Jilat
Selasa, 6 Muharram 1434 H | 20 November 2012 08:07:34 WIB
Oleh : Dwy Sadoellah
“ORANG-ORANG besar itu seperti pasar,” kata sebuah
nasehat bijak. Siapa yang mendekat ke sana, dia ingin memperoleh
sesuatu. Karena itulah, cerita tentang pintu rumah orang-orang besar
nyaris selalu “gaduh” dengan tafsir-tafsir kepentingan tamu.
Senyum-senyum mengembang manis: antara yang tulus, yang ingin
mendekatkan diri, atau yang ingin menjauhkan orang lain.
Memang hampir selalu ada orang ketiga di hadapan para tokoh. Selain deretan anak buah di belakang dan ribuan musuh di depan, mereka juga di kelilingi para penjilat yang bernaung di bawah ketiak dan selagkangan basah, seperti kuman. Sebagaimana di hadapan para Nabi, selain si mukmin dan si kafir, juga muncul wajah-wajah munafik yang lebih manis, seperti ular beludak yang gemulai tapi menyimpan bisa yang mematikan.
Dulu, ketika masih kanak-kanak, saya membayangkan seorang penjilat dengan lidah yang menjurai panjang, seperti dasi tapi basah oleh liur yang menetes. Matanya besar mendolo, hingga mencermati mangsanya tidak perlu melotot lagi. Seperti mulut yang haus, menganga dan nafas yang bau memburu.
Kenyataannya setelah itu, ternyata saya keliru. Penjilat bisa lebih manis dari yang tulus. Bisa lebih santun dari yang taat. Bahkan bisa nampak lebih berkorban dari hati yang mencintai.
Aneh memang, ada orang yang ingin mendekat dengan cara menjauhkan orang lain. Dia memahami hubungan pertemanan seperti seorang istri yang sangat takut dimadu. Yang ada di benaknya adalah nafsu yang memonopoli, memeluknya untuk menghangatkan kepentingan sendiri, bukan membangun kekuatan bersama yang sangat membutuhkan keberadaan dan kerja sama orang lain sebanyak-banyaknya.
Dari zaman Romawi hingga Majapahit, tak sulit kita temukan orang kepercayaan kaisar yang akhirnya bernasib nahas di kayu penggalan atau tiang salib. Maka, sejarahpun kadang kala harus menulis kisah mereka dengan ragu: apakah itu cerita tentang penghianatan, ataukah cerita tentang seorang pahlawan yang menjadi korban para pembisik istana.
Dalam sejarah Abbasiyah di Bagdad, siapa gerangan yang akan mengira al-Khurasani akan dipenggal oleh khalifah al-Manshur. Bukankah dia panglima yang berjibaku membuat tiang dinasti tersebut berdiri kokoh di atas genangan darah ratusan ribu prajurit!?. Sejarah ragu mengenai apa yang sesungguhnya terjadi.
Maka, muncullah asumsi-asumsi mengenai faktor tersembunyi, atau bisikan-bisikan halus di telinga sang penguasa.
Para pembisik, para penjilat, juga para munafik, merekalah oportunis sejati. Seperti orang pribumi yang menjabat bupati di zaman Belanda, di negeri kita dahulu. Tak peduli, apa dan siapa yang harus dia “jual” untuk membuat panggung drama tentang loyalitas kepada sang majikan. Drama yang amat membutuhkan karakter, agar menjadi tontonan yang dinikamti dengan riuh tepuk tangan, atau dengan tangisan dan sikap geram. Yaitu, karakter berpura-pura yang menjiwai, merasuki emosi dan mempermainkannya seperti bola tongkat.
Drama itu adalah seni berpura-pura yang bisa menyihir pikiran orang. Dan, setiap seni memang memiliki sihirnya sendiri-sendiri. Membuat penikmatnya terbuai, menggantung pikirannya terpaku di sebuah karya. “Sungguh, ada sebagian dari sastra yang menjadi sihir.” Konon Nabi Muhammad SAW pernah bersabda seperti itu saat menyaksikan pengaruh sajak yang digubah oleh seorang pujangga ternama di hadapan para sahabat beliau.
Tak hanya sastra, setiap keindahan yang diserap oleh indera dan pikiran manusia berpotensi memiliki daya pikat seperti itu. Suara, visual, rasa, bau, sentuhan, apalagi gagasan. Ada sensasi yang semburat dari lingkup pikiran menjadi simpul emosi, seperti siluet cahaya di celah dinding. Bahkan tak hanya bagi suatu yang benar-benar indah. Suatu yang berpura-pura indah, pada waktu yang tepat, memiliki kesempatan yang sama untuk menyihir pikiran. Keindahan yang gombal.
Maka karena itu, sejarah dinasti-dinasti pun dihiasi oleh tumpukan sajak para pujangga penjilat. Pesona sajak mereka membuat jilatan api terkesan seperti jilatan bidadari. Memuji raja setinggi langit, dengan kata-kata indah yang sama sekali tak muncul dari hati nurani. Alih-alih merasa muak, para penguasa justru senang, lalu menghujani mereka dengan keping-keping dinar yang mengkilat. Sebab nyatanya raja itu juga manusia. Dia kadang gemar mencari kesenangan dari sebuah kebohongan yang indah, sebagaimana dia juga alergi dengan kebenaran yang terasa pahit.
Maka berkacalah kita, lihat masih seberapa banyak stok ketulusan-ketulusan kita, yang tanpa pamrih, yang bercahaya bukan karena pantulan cahaya. Tapi indah karena keluar dari lubuk jiwa yang sesungguhnya.
Sumber: Majalah IJTIHAD, edisi-36.
sumber:http://www.sidogiri.net/artikel/detail/112
Tidak ada komentar:
Posting Komentar