Menelusuri Hakikat Tawasul
Rabu, 26 Safar 1434 H | 09 Januari 2013 19:02:23 WIB
Oleh : A. Qusyairi Ismail
Tawasul tak lebih dari sekadar upaya untuk mendekatkan diri keada
Allah SWT melalui sebuah media. Media itu disebut wasilah. Sedangkan
tujuan utama adalah untuk mendekat diri kepada Allah SWT. Tidak ada
tujuan lain. Tawasul dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT ini
bisa dilakukan dengan beberapa cara:
Pertama, bertawasul dengan Rasulullah SAW saat beilau masih hidup. Dalam sebuah Hadis dinyatakan: Suatu ketika ada orang buta datang kepada Rasulullah SAW. Ia berkata, “Rasulullah, doakanlah agar aku dapat disembuhkan dari kebutaan ini.” Rasulullah SAW menjawab, “Kalau engkau mau, hendaklah bersabar. Hal itu lebih baik bagimu.” Ia menjawab, “Aku tidak mempunyai orang yang dapat menuntunku, sedangkan aku merasa sangat berat sekali.” Rasulullah SAW menyuruhnya berwudu dan berdoa dengan kalimat: “Ya Allah, aka meminta kepada-Mu, dan menghadap-Mu, melalui perantara Nabi-Mu Muhammad SAW, Nabi pembawa rahmat. Wahai Muhammad, aku menharap kepada Tuhanku melalui engkau, dalam memenuhi keinginanku, agar terkabul keinginanku. Ya Allah, berilah pertolongan.” Lalu, orang itu berdiri (melaksanakan) dan ia sembuh. (HR. Al-Baihaqi).
Kedua, bertawasul dengan Rasulullah SAW setelah beliau wafat. Hal ini berdasarkan Hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim: “Barangsiapa berziarah ke makamku, maka akan mendapat syafaat (pertolongan) ku.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Juga, berdasarkan pernyataan dan perbuatan para sahabat. Imam al-Baihaqi dan Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan: Telah terjadi krisis pangan pada masa Khalifah Umar. Kemudian Bilal bin al-Harts mendatangi makam Rasulullah SAW. Ia bertawasul kepada beliau agar Allah SWT menurunkan hujan. Maka, malam harinya ia bermimpi kabar bahwa hujan sebentar lagi akan segera turun.
Ketiga, bertawasul dengan orang-orang saleh. Rasulullah SAW bersabda, “Bertawasullah kalian dengan aku dan dengan para keluargaku.” (HR. Ibnu Hibban).
Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Anas: Ketika terjadi krisis pangan karena tak ada hujan, Umar bin al-Khatthab berdoa agar diturunkan hujan dan bertawasul dengan Abbas, paman Rasulullah. Dalam doanya, beliau berkata, “Ya Allah, dulu kami bertawasul kepada-Mu dengan Nabi kami, lalu Engkau menurunkan hujan. Dan, sekarang kami bertawasul dengan paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan kepada kami.” Tak lama kemudian, turunlah hujan.
Keempat, bertawasul dengan perbuatan baik yang telah dilakukan. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam sebuah Hadis masyhur yang menceritakan tiga orang yang terperangkap dalam gua. Mereka meminta kepada Allah SWT agar dibukakan pintu gua yang tertutup batu. Mereka bertawasul dengan amal baik masing-masing, maka terbukalah gua tersebut.
Berdasarkan beberapa dalil ini serta sekian banyak dalil lainnya,
maka ulama Ahlusunah wal Jamaah sepakat bahwa tawasul dianjurkan. Dan
kenyataannya, ulama salaf juga sering kali melakukan tawasul, baik
dengan Rasulullah SAW atau orang-orang saleh. Imam asy-Syafi’i ketika
berada di Baghdad, beliau selalu menyampatkan diri mengunjungi makam Abu
Hanifah dan bertawasul kepada beliau. Imam Ahmad bin Hanbal juga sering
bertawasul dengan Imam asy-Syafi’i dan Imam Malik. Imam Ahmad bin
Hanbal, bahkan sering menyerukan kepada semua orang, terutama santrinya,
agar bertawasul dengan Imam Malik ketika punya hajat. Imam Abu Hasan
asy-Syadzili berkata, “Barangsiapa mempunyai hajat, maka bertawasullah dengan Imam al-Ghazali.”
Beberapa ulama menyimpulkan bahwa orang yang bertawasul dengan Rasulullah SAW atau orang-orang saleh, hakikatnya ia bertawasul dengan amal kebaikannya sendiri. Sebab, tawasul itu dilakukan, tidak lain karena kecintaannya kepada orang yang ditawasuli. Sedangkan mencintai mereka merupakan bagian dari amal kebaikan.
Dari sekelumit uraian ini, dapat diambil benang merah bahwa kegiatan tawasul sama sekali tidak bertentangan dengan syariat Islam. Tawasul sangat jauh dari perbuatan syirik (menyekutukan Allah SWT). Tidak ada maksud sedikitpun dari orang yang bertawasul untuk memanjatkan doa kepada selain Allah SWT, apalagi menyembah. Justru sebaliknya, dengan bertawasul mereka berusaha mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui wasilah. Jika betawasul merupakan perbuatan syirik, tentu Rasulullah SAW tidak akan mengajarkan kepada umatnya, begitu pula para sahabat dan 'ulama' salaf.
*) Sumber tulisan: Buletin SIDOGIRI,
edisi-59, hal. 57-59, Jumadal Ula, 1432 H.
sumber:http://www.sidogiri.net/artikel/detail/149
Tidak ada komentar:
Posting Komentar