholifah
penggantiku."
Menurut sebuah catatan, bahwa pemuda al-Marsi (al Mursi) ini ketika masih berada di Maroko, pernah pula, walaupun tidak terlalu lama, berguru secara langsung kepada asy-Syekh ‘Abdus Salam Bin Masisy sampai meninggalnya Beliau tahun 622 H./ 1225 M.
Kembalinya asy-Syekh ke Tunis dari perjalanan hajinya kali
ini hanyalah semata-mata untuk melanjutkan tugas mengajar dan berdakwah,
seperti yang telah diperintahkan pada saat Beliau di gunung Barbathoh dan
di bukit Zaghwan. Semuanya itu Beliau jalani sambil menanti datangnya
"perintah" selanjutnya untuk menapaki seperti apa yang telah
dipetakan oleh asy Syekh Abdus Salam bin Masyisy.
Pada saat pemetaan, guru Beliau itu mengatakan bahwa setelah bermukim di negeri Tunisia ini, yaitu setelah "dihajar" oleh penguasa negeri itu, maka Beliau kemudian harus melanjutkan perjalanannya menuju ke arah timur.
Dalam hari-hari penantiannya itu, pada suatu malam asy-Syekh bermimpi bertemu Rasululloh
SAW. Waktu itu, Rasululloh bersabda:
"Ya
Ali, sudah saatnya kini engkau meninggalkan negeri ini. Sekarang pergilah
engkau ke negeri Mesir.'' Kemudian Rosululloh melanjutkan sabdanya:
"Dan ketahuilah, wahai Ali, selama dalam perjalananmu menuju ke
Mesir, Alloh akan menganugerahkan kepadamu tujuh puluh macam
karomah. Selain itu, disana pula kelak&nbs; engkau akan mendidik empat
puluh orang dari golongan shiddiqin."
Jadi, apabila dicermati, ketika turunnya asy-Syekh dari puncak
gunung di padang Barbathoh, Maroko, yang merupakan 'langkah pertama', adalah karena atas perintah guru beliau, asy-Syekh Abdus Salam Bin Masisy.
Kemudian, pada waktu turunnya Beliau dari bukit Zaghwan di
Syadzilah, sebagai 'langkah ke
dua', adalah karena perintah Alloh
SWT. Sedangkan, pada kali ini, keluarnya asy-Syekh dari Tunisia menuju
Mesir, sebagai 'langkah ketiga' atau
langkah yang terakhir, merupakan
perintah Rasululloh SAW.
Bermukim di Mesir Dan
Mmenggantikan asy-Syekh Abul Hajjaj al-Agshory Yang Wali Quthub
Beberapa hari asy-Syekh dan rombongan melakukan perjalanan,
kini tibalah asy-Syekh di negeri Mesir. Beliau langsung menuju ke kota
Iskandaria, kota indah yang selalu Beliau singgahi setiap perjalanan haji
beliau.
Al-kisah, pada saat asy-Syekh menginjakkan kaki di negeri Mesir, saat itu bertepatan tanggal 15 Sya'ban (Nishfu Sya'ban). Dan, karena takdir Alloh jualah, hari itu bersamaan dengan wafatnya asy- Syekh Abul Hajjaj al-Aqshory, rodhiyAllahu 'anh, yang dikenal sebagai Quthubuz Zaman pada waktu itu. Sehingga, di kemudian hari, oleh para ‘ulama’ minash shiddiqin Mesir, asy-Syekh Abul Hasan Ali asy-Syadzily diyakini sejak hari itu juga telah ditetapkan oleh Alloh SWT sebagai Wali Quthub menggantikan asy-Syekh Abul Hajjaj al Agshory.
Kedatangan Beliau di kota Iskandaria ini mendapatkan sambutan
hangat dari Sultan Mesir maupun penduduk yang sudah banyak mengenal dan
mendengar nama beliau. Tidak hanya orang-orang dari kalangan biasa, tapi
juga segenap ulama, para sholihin dan shiddiqin, para ahli hadits, ahli
fiqih, dan manusia-manusia yang sudah mencapai tingkat kemuliaan lainnya.
Mereka semua, dengan senyum kebahagiaan membuka tangan seraya mengucapkan:
"Marhaban, ahlan wa sahlan ! " Pertemuan mereka dengan asy-Syekh
tampak begitu akrab dan hangatnya, seakan-akan perjumpaan sebuah keluarga
yang telah lama terpisah. Sebagaimana negeri Iraq, negeri Mesir
juga merupakan gudangnya para ulama besar minash sholihin di wilayah itu.
Oleh Sultan Mesir, Beliau diberi hadiah sebuah tempat
tinggal yang cukup luas bernama Buruj as- Sur. Tempat itu berada di kota
Iskandaria, sebuah kota yang terletak di pesisir Laut Tengah. Kota Iskandaria
(Alexandria) terkenal sebagai kota yang amat indah, menyenangkan, dan
penuh keberkahan. Di komplek pemukiman Beliau itu terdapat tempat penyimpanan
air dan kandang-kandang hewan. Di tengah-tengah komplek terdapat sebuah
masjid besar, dan di sebelahnya ada pula petak-petak kamar sebagai
zawiyah (tempat tinggal para murid thoriqot untuk ‘uzlah atau suluk).
Di tempat itu pula asy-Syekh melaksanakan pernikahan dan
membangun bahtera rumah tangga beliau. Dari pernikahan asy-Syekh, lahirlah
beberapa putra dan keturunan beliau, di antaranya: asy-Syekh Syahabuddin
Ahmad, Abul Hasan Ali, Abu Abdullah Muhammad Syarafuddin, Zainab, dan
'Arifatul Khair.
Sebagian putra-putri Beliau itu setelah menikah kemudian menetap di kota Damanhur, tidak jauh dari Iskandaria. Sedangkan sebagian lagi tetap tinggal di Iskandaria menemani asy Syekh bersama ibunda mereka.
Seperti apa yang telah Beliau lakukan selama di Tunisia, di
"negeri para ‘Ulama’" ini pun asy-Syekh juga tetap berdakwah
dan mengajar. Asy-Syekh menjadikan kota Iskandaria yang penuh keberkahan
ini sebagai pusat dakwah dan pengembangan thoriqot Beliau pada tahun 642 H./
1244 M.
Beliau kemudian membangun sebuah masjid dengan menara-menara besar
yang menjulang tinggi ke angkasa. Di salah satu menara itu asy Syekh
menjalankan tugas sebagai seorang guru mursyid, yaitu sebagai tempat
untuk membai'at murid-murid beliau. Sedangkan di bagian menara yang lain,
Beliau pergunakan sebagai tempat untuk "menyalurkan hobby" Beliau
selama ini, yaitu kholwat.
Selain di Iskandaria, di kota Kairo pun, sebagai pusat
pemerintahan Kerajaan Mesir, Beliau juga memiliki aktifitas ruthn mengajar.
Dalam waktu yang tidak terlalu lama, majelis-majelis pengajian
Beliau dibanjiri pengunjung, baik dari kalangan masyarakat awam, keluarga
dan petinggi kerajaan, maupun para ulama besar dan terkemuka. Para orang-orang
alim dan sholeh yang bertemu dan mengikuti penguraian dan pengajian-pengajian
beliau, yang datang dari barat maupun timur, mereka semua merasa kagum
dengan apa yang disampaikan oleh asy Syekh. Bahkan, tidak sampai berhenti
di situ saja. Mereka kemudian juga berbai'at kepada asy Syekh sekaligus
menyatakan diri sebagai murid beliau.
Dari deretan para ‘ulama’ itu, terdapat nama-nama ‘Ulama’ Agung,
seperti: Sulthonul 'Ulama’ al-Sayyid asy-Syekh 'Izzuddin bin Abdus Salam,
asy-Syaikhul Islami bi Mishral Makhrusah, asy-Syekh al- Muhadditsiin al-Hafidz
Taqiyyuddin bin Daqiiqil 'led, asy-Syekh al-Muhadditsiin al-Hafidz Abdul
'Adzim al-Mundziri, asy-Syekh Ibnush Sholah, asy-Syekh Ibnul Haajib,
asy-Syekh Jamaluddin Ushfur, asy-Syekh Nabihuddin bin 'Auf, asy-Syekh
Muhyiddin bin Suroqoh, dan al-Alam Ibnu Yasin (salah satu murid terkemuka
al-Imamul Akbar Sayyidisy Syekh Muhyiddin Ibnul Arabi, rodhiyAllahu 'anh, wafat
tahun 638 H./1240 M.), serta masih banyak lagi Para ‘Ulama’ yang lainnya.
Mereka semua hadir serta mengikuti dengan tekun dan seksama majelis pengajian yang sudah ditentukan secara berkala oleh asy Syekh, baik di Iskandaria maupun Kairo. Di Kairo, tempat yang biasa dipergunakan asy Syekh untuk berdakwah adalah di perguruan "Al-Kamilah".
Selain dakwah dan syi'ar Beliau melalui majelis-majelis
pengajian, khususnya dalam bidang ilmu tasawuf, semakin berkembang dan
mengalami kemajuan pesat, thoriqot yang Beliau dakwahkan pun semakin
berkibar. Orang-orang yang datang untuk berbaiat dan mengambil barokah
thoriqot Beliau datang dari segala penjuru dan memiliki latar belakang beraneka
warna. Mulai dari masyarakat umum hingga para ulama, para pejabat hingga
rakyat jelata. Sedangkan Zawiyah (pondok pesulukan), sebagai wadah penempaan
ruhani, yang Beliau dirikan pun kian hari semakin dipadati oleh santri-santri beliau.
Thoriqot yang asy-Syekh terima dari guru beliau, asy-Syekh Abdus
Salam bin Masyisy, Beliau dakwahkan secara luas dan terbuka. Sebuah thoriqot
xang mempunyai karakter tasawuf ala Maghribiy, yaitu lebih memiliki
kecenderungan dengan warna syukur, sehingga bagi para pengikutnya
merasakan dalam pengamalannya tidak terlalu memberatkan. Dalam pandangan
thoriqot ini, segala yang terhampar di permukaan bumi ini, baik itu yang
terlihat, terdengar, terasa, menyenangkan, maupun tidak menyenangkan,
semuanya itu merupakan media yang bisa digunakan untuk "lari" kepada
Alloh SWT.
Selain itu, thoriqot yang Beliau populerkan ini juga dikenal
sebagai thoriqot yang termudah dalam hal ilmu dan ‘amal, ihwal dan maqom, ilham
dan maqol, serta dengan cepat bisa menghantarkan para pengamalnya sampai
kehadirat Alloh SWT. Disamping itu, thoriqot ini juga terkenal dengan keluasan,
keindahan, dan kehalusan do'a dan hizib-hizibnya.
Disamping hal lain, yaitu adany`
kiprah Beliau dalam syi’ar dan dakwah serta pembinaan ruhani bagi para
murid-muridnya, asy-Syekh juga turut
secara langsung terjun dan terlibat dalarn perjuangan di medan peperangan.
Ketika itu, raja Perancis Louis IX yang memimpin tentara salib bermaksud hendak membasmi kaum muslimin
dari muka bumi sekaligus menumbangkan Islam dan menaklukkan seluruh jazirah
Arab. Maka Asy-Syekh Al-Imam
Al-Syadzali, yang kala itu sudah
berusia 60 tahun lebih dan dalam
keadaan sudah hilang pengelihatan(sudah tidak bisa melihat), meninggalkan rumah dan keluarga berangkat
ke kota Al-Manshuroh. Beliau bersama
para pengikutnya bergabung bersama para mujahidin dan tentara Mesir.
Sedangkan pada waktu itu pasukan musuh sudah berhasil menduduki kota
pelabuhan Dimyath (Demyaath) dan akan dilanjutkan dengan penyerbuan mereka ke
kota Al Manshuroh.
Selain Al-syekh Abul Hasan Al-Syadzali, tidak sedikit para ‘ulama’
Mesir yang turut berjuang dalam peristiwa itu, antara lain: al-Imam al-syekh
Izzuddin bin Abdus Salam, al-syekh Majduddin bin Taqiyyuddin Ali bin
Wahhab al-Qusyairi, al-syekh Muhyiddin bin Suroqoh, dan al-syekh Majduddin al-Ikhmimi.
Para sholihin dan ‘ulama’ minash
shiddiqin itu, di waktu siang hari berpeluh
bahkan berdarah-darah di medan pertempuran bersama para pejuang lainnya
demi tetap tegaknya panji-panji Islam. Sedangkan, apabila malam telah tiba, mereka semua berkumpul di dalam kemah
untuk bertawajjuh, menghadapkan diri kepada Alloh SWT, dengan melakukan sholat dan menengadahkan
tangan untuk berdo'a dan bermunajat kepada "Sang Penguasa" agar
kaum muslimin memperoleh kemenangan. Setelah selesai mereka beristighotsah di tengah kepekatan malam,
mereka kemudian mengkaji, membaca, mentela’ah dan mendaros kitab-kitab,
terutama yang dinilai ada hubungannya dengan situasi pada saat itu. Kitab-kitab
itu antara lain: Ihya' Ulumiddin, Qutul Qulub, dan ar-Risalah.
Dan, al-Hamdulillah, karena anugerah dan berkat rahmat Alloh
jualah, akhirnya PEPERANGAN itu DIMENANGKAN
oleh KAUM MUSLIMIN. Sedangkan Raja Louis IX beserta para panglima
dan bala tentara perangnya berhasil ditangkap dan ditawan.
Perlu diketahui, bahwa sebelum berakhirnya peperangan itu, pada
suatu malam asy-Syekh Al-Syadzali,
dalam mimpi beliau, bertemu dengan Rasululloh SAW. Pada waktu itu, Rasululloh SAW berpesan kepada
Beliau supaya memperingatkan Sultan agar tidak mengangkat pejabat-pejabat
yang lalim dan korup. Dan Rasululloh SAW menyampaikan bahwa pertempuran akan segera
berakhir dengan kemenangan di pihak kaum muslimin. Maka, pada pagi harinya asy-Syekh Al-Syadzali pun
mengabarkan berita gembira yang didapat dari Rosululloh tersebut kepada
teman-teman seperjuangan beliau. Dan pada kenyataan dan bukti konkritnya, bahwa setelah pejabat-pejabat tersebut diganti, maka kemenangan pun
datang menjelang dan terbukti nyata.
Bahwa Peristiwa berjayanya kejayaan kaum muslimi itu terjadi pada bulan Dzul
Hijjah tahun 655 H./1257 M. Kemudian setelah usai peperangan dengan kemenagan
di pihak kaum muslimin itu, lalu asy-Syekh
Al-syadzali kembali ke Iskandariah.
Subhanalloh alangkah hebatnya kepedulian beliau kepada agama islam, ummat islam
dan kaum muslimin, dimana ancaman raja Perancis Louis IX dikala itu bermaksud :
membasmi kaum muslimin dari muka bumi sekaligus menumbangkan Islam dan
menaklukkan seluruh jazirah Arab ……!!!!!!!!
Wafatnya Asy Syekh Abil
Hasan ‘Ali Asy Syadzily Ra
Asy -Syekh Al-Imam Al-Syadzali RA menjalankan dakwah dan mensyiarkan
thoriqotnya di negeri Mesir itu sampai pada bulan Syawal 656 H./1258 M.
Pada awal bulan Dzul Qo'dah tahun itu juga, terbetik di hati asy Syekh untuk
kembali menjalankan ibadah haji ke Baitullah. Keinginan itu begitu kuat
mendorong hati beliau. Maka, kemudian diserukanlah kepada seluruh
keluarga Beliau dan sebagian murid asy-Syekh untuk turut menyertai
beliau. Ketika itu asy -Syekh juga memerintahkan agar rombongan membawa
pula seperangkat alat untuk menggali. Memang suatu perintah yang dirasa
agak aneh bagi para pengikut beliau. Pada saat ada seseorang yang
menanyakan tentang hal itu, asy- Syekh pun menjawab, "Ya, siapa tahu
di antara kita ada yang meninggal di tengah perjalanan nanti."
Pada hari yang sudah ditentukan, berangkatlah rombongan
dalam jumlah besar itu meninggalkan negeri Mesir menuju kota Makkah al-Mukarromah.
Pada saat perjalanan sampai di gurun 'Idzaab, sebuah daerah di tepi
pantai Laut Merah, tepatnya di desa
Khumaitsaroh, yaitu antara Gana
dan Quseir, asy-Syekh Al-Syadzali memberi aba-aba agar rombongan
menghentikan perjalanan untuk beristirahat. Setelah mereka semua
berhenti, lalu didirikanlah tenda-tenda untuk tempat peristirahatan.
Kemudian, setelah mereka sejenak melepas penatnya, lalu asy-Syekh meminta
agar mereka semua berkumpul di tenda asy-Syekh Al-Imam Al-Syadzali RA.
Setelah para keluarga dan murid Beliau berkumpul, lalu asy-Syekh
memberikan beberapa wejangan, nasihat dan wasiat-wasiat Beliau kepada
mereka. Di antara wasiat yang Beliau sampaikan, bahwa asy-Syekh
mengatakan: "Wahai
anak-anakku, perintahkan kepada putra-putramu agar mereka menghafalkan HIZIB BAHRI. Karena,
ketahuilah bahwa di dalam hizib itu
terkandung Ismulloh al- a'dzom, yaitu nama-nama Alloh Yang Maha
Agung."
Kemudian, setelah asy-Syekh menyampaikan pesan-pesan Beliau
itu, lalu asy-Syekh bersama dengan murid terkemuka beliau, asy-Syekh Abul
Abbas al-Marsi (Al-Mursy), meninggalkan mereka ke suatu tempat yang tidak
jauh dari tenda-tenda itu. Tapi dalam waktu yang tidak terlalu lama, sepasang
insan mulia itu sudah kembali masuk ke tenda semula, dimana pada waktu itu
seluruh keluarga dan para murid Beliau masih menunggunya.
Setelah asy-Syekh Al-Imam Al-syadzali RA kembali duduk bersama
mereka lagi, kemudian Beliau berkata: "Wahai putera-puteraku dan sahabat-sahabatku, apabila
sewaktu-waktu aku meninggalkan kalian nanti, maka hendaklah kalian
memilih Abul ‘Abbas al-Marsi(Al-Mursy) sebagai kholifah penggantiku. Karena,
ketahuilah bahwa dengan kehendak dan ridlo Alloh SWT, telah aku tetapkan
dia untuk menjadi kholifah yang menggantikan aku setelah aku tiada nanti.
Dia adalah penghuni maqom yang tertinggi di antara kalian dan dia
merupakan pintu gerbang bagi siapa saja yang menuju kepada Alloh
SWT."
Pada waktu terjadi diantara maghrib dan 'isya’, Beliau tiba-tiba
berkehendak dan ingin untuk mengerjakan wudlu'. Kemudian Beliau memanggil
asy-Syekh Abu Abdullah Muhammad Syarofuddin, rodliyAllahu 'anh, salah
satu putera beliau: "Hai Muhammad,
tempat itu (asy-Syekh menunjuk ke sebuah timba) agar engkau isi dengan
air sumur itu."
Di luar tenda memang terdapat sebuah sumur yang biasa diambil airnya oleh para kafilah yang melintas di daerah itu. Air sumur itu rasanya asin karena tempatnya memang tidak terlalu jauh dari tepi laut atau pantai.
Mengetahui air sumur itu asin, maka putra Beliau itu pun
memberanikan diri untuk matur dengan mengatakan: "Wahai guru, air sumur itu asin, sedangkan yang hamba bawa
ini air tawar." Al-Syekh Syarofuddin yang juga putranya menawarkan
kepada Beliau air tawar yang sudah disiapkan dan memang sengaja dibawa
sebagai bekal di perjalanan. Kemudian asy-Syekh mengatakan dan menjawab: "Iya, aku mengerti. Tapi,
ambilkan air sumur itu. Apa yang aku inginkan tidak seperti yang ada
dalam pikiran kalian." Selanjutnya oleh putera Beliau itu, lalu
diambilkan air sumur sebagaimana yang asy-Syekh kehendaki dan inginkan.
Setelah Al-Syeikh selesai berwudlu', kemudian asy-Syekh berkumur dengan air sumur yang asin itu lalu menumpahkan ke dalam timba kembali. Setelah itu Beliau memerintahkan agar air bekas kumuran tersebut dituangkan kembali ke dalam sumur. Sejak saat itu pulalah, dengan idzin Alloh Yang Maha Agung, air sumur yang memang rasanya asin itu, seketika itu pula berubah menjadi tawar dan sumbernya pun semakin membesar. Dan Sumur itu hingga sekarang masih terpelihara dengan baik.
Setelah itu kemudian asy-Syekh mengerjakan sholat 'isya lalu
diteruskan dengan sholat-sholat sunnat. Tidak berapa lama kemudian asy-Syekh
lalu berbaring dan menghadapkan wajah Beliau kepada Alloh SWT (tawajjuh)
seraya berdzikir sehingga, kadang-kadang, mengeluarkan suara yang
nyaring, sampai-sampai terdengar oleh para murid dan sahabat-sahabat beliau.
Pada malam itu tiada henti-hentinya asy Syekh
memanggil-manggil Tuhannya dengan mengucapkan: "Ilaahiy, ilaahiy,
" (Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku, ......!!!!!.). Dan kadang-kadang pula
Beliau lanjutkan dengan mengucapkan: "Allohumma
mataa yakuunul liqo' ?" ("Ya Alloh, kapan kiranya hamba bisa
bertemu?"). Sepanjang malam itu, keluarga dan murid asy-Syekh
dengan penuh rasa tawadlu', saling bergantian menunggui, merawat, dan
mendampingi beliau.
Ketika waktu sudah sampai di penghujung malam, yaitu
menjelang terbitnya fajar, setelah asy-Syekh sudah beberapa saat terdiam
dan tidak mengeluarkan suara, maka mereka pun mengira bahwa asy- Syekh
sudah nyenyak tertidur pulas. Maka Asy-Syekh Syarofuddin pun perlahan-lahan
mendekati beliau.
Kemudian, dengan cara yang amat halus, putera Beliau itu, lalu menggerak-gerakkan tubuh asy- Syekh. Sedijit terkejut dan tertegun al-syekh Syarofuddin mendapatinya, karena asy-Syekh al-Imam al-Quthub Al-Ghouuts, rodhiyallahu 'anh, ternyata sudah berpulang ke rohmatullah. Inna lillahi wa inna ilaihi roji 'un. Ketika itu Beliau berusia 63 tahun, sama dengan usia Rasululloh SAW.
Lalu, setelah (Bakda) sholat subuh pada pagi hari itu, jasad asy-Syekh
nan suci dan penuh berkah itupun segera dimandikan dan dikafani oleh
keluarga dan para murid beliau. Sedang ketika matahari mulai tinggi,
semakin banyak pula para ‘ulama’, shiddiqin, dan auliya'ulloh agung
berduyun-duyun berdatangan untuk berta'ziyah dan turut mensholati jenazah
beliau yang penuh berkah ini.
Hadir pula di antara mereka para pangeran dan pejabat
kerajaan. Kehadiran para insan mulia dan pembesar-pembesar negara di
tempat itu dan para pembesar-pembesar di sisih Alloh dan Rosul-Nya,
selain mereka untuk memberikan penghormatan kepada Al-Syeikh sang Al-Imam yang Agung
ini, mereka juga mengharapkan mendapat barokah beliau dengan penuh mendapat
ridlo Alloh SWT dan Rosul-Nya SAW.
Semoga kita beserta para leluhur, anak cucu, para sahabat dan para
murid kita berserta semua ummat Sayyiidina Muhammad wal Muslimin senantiasa diberi panjang ‘umur fissihhah wal
‘afiyah wa ‘alal barokah wa husnul khotimah dan selalu dapat menjalankan
thoriqot beliau dan senantiasa mendapat barokat, nafahat, rohamat, asror,
amdad, ‘ulum, mustajab da’awat, fuyudlot, istiqomat, karomat dan ridlo Beliau
beserta ridlo Alloh SWT Wa Rosulihi SAW dan dipungkasi hayat kita dengan husnul
khotimah Bi Qouli La Ilaha Illalloh Sayyiduna Muhammad Rosululloh SAW, Amiiin
Bijahi Sayyidina Wa Habibina wa Syafi’ina Wa qurroti a’yunina Muhammad
Al-Shodiqil Amin…!!!!!
اللهم انفعنا من بركاته
وان تَرْزُقنا محبته وادخلنا في سلسلته
يوم لا ينفع مال ولابنون الا من اتى الله بقلب سليم
======================
بسم الله الرحمن الرحيم
======================
بسم الله الرحمن الرحيم
الفاتحة بالنية لرضاء
الله تعالى ولرضاء رسول الله صلى الله عليه وسلم الفاتحة ...
الفاتحة الى حضرة النبي المصطفى
محمد صلى الله عليه وسلم واهل بيته وازواجه واولاده وذرياته واله وجميع اخوانه من
الانبياء والمرسلين واولي العزم من الرسل وجميع الملائكة المقربين صلوات الله
وسلامه عليهم اجمعين, ثم الى جميع اصحابه وخصوصا أهل بدر واهل احد واهل بيعة
الرضوان من المهاجرين والانصار وجميع الخلفاء الراشدين سيدنا ابي بكر الصديق
وسيدنا عمر ابن الخطاب وسيدنا عثمان ابن عفان وسيدنا علي ابن ابي طالب وسيدتنا
فاطمة الزهراء البتول بنت سيدنا الرسول وسيدنا الحسن والحسين وجميع اصحاب النبي
صلى الله عليه وسلم والتابعين لهم باحسان الى يوم الدين وجميع العلماء والاولياء
اينما كانوا من مشارق الارض الى مغاربها برها وبحرها وخصوصا سيدنا الخضر بلياابن
ملكان والياس رضي الله تعالى عنهم اجمعين وجميع الاولياء والعلماء والامراء في بلدنا وفي سائر بلاد المسلمين
وجميع اهل القبور من المسلمين والمسلمات والمؤمنين والمؤمنات خصوصا سيدي الحبيب الامام الشيخ سلطان الاولياء
القطب الغوث ابي الحسن علي الشاذَلي الحسني وسيدي الشيخ قطب الاقطاب ابي العباس
احمد المُرْسي
و سيدي
الشيخ القطب الغوث عبدالسلام بن مشيش واصولهم وفروعهم وازواجهم
ومشايخهم ومريديهم ومحبيهم الفاتحة ...
اللهم انفعنا من بركاتهم وان تَرْزُقنا محبتهم
وادخلنا في سلسلتهم
يوم لا ينفع مال ولابنون الا من اتى الله
بقلب سليم
Disarikan Oleh
Pecinta Beliau Dan Thoriqohnya:
Sulthonul
Awliya' Al-'Arifin Wa Afrodul 'Ulama' Al-'Amilin Quthbu Jami'il Maqom Wal
Ghouts Al-A'dzom Sayyiduna Asy-Syeikh Al- Imam Al–Quthb Al-Ghouts
Abul
Hasan 'Ali Al-Syadzali Al-Hasany
Rodiyallohu ‘Anhu (RA)
|
Abdul Hamid Mudjib
Hamid Al-Ishaqy ‘Azmatkhan
Min Dzurriyyah Al-Syeikh Ahmad Al-Hajar
Al-Ishaqy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar