ABDUL HAMID MUDJIB HAMID BERSHOLAWAT

Minggu, 20 Januari 2013

KH. MUFID MAS'UD PENDIRI PONDOK PESANTREN SUNAN PANDAN ARAN YOGYAKARTA


==============================
KH. MUFID MAS'UD PENDIRI PONDOK PESANTREN SUNAN PANDAN ARAN YOGYAKARTA
Sanad Ilmu

Dalam tradisi belajar-mengajar di kalangan umat Islam, sanad ilmu menjadi salah satu unsur utama. Imam Syafii pernah berkata, “Tiada ilmu tanpa sanad”. Pada kesempatan lain, Imam Mazhab yang sangat populer di Indonesia ini menyatakan, “Penuntut ilmu tanpa sanad, bagaikan pencari kayu bakar yang mencari kayu bakar di tengah malam, yang ia pakai sebagai tali pengikatnya adalah ular berbisa, tetapi ia tak mengetahuinya”.
Penyataan serupa pernah juga dilontarkan Al-Hafidh Imam Attsauri, “Sanad adalah senjata orang Mukmin, maka bila engkau tak memiliki senjata, dengan apa engkau membela diri?”. Berkata pula Imam Ibnu al-Mubarak, “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga”.
Masih banyak lagi pernyataan ulama-ulama terdahulu yang menegaskan pentingnya sanad dalam ilmu. Bahkan dalam tradisi ahli-ahli hadis, sanad ilmu merupakan hal yang wajib dimiliki oleh penekun ilmu hadis. Mereka tidak mengakui suatu hadis dari seseorang kecuali bila orang itu mempunyai sanadnya yang jelas.
Demikianlah pentingnya sanad ilmu bagi para penekun ilmu-ilmu Islam. Disiplin ilmu keislaman apapun, sanadnya akan bermuara kepada baginda Nabi Muhammad Saw. Ilmu hadis bermuara kepada beliau, pun demikian dengan ilmu tafsir dan tasawuf.
Karena begitu kuatnya tradisi sanad tersebut, maka sudah sewajarnya apabila para penuntut ilmu di Pesantren Sunan Pandanaran mengetahui sanad ilmu yang dimiliki oleh Hadlaratussyaikh al-Maghfurllah KH Mufid Mas’ud al-Hafidz, pendiri Pondok Pesantren Sunan Pandanaran.
Ponpes Sunan Pandanaran dikenal sebagai pondok takhasus li tahfizdil Qur’an. Sementara itu, Hadlaratussyiakh KH. Mufid Mas’ud belajar Al-Qur’an pada tiga guru Al-Qur’an, yaitu: pertama, Hadlaratussyaikh KH. Abdul Qodir Munawir al-Hafidz (Krapyak, Yogyakarta); kedua, Hadlaratussyaikh KH. Muntaha al-Hafidz (Wonosobo, Jawa Tengah); dan ketiga Hadlaratussyaikh KH. Dimyathi al-Hafidz (Comal, Pemalang, Jawa Tengah). Sanad dari ketiga guru tersebut menyambung kepada Hadlaratussyaikh KH. Munawir al-Hafidz (Krapak, Yogyakarta).
Selain mengajar Al-Qur’an, Hadlaratussyaikh KH. Mufid Mas’ud juga melaksanakan dawuh Mbah KH. Mukhlash (Panggung, Tegal Jawa, Tengah), bahwa seorang santri penghafal Al-Qur’an harus memperbanyak bacaan shalawat Nabi Muhammad Saw. Beliau menyarankan pula agar KH Mufid mendapatkan ijazah dari guru kitab Dalail al-Khairat, karya Syeikh Abi Abdillah Muhammad bin Sulaiman Al Jazuli.
Saran KH. Mukhlash, beliau laksanakan dengan sebaik-baiknya hingga dapat memenuhi apa yang beliau dawuhkan. Hadlaratussyaikh KH. Mufid memperoleh ijazah Dalail al-Khairat dari almarhum Romo KH. Ma’ruf dari Pondok Pesantren Jenengan Surakarta, Jawa Tengah. KH. Ma’ruf juga seorang guru Qismul ‘Ulya di Mambaul Ulum Surakarta, serta seorang mursyid (pemimpin) Tarekat Sadzaliyah di daerah itu.
“Di samping mendapatkan ijazah dari beliau, saya juga diperintahkan untuk menulis sanad, mulai dari pengarang Dalail al-Khairat sampai dengan almarhum Romo KH. Ma’ruf,” ungkap KH Mufid suatu ketika, mengenang perjalanannya mencari ijazah.
Di lain pihak, Hadlaratussyaikh KH. Mufid Mas’ud juga mendapatkan ijazah Dalail al-Khairat dari almarhum Romo KH. Profesor Muhammad Adnan asal Surakarta, yang kala itu bermukim di Kotabaru Yogyakarta, setelah pensiun dari PTAIN Yogyakarta.
Di samping itu, KH Mufid, tanpa beliau meminta, juga diijazahi Dalail al-Khairat oleh almarhum mbah KH. Hamid asal Pasuruan yang mashur sebagai min auliaillah wa ulamaillah (termasuk wali dan ulama Allah). “Pernah juga saya mohon ijazah Dalail al-Khairat kepada guru saya almarhum Dr. Assayyid Muhammad Al Maliki di Makkah” dawuh KH. Mufid kepada santri-santrinya.
Sanad lengkap Dalail al-Khairat almarhum Romo KH. Ma’ruf dari Pondok Pesantren Jenengan Surakarta adalah sebagai berikut: KH. Ma’ruf Surakarta → KH. Abdul Mu’id (Klaten) → KH. Muhammad Idris → Sayyid Muhammad Amin Madani → Sayyid Ali bin Yusuf al Hariri al Madani→ Sayyid Muhammad bin Ahmad al Murghibiy → Sayyid Muhammad bin Ahmad bin Ahmad al Mutsana → Sayyid Ahmad bin al Hajj → Sayyid Abdul Qodir al Fasiy → Sayyid Ahmad al Muqri→ Sayyid Ahmad bin Abbas Ash Shum’i → Sayyid Ahmad Musa as Simlaliy→ Sayyid Abdul Aziz At Tiba’i → Sayyid Abu Abdillah Muhammad bin Sulaiman (penulis kitab Dalail al-Khairat).
Dengan ijazah dari para masyayikh yang termasuk ulama besar tersebut, hadlaratussyaikh KH. Mufid Mas’ud merasakan manfaatnya yang tidak dapat beliau paparkan dengan lisan. Hanya saja, beliau tak henti-hentinya menganjurkan agar para santrinya membiasakan wiridan Al-Qur’an dan Dalail al-Khairat agar mendapat syafa’at Al-Qur’an dan syafa’at Sayyidul Anam, Rasulullah Saw.

SUMBER:http://pandanaran.org/index.php/khmufid/sanad


ETOS KEMANDIRIAN MBAH MUFID MAS'UD
Banyak ihwal yang dapat kita teladani dari profil almarhum almaghfuuru lahu KH. Mufid Mas’ud. Para santri dan alumni, langsung maupun tidak, telah diwarisi oleh pelbagai wejangan, etos perjuangan, karakter, hingga tauladan hidup yang sarat nilai luhur dari pengalaman hidup bersama ulama kharismatik kelahiran Klaten ini. Pembacaan dan penafsiran kita akan pengalaman tersebut seyogiyanya mampu menjadi ransum spirit untuk bekal hidup nyata di lingkungan sosial masyarakat.
Beberapa warisan moral yang bisa dipelajari dari biografi beliau antara lain adalah sikap kekeluargaan yang beliau patrikan kepada keluarga dan para santrinya. Sikap simpatik dan familiar yang bukan hanya sebatas anjuran, melainkan lebih pada penerapan secara langsung. Contoh kecil, imbauan untuk memanggil beliau dengan panggilan “Bapak” serta “Mas” dan “Mbak” untuk keluarga ndalem. Betapapun, hal ini bisa dimaknai sebagai keinginan yang amat tulus untuk meniadakan jarak emosional dan tabir sosial antara seorang Kiai dan para santri, tanpa sekali-kali menafikan aspek akhlaq dan relasi guru-murid yang wajar di dalamnya.
Lazimnya di pondok pesantren, hubungan antara kiai-santri yang bersifat hierarkis (atas-bawah), pada titik ini, coba untuk diminimalisir, sehingga relasi berjalan harmonis dan cair. Perasaan dan ketulusan yang hadir layaknya seorang ayah dan anak dalam sebuah simpul ikatan keluarga. Bagaimanapun, ada nuansa keteduhan yang hangat dan penuh ayom ketika seorang santri merasa dianggap sebagai anak yang didekap dalam asuhan. Bapak menjadikan Ponpes Sunan Pandanaran yg dirintisnya semenjak tahun 1975, miniatur dari keluarga besar yang memadukan mozaik aneka warna dalam satu harmoni.
Kesan lain yang bisa kita baca dari sejarah kehidupan Bapak adalah kentalnya kegigihan dalam mengarungi hidup. Keuletan berikhtiar kerap tidak hanya terdengar dari pesan-pesan beliau. Lebih dari itu, Bapak mengajari para santri untuk benar-benar mempraktikkan konsep beribadah (amal) senafas dengan upaya bekerja keras dalam bentuk riyadhah yang kontinu. “Menungso iku kudu gelem urip rekoso…”, Kurang lebih begitulah sejuknya ungkapan nasihat yang acapkali kita dengar dari Bapak.
Perpaduan antara iman, ilmu, dan amal mesti diwujudkan secara praktis. Himbauan “riyadhoh sing mempeng” khas Mbah Mufid tidak lagi menari sebatas slogan belaka, namun para santri benar-benar diajak guna melihat dan terlibat langsung. Langkah da’wah bil haal yang ditempuh Bapak, dirasa lebih mampu memberikan atsar (pengaruh) yang pekat dan membekas kuat pada kesadaran orang-orang di sekelilingnya, terutama para santri. Upaya keras untuk senantiasa belajar sekaligus memanfaatkan ilmu, pada aras ini, sealur dengan pesan Imam Syafi’i, “wa nshab fainna ladzidz al-‘aisyi fi annashab”. Bekerja dan belajar yang optimal adalah wujud dari kenikmatan hidup yang hakiki.
Membaca Al-Qur’an, sholawat dan beragam aurad adalah rangkaian amalan harian pokok yang diterapkan sekaligus diwanti-wanti Bapak supaya dilakukan oleh para santri dengan penuh keikhlasan. Nyaris tak boleh ada celah waktu yang kosong dari kegiatan bernuansa amal dan ibadah. Pola pemanfaatan waktu ala Bapak semacam ini dapat disaksikan secara nyata. Betapa beliau, misalnya, demikian istiqamah mengamalkan amalan, kapanpun dan dimanapun kesempatan untuk melakukan hal itu tersedia. Bagaimana Bapak selalu membaca Al-Qur’an di setiap kesempatan. Mulai dari dalam kamar kediaman beliau, di masjid bersama santri, di atas kendaraan saat bepergian, hingga di tempat darurat seperti rumah sakit, ketika beliau menjalani pelayanan medis.
Sejumlah saksi melukiskan bagaimana Bapak selalu tak lepas dari membaca Al-Qur’an bahkan hingga detik menjelang kewafatan beliau. Makna sejati dari tauladan yang disodorkan Bapak adalah “tak bakal pernah ada kesulitan dan akan selalu tersedia kemudahan, apabila seseorang memang berniat untuk mengerjakan kebajikan.” Menjauhi amalan, dengan berbagai alasan, hanyalah belaka bualan dan buah dari kemalasan. Faqra’uw ma tayassara min al-qur’an…
Kemauan untuk bekerja keras yang diwariskan oleh Bapak, pada dimensi tertentu, juga berarti ajakan kuat untuk memantapkan kemandirian. Usaha seseorang merupakan ukuran sejauhmana ia berniat untuk mandiri tanpa (harus selalu) bergantung kepada fasilitas pemberian orang lain. Mental baja berupa sikap pantang mengemis iba dan merangsang simpati dari pihak lain, ditunjukkan oleh Bapak dalam banyak hal. Antara lain dalam aspek penggalangan modal finansial bagi pembangunan dan pengembangan pesantren. Bapak mengajarkan agar kita merasa segan meminta serta mencegah para santri untuk mendamba belas kasihan orang.
Ikhtiar dan doa dibingkai menjadi satu paket penangkal bagi mentalitas malas yang selalu mengandalkan uluran bantuan orang lain. Kita dituntut untuk selalu berupaya dengan jerih payah sendiri. Berdiri di atas kaki sendiri senyampang masih memiliki kekuatan untuk bertahan dan melangkah. Walaupun bukan berarti kita harus selalu menolak bantuan dan derma orang yang hendak memberi sokongan dalam pelbagai bentuk pertolongan.
Bapak mendidik kita bagaimana menghargai usaha dan kemandirian tanpa menafikan dan memadamkan minat orang lain untuk juga turut berbagi menanam dan memanen kebajikan. Man jadda wajada. Ringkasnya, keringat sendiri niscaya akan tercium lebih wangi, dan semangat mandiri bakal terasa nyaman dinikmati.
Pusaka kebajikan lain yang ditaburkan oleh Bapak guna ditauladani adalah keinginan dan sikap untuk selalu menghargai siapapun. Kemauan luhur idkhal assuruur, menyenangkan orang, tercermin antara lain dari kebiasaan Bapak yang senantiasa berusaha menghadiri undangan tepat pada waktu yang ditentukan. Pun juga usaha untuk menghindari kekecewaan tuan rumah saat ia berniat menghormati kita.
Seorang alumni pernah menuturkan pengalaman saat mendampingi Bapak pada sebuah acara dalam kondisi ada santri yang sedang berpuasa sunnah. Bapak tak urung menyuruh si santri untuk membatalkan puasanya dan menikmati hidangan yang disuguhkan, semata demi menyenangkan perasaan sang tuan rumah. Beliau juga selalu membawa para santri menghadiri undangan dengan penampilan yang rapi dan simpatik.
Satu hal lagi, Bapak selalu berpenampilan (khususnya busana yang dikenakan) bersih, rapih, dan pantas. Ini bagian dari pengamalan bahwa indah tak selalu harus mewah. Kesan bahwa Bapak adalah pribadi yang cinta kebersihan dan keteraturan, antara lain bisa dilihat dari anjuran beliau agar para santri saat menyetor hafalan Al-Qur’an senantiasa berbusana polos, menghindari pakaian beraneka motif dan berwarna mencolok. Bahkan, lebih kurang sejak awal tahun 2000-an, seluruh santri mutahafidzien diwajibkan mengenakan gamis putih. Dan ini berlaku hingga sekarang.
Demikianlah. Sejumlah kesan di atas hanyalah sekelumit gambaran dari sehimpunan tauladan yang akan amat panjang bila diurai. Seorang bekas santri yang nakal seperti saya, sungguh jauh dari pantas, jelas hanya berkemampuan selintas, dan tak akan pernah tuntas menggambarkan kelas dan figuritas KH. Mufid Mas’ud, salah seorang sosok ulama kharismatik yang telah mampu melahirkan banyak ulama dan tokoh masyarakat di seantero nusantara dalam binaan dan didikannya.
Ibarat biografi tebal, kisah kehidupan beliau adalah karya pustaka historis yang fenomenal, yang mungkin saya sendiri (sebagai santri biasa), hanya mampu meraba dan mengeja di sekisar lembar pengantar saja. Belum menyentuh kandungan isi (apalagi sampai pada halaman kesimpulan) yang sesungguhnya. Akhirnya kita bisa berharap semoga jasa-jasa besar beliau mampu memayungi jiwa, memancarkan motivasi dakwah, dan memantik spirit kebaikan kepada para santri, alumni, dan masyarakat muslim pada umumnya.
‘Alaa kulli haal, membaca profil Bapak, saya teringat pepatah klasik: “Nyalakanlah sinar walau hanya secercah cahaya lilin. Itu lebih baik dari sekedar diam sembari terus mengutuk kegelapan”.
Kafaa Billahi ‘Alymaa. 

SUMBER:http://pandanaran.org/index.php/etos


Pondok Pesantren  Sunan  Pandanaran didirikan oleh Al-Maghfurlah  Al-‘Alim Al-Khafidz KH. Mufid Mas’ud dan istrinya Ny. Hj. Jauharoh Munawwir. KH. Mufid Mas’ud dilahirkan di Solo tahun 1928 pada hari Ahad Legi 25 Ramadhan, wafat tanggal 2 April 2007 silam di Jogjakarta. PPSPA didirikan tanggal 20 Desember 1975 di dusun Candi Desa Sardonoharjo, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman. Sebelum hijrah ke Candi, KH. Mufid Mas’ud merupakan salah satu pengasuh di PP. Al Munawwir Krapyak Bantul Yogyakarta.
Di atas tanah wakaf sekitar 2000 m2 dengan bangunan di atasnya berupa sebuah rumah dan sebuah masjid, area yang sekarang disebut komplek satu. Seiring perjalanan waktu, PPSPA telah mampu mengembangkan pendidikan-pendidikan yang dikelolanya. PPSPA sekarang memiliki lima komplek asrama yang terpisah-pisah, dengan jumlah santri mukim kurang lebih 1300-an anak.
PPSPA identik dengan al-Qur’an, lembaga ini sejak awalnya memang bertujuan untuk menjadi kawah candradimukanya para calon-calon khaafid-khaamil al-Qur’an. Falsafah pendidikan al-Qur’an menerangkan bahwa Ia merupakan kitab petunjuk (hidâyah) yang mampu menuntun manusia keluar dari kegelapan (dzulumât) menuju arah kehidupan yang penuh pancaran cahaya keimanan (nur). Falsafah itulah yang dijadikan landasan berjalannya roda-roda pendidikan di PPSPA. PPSPA sebagai sebuah institusi pendidikan mengemban misi membebaskan manusia dari gelap-gulitanya kejahiliyahan, mengangkat mereka ke atas kemuliaan hidup dunia-akhirat yang berselimutkan cahaya keagungan Tuhan.
Pada mulanya PPSPA hanya memiliki program pendidikan Tahfidz al-Quran. Kini, unit kegiatan pendidikan yang di selenggarakan PPSPA telah berkembang menjadi lima program.  Selain program tahfidz, sistem pendidikan yang diadopsi PPSPA merupakan formulasi sistem pendidikan pesantren salafi dan formal (madrasah) sesuai dengan standar kurikulum Diknas. Pengembangan dan penyempurnaan kurikulum serta metode pembelajaran terus dikembangkan oleh pihak pengelola. Ini dimaksudkan agar cita-cita PPSPA untuk mampu mencetak generasi bangsa yang mumpuni dari segi  ilmu agama dan umum dapat diwujudkan. Kurikulum yang diterapkan di madrasah (TK, MI, MTs, dan MA) mengacu pada ketentuan pemerintah dengan menggunakan kurikulum berbasis kompetensi (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan/KTSP).

Sumber:http://pandanaran.org/index.php/tentang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar