ABDUL HAMID MUDJIB HAMID BERSHOLAWAT

Minggu, 20 Januari 2013

Bergabung dengan ‘Nur Muhammad’


Bergabung dengan ‘Nur Muhammad’
Oleh : Abu Bakar Assegaf
Yang lebih indah darimu, mataku belum pernah memandang.
Dan yang lebih baik darimu, belum pernah dilahirkan oleh wanita manapun.
Engkau tercipta dengan terbebas dari segala cacat (kekurangan), seakan engkau diciptakan sekehendak hatimu.

(ungkapan syair Hassan bin Tsabit disaat muwajahah dengan Rosululloh SAW)

Umat Islam di muka bumi, dari abad ke abad, dari era ke era, serta dari periode ke periode kehidupannya, telah ribuan kali atau bahkan ratusan ribu kali —atau entahlah berapa persisnya—memperingati hari kelahiran Nabi agung Muhammad saw. Yang mereka junjung tinggi dan mereka dekap intim dalam hati karena kemuliaannya.

Setiap masyarakat muslim, setiap kelompok, serta setiap orang mengagung-agungkannya ratusan ribu kali. Muhammad saw. Tidak menjadi lapuk oleh panas hujan segala zaman. Muhammad saw. Dipelihara namanya di zaman orang bertani, serta di zaman ultra-modern ketika kekuatan alat informasi dan komunukasi dijadikan ‘Dewa’.

Muhammad saw. tidak pernah disebut kuno, mesti kita punya Mercedes paling mutakhir, super computer serta segala jenis teknologi yang paling di bangga-banggakan. Muhammad saw. Tidak pernah di kategorikan sebagai manusia masa silam dengan muatan nilai-nilai dekaden, meski kita telah memiliki apapun yang melambangkan pencapaian-pencapaian kontemporer.

Muhammad saw. senantiasa hadir kembali. Ia senantiasa lahir dan lahir kembali memunculkan dirinya dalam setiap konteks pemikiran, manifestasi peradaban dan kebudayaan, serta dalam setiap  produk dan ungkapan kemajuan.
Muhammad saw. tidak pernah mati, kecuali darah daging dan jasadnya yang telah menunggal dengan tanah. Badan Muhammad bertauhid, jasmaninya kini telah di transformasikan kedalam wujud-wujud yang lebih lembut dan hakiki.

Muhammad saw. yang abadi, yang mengabadi atau yang menjadi pengabadian, dan hari-hari ini melintasi kehidupan kita terbuat dari segala yang dilakukannya semasa jasmaninya hidup. Wajah beliau kini terdiri atas seluruh nilai perilakunya dulu. Cahaya wajah itu terbuat dari sujud-sujud sembahyangnya.

Badannya terbikin dari amal bajik selama terlibat menghancurkan kebudayaan jahiliyah. Kaki dan tangannya dirakit dari pahala dan jasa besar kepada umat ini yang kelak akan menolongnya memperoleh tempat yang paling tinggi di sisi rabb-nya.

Demikian juga kita kelak. Daging kita akan rapuh, kulit mengeriput, rambut memutih dan seluruh badan kita akan musnah menjadi debu material yang hina. Badan dan identitas kita selanjutnya akan dibentuk oleh system dari pilihan-pilihan kelakuan kita, dari kepribadian dan sikap kita, dari barang-barang yang kita amalkan atau yang kita korup, dari segala sesuatu yang kita Islamkan atau yang kita curi.

Islam telah memandu kita bagaimana memilih masa depan yang terbaik dan termulia. Islam membimbing kita untuk merancang jenis keemakhlukan macam apa kita akan menjadi kelak. Islam juga memberi pilihan kepada kita, apakah kita akan merekayasa diri menjadi benda setingkat debu, menjadi api dan kayu bakar  penyiksa diri sendiri, atau Alhamdulillah jika kita lulus menempuh perubahan dari materi menuju Cahaya  yang suci. Dengan begitu kita bisa bergabung dengan Muhammad otentik, Muhammad hakiki, Nur Muhammad. Cahaya yang terpuji, asal usul inisiatif penciptaan Allah swt.

Cahaya cikal bakal yang pada abad 13 diwujudkan melalui seorang laki-laki yang gencang menentang arus. Menjajakan tauhid di tengah-tengah berhala. Yang bersedia menggenggam pedang untuk mempertahankan diri dan menegakkan nilai-nilai luhur, dan yang bersedia tidur beralaskan daun kurma, yang kalau lapar ia merasa enggan untuk meminta sehingga mengganjal perutnya dengan batu. Yang punya nilai tawar tinggi untuk berkuasa namun memilih hidup dalam kemiskinan.

Ya Rasulallah, betapa kami mencintaimu, betapa hidupmu bertaburan emas permata kemuliaan. sehingga luapan cinta kami tak bisa dibendung oleh apapun. Dan, jika seandainya cinta kami ini sungguh-sungguh, betapa tak bisa dibandingkan, karena hanya satu tingkat belaka di bawah mesranya cinta kita bersama kepada Allah.
Akan tetapi tampaknya cinta kami tidaklah sebesar itu kepadamu. Cinta kami tidaklah seindah yang bisa kami ungkapkan dengan kata, kalimat, rebana dan kasidah-kasidah. Dalam sehari-hari kehidupan kami , kami masih lebih tertarik kepada hal-hal lain.

Kami tentu akan datang ke acara peringatan kelahiranmu, ke majlis-majlis maulidmu, namun pada saat itu nanti wajah kami tidaklah seceria tatkala kami datang ke toko-toko serba ada, ke bioskop, ke pasar malam, ke tempat-tempat rekreasi.

Kami mengirim salawat kepadamu seperti yang dianjurkan oleh Allah, karena ia sendiri bersama para malaikat-Nya juga bersalawat kepadamu. Namun, pada umumnya itu hanya karena kami membutuhkan keselamatan diri kami sendiri.

Seperti juga kalau kami bersujud kepada Allah, kebanyakan dari kami melakukannya karena kewajiban, tidak karena kebutuhan, kerinduan atau cinta yang meluap-luap. Kalau kami berdoa, doa kami berfokus pada kepentingan pribadi kami masing-masing.

Sesungguhnya kami belum mencapai mutu kepribadian yang mencukupi untuk disebut sebagai umatmu. Ya Muhammad, kami mencintaimu namun kami belum benar-benar mengikutimu. Kami masih takut dan terus menerus tergantung pada kekuasaan kecil di sekitar kami. Kami menunduk kepada benda-benda. Kami bersujud kepada uang dan begitu banyak hal-hal memalukan.

Zaman telah mengubah kami dan kami telah mengubah zaman. Namun, kualitas percintaan kami kepadamu tidak kunjung meningkat. Kami semakin pandai namun kami tidak semakin bersujud. Kami semakin pintar namun kami tidak semakin berislam. Kami semakin berkembang namun kami tidak semakin berihsan. Sel-sel memuai, dedaunan memuai, pohon-pohon memuai, namun kesadaran kami tidak, keinsafan kami tidak, kecintaan kami tidak.


*) Sumber tulisan: Buletin SIDOGIRI,
     edisi-05, hal. 22-24, Rabiul Awal, 1427 H.
sumber:http://www.sidogiri.net/artikel/detail/153

Tidak ada komentar:

Posting Komentar