ABDUL HAMID MUDJIB HAMID BERSHOLAWAT

Senin, 10 Desember 2012

Biografi Az-Zubair bin al-Awwam; Selalu Merindukan Syahid

 
--------------------------------------
Az-Zubair bin al-Awwam; Selalu Merindukan Syahid 
=========================
 
“Setiap nabi memiliki hawârî (pembela), dan hawârî-ku adalah az-Zubair.”
Demikian sabda Rasulullah, Muhammad shallallahu alaihi wasallam

Salah satu dari sepuluh orang yang mendapat jaminan surga. Orang ketujuh yang pertama kali masuk Islam. Salah satu perintis perjuangan di rumah al-Arqam bin al-Arqam. Salah satu dari enam sahabat yang ditunjuk oleh Umar radhiyallahu anhu untuk bermusyawarah tentang suksesi khalifah.

Lahir 15 tahun sebelum terutusnya Nabi Muhammad. Namanya az-Zubair bin al-Awwam bin Khuwailid al-Qurasyi al-Asadi. Biasa dipanggil Abu Abdillah. Nasabnya bertemu dengan nasab Rasulullah shallallahu alaihi wasallam di kakeknya, Qushai. Ia juga keponakan Khadijah binti Khuwailid, Ummul Mukminin. Sedangkan dari jalur ibu, ia adalah sepupu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Ibunya, Shafiyah binti Abdil Muththalib adalah saudara Abdullah, ayah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Ayah Zubair, al-Awwam meninggal dunia ketika Zubair masih kecil. Sepeninggal ayahnya, ia hidup di bawah asuhan dan bimbingan ibunya, Shafiyah. Shafiyah yang dikenal tegas selalu memaksa Zubair belajar dan bekerja keras agar menjadi besar dan kuat. Untuk mewujudkan hal ini, Shafiyah tidak segan memukuli Zubair kecil tanpa ampun. Ia menyebut bahwa tindakan keras dilakukan untuk mendidik Zubair agar menjadi orang yang bijaksana.

Barangkali didikan inilah yang menjadikan Zubair sebagai salah satu Sahabat paling pemberani. Ia selalu siap menghadapi segala macam bahaya dan siap menanggung semua rasa sakit dan masalah selama awal kehadiran Islam di Makkah.

Suatu hari, terdengar berita bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam terbunuh. Zubair langsung menghunus pedang lalu berkeliling Makkah mencari kebenaran isu tersebut. Ia bertekad membunuh pembunuh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Di satu tempat, di bagian kota Makkah yang agak tinggi, Zubair bertemu beliau shallallahu alaihi wasallam. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menanyakan maksudnya. Ia menceritakan berita yang ia dengar dan mengutarakan tekadnya. Maka, beliau berdoa agar Zubair selalu diberi kebaikan dan pedangnya selalu diberi kemenangan.

Berdasarkan kejadian ini, para sejarawan mengatakan bahwa pedang Zubair adalah pedang pertama yang dihunus untuk membela Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan agama Islam.

Hijrah Menyusul Nabi shallallahu alaihi wasallam
Sekalipun Zubair seorang bangsawan terpandang, namun ia juga merasakan penyiksaan Quraisy. Orang yang menyiksanya adalah pamannya sendiri, Naufal. Ia pernah diikat dan dibungkus tikar lalu diasapi hingga kesulitan bernapas. Di saat itulah sang paman berkata, “Larilah dari Tuhan Muhammad, akan kubebaskan engkau dari siksa ini.”

Dalam kondisi yang sangat menderita itu, Zubair menjawab dengan tegas, “Tidak! Demi Allah, aku tidak akan kembali kufur selama-lamanya.”

Ketika kekejaman Naufal mencapai puncaknya, dengan izin Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, Zubair berhasil meninggalkan Makkah dan berhijrah ke Abessinia (sekarang Ethiopia). Namun ia tidak tinggal lama di kota ini. Setelah beberapa waktu ia kembali ke Makkah dan mulai berbisnis. Bisnis yang digeluti Zubair membuatnya kaya raya dan menjadi salah satu Sahabat terkaya, selain Utsman bin Affan.

Karena kesibukan bisnisnya inilah, Zubair tidak ikut berhijrah ke Madinah bersama Sahabat yang lain. Saat ini terjadi, Zubair tengah dalam perjalanan bisnis ke Syiria. Ketika kembali ke Makkah, ia bertemu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan Abu Bakar ash-Shiddiq yang tengah berangkat hijrah menuju Madinah.

Ia membekali Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan pakaian dan perbekalan untuk perjalanan ke Madinah. Ia sendiri baru menyusul Rasulullah shallallahu alaihi wasallam beberapa hari setelahnya, bersama ibunya, Shafiyah, dan istrinya, Asma’ binti Abu Bakar radhiyallahu anhu. Di Madinah, ia dipersaudarakan dengan Salma, putra Salamah yang berasal dari Bani Ashhal, sebuah klan dari suku Aus. Sebelumnya, ketika masih di Makkah, ia dipersaudarakan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu anhu.

Merindukan Syahâdah
Az-Zubair adalah salah satu potret pejuang Islam sejati. Ia mendedikasikan jiwa, raga dan hartanya untuk Islam. Ia mengikuti semua peperangan bersama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan menginfakkan harta kekayaan di jalan Allah. Ia memiliki 1.000 sahaya yang membayar upeti (najm) kepadanya untuk menjadi merdeka. Semua upeti itu setiap harinya dibagi-bagikan kepada fakir miskin dan disumbangkan untuk sabîlillâh.

Kisah kepahlawanannya dalam jihad tampak dari banyaknya bekas luka pedang dan tombak di sekujur tubuhnya. Salah seorang rekannya bercerita tentang kondisi Zubair, “Aku pernah bersama Zubair dalam satu perjalanan dan aku melihat tubuhnya. Ada banyak bekas sabetan pedang. Di dadanya ada beberapa lubang bekas tusukan tombak dan anak panah. Aku berkata kepadanya, ‘Demi Allah, yang kulihat di tubuhmu belum pernah kulihat di tubuh orang lain.’ Ia menjawab, ‘Demi Allah, semua luka-luka ini aku dapatkan bersama Rasulullah dalam peperangan membela agama Allah.’”

Sepeninggal Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, ia terus melanjutkan perjuangan bersama para Sahabat yang lain. Selama hidupnya, ia terlibat dalam semua peperangan penting yang dilakukan oleh umat Islam. Hal itu ia lakukan demi menggapai cita-cita menjadi syahid.

Seperti para Sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang lain, ia sangat rindu untuk syahid. Bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk putra-putranya. Suatu ketika ia berujar, “Thalhah bin Ubaidillah memberi nama anak-anaknya dengan nama nabi-nabi, padahal tidak ada nabi setelah Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Karena itu, aku memberi nama anak-anakku dengan nama para syuhada dengan harapan mereka syahid.”

Ia memberi nama anak-anaknya dengan nama rekannya yang gugur dalam perang melawan musuh. Ada yang diberi nama Abdullah dari nama Abdullah bin Jahsy. Ada yang diberi nama Mundzir dari nama Mundzir bin Amr. Ada yang diberi nama Urwah dari nama Urwah bin Amr. Ada yang diberi nama Hamzah dari nama Hamzah bin Abdul Muththalib. Ada yang diberi nama Ja’far dari nama Ja’far bin Abi Thalib. Ada yang diberi nama Mush‘ab dari nama Mush‘ab bin Umair. Ada yang diberi nama Khalid dari nama Khalid bin Sa’id.

Tragedi Unta
Pertengahan Jumadal Akhirah, tahun 36 H, ia bertolak dari Makkah menuju Basrah. Ia bersama Ummul Mukminin A’isyah radhiyallahu anhu dan serombongan kaum Muslimin yang usai melaksanakan haji, mencari dukungan untuk menuntut qishâsh atas para pembunuh Khalifah Utsman bin Affan radhiyallahu anhu serta membebaskan Madinah dari cengkeraman para pemberontak.

Khalifah Ali radhiyallahu anhu ketika itu di Madinah. Beliau segera bergegas mencegat mereka agar tidak datang ke Kufah. Tapi terlambat, mereka sudah melintasi jalan Makkah-Basrah yang dituju Ali.

Kejadian ini berbuntut salah paham. Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu mengirimkan Qa’qa’ bin Amr untuk melakukan misi diplomasi. Kesepakatan tercapai, dan kedua belah pihak sepakat bertemu di Basrah untuk memastikannya. Namun sayang, di kubu pasukan Ali radhiyallahu anhu terdapat beberapa ribu orang yang terlibat dalam pembunuhan Utsman. Jika kesepakatan tercapai, maka mereka pasti dikisas. Mereka pun melakukan aksi rahasia, memprovokasi kedua belah pihak agar mengangkat senjata. Tengah malam, mereka menyerang kubu Aisyah dan Zubair. Maka, peperangan pun tidak bisa terelakkan dan berakhir dengan kemenangan pasukan Ali radhiyallahu anhu.

Di tengah kecamuk perang, Zubair keluar dari barisan dan menjauh dari arena pertempuran. Ia dibuntuti oleh Amr bin Jarmuz dan dibunuh ketika sedang tidur di lembah Sibâ‘. Setelah itu, si pembunuh pergi menghadap Khalifah Ali radhiyallahu anhu, mengabarkan bahwa ia telah membunuh Zubair. Ia berharap kabar itu menyenangkan hati Ali radhiyallahu anhu karena yang ia tahu, Ali radhiyallahu anhu memusuhi Zubair.

Ketika Ali radhiyallahu anhu mengetahui ada pembunuh Zubair yang hendak menemuinya, ia langsung berseru, “Katakanlah kepada pembunuh Zubair, putra Shafiyah, bahwa orang yang membunuh Zubair tempatnya di neraka.”

Ketika pedang Zubair ditunjukkan kepada Ali, ia menciumnya. Lalu ia menangis dan berkata, “Demi Allah, sekian lama pedang ini melindungi Nabi dari marabahaya.”

Az-Zubair radhiyallahu anhu meninggal pada usia 63 tahun. Kepergian beliau menyambut sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, “Az-Zubair dan Thalhah akan menjadi tetanggaku di surga.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar