==================================================
Pesan Padhang Bulan Maulana Habib LuthfiBin Yahya
==================================================
Kehadiran dan taushiyah Maulana Habib Luthfi bin Yahya memang selalu
ditunggu dan dinanti-nanti oleh masyarakat. Hal itu pula yang terjadi
ketika Beliau hadir dan memberi taushiyah di Desa Panggangsari pada
Ahad, 23 September 2012 jam 13.00 WIB. Kurang lebih 1.300 jama’ah
memadati komplek PP. Al-Qodiriyah Panggangsari, padahal informasi bahwa
penceramahnya adalah Maulana Habib Luthfi baru diumumkan sejam sebelum
acara dimulai.
Siang itu, Maulana Habib mengawali taushiyahnya dengan memberikan
penjelasan bahwa pengajian haruslah menjadi kebutuhan, bukan hanya
ramai-ramai, bukan hanya fii sya’aa-I rillah. Selanjutnya beliau
menerangkan, bahwa setelah syahadat, di Islam ada tulang-tulang yang
menopang tubuh (Islam).
Beliau memperinci, setelah Syahadatuttauhid dan syahadaturrasul. Umat
muslim wajib tahu sifat-sifat 50 atau dalam bahasa jawa biasa disebut
aqaa-id skeet yang meliputi 20 sifat wajib Allah, 20 sifat mustahil
Allah, satu sifat jaiz Allah, empat sifat wajib Rasul, empat sifat
mustahil Rasul, dan satu sifat jaiz Rasul. Dari 50 sifat tersebut,
kemudian dibuktikan dengan perilaku.
Rukun Islam setelah syahadat adalah shalat. Perabot shalat seperti
ruku’, sujud, dan lain-lain, bukan sekedar syarat. Arti yang lebih jauh,
bathiniyyahnya diajak shalat, punggungnya diajak shalat, tangannya
diajak shalat, kakinya diajak shalat, kepalanya diajak shalat, perutnya
diajak shalat, matanya diajak shalat, telinganya diajak shalat, mulutnya
diajak shalat, dan seluruh bagian tubuh termasuk organ-organ dalamnya
diajak shalat. Ketika semuanya diajak shalat, semua anggota tubuh itu
juga diajak untuk mengenal Yang Menciptakan yaitu Allah Ta’ala. Kalau
sudah seperti itu, maka buahnya adalah hatinya kuat mengangkat syari’at
perintah Allah dan Rasul-Nya, serta enggan untuk bermaksiat. Inilah yang
di Al Quran disebut inna ash-shalaata tanhaa ‘an al-fakhsyaa-I wa
al-munkar (sesungguhnya shalat itu mencegah perbuatan keji dan munkar).
Apalagi dalam shalat ada doa yang ditujukan untuk saudara-saudara
seagama, seperti dalam tahiyyat,"assalamu 'alainaa wa 'alaa 'ibaadillahi
ash-shaalihiin", juga dalam al-fatihah,"ihdina ash-shiraathal
mustaqiim". Doa ini juga merupakan pendidikan dari Allah kepada kita.
Selain itu, wudlu pun bukan hanya syarat saja, tetapi wudlu harus
menembus bathiniyah, bathiniyahnya ikut dibasuh. Kalau seperti itu, maka
masyarakat akan aman, tidak ada yang bertengkar, tidak ada yang membuka
aib orang lain. Karena apa? Karena bathiniyah matanya ikut wudlu,
telinganya ikut wudlu, mulutnya ikut wudlu, wajahnya ikut wudlu,
semuanya ikut wudlu, hatinya ikut wudlu. Sehingga semakin memperkuat
inna ash-shalaata tanhaa ‘an al-fakhsyaa-I wa al-munkar. Tandanya orang
yang seperti itu apa? Tandanya adalah orang itu menjadi orang yang
tawadlu’/rendah hati (mutawaadli’an), orang yang wara’ (mutawaari’an,
wara’: hati-hati terhadap barang syubhat), orang yang
beradab/berakhlakul karimah (muta-addiban). Mengapa begitu? Karna yang
ada dalam hatinya hanya rasa bahwa ana ‘abdun dla’iifun faqiirun
jaahilun fii finaa-ika (saya adalah hamba yang sangat lemah, sangat
faqir, sangat bodoh di pelataran-Mu).
Selanjutnya beliau menambahkan, kalau orang matanya, telinganya,
mulutnya, wajahnya, dan seluruh anggota lainnya ikut wudlu’, maka
bathiniyahnya dibuka. Dibuka untuk apa? Untuk pengamalan inna
ash-shalaata tanhaa ‘an al-fakhsyaa-I wa al-munkar.
Semuanya dalam tubuh ini bisa dilatih, ibarat orang berlatih pencak
silat, kalau sudah terlatih, maka refleksnya ketika jatuh atau
terpeleset pun seperti ketika berlatih silat. Begitu juga omongan, kalau
omongan dibiasakan yang baik-baik, kalimah thayyibah seperti
Alhamdulillah, subhanallah, Allahu Akbar, laa ilaaha illallah, dan
lain-lain, maka seandainya terpleset dan jatuh maka yang akan keluar
alhamdulillah, seumpama dia terbiasa mengucapkan alhamdulillah. Kalau
dia terbiasa mengucapkan hewan piaran kaki empat, ya itu juga yang nanti
keluar, bahkan ketemu dengan teman lama pun yang keluar hewan kaki
empat. Nah, yang bahaya itu kalau lagi sakaratul maut, karena sakitnya
dan tidak terbiasa mengucapkan kalimah thoyyibah, maka yang keluar dari
mulutnya ya hewan kaki empat itu, atau kata-kata yang tidak pantas
lainnya, tapi kalau terbiasa mengucapkan laa ilaaha illallah, maka
ketika mengalami sakitnya sakaratul maut, yang keluar dari mulutnya
adalah laa ilaaha illallah.
Maulana Habib membagi persaudaraan di Indonesia menjadi dua, yaitu:
(1) sedulur seagama setanah air, dan (2) sedulur sebangsa setanah air.
Kedua-duanya wajib dijaga agar tidak pecah, agar tetap bersatu dan
bersaudara. Mengenai cinta tanah air, Maulana Habib menjelaskan betapa
pentingnya cinta tanah air, salah satu contohnya dengan menghormati
bendera merah putih. Meskipun jahit atau bikin merah putih itu gampang,
namun banyak darah yang mengucur, banyak pengorbanan yang penuh rasa
sakit demi menurunkan bendera belanda dan menggantinya dengan bendera
merah putih. Sehingga sebagai anak Indonesia kita harus mempunyai
penghormatan yang luar biasa kepada merah putih, harus menyucinya dan
merawatnya dengan penuh perasaan cinta.
Selain itu, Maulana Habib sedikit menyinggung pula mengenai
penghormatan dan kecintaan umat Islam kepada Nabi Muhammad SAW. Maulana
Habib menjelaskan bahwa apabila ada orang di luar Islam yang
menjelek-jelekkan Nabi Muhammad SAW itu terjadi karena adanya peluang
yang dibuka oleh orang Islam sendiri. Beliau mengibaratkan seandainya di
suatu desa ada kiai yang usianya sudah sepuh, dan lurahnya usianya
separuh dari kiai tersebut, kemudian kiai tersebut itu memanggil lurah
hanya dengan lurah, tanpa ada embel-embel nak, dek, mas, pak, atau
penghormatan lainnya, maka itu sama saja kiai tersebut membuka celah
untuk tidak menghormati dan menghargai lurah, kalau lurah sudah tidak
dihormati maka desa tersebut tidak akan memiliki kewibawaan, namun jika
kiai tersebut memanggilnya dengan nak lurah, atau dek lurah, atau mas
lurah, atau pak lurah, itu menunjukkan hormat pada pak lurah, maka
seandainya seluruh warga desa menghormati pak lurah, maka desa tersebut
bisa aman, dan tentram, karena begitu hormat dan cintanya warga pada pak
lurah, kalau pun ada masalah pribadi dengan pak lurah, itu tidak
mengurang rasa hormat dan cintanya pada beliau sebagai lurah.
Maulana Habib selanjutnya mengkontekstualisasikan ibarat tersebut
kepada kecintaan terhadap Baginda Nabi Muhammad SAW. Menurut beliau,
apabila di umat muslim ada orang yang melarang maulid Nabi Muhammad SAW,
melarang memanggil Nabi Muhammad SAW dengan kata sayyidinaa atau hanya
memanggil dan menyebut nama Nabi Muhammad hanya dengan kata Muhammad,
tanpa embel-embel, seperti dalam kalimat “Muhammad berkata”, itu sama
saja membuka peluang orang lain untuk menghina Nabi Muhammad SAW, karena
umatnya sendiri tidak menghormati Nabi Muhammad SAW, namun kalau kita
selaku umat Nabi Muhammad SAW, ketika menyebut nama Nabi Muhammad
diiringi rasa bangga dengan kata sayyidinaa, atau baginda, atau kanjeng
Nabi, atau miniman Nabi, maka orang lain pun akan memandang segan dan
hormat pada beliau, karena ternyata kita sebagai umat begitu cinta dan
hormat pada beliau baginda Nabi Muhammad SAW. Selain itu, hakikatnya,
pemanggilan Nabi Muhammad SAW dengan sayyidinaa atau pengagungan yang
lain itu bukan untuik mengagungkan beliau semata, tapi juga mengagungkan
kita selaku umat Nabi Muhammad SAW. Kita selama ini diusahakan untuk
tidak cinta dan tidak hormat pada Nabi Muhammad SAW, ahlil bait, dan
‘ulama, dan salah satunya adalah dengan orang-orang yang mengharamkan
maulid Nabi Muhammad SAW dan mengharamkan memanggil Nabi Muhammad SAW
dengan sayyidinaa.
Dalam kesempatan tersebut, Maulana Habib juga menjelaskan bahwa
manaqib dan maulid mempunyai dasar di Al Quran. Kisah ash-habul kahfi di
dalam surat Al-Kahfi merupakan salah satu contoh manaqib auliya’ yang
ditulis di dalam Al Quran. Adapun contoh maulid lebih banyak lagi,
seperti kisah kelahiran Nabi Musa, kisah kelahiran Nabi Yahya, kisah
kelahiran Nabi Isa, dan lain-lain.
Kalau kemudian membaca maulid Nabi Muhammad SAW diharamkan, maka
membaca maulid atau kisah kelahiran Syaikh Syarif Hidayatullah lebih
haram lagi. Lalu ada pertanyaan, kenapa kok kisah kelahiran Nabi
Muhammad tidak tertulis di Al Quran? Apa itu tanda bahwa Nabi Muhammad
SAW lebih rendah dari Nabi-nabi yang maulidnya disebutkan di Al Quran?
Dalam keterangannya, Maulana Habib menjelaskan bahwa Kanjeng Nabi
Muhammad SAW dilahirkan itu saksinya banyak. Selain itu, Nabi Muhammad
juga sudah disebutkan di kitab-kitab terdahulu yaitu taurat, zabur, dan
injil, bahkan di Al Quran ada surat yang bernama Muhammad.
Selanjutnya Maulana Habib menegaskan, bahwa dua asma Allah itu diberikan kepada Nabi Muhammad SAW, yaitu sesuai dengan ayat,
لقد جاءكم رسول من أنفسكم عزيز عليه ما عنتم حريص عليكم بالمؤمنين رؤوف رحيم
Sesuai dengan ayat tersebut, dua asma yang diberikan oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW adalah rauufun dan rahiimun.
لقد جاءكم رسول من أنفسكم عزيز عليه ما عنتم حريص عليكم بالمؤمنين رؤوف رحيم
Sesuai dengan ayat tersebut, dua asma yang diberikan oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW adalah rauufun dan rahiimun.
Selain itu, banyak orang yang mengatakan Nabi Muhammad itu manusia
biasa sama seperti manusia umumnya. Ini pendapat yang keliru dan tidak
berdasar. Allah Ta’ala berfirman,
قل انما انا بشر مثلكم يوحى اليّ
Dari ayat tersebut sudah jelas bahwa basyarunnya Nabi Muhammad SAW tidak bisa disamakan dengan basyarun manusia yang lain umumnya. Mengapa? Dalam basyarun Nabi Muhammad SAW itu ada empat bagian, yaitu: (1) basyarun mukhtaarun (manusia pilihan), (2) basyarun ma’shuumun (manusia yang suci dari dosa), (3) basyarun mahfuuzhun (manusia yang dijaga), dan (4) basyarun nabiyyun wa rasuulun (manusia yang menjadi Nabi dan Rasul).
قل انما انا بشر مثلكم يوحى اليّ
Dari ayat tersebut sudah jelas bahwa basyarunnya Nabi Muhammad SAW tidak bisa disamakan dengan basyarun manusia yang lain umumnya. Mengapa? Dalam basyarun Nabi Muhammad SAW itu ada empat bagian, yaitu: (1) basyarun mukhtaarun (manusia pilihan), (2) basyarun ma’shuumun (manusia yang suci dari dosa), (3) basyarun mahfuuzhun (manusia yang dijaga), dan (4) basyarun nabiyyun wa rasuulun (manusia yang menjadi Nabi dan Rasul).
Selanjutnya, Maulana Habib juga menjelaskan mengenai unsur-unsur
pendidikan yang ada di dalam puasa dan zakat. Puasa menurut Maulana
Habib merupakan alat untuk membersihkan jiwa dan raga, sedangkan zakat
bersama shadaqah dan infaq merupakan alat untuk membersihkan harta dan
dunia.
Adapun mengenai haji, Maulana Habib menjelaskan dalam haji pun
terdapat pendidikan yang bersifat ahwaaliyah dan af’aaliyah, bukan hanya
bicara. Di haji, di lingkungan Ka’bah itu sudah berapa kali ada telapak
kaki Anbiyaa’ dari Nabi Ibrahim sampai Nabi Muhammad SAW, belum lagi
telapak para sahabat, para auliyaa’, para ‘ulama. Sehingga kaki ahli
haji itu menginjak bekas-bekas telapak kaki para Nabi, sahabat,
auliyaa’, dan ‘ulama, terutama kaki Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu,
seharusnya kaki orang yang sudah haji harusnya malu melangkahkan kakinya
untuk hal-hal yang tidak baik, kakinya dieman-eman. Selain itu, hajar
aswad pun sudah dicium oleh para Nabi, dan auliya’, sehingga sepulang
dari haji mulut yang sudah digunakan untuk mencium hajar aswad
dieman-eman, tidak digunakan untuk berbicara yang tidak baik. Kenapa?
Karena mulutnya telah mencium batu yang pernah dicium pula oleh Kanjeng
Nabi Muhammad SAW. Lha wong wedhang bekas minum wali, kiai saja
dijadikan rebutan karena berkahnya, apalagi yang bekasnya Nabi Muhammad
SAW, berkahnya lebih besar. Selain itu, dalam sa’I pun ada pendidikan di
dalamnya, karena sa’I merupakan ‘ibrah dari jerih payah orang tua,
sehingga sepulang dari haji, aplikasinya sa’I itu adalah semakin ta’at
dan patuh kepada orang tua.
Mengenai haji ini, Maulana Habib kembali menjelaskan, bahwa orang
yang haji, kalau sudah memakai pakaian ihram, maka mencabut sehelai
rambutnya sendiri saja itu tidak boleh, kena dam, apalagi mencabut
rumput-rumput yang kecil, menebang pohon, membunuh hewan-hewan, melukai
sesama manusia. Sehingga sepulang dari haji, tidak akan menyakiti orang
lain.
Maulana Habib juga berpesan kepada calon jama'ah haji agar ketika
keluar dari rumah diniatinya ziarah tanah haramain, bukan diniati haji,
niat haji kalau sudah di sana. Dan ketika haji hilangkan semua
embel-embel jabatan, kekayaan, buang perasaan sebagai pejabat, sebagai
kiai, sebagai orang kaya, dan lain-lain. Yang ada hanyalah perasaan
bahwa diri ini adalah hamba Allah. Pasrah total pada Allah, karena
hakikatnya semua sudah diatur oleh Allah, adapun ikhtiar itu hanya
ziadatut tha'ah (menambah ketaatan), bukan segalanya.
Selain itu, Maulana Habib pun berpesan kepada jama’ah haji yang akan
berangkat agar ketika haji berdoa, “yaa Rasulallah, kulo nyuwun dipun
aku umate panjenengan dunia akhirat”, setelah doa itu menitipkan diri
sendiri dan istri (atau kalau istri, diri sendiri dan suami) kepada
Allah Ta’ala, seperti dengan lafazh, “Ya Allah, tawakkaltu wa zaujatii
‘alaika, ya Allah kula nitipaken awak kula lan istri pasrah marang
Panjenengan, kula lan istri nyuwun Panjenengan atur tindak lampah kula
lan istri ten mriki marang ta’at maring Panjengengan, kuat nglampahi
syar’iate Panjenengan, kuat ibadah marang Panjenengan”.
Selanjutnya Maulana Habib juga member i pesan agar tidak lupa
mendoakan anak-anak agar menjadi anak-anak yang sholih dan sholihah,
anak-anak yang bisa membahagiakan dan membanggakan orang tua, lalu
berdoa untuk kedamaian dan kesejahteraan Indonesia, setelah doa itu,
lalu silahkan doa yang lain. Tetapi, dua doa yang disebutkan awal tadi
yaitu doa untuk anak-anak dan untuk Indonesia menjadi doa yang utama.
Sebelum menutup taushiyahnya, Maulana Habib membawakan penggalan lagu
padhang bulan karya beliau, dan memberi penafsiran di bait awal lagu
padhang bulan.
Padhang Bulan, padhange koyo rino (maksudnya adalah selagi kita masih ada kesempatan, selagi masih muda, selagi masih kuat), Rembulane seng awe-awe (Rembulannya mengingatkan kalau kita semakin tambah umur, semakin mendekati kematian), Ngelingake ojo turu sore (Mengingatkan agar memanfaatkan kesempatan yang ada untuk mencari ilmu, untuk beribadah),
Kene tak critani kanggo sebo mengko sore (Penggalan ini dari Kanjeng Sunan Kalijaga dan Kanjeng Sunan Giri, sebo artinya sowan, maksudnya untuk bekal menghadap kepada Allah). Wallahu a’lam
Padhang Bulan, padhange koyo rino (maksudnya adalah selagi kita masih ada kesempatan, selagi masih muda, selagi masih kuat), Rembulane seng awe-awe (Rembulannya mengingatkan kalau kita semakin tambah umur, semakin mendekati kematian), Ngelingake ojo turu sore (Mengingatkan agar memanfaatkan kesempatan yang ada untuk mencari ilmu, untuk beribadah),
Kene tak critani kanggo sebo mengko sore (Penggalan ini dari Kanjeng Sunan Kalijaga dan Kanjeng Sunan Giri, sebo artinya sowan, maksudnya untuk bekal menghadap kepada Allah). Wallahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar