======================
Peran Thariqah Demi Terciptanya Perdamaian Dunia
=====================
Hari
Ahad tanggal 9 September 2012 ada pemandangan yang berbeda di
Paninggaran, sebuah kecamatan yang terletak di wilayah pegunungan
Kabupaten Pekalongan yang berbatasan dengan Kabupaten Banjarnegara.
Sebuah pemandangan yang membuat jalur lalu lintas
Pekalongan-Banjarnegara di wilayah tersebut berjalan tersendat.
Ternyata pada hari tersebut terdapat
kegiatan rutinan Muslimat Thariqiyah –Lajnah baru di bawah Jam’iyyah
Ahlith Thariqah Al Mu’tabarah An Nahdliyyah- Idarah Syu’biyah Kota dan
Kabupaten Pekalongan yang bekerjasama dengan Pengurus Cabang Muslimat NU
Kota dan Kabupaten Pekalongan.
Kegiatan yang didominasi oleh kaum hawa
ini dihadiri ribuan jama’ah muslimat dari berbagai wilayah Pekalongan.
Sehingga Masjid Istiqamah yang menjadi lokasi kegiatan tidak sanggup
menampung jama’ah yang membludak. Oleh karena itu, panitia memanfaatkan
trotoar jalan sebagai tempat untuk jama’ah, dan itu lah yang menyebabkan
arus lalu lintas tidak berjalan lancar. Walaupun begitu, tidak
mengurangi animo jama’ah untuk mengikuti kegiatan tersebut, bahkan
sekalipun hanya duduk beralaskan koran dan berkali-kali diperingatkan
oleh Banser, Polisi, dan TNI agar tidak terlalu mepet di jalan.
Dalam kegiatan tersebut, ada satu tamu
dan penceramah yang sangat dinanti-nantikan kehadiran dan taushiyahnya,
beliau adalah Maulana Al-Habib Muhammad Luthfi bin Yahya, Rais ‘Am
Idarah ‘Aliyah (Pengurus Pusat) Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al Mu’tabarah
An Nahdliyyah (JATMAN). Sontak saja, ketika beliau hadir pada pukul
14.30 WIB, jama’ah menjadi semakin antusias, bahkan tak sedikit dari
mereka yang berusaha merangsek ke depan agar bisa lebih dekat dengan
beliau.
Dalam ceramahnya, Maulana Habib
menekankan tiga tema sentral, yaitu pendidikan di balik rukun islam,
pentingnya berthariqah dan keharusan menjaga dan membangun Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Maulana Habib memulai ceramahnya dengan menjelaskan kompleksitas pendidikan dalam dunia islam, dalam pendidikan formal ada TK, SD, SMP, SMA, sampai Perguruan tinggi, dan pendidikan-pendidikan lain yang sejenisnya. Selain dalam bidang formal, islam juga mendidik umat dalam pendidikan yang non formal, seperti dalam puasa Ramadlan.
Maulana Habib memulai ceramahnya dengan menjelaskan kompleksitas pendidikan dalam dunia islam, dalam pendidikan formal ada TK, SD, SMP, SMA, sampai Perguruan tinggi, dan pendidikan-pendidikan lain yang sejenisnya. Selain dalam bidang formal, islam juga mendidik umat dalam pendidikan yang non formal, seperti dalam puasa Ramadlan.
Maulana Habib menambahkan bahwa untuk
membersihkan nafsu ada tugasnya yaitu puasa Ramadlan, bagaimana dalam
puasa Ramadlan itu nafsu dilatih, dididik agar bersih, contohnya ketika
kita puasa, kita sekalipun lapar, haus, ingin marah, dan lain
sebagainya, kita harus menahannya, karena kita sedang menjalankan ibadah
puasa, karena nafsu kita sedang dididik agar bisa diredam. Sehingga,
para auliya itu kalau ditinggalkan Ramadlan, beliau-beliau itu sedih,
nangis. Bukan seperti kita yang senang, karena siang bisa makan, minum,
merokok. Setelah Ramadlan, seharusnya kita bisa mengendalikan nafsu
kita, karena kita sebulan penuh telah dilatih untuk meredam nafsu.
Selanjutnya Maulana Habib menambahkan
penjelasannya, bahwa untuk membersihkan dunia itu alatnya adalah zakat,
untuk membersihkan hati (qalbiyah) alatnya adalah Thariqah. Pendidikan
ini terus berlaku minal mahdi ilal lahdi, di sinilah letak keistimewaan
Islam.
Maulana Habib kembali menambahkan, dalam
haji pun terdapat pendidikan yang bersifat ahwaaliyah dan af’aaliyah,
bukan hanya bicara. Di haji, di lingkungan Ka’bah itu sudah berapa kali
ada telapak kaki Anbiyaa’ dari Nabi Ibrahim sampai Nabi Muhammad SAW,
belum lagi telapak para sahabat, para auliyaa’, para ‘ulama. Sehingga
kaki ahli haji itu menginjak bekas-bekas telapak kaki para Nabi,
sahabat, auliyaa’, dan ‘ulama. Oleh karena itu, seharusnya kaki orang
yang sudah haji harusnya malu melangkahkan kakinya untuk hal-hal yang
tidak baik, kakinya dieman-eman.
Mengenai haji ini, Maulana Habib kembali
menjelaskan, bahwa orang yang haji, kalau sudah memakai pakaian ihram,
maka mencabut sehelai rambutnya sendiri saja itu tidak boleh, kena dam,
apalagi mencabut rumput-rumput yang kecil, menebang pohon, membunuh
hewan-hewan, melukai sesama manusia. Sehingga sepulang dari haji, orang
haji kalau benar oleh-olehnya itu dia akan menjadi penenang umat,
menjadi tokoh panutan masyarakat.
Selanjutnya Maulana Habib berbicara
mengenai syukur. Bagaimana manusia seringkali ditanyakan ulang oleh
Allah namun seringkali manusia tidak menyadarinya. Contoh: makanan kalau
sudah masuk dalam mulut, lalu turun sampai perut sampai kemudian
menjadi darah, dan zat-zat lain yang dibutuhkan oleh tubuh, dan yang
tidak dibutuhkan oleh tubuh dibuang, apakah hal tersebut kita pernah
bertanya, siapa yang menggerakkannya? Apakah kita mampu menggerakkannya
sendiri? Menjadi komando sehingga bisa memerintah makanan yang masuk?
Begitu juga dengan kaki yang kita gunakan untuk melangkah ke tempat ini,
apakah kita bertanya siapa yang menggerakkan kaki sehingga kita bisa
berjalan sampai sini? Apakah kita pernah bertanya, seandainya Allah
tidak memerintahkan kaki untuk berjalan, apakah kaki mau kita perintah
untuk jalan ke sini? Apakah kita sadar itu? Hakikat syukur itu adalah
orang yang mendapat nikmat Allah dibelanjakan untuk ridlo Allah.
Maulana Habib kemudian melanjutkan
dengan pembahasan mengenai thariqah. Beliau menjelaskan bahwa thariqah
adalah pembangunan individu untuk membangun pribadi yang merasa aku ini
masih sebagai makhluk atau tidak. Kalau kita sadar sebagai kawulo, maka
terus tingkatkan terus kekawulonannya, di sinilah fungsi thariqah.
Selain itu, banyak orang yang mengerti
Allah tapi tidak mengenal Allah, ibaratnya orang yang mengerti Jakarta,
tapi tidak mengenal Jakarta, orang itu naik Kereta Api ke Jakarta, turun
di Gambir, lalu dia tanya, Jakarta itu mana? Oleh karena itu, dengan
thariqah itu manusia diajak untuk mengerti dan mengenal Allah serta agar
dikenal oleh Allah.
Adapun hukum berthariqah, Maulana Habib
melanjutkan, ada dua. Hukum yang pertama adalah sunnah jika fungsi
thariqah hanya untuk wiridan, contoh, saya ini tidak punya amalan wirid
apa-apa, biar saya punya amalan wirid saya ke guru Mursyid untuk ijazah
thariqah, ini ijazah, bukan baiat! Hukum yang kedua adalah wajib, apa
kita bisa selalu ingat kepada Allah? Kalau bisa, maka tidak wajib
berthariqah, tapi kalau tidak bisa, maka wajib masuk thariqah, karena
thariqah itu untuk menghilangkan ghaflah (lupa atau lalai) kepada Allah.
Beliau menambahkan, bahwa ghaflah itu
letaknya di hati, dari ghaflah itu bisa menimbulkan penyakit-penyakit
hati seperti sombong, suu-uzh zhan, iri, dengki, dan lain sebagainya.
Kalau menurut Syaikh Ibnu Taimiyyah, hati itu seperti besi. Besi itu
sekalipun anti karat kalau tidak dibersihkan lama-lama juga akan
berkarat. Mending kalau besi yang berkarat, kalau hati yang berkarat itu
lebih berbahaya lagi. Nah thariqah itu untuk membersihkan karat-karat
yang mengotori hati. Tubuh saja setiap hari dimandikan, dibersihkan, ada
yang sehari dua kali, tiga kali. Tidak hanya dengan air, dengan sabun
juga biar tambah bersih dan wangi, ditambah parfum juga biar tambah
wangi, kalau tubuh tidak dimandikan, dibersihkan, bagaimana baunya,
orang lain yang di sekitar kita akan terganggu karena baunya. Kalau
tubuh saja harus seperti itu, `palagi hati kita, lebih besar efeknya.
Bagaimana busuknya hati kita kalau tidak rutin kita bersihkan? Bukan
hanya diri kita yang terganggu, tapi juga orang lain. Di sinilah mengapa
kita harus berthariqah.
Maulana Habib kembali menjelaskan, orang
itu ketika sakaratul maut ap yang diucapkan tergantung kebiasaannya
sehari-hari. Kalau orang terbiasa mengucapkan hewan kaki empat, ketika
terpeleset yang keluar kata-kata hewan kaki empat, maka ketika sakaratul
maut yang terucap nantinya hewan kaki empat, na’uzhu billah min
dzaalik. Begitu juga sebaliknya, ketika orang itu terbiasa mengucapkan
kalimah thayyibah, dia biasa ngucap Alhamdulillah, jatuh pun ngucapnya
Alhamdulillah, dia biasa ngucap Subhanallah, juga begitu, dia biasa
ngucap Laa ilaaha illaa Allah, juga begitu, maka ketika sakaratul maut
pun yang diucapkan kalimah thayyibah itu.
Dalam kesempatan tersebut Maulana Habib
juga mewanti-wanti kepada jama’ah agar tidak menyeret-nyeret atau
mebawa-bawa thariqah ke politik. Selain itu, beliau juga mengajak kepada
jama’ah untuk semakin memperkuat ilmu thariqah agar semakin taqarrub
ilaa Allah (dekat kepada Allah) dengan cara membersihkan hati
masing-masing dengan thariqah masing-masing, baik itu Al-Qadiriyyah,
At-Tijaniyyah, Asy-Syadziliyyah, An-Naqsyabandiyyah, Al-‘Alawiyyah, dan
thariqah-thariqah mu’tabar lainnya. Beliau menambahkan, sanad-sanad
thariqah yang mu’tabar dan terwadahi dalam JATMAN itu terjamin muttashil
(bersambung) sampai kepada Rasulullah SAW.
Selain itu, beliau juga meminta kepada
jama’ah agar jama’ah sadar sebagai warga Negara Indonesia dengan cara
mendukung pemerintah, tidak menggembosi pemerintah. Kita pandang
pemerintah secara utuh, jangan melihat oknum, begitu juga kita memandang
kiai, harus memandangnya secara utuh, bukan oknum. Beliau menambahkan,
masalah oknum jangan diobok-obok, jangan merendahkan pemerintah, jangan
merendahkan kiai.
sumebr:http://www.habiblutfiyahya.net/index.php?option=com_content&view=article&id=214%3Aperan-thariqah-demi-terciptanya-perdamaian-dunia&catid=34%3Aberita&Itemid=18&lang=id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar