Hati-Hati HTI
Senin, 19 Muharram 1434 H | 03 Desember 2012 11:19:11 WIB
Oleh : Abdurrohim Arief
Awalnya gerakan yang selalu menggembar-gemborkan isu khilafah ini
hanya mentargetkan 13 tahun untuk merealisasikan konsep politiknya.
Namun, semenjak dirintis, tepatnya pada 1953, belum satu negarapun di
dunia yang mengibarkan bendera khilafah mereka. Waktu pun diperhitungkan
kembali. Kali ini mereka menaruh limit hingga tiga dasarwarsa. Apa
boleh buat, perhitungan tinggallah perhitungan. Hingga saat ini,
tepatnya ulang tahun Hizbut Tahrir yang ke-56, masih belum ada kabar
baik, kapan khilafah mereka diresmikan. Justru, keberadaan Hizbut Tahrir
selalu dauber-uber oleh pemerintah setempat.
Tanggal 12 Agustus 2007, Hizbut Tahrir baru manginjak tahap kedua dari tiga tahap proses perubahan yang mereka konsepkan, yakni tahap berinteraksi dengan umat (marhalah tafa’ul ma’al-ummah) yang selanjutnya akan disusul dengan tahap penerimaan kekuasaan (istislamul-hukmi). Mereka manandai keberhasilan tersebut dengan menyelenggarakan konferensi Khilafah Internasional di Gelora Bung Karno Jakarta.
Satu hal yang mungkin dianggap lucu dari sepak terjang pergerakan ini, di mana gerakan yang selalu mengkafirkan, menghina, bahkan membenci sepenuh hati terhadap konsep demokrasi, justru bisa mengibarkan benderanya di negeri yang menjunjung tinggi asas demokrasi. Coba lihat, di mana Hizbut Tahrir berani dan dapat menyelenggarakan acara sebesar itu di negara Islam lain? Seharusnya mereka banyak bersyukur kepada demokrasi Indonesia. Mereka tumbuh subur dari demokrasi yang mereka benci. Tapi sayang mereka justru memilih tumbuh menjadi benalu.
Entah, bodohnya Indonesia atau memang ia dibodohi HTI. Bagaimana bisa, bentuk Negara kesatuan yang telah diberi harga mati mengizinkan organisasi politik lain untuk dapat mengibarkan bendera pendudukan di negaranya. Apakah ia tidak membaca sejarah kelam pergerakan tersebut? Apakah ia tidak pula memperhatikan konsep ideologi teologis dan politisnya? Nestapa, bila kita tidak menganal siapa mereka.
Untuk itu, tidak ada salah kiranya bila kami turut menasihati agar segenap sepak terjang pergerakan ini terus dipantau dan diwaspadai. Perlu diwaspadai karena Hizbut Tahrir ditengarai mengusung ide-ide dan wacana menyimpang yang meresahkan umat Islam. Dari berbagai ide dan wacana tersebut, setidaknya terdapat tiga klasifikasi pembahasan yang perlu diperhatikan:
Pertama, akidah. Bila berbicara tentang akidah Hizbut Tahrir, maka akan dihadapkan pada berbagai penyimpangan yang kompleks, utamanya yang berkenaan dengan masalah qadha’ dan qadar. Pandangan Hizbut Tahrir mengenai qadha’ dan qadar sama persis dengan aliran sesat Muktazilah. Lebih dari itu, mereka meragukan kepercayaan terhadap qadha’ dan qadar sebagai bagian dari rukun iman.
Aliran ini juga menyatakan dengan tegas bahwa meraih petunjuk dan terjerumus dalam kesesatan adalah murni hasil dari tindakan manusia. Tidak ada intervensi Tuhan sedikitpun. Petunjuk dan kesesatan, menurut mereka, adalah pilihan hidup yang ada pada area yang dikuasai oleh setiap pribadi. Karenanya, mereka dapat menentukan sendiri jalan kehidupan di antara keduanya. Dan, dari sanalah nantinya Tuhan akan memberi balasan bagi setiap tindakan.
Di samping itu, mereka juga banyak meragukan akidah-akidah yang telah banyak diyakini oleh mayoritas umat Islam, utamanya terhadap hal-hal yang berbau mistik dan gaib, seperti keyakinan akan siksa kubur, keyakinan adanya pertanyaan Malaikat Munkar-Nakir, keyakinan akan turunnya Isa di akhir zaman, keyakinan akan fitnah Dajjal, keyakinan atas syafaat Nabi SAW di padang Mahsyar, dan lain sebagainya.
Bagi mereka, segenap bentuk kepercayaan di atas tidak wajib diyakini karena berangkat melalui riwayat ahad. Namun, mereka tidak pernah mau mengkaji ke-mutawatir-an Hadis-Hadis tersebut secara ma’nawi. Sehingga, penyimpangan-penyimpangan tadi hampir manjadi ciri khas akidah para syabab Hizbut Tahrir.
Kedua, syari’ah. Meskipun bergerak di bidang politik, Hizbut Tahrir juga banyak mengeluarkan fatwa-fatwa yang ditengarai provokatif. Berbagai fatwa tersebut dapat disimak melalui edaran-edaran yang mereka sebarkan, seperti al-Khilafah, al-Islam, dan al-Wai’e atau fatwa-fatwa yang telah ditulis oleh pendiri gerakan ini, an-Nabhani, melalui berbagi karyanya.
Dalam al-Khilafah edisi Rabiul Awal Tahun 1416, Hizbut Tahrir sempat mengharamkan tawasul, baik itu tawasul melalui para nabi atau orang-orang saleh. Bukan hanya itu, peringatan Maulid Nabi SAW turut diharamkannya, persis seperti mainstream gerkan Wahabi.
Di antaranya lagi, mereka menghalalkan berciuman dengan lain jenis meskipun dengan syahwat dan tanpa satir (penghalang). Fatwa ini memang terbilang nyeleneh dan menantang. Namun, para syabab Hizbut Tahrir mengakui akan keberadaan fatwa tersebut, kecuali syabab Hizbut Tahrir Indonesia yang enggan dan menganggap fatwa tersebut tidak mewakili.
Dalam edaran 08 Muharram 1390 H, mulanya mereka hanya menghalalkan berciuman dan bersalaman antara laki-laki dan perempuan (bukan mahram) yang baru tiba dari perjalanan. Itupun masih dibatasi dengan tanpa disertai syahwat. Setelah itu, pada edaran berikutnya, tepatnya tertanggal 24 Rabiul Awal 1390 H, mereka menfatwakan bolehnya bersalaman dan berciuman secara mutlak. Dalam fatwa tersebut turut ditampilan berbagai alasan logis sebagai landasan atas ijtihad ngawur-nya.
Meskipun fatwa halalnya berciuman tidak pernah dilontarkan oleh an-Nabhani, setidaknya ia merupakan biang dari penyimpangan yang ada. Manhaj istinbatul-ahkam (metodologi penggalian hukum) an-Nabhani telah mengobsesi para syabab Hizbut Tahrir untuk melakukan ijtihad sendiri. Lebih-lebih an-Nabhani secara pribadi telah mengaku sebagai mujtahid dan banyak menganjurkan segenap pengikutnya untuk berani berijtihad.
Dalam Nidzamul-Ijtima’i Fil-Islam, an-Nabhani telah berijtihad akan bolehnya bersalaman antara laki-laki dan perempuan. Pendapat tersebut lebih diperkokoh melalui kitab asy-Syakhshiyah al-Islamiyah-nya dengan menampilkan penjang lebar sistematika penggalian hukum yang ia tempuh. An-Nabhani juga menyebut pendapat yang mengharamkan jabat tangan jauh dari maentream syariah.
Di sela-sela pemaparannya itu, an-Nabhani menambahkan bahwa tangan bukanlah termasuk aurat bagi wanita. Wacana ini berangkat dari pemahaman an-Nabhani terhadap ayat “aulamastumun-nisa’” yang menurutnya hanya mengindikasikan hukum batalnya wudu bukan hukum haramnya bersentuhan.
Meskipun bersalaman termasuk masalah furu’iyah dan masih dalam linkaran mazhab empat, namun metodologi yang digunakan oleh ulama mazhab tidak sama dengan proses penggalian hukum yang telah ditempuh an-Nabhani. Sehingga, ketika konsep mereka dikembangkan tidak sampai melahirkan hukum-hukum yang ngawur seperti yang telah terjadi pada mazhab Hizbut Tahrir. Perbedaan manhaj inilah yang selanjutnya melahirkan berbagai penyimpangan hukum syariah di tubuh organisasi ini.
Ketiga, siyasah. Politik merupakan perhatian utama bagi gerakan Hizbut Tahirir. Misi utama dari politiknya adalah dapat merebut kekuasaan dari pimpinan yang sah dengan bertamengkan isu khilafah. Kelompok ini, nyaris mengakfirkan segenap sistem politik yang ada saat ini. Sehingga, politik Hizbut Tahrir lebih tampak berposisi sebagai oposisi radikal. Mereka mengharuskan konsep perpolitikannya (al-Khilafah ‘ala Manhaji Hizbit-Tahrir) direlisasikan dengan atas nama Islam. Padahal politik dan sistem pemerintahan dalam Islam merupakan bagian dari permasalahan furu’iyyah yang cederung fleksibel dan ramah.
Radikelisme Hizbut Tahrir juga terbukti dari berbagai sepak terjang pendiri gerakan tersebut dalam menghadapi berbagai sistem pemerintahan Islam selama ini. An-Nabhani mengajarkan kepada para aktivis Hizbut Tahrir bahwa cara dakwah yang harus mereka tempuh adalah dengan membuat opini buruk tentang pemerintah dan disebarluaskan ke segenap masyarakat.
An-Nabhani berkata, “…semestinya aktivitas Hizbut Tahrir yang paling menonjol adalah aktivitas menyerang seluruh bentuk interaksi yang berlangsung antara penguasa dengan umat dalam semua aspek, baik menyangkut cara penguasa tersebut mengurus kemaslahatan, seperti pembangunan jembatan, pendirian rumah sakit, atau cara melaksanakan aktivitas yang menyebakan penguasa tersebut mampu melaksanakan (urusan umat) seperti pembentukan kementrian dan pemilihian wakil rakyat. Yang dimaksud pengauasa di sini adalah pemerintah.”
Kemudian an-Nabhani melanjutkan, “Oleh karena itu, kelompok berkuasa tadi seluruhnya harus diserang, baik menyangkut tindakan maupun pemikiran politiknya.”
Setelah kita menyimak beberapa ide dan wacana yang mereka usung, meskipun tidak kami sebutkan semua karena ketebatasan tempat, setidaknya cukup untuk memberikan alasan kenapa gerakan ini perlu diwaspadai. Selanjutnya pembaca yang lebih paham mengenai tindakan apa yang harus ditempuh.
IJTIHAD-31
sumber:http://www.sidogiri.net/artikel/detail/121
Tidak ada komentar:
Posting Komentar