THORIQOH atau tarekat berarti “jalan”. Sahabat Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah pernah bertanya kepada Rasulullah SAW: “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku jalan (thariqoh) terdekat kepada Allah yang paling mudah bagi hamba-hambanya dan yang paling utama bagi Allah!” Rasulullah SAW bersabda: “Kiamat tidak akan terjadi ketika di muka bumi masih terdapat orang yang mengucapkan lafadz “Alloh”.” (dalam kitab Al-Ma’arif Al-Muhammadiyah).
Para ulama menjelaskan arti kata
thariqah dalam kalimat aktif, yakni melaksanakan kewajiban dan kesunatan
atau keutamaan, meninggalkan larangan, menghindari perbuatan mubah
(yang diperbolehkan) namun tidak bermanfaat, sangat berhati-hati dalam
menjaga diri dari hal-hal yang tidak disenangi Allah dan yang meragukan
(syubhat), sebagaimana orang-orang yang mengasingkan diri dari persoalan
dunia dengan memperbanyak ibadah sunat pada malam hari, berpuasa sunat,
dan tidak menfucapkan kata-kata yang tidak beguna. [dalam kitab Muroqil Ubudiyah fi Syarhi Bidayatil Hidayah Imam Ghazali]
Thariqoh yang dimaksud dalam pembicaraan
ini lebih mengacu kepada peristilahan umum yang berlaku dikalangan umat
Islam di seluruh dunia, khususnya warga NU, yakni semacam aliran dalam
tasawuf (berbeda dengan mistik atau klenik) yang mengharuskan para
pengikutnya menjalankan amalan peribadatan tertentu secara rutin
–biasanya berupa bacaan atau wiridan khusus-- yang dipandu oleh seorang
guru atau mursyid. Hadits yang disebutkan di atas sekaligus menjadi
dalil naqli diperbolekannya ajaran-ajaran thoriqoh.
Para murid yang mengikuti aliran
thoriqoh tertentu sedianya berniat belajar membersihkan hati dengan
bantuan guru atau mursyid mereka dengan cara menjalankan amalan-amalan
dan doa-doa khusus. Jika mereka masih awam dalam masalah keagaman dasar
seperti masalah wudlu, sholat, puasa, nikah dan waris, maka mereka
sekaligus belajar itu kepada sang mursyid. Para murid berbai’at atau
mengucapkan janji setia untuk menjalankan amalan-amalan thariqoh yang
dibimbing oleh sang mursyid. Bai’at thariqoh adalah berjanji dzikrullah
dalam bacaan dan jumlah tertentu kepada guru dan berjanji mengamalkan
ajaran islam dan meninggalkan larangannya. Sebagaimana bermadzab atau
mengikuti imam tertentu dalam bidang fikih, para murid tidak
diperkenankan berpindah thoriqoh kecuali dengan pertimbangan yang jelas
dan mampu melaksanakan semua amalan thoriqohnya yang baru.
Sementara itu sang mursyid wajib
menyayangi, membimbing, dan membantu membersihkan hati murid-muridnya
dari kotoran dunia. Mursyid harus memiliki sifat kasih sayang yang
tinggi terhadap kaum muslimin, khususnya terhadap murid-muridnya. Ketika
ia mengetahui mereka belum mampu melawan hawa nafsu mereka dan belum
mampu meninggalkan kejelekan, misalnya, maka ia harus bersikap toleran.
Setelah ia menasihati mereka dan tidak memutus mereka dari thoriqah,
juga tidak mengklaim mereka celaka, melainkan senantiasa menyayangi
mereka sampai mereka mendapatkan hidayah.
Demikian syarat seorang mursyid yang disebutkan dalam kitab Tanwirul Qulub.
Mursyid harus arif dalam hal kesempurnaan hati, adab-adabnya, dan
bersih dari penyakit-penyakit hati. Mursyid juga harus memiliki ilmu
yang dibutuhkan oleh murid-murdnya, yaitu fikih dan aqa’id tauhid dalam
batas-batas yang bisa menghilangkan kemusyrikan dan ketidakjelasan yang
dihadapi oleh mereka di tingkat awal, sehingga mereka tidak perlu
bertanya kepada orang lain.
Ada beberapa thoriqoh yang berkembang di
Indonesia. Yang paling banyak pengikutnya, antara lain, Qodiriyah,
Naqsabandiyah, Qodiriyah wan Naqsbandiyah, Syadziliyah. Dalam Muktamanya
ke-26 di Semarang pada bulan Rajab 1399 H bertepatan dengan bulan Juni
1979 Nahdlatul Ulama meresmikan berdirinya Jam’iyyah Ahlit Thariqoh
Al-Mu’tabaroh An-Nahdliyah dan dikukuhkan dengan suat keputusan PB
Syuriah NU Nomor: 137/Syur.PB/V/1980). Jam’iyyah ini beranggotakan
beberapa thariqot di Indonesia yang mu’tabaroh dan nahdliyah.
Mu’tabaroh artinya thariqoh yang
dimaksud bersambung ajarannya kepada Rasulullah SAW. Sementara
Rasulullah menerima ajaran dari malaikat Jibril dan Malaikat Jibril dari
Allah SWT. Nahdliyah maksudnya adalah bahwa para penganutnya selalu
bergerak untuk melaksanakan ibadah dan dzikir kepada Allah SWT yang
syariatnya menurut ahlussunnah wal jama’ah ‘ala madzahibil arba’ah (sesuai
dengan yang diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para Sabahat Beliau dan
disejalaskan oleh imam Madzab empat yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan
Hambali).
Jam’iyyah Ahlit Thariqoh Al-Mu’tabaroh
An-Nahdliyah sering mengadakan perkumpulan untuk membahas
persolan-persoalan keagamaan, khususnya berkaitan dengan thoriqoh.
Jam’iyyah ini juga berfungsi untuk saling memberikan masukan dan
sekaligus membedakan diri dengan aliran-aliran kebatinan yang tidak
muk’tabar dan tidak berdasar pada ajaran Rasulullah SAW.
Para pengamal thoriqoh senantiasa
menjauhkan diri dari kehidupan duniawi yang fana; membersihkan hati;
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sang mursyid dan murid-muridnya tidak
diperkenankan menggandrungi harta benda. Juga kekuasaan. Ada satu
hadits Rasulullah SAW yang menjadi pegangan para pengamal thariqoh. Ibn
Majah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Di antara qari’
atau orang yang hafal Al-Qur’an dan memahami maknanya yang paling
dibenci oleh Allah adalah qari’ yang mengunjungi umara (penguasa).”
Begitu bencinya mereka dengan ususan duniawi. Para pengkritik mengatakan bahwa thariqoh adalah sumber kemunduran umat Islam. Namun dengan penuh kebijaksanaan para pengamal thoriqoh menjawab bahwa para pengkritik belum merasakan betapa nikmatnya berdzikir dan mendekatkan diri kepada Allah Sang pencipta.
Begitu bencinya mereka dengan ususan duniawi. Para pengkritik mengatakan bahwa thariqoh adalah sumber kemunduran umat Islam. Namun dengan penuh kebijaksanaan para pengamal thoriqoh menjawab bahwa para pengkritik belum merasakan betapa nikmatnya berdzikir dan mendekatkan diri kepada Allah Sang pencipta.
(Sumber : NU Online)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar