=================
Jihad Versus Jihad
===============
Pada tanggal 9
Juni 1971, bekas presiden Soeharto almarhum, pidato tanpa teks dalam
rangka membuka Pasar Klewer di Surakarta, Jawa Tengah. Pidato ini banyak
mendapatkan komentar dan menjadi bahan diskusi banyak kalangan.
Dan Soeharto sendiri rupanya amat berkesan dengan pidatonya ini,
hingga dalam otobiografinya ditulis secara istimewa. Bunyi judulnya
“Gagasan di Pasar Klewer”. Soeharto bilang dengan bangga dalam tulisan
itu, “Pidato saya ini merupakan dasar politik pembangunan kita.”
Di antara pidato Soeharto itu berisi pentingnya pembangunan di segela
bidang. Dia menekankan pembangunan industri dengan penopang segi
pertanian yang tangguh. Ditegaskan pula, perlunya pembangunan yang terus
berkelanjutan.
“Mencapai cita-cita masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila
itu, tidaklah mungkin hanya dengan melaksanakan satu Pelita saja,” jelas
Soeharto. Penjelasan ini tentu “aba-aba” dari Soeharto bahwa dirinya
harus dipilih kembali. Pidato Pasar Klewer dilakukan sebulan jelang
Pemilu 1971.
Dalam pidato itu juga dia menerangkan pentingnya hutang bagi
pembangunan Indonesia. “Kalau kita terus memperbanyak hutang, itu adalah
untuk mempercepat proses pembangunan,” kata Soharto.
Dan yang tak kalah penting, Soeharto melontarkan istilah “jihad”
untuk melawan para penentangnya. Jika Soekarno tidak pernah mengeluarkan
istilah jihad, berarti Soeharto adalah presiden pertama yang
menggunakan kata istilah “agama” ini. Dan bisa jadi, lontaran jihad oleh
Soeharto ini paling “menggelegar” setelah NU mengeluarkan Resolusi
Jihad pada bulan Oktober 1945, untuk mempertahankan kemerdekaan.
“Saya peringatkan supaya pemimpin-pemimpin jangan mudah menghasut
rakyat. Begitu pula,hendaknya rakyat jangan gampang dihasut oleh
pemimpin semacam itu. Kalau toh terjadi pengacauan itu, demi kepentingan
pembangunan, demi kepentingan Pancasila dan UUD ’45, tidak ada jalan
lain bagi rakyat bersama ABRI-nya, harus menghadapi jihad itu dengan
jihad pula,” demikian Soeharto menggunakan istilah jihad.
Lalu siapa yang akan “dijihadi” Soeharto? Tentu Soeharto tidak
main-main dengan kata jihad ini. Karena jihad, seperti juga ijtihad,
menyimpan makna berat dan sungguh-sungguh. Berperang dengan benar
melawan musuh adalah jihad karena sungguh berat, penuh pengorbanan.
Menahan nafsu pribadi itu disebut jihad karena memang berat nian. Dengan
kata lain, Soeharto punya musuh yang berat, sehingga harus menyatakan
jihad.
TERNYATA YANG DISASAR adalah Subhan ZE, salah
seorang ketua PBNU waktu itu. Dia seorang yang pintar, berpengetahuan
luas, jago pidato, masih muda, dihormati, kaya, ganteng, tapi tidak
punya senjata, apalagi bala pasukan. Jika Soeharto berhasrat mematikan
orang kelahiran Kudus ini, tentu gampang.
Perintahkan saja satu atau dua kopral berpistol, cegat di jalan. Dor!
Dor! Dor! Lalu dikubur di hutan. Selesai! Tidak perlu menyerukan jihad
lewat pidato resmi, karena gampang banget.
Tapi, bukan tidak mungkin, Soeharto melontarkan istilah jihad dengan
pertimbangan yang masih mentah, tidak penting, bahkan guyon. Kan dia
pidato tanpa teks, bisa saja kecletot lidah. Atau karena dia terpancing
dan tak ingin kalah “keren” dengan pidato Subhan ZE.
Almarhum Subhan ZE dalam kampanye-kampanye Partai NU menjelang pemilu
1971, memang sering melontarkan istilah jihad. Ia dengan lantang
mengingatkan Jenderal Amir Mahmud, Menteri Dalam Negeri waktu itu, agar
menjadi wasit yang adil dan jangan main buldozer.
Subhan melancarkan kritik tajam dan menohok pada Orde Baru sudah
sering, bukan saja jelang pemilu 1971. 1 Oktober tahun 1968, dalam
pidato di radio menyambut hari Kesaktian Pancasila, Subhan sebagai Wakil
Ketua MPRS menyuarakan bahwa Orde Baru melenceng dari kaidah-kaidah
perjuangan, intrik, konspirasi, korupsi sudah merajalela dan
dipraktikkan kembali.
Dan Subhan juga merespon pidato Pasar Klewer. Ia menyayangkan
Soeharto yang mengidentikkan dirinya sebagai pemberontak, sehingga harus
diperangi dengan semangat jihad. Terjadilah polemik istilah jihad di
koran milik NU, Duta Masyarakat. Sampai-sampai Ketua Umum PBNU Idham
Chalid, menyampaikan komentar. Dengan kikuk, Idham berkata:
“Tidak tahu-menahu dan sangat menyesalkan sikap Subhan ZE, bahwa bisa
saja Presiden Soeharto sebagai pemimpin nasional memberikan peringatan
kepada setiap warga negaranya untuk tidak berbuat hal-hal yang dapat
membahayakan negara.”
Pemilu 1971, NU menempati urutan kedua, memperoleh 58 kursi, tambah
13 kursi dari pemilu 1955. Dan Subhan adalah bintang pemilunya.
Desember 1971, NU menggelar muktamar di Surabaya. Dalam muktamar itu,
ia juga jadi bintang yang bersinar, tapi tidak terpilih sebagai ketua
umum, karena diganjal. Ia hanya menempati salah satu ketua. Tapi belum
sebulan umur muktamar, Subhan dipecat dari ketua PBNU. Tak lama setelah
itu, ia tewas sebab kecelakaan mobil, dalam perjalanan dari Mekkah ke
Madinah. (Hamzah Sahal)
Sumber: Otobiografi Soeharto oleh Ramadan KH, Subhan ZE oleh Arief Mudatsir Mandan, Pertumbuhan dan Perkembangan NU oleh Choirul Anam
sumber:http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,7-id,34963-lang,id-c,fragmen-t,Jihad+Versus+Jihad-.phpx
Tidak ada komentar:
Posting Komentar